Thursday, April 26, 2007

Terserak di Kawasan Elit Ciumbuleit

Perumahan megah tampak berdiri kokoh di kawasan Ciumbuleit, Bandung Selatan. Rumah-rumah besar yang mewah itu menurut masyarakat setempat sebagian dihuni para bule. Tak salah jika kawasan itu dikenal sebagai area elit. Apalagi alamnya yang sejuk sangat cocok jika Ciumbuleit sebagai peristirahatan orang berduit.

Di Ciumbuleit, tepatnya Kampung Rancabentang, terselip komunitas pemulung dari Majalaya. Mereka tinggal di bedeng yang menempati lereng curam. Sore itu, di sela istirahat usai mulung, Kang Eman (38) tengah membersihkan wajan hitam yang sudah dekil. Di sampingnya, Asep sedang menyiangi daun enceng gondok dan daun kangkung yang terlihat tua kekuning-kuningan.

“Tadi pulang dari mulung lihat enceng gondok di kali. Akang petik buat sayur. Lumayan nggak beli”, kata Eman agak malu-malu. Lelaki yang pernah kerja di pabrik delapan tahun ini mengaku sering mencari daun-daunan untuk lauk makan sehari-hari. Menurutnya itu sangat membantu tidak hanya bagi dirinya tapi juga buat 16 pemulung lainnya yang tinggal dalam satu bedeng di lereng tak bertuan itu.

“Kami masak sendiri, kalau beli tidak kuatlah. Sehari kami dapat Rp 10.000 bersih itu sudah bagus. Saya dan teman-teman ini pulang seminggu sekali nengok anak istri sambil setor nafkah”, akunya.

Berbincang dengan Eman rasanya betah. Meski kenyataannya hidup susah tapi Eman tetap menuturkan sedu sedan sebagai pemulung tanpa mengeluh. Hidup ini perjuangan katanya. Anak harus sekolah dan rumah tangga harus harmonis meski kesulitan hidup menghimpit. Apalagi mulung tak perlu modal. Asal mau kerja keras hasil pasti dapat.

Masalah besar kecil pendapatan, menurut Eman tergantung orang mensyukurinya. Orang rezekinya masing-masing. Namun di kawasan Ciumbuleit kini banjir pemulung. Mereka datang dari Garut, Cianjur, dan daerah lainnya di Jawa Barat. Akhirnya penghasilan pun ikut menurun. Masa paceklik sampah datang di musim liburan kampus. Kata Eman, anak kos penyumbang sampah terbesar di Ciumbuleit.

“Yah, kita mah orang kecil harus akur. Sampah sedikit kita bagi-bagi, banyak ya kita ambil sama-sama. Jangan sampai kita ini sudah miskin terus berantem rebutan sampah. Malu atuh sama pak DPR”, kata Eman terkekeh.

Masih di kawasan elit Ciumbuleit, cerita pahit dituturkan Kang Cucu (37) yang menempati bedeng khusus pemulung dari Garut. Pemulung di Kang Cucu banyak dari anak-anak belasan tahun. Menurut Kang Cucu, semangat kerja anak-anak agak payah. Orang Jawa bilang angot-angotan.

“Barang lagi kosong, anak-anak pulang kampung semua. Sudah dua minggu saya nggak setor ke pabrik. Saya nerusi lapak teman, ternyata dia punya tunggakan utang Rp 4 juta. Saya jadinya yang dikejar-kejar”, keluh Kang Cucu kesal.

Dari cerita Kang Cucu, tak semua pemulung pekerja keras. Banyak dari mereka yang sekadar untuk cari rokok, setelah itu berhenti. Belum lagi ada juga pemulung yang nakal, utang pada pemilik lapak, lantas ditinggal pulang kampung. Akhirnya banyak juga pemilik lapak yang bangkrut.

Ada juga pemilik lapak yang sabar dan tangguh. Witarsa misalnya. Ia kerap dinakali para pemulung. Tetapi Witarsa tetap melayani pemulung itu dengan sabar. Meski modalnya diutang, Witarsa berprasangka baik bahwa mereka tidak akan berbuat, jika tidak karena miskin. Namun, pemulung yang rajin ada juga yang sampai bisa membeli sepeda motor.

Dunia pemulung memang komunitas yang berserak. Mereka yang terjun langsung di kantong-kantong sampah, ujung tombak yang nasibnya selalu kurang beruntung. Sebaliknya, para pemilik lapak dan cukong penampung sampah adalah mereka yang diuntungkan sebagai juragan.

Sementara, para pemulung nasibnya tetaplah berserak seperti sampah di kawasan elit Ciumbuleit.

Read More......

Monday, April 23, 2007

Seni Menaklukkan Sapi



Menaklukkan Sapi di Desa Risa, Dompu, Sumbawa, NTB

Read More......

Bunda, Sang Gembala


Petani, peternak, kuli, dan pekerjaan lain yang mengandalkan kekuatan energi kerap kita dengar. Dunia mereka juga tak asing untuk diselami. Tetapi dunia penggembala, jarang dianggap sebagai profesi. Di Nusa Tenggara Barat, gembala menemukan dunianya. Sebuah pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan. Namun tak ubahnya nasib petani, gembala juga tak banyak yang sejahtera.

Seperti dua gembala dari lereng Tambora, Bi
ma ini. Kambing dan sapi yang digembalakannya bukan milik sendiri. Berangkat usai Subuh, pulang jelang Magrib upah yang mereka terima dalam bentuk binatang ternak. Satu ekor kambing atau sapi untuk menggembalakan enam ekor ternak. Sepanjang hari, para gembala mengikuti kemana arah ternak mencari rumput. Dari lembah, sawah, bukit, sampai pegunungan.

Kaki-kaki mereka begitu kuatnya. Harus lebih lincah dan enegik agar dapat berpacu dengan lari kambing dan sapi. Tak peduli hujan dan panas, gembala setia mengemban amanah juragannya. Kesabaran dan keuletan menjadi kunci penggembala yang berhasil. Dari ketekunannya ini, daging sehat yang tiap hari kita konsumsi dihasilkan.

Dalam dunia gembala ada nilai. Pekerjaan itu mengajarkan untuk bertanggungjawab terhadap ternak yang digembalakannya agar tertib di dalam kumpulan. Pekerjaan itu pun menuntut cinta kasih: mencari ter
nak yang terpisah dari kumpulan ataupun merawat ternak yang terpincang-pincang. Dengan tanggung jawab dan rasa cinta kasih itu, sang penggembala menggiring hewan yang digembalakan menuju titik yang dituju menggembalakan pulang ke kandang.

Gembala tak sela
lu pria. Aisyah, seorang ibu tiga anak setiap hari menggembala kambing. Di kala hari raya kurban, ia akan memetik panen terbesarnya. Hasilnya ditabung dan untuk biaya sekolah anak-anaknya. Gembala pun amat besar jasanya. Peluh yang mengalir dari tubuh mereka memudahkan kita mengkonsumsi daging.

Read More......

Friday, April 20, 2007

Gang Sempit Kalimati


Fadhil sudah menginjak 10 tahun. Rambutnya merah oleh terik matahri. Kulitnya kulu-kulu, sorot matanya redup hampa tanpa sirat semangat. Hatinya makin tercabik acapkali berpapasan dengan anak-anak sekolah di jalan. Fadhil mengayunkan langkah kecilnya dengan lemah. Cemburunya merayu, mimpinya jauh, seperti apa dunia sekolah itu. Lupakan Dil… bisik batinnya menghibur.

Senin lalu, Fadhil tak seperti biasanya. Seorang bocah yang kadang liar, kadang lesu, dan sesekali usil. Hari itu ia riang. Ngomongnya nyerocos, ceplas ceplos dan ingin tahu. “Ini kamera ya bang. Coba foto aku bang, aku coba dong bang, aku belajar baca tadi bang”, begitulah kata-kata yang terus meluncur dari mulut jujur bocah itu.

Fadhil mulai punya aktivitas baru kini. Bersama teman-teman seumurnya yang bernasib sama, Fadhil punya tempat berteduh. Sarana yang menampung kemampuan anak-anak terabai sepeti Fadhil. Bangunan dua lanti bercat hijau yang dilengkapai fasilitas empat unit komputer dan dua mesin jahit itulah tempat Fadhil singgah. Namanya Rumah Singgah Anak. Berlokasi di tengan permukiman kumuh dan padat di Kampung Kalimati, Rawaterate, Cakung, Jakarta Timur.

Menurut Direktur Program Dompet Dhuafa, Kusnandar, Rumah Sahabat Anak sebagai sarana berteduh bagi anak-anak kurang mampu yang hidup di tempat-tempat kumuh dan padat.

“Tempat ini dimanfaatkan 200 lebih anak-anak. Mereka mayoritas anak-anak tidak sekolah dan putus sekolah. Mereka butuh ruang untuk bermain dan belajar. Juga perlu pendampingan dan pembekalan keterampilan. Mereka tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal karena keterbatasan ekonomi”, terang Kusnandar usai peresmian Rumah Sahabat Anak, Senin (16/4).

Pemandangan mengharukan terlihat saat Rina (14) yang belum pernah sekolah mampu membuat desain cover bulletin dengan program Photoshop. Tak tampak kekakuan gerak jemarinya dalam mengolah layout.

“Sebelum ada sanggar ini, aku sering mengisi hari-hari dengan membantu orang tua dan membuat baju-bajuan untuk boneka barbieku. Dulu aku hanya bermimpi pingin bisa main komputer. Sekarang angan-anganku terwujud, aku malah bisa membuat desain”, kata Rina.

“Walau aku tidak sekolah seperti anak-anak lainnya, tapi aku yakin akan jadi orag yang sukses suatu saat nanti”, imbuh putri pasangan Mutiati dan Mulyadi asal Kediri, Jawa Timur ini percaya diri.

Sejak Rumah Sahabat Anak ini dibuka, menurut Sahrozi, ketua Sanggar Puspita, belajar komputer banyak menarik minat anak-anak. Saking banyaknya peminat, Sahrozi membatasi program pelatihan komputer untuk sementara diutamakan buat anak-anak usia 11 sampai 18.

“Jumlah komputer baru ada empat, kalau tak dibatasi hasilnya nanti nggak maksimal. Sebagian lain anak-anak bisa belajar menjahit dan membuat souvenir. Hasil karya tangan anak-anak ini sudah mulai dipasarkan. Hasilnya juga buat membiayai kelangsungan pendidikan di sini”, kata Sahrozi sembari berharap ada donatur lain yang peduli.

Program lain yang meramaikan aktivitas di Rumah Sahabat Anak ini meliputi, kursus bahasa inggris, teater, musik, menari, dan fotografi. Sahrozi hanya berharap, aktivitas di rumah panggung yang sederhana ini, menjadi sarana anak-anak yang tak mampu mengenyam pendidikan memiliki gambaran masa depannya kelak.

“Bukankah setiap anak punya hak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan. Tetapi kemana itu akan kami cari. Semua ini hanya mimpi bukan?” celetuk Ranu (14) menyentak hati. Ranu sekadar menyuarakan jerit batin generasinya yang senasib.

Read More......

Goh Chok Tong Terpikat Wakaf

Rasanya seperti tersedak mendengar ucapan tegas dan serius dari Menteri Senior Singapura, Goh Chok Tong. Keinginannya menjadikan Singapura sebagai pusat ekonomi dunia mungkin sudah lumrah sebagai tujuan. Tetapi jika cita-cita itu akan diwujudkan dengan menjadikan Wakaf sebagai salah satu penopangnya, itulah yang mengejutkan.

Dalam perhelatan wakaf tingkat internasional bertajuk International Waqf Conference 2007 (IWC 2007) di Singapura, 6 – 7 maret lalu, Goh Chok Tong juga menegaskan keinginannya menarik dana-dana wakaf dari negara lain untuk dikembangkan di negaranya. Tak pelak, kita hanya mengelus dada. Mesem kecut, bagaimana di negeri yang muslimnya minoritas, hanya 15 persen, wakaf mendapat perhatian serius dari negara.

Sebaliknya, di Indonesia yang mayoritas muslim, wakaf malah tersisih sebagai tawaran solusi membangun ekonomi orang miskin. Wakaf sekadar wacana kecil yang gengsi untuk dibahas. Negeri ini gemar mencari jalan pintas dengan berutang dan menggadaikan tanah air beserta manusianya. Padahal, dengan sejuta potensinya, wakaf di Indonesia sangat mendukung sebagai instrumen penguatan ekonomi. Ironi, justru Goh Chok Tong yang kepincut ingin serius mengelola wakaf.

Singapura, sebagai negara dengan wilayah amat kecil, kekuatan ekonominya telah melesat jauh meninggalkan Indonesia. Maka jangan menyesal jika dalam beberapa tahun kedepan, wakaf akan menjadi kekuatan ekonomi di negeri yang oleh sebagian orang dijuluki sebagai Israel Asia ini. Dan kita harus bersiap menjadi penonton yang baik untuk kemudian mengirim delegasi study banding ke kampung
Lee Kuan Yeuw.Sebagai contoh, dukungan pemerintah Singapura terhadap wakaf, mereka memberikan kebebasan pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) untuk mengelola wakaf. Tanpa campur tangan apalagi mempersulit. Hasilnya, MUIS mampu mengelola wakaf dengan hasil yang membuat kita berdecak. MUIS membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (WAREES). WAREES merupakan perusahaan kontraktor yang juga menjadi konsultan manajemen dan bisnis guna memaksimalkan asset wakaf.

Beda Pendapat

Pada ICW 2007 yang diprakarsai MUIS ini dihadiri 155 peserta perwakilan dari 17 negara. Amerika, Australia, Turki, Mesir, Jepang, Filipina, Arab, Trinidat, Iran, Kuwait, Indonesia, Malaysia, Brunei, Palestina, Afrika Selatan, Bosnia, dan Sudan. Tujuan dari konferensi ini untuk menuju sinergi antar lembaga wakaf lintas negara dalam pengelolaan wakaf.

Namun dalam acara ini terdapat dua pendapat berbeda mengenai pengelolaan dan pemanfaatan wakaf. Hal ini mengemuka setelah Prof. Dr. Munzhir Kahf, seorang pakar dan konsultan wakaf dari Amerika menyampaikan dua pandangannya tentang wakaf.


Pandangan itu, Pertama, wakaf adalah lembaga independen yang tidak berada di bawah pengaturan pemerintah.
Kedua, pengembangan wakaf digunakan hanya untuk kegiatan sosial dan micro finance dan tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang murni bisnis. Yakni hanya pemberian modal kerja kepada kaum dhuafa untuk mengubah status ekonomi mereka dari dhuafa menjadi aghniya (orang kaya).

Munzhir Kahf mengkritik beberapa negara yang menjadikan lembaga wakaf berada di bawah kendali pemerintah. Menurutnya, wakaf adalah dana filantropi. Berbeda dengan dana zakat yang hukumnya wajib. Dana zakat karena wajib maka dapat diatur oleh pemerintah, tetapi dana wakaf yang merupakan amalan sukarela tidak bisa diatur oleh pemerintah. Pemerintah hanya menjalankan fungsi regulasi dan pembinaan. Hakikat wakaf yang bersifat kesukarelaan, pengelolaannya cukup diserahkan kepada masyarakat, baik perorangan maupun kelembagaan.


Atas pemaparan ini, Munzhir Kahf mendapatkan dukungan sekaligus penolakan. Beberapa negara seperti Mesir, Singapura, Arab dan lain-lain berpendapat bahwa tidak masalah apabila wakaf dikelola oleh negara. Syaratnya negara tersebut amanah dan mempunyai itikad baik dalam pengelolaannya, seperti yang dilakukan pemerintahan Singapura, Malaysia, dan Mesir.


Juga Turki, Iran, dan Arab yang lebih berkonsentrasi mengembangan wakaf untuk kegiatan bisnis seperti membuat pabrik, hotel dan lain-lain. Demikian pula Bosnia dan Afrika Selatan yang mengembangan harta wakaf melalui sukuk atau obligasi syariah.


Di negara-negara tersebut pengelolaan wakaf berada di bawah naungan langsung pemerintah. Pengelolaannya tidak mesti selalu sosial dan micro finance. Wakaf dapat digunakan untuk kegiatan investasi bisnis dengan syarat bisnis yang dijalankan tidak bertentangan dengan syariah. Tetapi, keuntungan dari investasi harus disalurkan kepada mauquf ’alaih atau orang yang berhak menerimanya.


Namun, hal demikian bisa dilakukan jika jumlah orang miskin di suatu negara sedikit. Indonesia? Dengan jumlah orang miskin yang masih meruyak, Direktur Tabung Wakaf Indonesia (TWI), Herman Budianto yang turut dalam konferensi itu berpendapat agar wakaf dikelola swasta, sementara pemerintah bertindak layaknya pemerintahan Singapura. Menjadi regulator yang positif.


Dalam tukar pengalaman mengelola wakaf antar negara, dari Indonesia mengambil study kasus pengelolaan wakaf TWI. Lembaga wakaf yang didirikan Dompet Dhuafa Republika. Berkaca pada TWI, wakaf di Indonesia baru sebatas untuk sosial. Seperti Wakaf pembuatan sekolah gratis, rumah sakit cuma-cuma, pembangunan masjid, dan kegiatan micro finance melalui Baitul Mal wat Tanwil (BMT).

Jangan Mengemis

Sebuah pandangan tajam meluncur dari Dr. Yahia Abdul Rahman, Chairman and Resident Shariah Advisor, American Finance House USA. Ia menekankan pentingan profesionalitas secara total dalam pengelolaan wakaf serta berfikir modern sehingga dapat mengubah mindset masyarakat dunia yang memandang sebelah mata umat Islam.

”Sudah waktunya umat Islam menunjukkan bahwa Islam adalah profesional serta modern yang tidak hanya mampu mengejar ketertinggalan tetapi mampu menjadi pemimpin dunia”, tandasnya. Ditambahkannya, untuk mencapai semua itu umat Islam harus kaya dan menghilangkan budaya meminta atau mengemis. Mengemis secara individu maupun mengemis atas nama lembaga dan negara.

Dr Yahia juga menghimbau kepada para lembaga pengelola dana umat termasuk wakaf untuk menempatkan diri bukan sebagai pengemis yang mengharapkan uluran tangan aghniya untuk menyumbangkan hartanya. Lembaga semacam wakaf harus menempatkan diri sebagai mitra bagi aghniya untuk mengelola wakaf bagi kepentingan umat.

Adapun catatan penting dari konferensi wakaf dunia di Singapura kali ini, negeri Singa ini serius menjadikan wakaf sebagai instrumen kekuatan ekonomi. Bagaimana dengan kita?

Read More......

Tegaknya Kembali MI Giriloyo

“Saya mau jadi ulama,” ujar Haqi Muhammad (10) mantap, “ulama kelas internasional,” lanjut siswa kelas V Madrasah Ibtidaiyah (MI) Giriloyo I, Wukirsari, Imogiri, Bantul. Haqi lantas memamerkan kebolehannya mengoperasikan komputer di laboratorium komputer MI Giriloyo I, Kamis (19/4/07).

Cita-cita besar memang mengembang di dada bocah ndeso itu. Cita-cita yang nyaris sirna ketika gempa 5,9 SR (27/5/06) merubuhkan gedung MI tempatnya menimba ilmu. Rumahnya di dusun Karang Kulon, Imogiri pun porak poranda diguncang gempa. Seperangkat komputer hadiah orangtuanya ikut hancur. “Saya tidak mau bersekolah di tempat lain, pendidikan agamanya kurang. Tapi bagaimana mau melanjutkan sekolah di MI kalau gedungnya roboh?” papar Haqi masygul.

Kini cita-cita mulia bersemi kembali di dada Haqi, membuncah malah. Gedung MI Giriloyo kembali tegak, jauh lebih megah dibanding sebelumnya. Fasilitasnya pun lengkap dengan lab. Komputer, perpustakaan, dan mushola cantik menghias komplek MI Giriloyo yang terdiri atas dua lokal sekolah, MI Giriloyo I dan II. Semua itu berkat kerja keras Dompet Dhuafa yang mengemban amanah dari donatur untuk mengimplementasikan dana bantuan rekonstruksi bidang pendidikan. Kerja keras selama enam bulan, terbayar sudah. Pagi itu MI Giriloyo diresmikan.

Tegaknya kembali MI Giriloyo, menghapus mendung yang memayungi dusun di ujung timur Kabupaten Bantul. “MI Giriloyo satu-satunya sekolah tingkat dasar yang dekat dengan Giriloyo, semua anak-anak sini pasti sekolah di MI, soalnya SD Negeri yang ada lokasinya sangat jauh. Kalau MI tidak mampu tegak kembali, anak-anak mau sekolah di mana?” ujar Agus Basuki (42), salah seorang orangtua murid.

Tak heran, peresmian penggunaan gedung sekolah baru disambut gegap gempita warga Giriloyo. Mereka berduyun-duyun memadati tempat yang disediakan, bahkan meluber di kiri kanan jalan masuk MI. Tiga kelompok hadroh dikerahkan menyambut undangan. Rebana pun bertalu-talu mengiring singiran, shalawat yang didendangkan dengan iringan perkusi.

“Pengen ngliat orang-orang yang sudah membantu menyemai kembali harapan di Giriloyo,” ujar Mbah Semi (72) yang setia berpanas-panas menyambut undangan. “Anak saya lulusan MI, nanti cucu kalau sudah besar juga mau saya sekolahkan di sini,” ujar simbah dengan mata berbinar.

“Pak, boleh ndak komputernya dinyalakan?” tanya Haqi dan kawan-kawan yang bergerombol di lab. komputer. Tak tega melihat antusiasme mereka, relawan Dompet Dhuafa pun mengijinkan komputer dihidupkan. Oops.., tiba-tiba listrik padam. Tak kuat menahan beban. Padahal di podium, sedang dibacakan sambutan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ngapunten (maaf) ustadz.., maklum anak-anak...

Read More......

Friday, April 13, 2007

Etos Dalimin

Dalam babak etos Dalimin, ada cermin untuk berkaca. Yakni semangat kemandirian. Tak menyerah oleh tempaan alam nan keras dan lingkungan yang tak nyaman.

Meninggalkan kampung halaman sungguh catatan kehidupan yang kadang menyesakkan. Terlebih jika kepergian itu lantaran diusir oleh kemiskinan. Pilihan pahit mesti ditelan. Suka atau duka. Perubahan “radikal” harus ditempuh untuk memangkas rantai kemiskinan. Jika terpenggal, terjadilah perbaikan generasi. Sebaliknya jika pilihan itu gagal, maka kemiskinan akan bestari abadi.

Jalan meralat generasi agar tak terus terpuruk ini pernah ditempuh Dalimin (50). Pergi dari tanah tumpah darahnya di Bantul, menjadi catatan memilukan dalam sepanjang hidupnya. Bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil, ia hijrah ke bumi Lahat di Sumatera Selatan sebagai transmigran.

Bersama 600 KK lainnya dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, Dalimin mendiami rumah kayu 5x 6 meter. Kala itu, 1982, SP II Bumilampung, Margamulya, Kikim Timur, Lahat, masih dikepung belantara. Hingga kini seramnya juga masih tampak. Malah menurut sebagian orang, Lahat distigma sebagai kampung para bandit dan pencoleng.

“Hindari melintas pada malam hari di Lahat jika menempuh perjalanan ke Sumatera”, wasiat seorang sopir truk lintas Sumatera dalam perbincangan kecil di sebuah rumah makan di Muara Enim. Menurut sopir yang mengaku pernah menjadi korban bajing loncat ini, jalur Lahat dan Tebing Tinggi yang sudah bertahun-tahun dihajar jalan rusak menjadi wilayah bronx.

Tetapi bagi Dalimin yang telah berbulat hati, cerita-cerita seram macam itu tak menyiutkan nyali. Baginya hutan belantara, pencuri, perampok, dan pembunuh hanyalah kerikil kecil dalam meniti terjalnya kehidupan. Ia bisa sirna oleh pikiran dan prasangka positif manusia. Karena horor yang paling menakutkan dalam kehidupannya adalah kemiskinan.

Perlahan, tekun, dan ulet Dalimin mulai melawan “hantu” itu. Sosok yang membayangi suram nasib anak cucunya, sejak di Bantul dulu. Dalam kurun 25 tahun, ia telah membuktikan ketangguhannya. Sementara dari 600 KK yang datang bersama Dalimin membabat belantara Lahat pada 1982, tak lebih dari 20 persen yang tersisa.

“Banyak yang tak bertahan sampai lima tahun di sini. Mereka pulang ke Jawa atau pindah ke tempat lain. Sekarang kampung ini banyak dihuni oang-orang baru. Lumayan menambah jumlah jiwa dan desa lebih semarak”, kata Dalimin.

Etos Dalimin yang membumi pun berbuah hasil. Kini ia menepis anggapan jika kehidupan orang transmigran selalu identik dengan ketertinggalan. Benar memang, hidup di pedalaman terputus segala akses. Minus teknologi informasi, sarana pendidikan, dan terpenggal fasilitas transportasi. Selain tidak ada kendaraan umum, infrastruktur jalan yang hancur menjadi bumbu keperihan lainnya.

“Ini lebih baik daripada kami tetap tinggal di kampung dengan lahan sempit dan sumberdaya alam yang terbatas. Kami masih bisa makan dengan memanfaatkan lahan yang luas. Semua tergantung tekad kita, mau mengubah nasib apa tidak”, ujar Lilik Sumantri (40) ketua RT 10/3 Margamulya asal Tasikmalaya.

Serba Keterbatasan

Seperti diakui Dalimin dan Lilik Sumantri, hidup di pedalaman sebagai transmigran memang serba terbatas. Malah, jika kita silaturahim ke dapur mereka, rasanya sulit meraba-raba bagaimana Dalimin dan komunitasnya bisa survive. Mencukupi air bersih dengan menampung air hujan dan terancam kekeringan tatkala kemarau melanda. Juga berjaga di ladang siang malam untuk menghalau ancaman babi hutan yang merusak tanaman mereka.

Hidup yang demikian, mutlak dibutuhkan keberanian, ketangguhan, dan keuletan. Dengan itu Dalimin bisa menyekolahkan tiga anaknya di Yogyakarta. Membekali mereka dengan ilmu dan keterampilan dan memintanya pulang kembali ke Lahat usai ilmu diraih. Anak-anaknya dikirim keluar dari pedalaman transmigrasi tidak untuk menjadi orang sukses di perantauan. Tetapi diminta membawa hasil belajarnya di ranah rantau untuk membangun kampungnya kini yang masih tertinggal.

Dalimin membagi semangat dan visi hidupnya pada para transmigran lain. Agar pilihan bedol desa dulu tidaklah sia-sia. Meraih apa yang dicita-citakan dan memperbaiki nasib agar lebih baik. Sebagian ada yang setuju dengan gagasan Dalimin. Namun banyak juga yang ragu bahkan mencibir. Bagaimana memikirkan visi, bertahan sehari saja amat berat.

Dalimin pun menguji diri. Di kampung yang dikepung hutan karet dan sawit tiga anak Dalimin menjadi entrepreneur. Membuka kursus elektro dan membuka konveksi. Banyak dari warga lokal, warga transmigran, bahkan dari kota lahat sendiri bertandang ke kampung Dalimin. Membuat desa yang gulita dikala malam hari itu menjadi hidup dengan aktivitas. Serta mempelopori berdirinya pesantren dan madrasah yang menjadi tumpuan pendidikan anak-anak di desa itu.

Dalam babak etos Dalimin, ada cermin untuk berkaca. Yakni semangat kemandirian. Tak menyerah oleh tempaan alam nan keras dan lingkungan yang tak nyaman. Hidup serba terbatas, bahkan terisolasi bukan menjadi alasan untuk mengelak dari tempaan kemiskinan. Hantu bernama kemiskinan itu mesti diusir hingga titik nadir.

Etos-etos yang membumi ini hendaknya menyemai di sanubari semua kita. Menginspirasi para pemimpin dan elit dalam menata negeri. Keterbatasan, bukan alasan orang tumpul kreatif. Menyerah pada keadaan dan membiarkan diri terpuruk. Kita kerap menghakimi minimnya fasilitas dan kemudahan jika tujuan yang hendak dicapai gagal. Pun kita kerap takut hidup dalam keterbatasan dan tak tertantang menggapai asa dan cita-cita dengan kekurangan itu.

Dalam kekinian, etos Dalimin layak menjadi nuklir perubahan budaya kemandirian. Dalam serba keterbatasan ia mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di tempat tanahnya berpijak untuk membalik kehidupan lebih sejahtera. Sebagaimana ia berkata pada Sabtu lalu (7/4) saat bersua di desanya.

“Dulu orang seperti kami selalu dibilang melarat. Sekarang silakan lihat kami, setelah duapuluh empat tahun mengolah alam tempat kami tinggal, hasil bumi Lahat membuat kami sejahtera. Negeri ini kaya, tergantung bagaimana kita mengolah dan mengelolanya”, tandas mitra pemberdayaan Kampoeng Ternak Dompet Dhuafa Republika ini sumringah.

Read More......

Ranah Minang Terguncang Gempa


Ranah Minang diguncang gempa, Selasa (6/3). Bumi mendadak retak, belahannya mengular dari Solok, Tanah Datar, Padang Panjang, Agam, hingga Pariaman. Tapi suara perih itu mendadak redup oleh terbakarnya pesawat Garuda yang hangus di Bandara Adi Sumarno, Yogyakarta. Sesak duka korban gempa redup oleh gemetar takut para tokoh terkenal yang terguncang di dalam pesawat itu.

Entah mengapa, ribuan korban gempa yang terguncang jiwanya mendadak redup di pemberitaan. Ekposnya kecil. Apa sebab? Wajah luluh lantak hanya tampak di pinggiran jalan provinsi yang membelah Solok. Atau bagian-bagian kecil yang tampak umum. Entahlah, saya juga tak paham musab ini. Bahkan heran akan minimnya bantuan kemanusiaan untuk korban gempa. Kalau toh ada banyak yang focus pada logistik.

Sayangnya, logistik menjadi kurang terlalu dibutuhkan. Mengingat Sumatera Barat masuk kategori daerah hijau. Dampak gempa yang mesti dapat perhatian serius adalah pendidikan. Mayoritas bangunan sekolah dasar di empat Kabupaten yang dilalui jalur gempa rusak. Kalu toh tak sampai roboh, retak bangunannya mengancam keselamatan anak-anak.

Sebulan saya di Sumbar ingin berbagi oleh-oleh dan menuangkan cacatan perjalnan. Salah satu yang berkesan, saat membangun sekolah darurat (bukan sekolah tenda) yang rampung dua hari untuk satu sekolah yang terdiri dari enam kelas. Nyaman? Pasti lebih baik ketimbang belajar di bawah tenda. Lihatlah foto-fotonya:

Read More......

Anak-anak Puncak Merapi


Anak-anak lereng Merapi Agam, Sumatera Barat sedang bermain di luar jam sekolah mereka. Tidak hanya sekolahnya yang rata dengan tanah, rumah-rumah di perkampungan itu mayoritas hancur. Tempatnya yang berada di puncak gunung membuat bantuan sulit masuk. Di Jorong yang mayoritas warganya bertani tebu ini sekolah darurat juga dibangun di SDN 17 Gobah Bukit Batabuah Candung Agama.

Read More......

Belajar dan Bermain

Belajar dan bermain di sekolah darurat SDN 31, X Koto, Singkarak, Solok. Sekolah asli mereka kini tinggal reruntuhan puing. Belum ada keputusan dari dinas pendidikan Solok, kapan sekolah permanen akan dibangun. Tapi tak terpengaruh fasilitas kan? Dalam kondisi darurat generasi pendidikan tak boleh putus. Masa depan anak-anak harus dapat prioritas.

Read More......

Sekolah dan Rianglah


Aksi Sekolah Ceria sebelum jam belajar normal di mulai. Melompatlah tinggi nak! Lupakan horor gempa yang menakutkan.

Read More......

Bencana Boleh Terjadi Belajar tak Boleh Berhenti

Suasana belajar di dalam sekolah darurat.

Read More......

Pra UAS di Sekolah Darurat

Di Sekolah Darurat Dompet Dhuafa Republika di SDN 02 Tanjung Bingkung, Sumani, Solok ujian tetap berjalan normal. Ada empat sekolah yang menginduk dan numpang ujian di sekolah ini. Mereka yang belum dapat bantuan sekolah darurat melangsungkan proses belajar di bawah tenda. Sayangnya sekolah tenda telah menelan korban di SDN 23. Seorang guru mengalami patah lengan tulang setelah jatuh tersangkut tali tenda. Sementara seorang murid di sekolah itu juga mengalami luka serius di kepala setelah tertimpa tiang tenda.

Read More......

Kubah yang Tumbang

Read More......

Bandung Bondowoso


Saya melabeli kerja relawan yang luar biasa ini dengan Bandung Bondowoso. Satu sekolah rampung dalam waktu dua hari satu malam. Siang bekerja, malam lembur. Sebelum di Sumbar, saya pernah membakar kegilaan ini saat membantu korban gempa di Yogyakarta. Hasilnya 22 sekolah berdiri. Di Sumbar, sembilan sekolah dengan ukuran 5 x 6 untuk satu ruang belajar usai dalam waktu 12 hari.

Sebuah nilai yang ingin saya catat adalah tentang kerelawanan dan team yang rela kerja Bandung Bondowoso ini. Di lapangan amat sulit mencari dan membentuk team sesolid ini. Tapi jika kerja kemanusiaan didasari rasa tulus dan ikhlas, insya Allah kita akan menemukan berbagai kemudahan di lapangan. Membuat yang mustahil menjadi nyata, istilah saya.

Tak lupa saya berterima kasih pada antv Peduli yang ternyata tertarik membangun sekolah serupa di Sumbar. Kebahagiaan kami, para relawan kami yang solid dapat mendarmakan tenaganya untuk lembaga lain. Tidak hanya untuk Dompet Dhuafa semata.

Read More......

Tawa Ceria


Tak ada yang tidak terpingkal-pingkal saat Iman Surahman menjadi mentor Sekolah Ceria. Wajah bocah-bocah Tanjung Bingkung, Sumani, Solok ini terlihat lebih cepat melupakan trauma pasca gempa. Kami menggelar program ini dua minggu di sembilan titik sekolah darurat (Solok, Tanah datar, Agam, dan Padang Panjang) yang dibangun Dompet Dhuafa.

Read More......

Dia yang Bikin Anak Ceria


Dia Iman Surahman. Tak hanya menjadi korlap aksi tapi mesti berperan ganda. Salah satunya ia ujug tombak recovery mental anak melalui "Sekolah Ceria". Acapkali beraksi, nyaris tak ada yang luput untuk tak terbahak. Wajah duka dan ketakutan sirna kala Iman mulai mengoceh dan bergerak. Alumni ISI Yogyakarta ini seakan menemukan dunianya saat bersama anak-anak.

Waktu kami sedang gencar recovery mental. Terbahak dan bahagia bersama anak-anak korban gempa, anak pertama Iman diserang Demam Berdarah. Nyaris nyawa buah hati Iman tak tertolong. Tapi saya bersyukur, meski kepulangan Iman menjenguk anaknya telat, sang putra terselamatkan. Kiranya Allah SWT membalas ketulusan Iman Surahman.

Read More......

Bersama Marinir


Pada dua minggu pertama pasca gempa, saya berdua dengan seorang teman bernama Iman Surahman menjadi utusan lembaga untuk bantuan kemanusiaan di Sumbar. Berbagai strategi ditempuh untuk merengkuh titik bencana yang menyebar dan jauh. Salah satunya kami dapat bantuan personil satu kompi Marinir (50 pasukan) yang datang langsung dari Bumi Marinir Cilandak untuk membackup operasi lapangan yang kami lakukan.

Read More......