Friday, May 11, 2007

Satu Borneo Dua Peradaban




Tidak ada barang yang terlalu istimewa dijajakan para pedagang di pasar krempyeng (pasar setengah hari) itu. Ada batu akik, kain lap, peralatan dapur, sampai hasil kerajinan tangan seperti lampit rotan dan sebagainya. Semua barang kaki lima yang umum di Indonesia ada. Tetapi orang rela datang jauh-jauh dari Kuala Lumpur, Kuching, dan Brunai Darussalam hanya untuk membeli barang-barang itu di pasar krempyeng Serikin, Serawak negara bagian Malaysia.

Orang Malaysia memang tidak menamai pasar yang 500 lebih pedagangnya asal Indonesia itu sebagai pasar krempyeng. Tetapi di Jawa, pasar yang beraktivitas setengah hari dan hanya dua kali (Sabtu dan Minggu) ini kerap disebut pasar krempyeng. Meski begitu omzet per hari setiap pedagang dapat mencapai 600 sampai 2000 Ringgit Malaysia.

Pasar Serikin hidup sejak pasar rakyat di Entikong, Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia pada tahun 2000 digusur pemerintah Indonesia. Menurut Ateng, mantan pedagang di Entikong yang kini bekerja serabutan, waktu pasar belum digusur, Entikong pusat perbelanjaan masyarakat Malaysia.

“Kami lumayan makmur berdagang di Entikong. Setelah pemerintah memindahkan zona dagang masuk ke wilayah Indonesia dengan membangunkan ruko, pembeli dari Malaysia tidak mau lagi datang. Mereka merasa tidak nyaman karena siapa mau menjamin kenyamanan mereka berbelanja. Apalagi mereka harus pakai paspor segala, ribet. Para pedagang yang jumlahnya ribuan saat itu bangkrut”, kata Ateng yang dulu sempat punya omzet 2000 Ringgit per hari.

Seorang pembeli di Pasar Serikin asal Kuala Lumpur yang tak mau menyebut namanya mengaku enggan datang berbelanja lagi ke Entikong. Menurutnya, suasana pasar kurang nyaman. Bahkan dia kerap melihat ada yang mabuk-mabukan di pasar. Selain juga rawan copet, katanya. Dia mendukung program pemerintah Malaysia yang melokalisasi pedagang Indonesia ke wilayah Serikin kini.

Di Entikong saat ini memang relatif sepi. Hari Sabtu dan Minggu tak ramai seperti tujuh tahun lalu. Bahkan pasar yang dibangun pemerintah Indonesia itu tak satupun ditempati pedagang. Karena para pedagang yang punya cukup modal memilih hijrah ke Serikin daerah perbatasan Indonesia – Malaysia yang ditempuh tiga jam dari Entikong.

Serikin telah menjadi surga para pedagang kaki lima Indonesia. Pemerintah Malaysia memfasilitasi para pedagang dengan memberikan lahan yang dibangun lapak-lapak. Sebagai kompensasi, tiap pedagang membayar 10 Ringgit per hari yang dikutip secara resmi oleh pemerintah setempat. Tidak ada kutipan liar layaknya di pasar kaki lima Indonesia yang dilakukan preman, Trantib, sampai aparat pemerintah.

“Saya sedih. Apa susahnya pemerintah saya melindungi pedagang kecil seperti yang dilakukan pemerintah Malaysia. Masak saya ini warga Indonesia tapi nasib saya diurus negara lain. Rakyat kecil seperti kami tidak perlulah pemerintah pusing-pusing ngurus cukup memfasilitasi dan melindungi,” ungkap Sudirman, penjual kerajinan perak asal Padang yang sudah tiga tahun dagang di Serikin.

Perasaan senada juga disampaikan Asep, pedagang sepatu asal Cianjur, Jawa Barat. Demikian pula Zamzam pedagang pecah belah dari Pontianak yang sampai mampu membuat dua rumah mengaku bersyukur pemerintah Malaysia memberi ruang para pedagang untuk jualan. Menurut Zamzam suasana jual beli di Pasar Serikin sangat kondusif.

“Coba lihat, suasananya. Kami aman tak banyak kutipan dan gangguan preman. Pembeli juga nyaman dengan dompet dan tasnya. Bandingkan kalau pasar ini ada di wilayah sebelah (Indonesia), siapa bisa menjamin. Tapi kadang kami juga malu, orang Malaysia sering memandang bangsa kita sebelah mata karena prilaku kita sendiri”, kata Zamzam yang punya omzet sampai 2000 Ringgit per hari.

Fasilitasi Kesenangan Rakyat

Para pedagang di atas dan teman-temannya yang kini eksis di Serikin mengalami dua tata pemerintahan yang berbeda. Meski Kalimantan dan Serawak masih satu Borneo, tetapi terjadi perbedaan peradaban yang jomplang. Wajar jika mereka harus mengagumi pemerintah Malaysia tanpa mengurangi rasa nasionalismenya pada Indonesia.

Satu meter melangkahkan kaki dari Entikong masuk ke zona Serawak, kita seperti ada di dalam mimpi. Keluar dari belantara rimba yang mengerikan masuk ke dalam sebuah negeri penuh peradaban. Sarana infrastruktur seperti jalan raya jauh lebih baik ketimbang jalan-jalan di Jakarta. Satu Borneo hadir dalam dua wajah peradaban.

Jika boleh bercanda, di Serawak juga banyak hutan seperti kalimantan. Entah apakah tata kotanya yang rapi sehingga hutan di Serawak pun terlihat seperti disisir klimis dan dipoles. Selain itu juga tidak tampak ketimpangan sosial sekalipun di Ibukota Serawak, Kuching. Perumahan penduduk punya standar sama. Demikian pula bangunan gedung pemerintah terlihat rapi dan bersahaja.

Pemandangan semacam ini jauh berbeda dengan di Indonesia. Orang Indonesia di kota maupun di desa bebas saja membangun rumah megah bak istana di antara rumah-rumah kumuh dan miskin. Orang kita juga amat bebas memamerkan harta kekayaannya di depan publik. Tak akan ada yang mengusik meski ia punya sepuluh mobil mewah dan sepuluh rumah megah. Maka wajah kapitalisme lebih mencolok di Indonesia yang miskin ketimbang Malaysia yang makmur.

Walau kita makin tertinggal jauh, tetapi Indonesia adalah surga bagi penggiat demokrasi. Siapapun boleh bicara bahkan mencerca. Jungkir balik sekalipun selama atas nama demokrasi sah-sah saja. Meski terkadang melanggar norma susila, kasar dan liar. Kebebasan semacam ini tak akan diperoleh di Malay

sia. Di pasar Serikin saja orang tidak mau menyebutkan namanya. Atau mungkin karena yang bertanya orang Indonesia. Tetapi seorang teman di Malaysia mengaku tak ada demokrasi di negeri jiran itu.

Namun begitu, pemerintah masih melayani kesenangan rakyatnya. Pasar Serikin misalnya. Pemerintah Malaysia melokalisasi pedagang dari Indonesia itu agar rakyat Malaysia terpenuhi selera belanjanya. Keamanan dijamin penuh dan rakyat merasa dilayani negaranya. Bahkan pedagang kita ikut mencicipinya. Tetapi demokrasi di Indonesia belum bisa menjawab kebutuhan itu.

Indonesia yang sudah luar biasa demokratisnya ini, hendaknya belajar pada Malaysia tata cara melayani rakyat. Untuk urusan sepele seperti pasar kaki lima, pemerintah Serawak saja mampu mencari solusinya. Hasilnya, meski harus terbang dengan pesawat dari Kuala Lumpur dan Brunai Darussalam, mereka tak enggan hanya untuk membeli serbet dapur ke Kuching.

Dari sisi budaya, untuk mencapai tata kehidupan sebanding dengan Serawak saja, memang tak cukup hanya berharap pada pemerintah. Kita mesti mulai belajar mau diatur untuk urusan yang baik. Membuang sampah pada tempatnya agar kota tak menjadi kumuh. Tertib di jalan raya dan patuh pada rambu-rambu lalu lintas. Juga belajar mementingkan kepentingan bersama ketimbang pribadi.

Pun pemerintah juga mes ti memberi teladan. Dari hal kecil, jangan korupsi seperakpun. Juga jangan sampai benar-benar niat korupsi sampai menyimpan uang di kamar mandi. Jika harmoni ini brjalan berirama, kira-kira itulah Indonesia yang beradab dan berbudaya.

Read More......

Wednesday, May 09, 2007

Mata Kemanusiaan


Baruilir, Balikpapan Barat, jelang sore yang gelap dengan rintik hujan tiada henti sejak siang hari. Di musim hujan begini, mentari seolah sepakat untuk cuma sekelebat memendar, kemudian lenyap. Langit di atas Kalimantan Timur menjadi makin pongah dengan kepekatannya, memayungi iring-iringan burung yang hendak terbang entah kemana.

Cuaca suram ini tak tampak dipandang Zaenudin (40) yang tuna netra. Di bilik kayu kecil terdengar ia bercanda dengan anak dan istrinya. Guruh menggelegar seolah diacuh, tawa buah hati yang masih bayi lebih indah ketimbang gemuruh petir yang memekakkan telinga. Sayup-sayup harmoni itu terdengar, membetot rasa ingin lebih mendekat.

Penasaran yang mengusik memaksa tangan mengetuk pintu yang sudah rombeng. Terbuka, bocah umur 6 tahun nongol membukakan pintu. “Masuk Pak”, sambutnya ramah.

Saat kaki menjejak pintu, mata mulai menyapu sudut-sudut ruangan yang sesak oleh perabot rumah tangga. Tiga anak kecil di dalam rumah itu segera rapat mendekat. Sorot matanya bening, raup mukanya yang lugu menyambut ramah. Jika pandangannya dibalas, buru-buru mulut mungilnya mesem malu.

Tak berselang lama, Zaenudin mendekat sembari meraba-raba dinding dari kamar belakang. Disusul istrinya, Astriani (32), menyembul dari ruang dapur sempit samping ruang tamu. Allahuakbar! Pekik takbir dalam hati. Astriani ternyata juga tidak dapat melihat. Sambil menggendong Muhammad Ramadani yang baru empat bulan, ia terbata-bata mendekat.

Lengkap sudah pasangan tuna netra dengan empat anak ini berhadapan di depan mata. Beberapa saat mulut terkatup rapat. Kagum dan haru membuncah saat melihat empat anak Zaenudin dan Astriani tumbuh normal, beradab, dan sopan. Tukang pijat ini pun menanyakan maksud dan tujuan kedatangan saya dan Ahmad Richard seorang teman di Kaltim.

Richard sejenak diam. Berlahan saya meraih bungkusan plastik dari tangannya. Di dalam terbungkus buku tebal untuk Zaenudin. Saya buka perlahan. Sembari mendengarkan perbincangan Richard dan Zaenudin saya sibak halamannya. Tak ada setetes tinta pun membekas di permukaan kertas tebal itu. Disingkap dari depan sampai akhir semua putih bersih.

Tiba-tiba perasaan terentak saat telapak tangan mengelus permukaannya. Kasar, hanya ada totol-totol kecil timbul. Mata terpejam mencoba konsentrasi merasai makna yang tergurat di atas kertas putih itu. Tak ada pesan tertangkap kecuali rasa kasar yang menggelitik telapak tangan. Yang dapat saya baca hanya cover depan, “Al Quran Braile”.

Saya tercenung, sejenak merenung. Segudang gundah melesak ke ceruk jiwa menghakimi ketidak bersyukuran. Karunia mata normal yang mampu melahap indahnya dunia nyaris tak kerap diajak menyorot ayat-ayat Allah yang tergores nyata di atas Al Quran. Cetakan dengan huruf hijaiyah yang nyata terlihat lebih banyak diacuhkan. Sementara totol-totol di atas permukaan kertas putih ini mencoba menuntun tuna netra memahami wahyu Illahi.

Astaghfirulah! Batin makin menjerit saat Al Quran Braile itu sampai di tangan Zaenudin. Wajahnya sumringah, gembiranya membuncah, lama senyumnya mengembang. Dia buka halaman pertama. Telapak tangannya terbata-bata meraba. Ada mesem mengawali sebelum nada indah meluncur dari rongga mulutnya. “Alif lam mim. Dzaalika al kitaabu lla raiba fiihi. Hudan lilmuttaqiin…”, al-Baqoroh terbaca nyaring oleh Zaenudin.

Duh, hati mengaduh malu. Saya membatu menatap wajah dan mulut Zaenudin yang komat kamit. Gemetar tangannya memantul pesan syukur ia mendapatkan apa yang bertahun-tahun dicari. Sementara saya tertampar malu bertahun-tahun menterlantarkan mata menyibak halaman-halaman maksiat. Dalam wajah dunia yang tak pernah ia nikmati, Zaenudin menggenggam aroma surgawi. Fasih lafadznya makin mengiris kepongahan diri yang miskin syukur.

Ramah sang istri, santun budi putra putrinya mewujudkan Zaenudin seorang ayah dan suami yang baik. Dengan mengandalkan keahlian sebagai tukang pijat, Zaenudin menjalani hidup penuh semangat. Bicara kesalehan sosial, ia malah memberi kita teladan. Sejimpit rezeki yang mampir di dapurnya akan dibagi dengan puluhan penyandang tuna netra lain yang tersebar di Balikpapan.

“Kalau ada rezeki, saya dituntun anak mendatangi teman-teman senasib. Kami punya paguyuban, hanya dengan rasa senasib seperjuangan kami dapat melalui dunia yang indah tapi gelap pekat ini”, ungkapnya mencabik hati. Terlebih saat harga-harga yang hari ini terus merambat naik, membuat orang-orang seperti Zaenudin makin terjerat.

Saat Zaenudin memikirkan nasib kaumnya, kita tergagap malu. Siapa yang memikirkan nasib Zaenudin-Zaenudin yang lain. Buta mata Zaenudin tidak menutup buta hati. Samudra kemanusiaan membentang luas di jiwanya. Sementara kita yang terang mata kerap buta hati. Mata elang pemimpin pun terkadang sekadar tajam dalam sorot bengis melumat yang tertindas. Mata-mata nanar penuh siasat mengakali yang lemah untuk bertahan agar tetap gagah.

Berjuta pasang mata melihat dunia penuh culas dengan hiasan tumpah darah peperangan. Mata-mata yang menyuburkan kejahatan, merusak tatanan, dan merobek keagungan Tuhan. Sementara Zaenudin menikmati karunia matanya dengan pesan syukur. Tidak mengumpat apalagi mencaci Sang Pemberi. Mata Zaenudin mata kemanusiaan yang mampu melihat dunia dalam tatapan keadilan dan perdamaian. “Atas pesanmu yang sarat, saya makin bersyukur Zaenudin”.

Bersyukur adalah juga berterimakasih atas nikmat sekecil apa pun. Orang yang sembelit, mesti bersyukur saat bisa buang hajat. Yang puasa, plong waktu berbuka. Yang kena asma, segera menghirup udara kuat-kuat saat kumatnya hilang. Yang matanya klilipan bersyukur tidak kebablasan buta. Yang tak punya rumah, kendaraan, usaha, dan apa saja, semuanya harus bersyukur setelah memilikinya. Dan, bersyukurlah orang-orang yang memiliki mata kemanusiaan.

Read More......

Friday, May 04, 2007

Melihat Kemiskinan dengan Mata Cacing


Entah apa yang ada di benak Cristiano Ronaldo mendengar cacian Jose Mourinho, Manajer Chelsea yang mengungkit tentang latar belakangnya. Hanya karena lahir dalam kubang kemiskinan di Madeira, Portugal dari seorang ayah yang bekerja sebagai buruh Ronaldo mendapatkan hinaan itu.


Mourinho menyebut pemain terbaik dan pemain muda terbaik Inggris itu sebagai pembohong. Mourinho berasumsi latar belakang keluarga dan asal usul kelas keluarganya yang mempengaruhi itu. “Mungkin hal itu karena masa kecilnya yang sulit, tidak berpendidikan,” kata Mourinho yang berpendidikan tinggi ini mengejek.

Kita tak hendak mengupas masalah bola. Tetapi ungkapan Mourinho yang lahir dari kelas menengah di Kota Setubal, Portugal ini menunjukkan penyekatan kelas masih abadi di belahan bumi ini. Bahkan terjadi dalam pentas sepak bola dunia yang berlangsung di Inggris. Kelas buruh dan kelas miskin, sekalipun ia mampu menatap dunia dengan prestasi, tetap saja masih dipandang rendah oleh sebagian orang.

Pun, dalam masyarakat kita. Prilaku aneh yang kadang tampak dalam keseharian orang miskin kerap dikaitkan dengan rendahnya pendidikan. Seorang pengemis, pemulung, perampok, buruh, dan kelas sosial rendah lainnya tercipta karena ia berpendidikan rendah. Tetapi kita tidak pernah mengupas kulit sebagian kalangan terdidik kita. Adakah yang menyebut tingginya orang korup di Indonesia disebabkan faktor pendidikan yang salah?

Bukankah mengemis pada negara asing itu juga pengemis dalam sekala besar yang hanya mampu dilakukan orang-orang berpendidikan. Bukankah korupsi uang rakyat itu juga perampok dan pencuri yang hanya mampu dilakukan orang-orang dengan pendidikan tinggi. Prilaku asusila di parlemen misalnya, apa bedanya dengan aktivitas prostitusi di warung remang-remang. Itu juga dilakukan kelas berpendidikan.

Wajar jika seorang copet berinisial P yang berkeliaran di Pasar Senen berkelakar, “Gua hanya lulus SMP makanya gua jadi pencopet. Kalau gua sarjana gua bisa jadi koruptor seperti pejabat-pejabat di negeri ini. Beda nasib aja, prilaku sih sama”, sindirnya ringan.

Omongan pencopet ini bisa jadi memerahkan telinga. Tetapi jika ego dikendurkan sedikit apa yang dikatakannya ada benarnya. Semua bermuara pada pendidikan yang diunggulkan menjadi tumpuan utama untuk menjawab berbagai kekusutan hidup. Pendidikan adalah jalan cerdas membasmi kemiskinan. Ironisnya pemiskinan terus dilakukan orang-orang dengan latar belakang pendidikan tinggi.

Jika demikian, ada landasan fundamental yang nyaris tak diajarkan di bangku sekolah dan kampus. Yakni nurani dan kemanusiaan. Generasi negeri ini terus dipompa bagaimana mampu melompat dalam akal dan budinya. Tetapi nurani dan kemanusiaannya tidak diasah. Wajar jika prilaku kalangan berpendidikan tinggi kita di pemerintahan misalnya, bekerja dengan nurani kering. Kebijakannya selalu menindas dan tak berpihak pada rakyat dan bangsanya.

Nasehat Muhammad Yunus
Aroma peringatan Hari Pendidikan Nasional baunya masih menyengat. Banyak artikel dan dialog di media massa menyoroti nasib pendidikan kita. Semua kritis dan sepakat untuk memajukan pendidikan di tanah air. Tetapi belum ada pendapat revolusioner sebagaimana yang dilontarkan Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian dan pendiri Bank Kaum Miskin (Grameen Bank).

“Saya bersumpah akan belajar sebanyak mungkin tentang desa. Universitas-universitas yang ada sekarang menciptakan kesenjangan hebat antara mahasiswanya dengan kenyataan hidup sehari-hari di Bangladesh. Alih-alih belajar dari buku seperti yang biasa dilakukan, saya ingin mengajari mahasiswa saya cara memahami kehiduan seorang miskin,” kata Yunus dalam bukunya berjudul Bank Kaum Miskin yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Marjin Kiri.

Bicara kemiskinan di kampung Muhammad Yunus memang tak jauh beda dengan kemiskinan di Indonesia. Sudah banyak profesor menelorkan pil ampuh untuk menyembuhkan kemiskinan di Indonesia. Tetapi bukan sembuh, kemiskinan makin parah. Mencermati ungkapan Yunus, kelihatannya kaum cerdik pandai kita belum mencebur ke dalam kubang kemiskinan sesungguhnya. Konsep yang ditawarkan baru sebatas teori-teori ekonomi elegan yang oleh Yunus dianggap sangat memuakkan.

Lebih tajam Yunus mengingatkan kita semua tentang bagaimana menyelami pendidikan dan kemiskinan. Kita sepertinya mesti sepakat bahwa yang disampaikannya itu amat cocok untuk dunia pendidikan kita hari ini.


“Saat Anda menggenggam dunia di tangan Anda dan mengamatinya dari atas laksana burung, Anda cenderung menjadi arogan. Anda tidak menyadari bahwa segala sesuatunya menjadi buram jika dipandang dari jarak yang sangat jauh. Sebaliknya, saya memilih “pandangan mata cacing”. Saya harap bila saya mempelajari kemiskinan dari jarak dekat, saya akan memahaminya dengan lebih tajam”.


Di ranah kita sendiri, semua fasilitas pendidikan, universitas-universitas berdiri megah di tengah kampung-kampung, desa, dan komunitas miskin. Semua masalah kemiskinan itu hadir nyata di depan mata saat kita keluar dari bangku sekolah dan universitas. Tetapi kita tak diajarkan mengurai yang di pelupuk mata itu. Melainkan kita dicekoki teori-teori dengan nyaman di ruang kelas.

Wajar jika produk pendidikan kita banyak melahirkan SDM dan pemimpin miskin nurani. Para pemimpin korup juga dihasilkan oleh produk pendidikan sarat teori-teori ini. Kegelisahan Yunus benar adanya. Persis sebagaimana kita kini. Dari sekian banyak gagasan brilian para pakar kita, belum ada yang mampu melahirkan gebrakan memperbaiki kondisi kemiskinan.

Sudah saatnya kita melakukan revolusi gaya belajar. Melihatlah dengan mata cacing sebagaimana Yunus menatap kemiskinan. Kita mesti mengotori seragam sekolah anak-anak dan mahasiswa kita dengan sampah dan lumpur agar nuraninya hidup. Memahami kemiskinan dengan mencicipi nasi aking dan melihat penderitaan dengan mengunjungi rumah sakit. Dengan itu generasi kita akan paham apa rasa kemiskinan, sebab, dan solusinya.


Semua itu amat mudah dilakukan, karena warna kemiskinan menghiasi dapur dan halaman rumah kita. Para cerdik pandai, pemimpin dan elit ini saatnya membutakan mata burungnya dan mengganti menatap kemiskinan negeri ini dengan mata cacing. Sangat sederhana dilakukan, jika kita ikhlas menanggalkan gengsi dan belajar menghidupkan nurani dan empati.

Read More......

Serpihan Ban Bekas

Telapak tangan Andy Prima (20) mulai melepuh. Tapi ia belum menyerah. Tangannya masih terus merobek dan memilah ban bekas untuk memisahkan antara karet dengan benang. Sejak dari pulang sekolah usai sholat dhuhur dia baru akan berhenti setelah dapat satu kilogram karet.

“Biasanya bisa sampai jam satu pagi. Kalau nggak sampai satu kilo belum sebanding dengan lelahnya”, kata murid kelas tiga SMA Nasional Bogor ini sembari menyeka keringat.
Satu kilo karet murni itu dihargai Rp 9.500. Tetapi itu belum untung bersih. Karena Andy harus membeli karet itu ke pengepulnya Rp 4.500 per kilogram. Benangnya sendiri dihargai Rp 1.500 perkilogram, itupun jika panjang benang mencapai satu meter.

Bicara lelah, tak sepadan memang antara hasil dengan perasan peluh Andy. Tetapi anak ketiga dari pasangan Acep Tauhid dan Nurma Ningsih yang tinggal di RT 03/10 Bantarjati Kaum, Bogor Utara ini harus melakukan itu agar bisa membayar biaya sekolah. Namun tetap saja ia masih punya tunggakan di sekolah.

Andy, dibesarkan dalam keluarga yang jatuh bangun dalam membangun ekonomi. Sempat ibunya yang asli Padang dan biasa dipanggil Bunda ini punya usaha warung makan. Saat usaha mulai berjalan baik tiba-tiba warung yang diberi nama Kedai Bunda di bilangan warung Jambu Bogor ini digusur. Meski terusir, orang tua Andy tak menyerah. Mereka membuka kembali di tempat lain. Sayang, pembeli sepi dan berujung pada kebangkrutan.

Sepuluh tahun berlalu, keluarga Andy mulai menyiasati hidup dengan beragam cara. Sang ayah kadang menjadi kuli bangunan. Kali lain, Acep mencari barang-barang bekas di sekitar bogor. Barang buangan seperti tas, kancing baju, benang, dan sebagainya itu sesampai di rumah akan dibersihkan istrinya.

“Saya cuci barang-barang yang dibawa bapak ini sampai bersih. Lalu saya semir kemudian saya bungkus plastik. Setelah terkumpul banyak, saya muter keliling kampung menawarkan ke orang-orang. Hasilnya sebagian untuk beli beras sisanya untuk sekolah anak-anak,” kata Bunda yang nyambi buruh cuci ini sambil mengaku hidup tak perlu banyak gengsi dan malu.
Bahkan Bunda selalu menyemangati Andy agar tetap sekolah dan tak perlu malu sambil kerja. Kadang usai kerja mencuci Bunda membantu Andy mengupas ban bekas. Tetapi jika tahun ini Andy lulus Bunda berharap Andy tidak merantau.

“Dua kakak Andy sudah tiga tahun merantau ke Sumatera. Belum pernah kirim kabar. Saya bilang Andy, cari usaha di sini sajalah nak nanti kita kerja sama-sama. Apa ajalah yang penting halal”, harap Bunda sendu.

Andy remaja yang terlihat kalem ini punya mimpi sederhana. Jika tahun ini lulus ia ingin menjadi wiraswasta. Apalagi Andy dihadapkan pada kondisi hidup yang makin sulit. Para buruh pabrik di sekitarnya banyak yang kena PHK. Malah para karyawan pabrik yang masih kerjapun banyak yang juga nyambi menjadi pengupas ban. “Mereka banyak juga yang punya sampingan ngupas ban. Tapi beda dengan saya, mereka bisa beli sampai satu kwintal. Kalau Andy paling banyak lima kilogram”, terang Andy sembari berharap punya modal agar bisa membeli ban dalam jumlah besar.

Kemanapun cerita hidupAndy kelak akan berujung, tetapi anak itu punya semangat kemandirian luar biasa. Demi sekolah, ia tak gengsi bekerja sekeras itu. Pernah pula ia jadi pengamen untuk membayar SPP. Sebuah pesan yang layak ditiru dari keluarga Andy adalah tentang kebersamaan dan kemandirian. Ayah, Ibu, dan anak itu berpadu tangan menghadapi gempuran kemiskinan.Meski tangan melepuh, peluh bercucur, dan nasib tak jua berubah keluarga Andy punya mutiara yang tak tentu ada di dalam keluarga lain. Yakni, semangat pantang menyerah!

Read More......