Friday, June 15, 2007

Demi Ijazah Anakku...


Suara gaduh pukul 21.30, Kamis 7 Juni itu mengusik ketenangan Ety. Setelah seharian memeras peluh, lelahnya tak tertahan. Tetapi keributan di luar rumah memaksanya bangkit dari tempat tidur dan mendorong rasa ingin tahu Ety tentang keributan itu.

“Malam-malam ngapain pada bertengkar ganggu orang istirahat aja”, teriak Ety sambil keluar dari dalam kontrakan sempit yang di dalamnya amburadul. “Mbak Ety kebakaran! Cepat selamatkan diri!” teriak salah seorang tetangga sembari berlari. Ety terbelalak, ia segera sadar lalu balik lagi ke dalam kontrakan yang didalamnya empat anaknya sedang tidur lelap.

“Nak bangun! Bangun! Kebakaran!” teriak Ety membangunkan empat anaknya. Kelelahan setelah seharian bekerja membantu ibunya, anak Ety tak juga bangun. Di luar rumah, gemuruh jilatan api mulai mendekat. Warna kemerahan dan asap sudah mulai masuk ke ruang kontrakan Ety. Pucat pasi dan panik tampak jelas di raut wanita yang sejak 1992 ditinggal pergi suami ke Medan tanpa kabar berita itu.

“Butet! Ayo bangun nak! Kebakaran! Kebakaran!”, teriak Ety panik sambil matanya nanar mengawasi arah jilatan api. Keempat anak Ety hasil pernikahan dengan lelaki asal Medan itupun sontak bangun. Tanpa berpikir menyelamatkan barang-barang berharga, mereka segera lari sekencang-kencangnya menjauh dari kontrakan. Ety terengah-engah. Dalam kepanikannya, tiba-tiba terlintas harta paling berharga dalam hidupnya.

“Ya Allah, ijazah anak-anak bagaimana”, guman Ety. Tanpa pikir panjang ia lari masuk kembali ke dalam kontrakan yang sudah dikepung api. Ety tak peduli lagi dengan jiwanya. Dug! Kepala Ety terbentur dinding kontrakan yang meninggalkan bekas memar dan biru di keningnya. Ety mengacak-acak isi lemari. Dia berpacu dengan kobaran api yang sudah melalap atap kontrakan. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Tanpa sadar api mulai terasa panas merapat ke badannya. Bersamaan itu pula ia segera menyambar ijazah. Selamat! Ety lari kencang menghampiri anaknya yang menunggu cemas sembari bertangisan melihat perjuangan ibunya.

“Kalau malam itu saya terpanggang api, demi menyelamatkan ijazah anak-anak saya rela”, kenang Ety berkaca-kaca. Begitu bernilainya selembar kertas itu daripada nyawanya sendiri. “Saya ini miskin, bodoh, tidak sekolah. Nasib ini harus berubah pada anak-anak saya. Siang malam saya kerja keras agar anak-anak bisa sekolah. Ijazah itu sangat besar artinya”, tuturnya. Jago merah telah menghabisi semua yang dikumpulkan Ety dengan susah payah. Hanya pakaian di badan dan ijazah kini harta yang dimiliki.

Ibu tangguh ini punya nama lengkap Ety Alias Daroyah. Lahir di Tegal 42 tahun lalu. Sejak kecil Daroyah kerap didera sakit-sakitan. Ia tak ingat sudah berapa kali namanya diubah oleh orang tuanya agar Daroyah bisa bertahan hidup. Ganti nama bagi orang desa, diyakini sebagai alternatif penyembuhan. Di puncak kritis, ibunda Daroyah ingat Ety, nama kakak Daroyah yang telah meninggal karena sakit. Akhirnya Daroyah diganti nama dengan Ety. Jika jodoh ia akan hidup, jika memang takdirnya, orang tua merelakan Daroyah kecil menyusul kakaknya.

Kepasrahan itupun terjawab. Ety tetap bugar hingga kini. Ia telah menjelma sebagai sosok Ibu tangguh. Tak menyerah oleh kemiskinan yang menghimpit. Ia bertahan dan berjuang melawan. Membesarkan dan menyekolahkan anak-anak seorang diri. Buruh nyuci dilakoninya hingga kini. Pernah ia punya lapak minuman ringan di bilangan kampus Universitas Tarumanegara, Grogol. Tapi malang bagi wanita itu, lapaknya dipalak preman. Gerobak dan isinya direbut paksa penjahat itu. Ety tak patah arang, ia terus berjuang dengan satu tujuan menyekolahkan empat anaknya.

Itulah mengapa ijazah itu lebih berharga dari nyawanya. Ety meyakini selembar kertas itulah harta paling berharga bagi masa depan anak-anaknya. Jika itu terbakar betapa berat Ety mengulang perjuangan dari awal. “Saya rela mati asal ijazah bisa saya selamatkan. Saya tidak ingin anak-anak mewarisi kemiskinan ini. Apalagi kalau gak punya ijazah kata orang-orang susah cari kerja”, katanya sembari menggoreng tempe. Senin lalu, Ety masih menjadi relawan di Posko Baznas – Dompet Dhuafa. Keahliannya memasak disumbangkan untuk membantu para korban kebakaran lainnya. Demikian pula empat anak Ety juga terlibat membantu di posko dapur umum itu.

Kebakaran di Kampung Guji Baru RT 06/02 Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu menyisakan kepedihan di benak Ety. Tak hanya ia, 155 kepala keluarga lainnya juga kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Di antara bendera kampanye Pilkada DKI yang bertebaran di lokasi kebakaran, Ety dan korban lainnya hanya bisa tersenyum getir.

Di sela kenangan pahitnya, sesekali wajah Ety berbinar. Semangatnya terbakar tatkala berbincang pendidikan anak-anaknya. Ia yakini dengan doa, anak-anak Ety kelak dapat menjejak bangku pendidikan lebih tinggi.“Alhamdulillah ijazah selamat. Saya tenang semoga anak-anak bisa melanjutkan sekolah lagi’, ujar Ety yang hingga kini belum tahu mau tinggal dimana.

Read More......