Friday, February 29, 2008

Udang di Balik Pertamax

Oleh: Erie Sudewo

Empat tahun silam, dahi mulai berkerut saat Petronas bangun SPBU di Jakarta. SPBU Shell yang lebih dahulu hadir saja lengang. Sebab siapa rela beli bensin mahal. Tiap melongok, cuma satu dua mobil yang isi bensin. SPBU Shell terbaru di tol Jagorawi, pun tak kalah sepi. SPBU Petronas di jalan Ir. Juanda Ciputat atau di Cibubur, yang ramai tempat jajannya. Namun Petronas tetap ‘maju tak gentar’. Saat ini yang tengah dibangun, di antaranya di jalan Veteran Tanah Kusir Bintaro.


Ada udang, ada batu. Itu biasa. Ada udang di balik batu, itu juga biasa. Yang tak biasa, Shell buang-buang dollar, Petronas hambur-hambur ringgit. Pebisnis kecil, jauh-jauh hari pasti sudah KO. Bertahun-tahun cuma biayai, jelas tak sehat. Soalnya, mengapa tetap mentereng? Malah Petronas terus merangsek dengan kinclong warna hijaunya. Sedang Shell tetap menguas corporate color-nya yang merah kuning.

Misteri itu akhirnya tersibak juga. Awal 2008 pemerintah bertekad. Mulai Mei’08, Premium berangsur ditiadakan. Pemerintah katanya tekor terus. Subsidi BBM 2007 naik Rp 56 triliun. Tahun 2006 subsidi cuma Rp 46 triliunan. Total subsidi BBM 2007, jadi Rp 102 triliun.

Maka pemerintah harus rasional soal subsidi. Yang jadi soal, jika hendak lepas subsidi, mengapa Premium di-Pertamax-kan? Ini dua soal berbeda. Melepas subsidi, bukti pemerintah gagap. Bukan seolah, pemerintah benar-benar tak mau tanggung jawab. Lantas ubah Premium ke Pertamax, ini jelas bisnis. Usai digoreng, udang di balik batu memang gurih. Jika Premium dihabisi, yang termurah tinggal Pertamax. Siapa untung? Shell dan Petronas tepuk tangan. Sebab bensin yang mereka siapkan memang di kelas itu. Jika hingga sekarang mereka tak laku, ini cuma soal waktu. Investasi image perlu. SPBU mereka memang lebih keren tertata.

Ruaaar biasa. Ini strategi yang hanya bisa dilakukan pemain raksasa. Terutama lobby politiknya yang tak dimiliki sembarang pebisnis. Jika anda asing, anda bakal dapat full services dan privellege sana sini. Sayangnya kulit anda (maaf) ‘sawo busuk’. Jika ingin dapat segalanya, sehebat apapun anda tetap musti berkolaborasi dengan asing. Jika tak ada apa-apanya, mustahil non Pertamina bisa buka SPBU di tol Jagorawi. Jika bukan dengan politik, tak mungkin penambang-penambang asing begitu liar mereguk minyak Indonesia. Tetesannya yang tersisa seperti di Blok Cepu, itulah yang kini diperebutkan pemain lokal.

Soal ‘bisnis politik’, sejarawan Onghokham telah ingatkan. Dalam berdagang, lobby VOC selalu dibayang-bayangi meriam. Mahathir Muhammad juga tegaskan. Bahwa cara berdagang mereka berbeda dengan Asia. Mereka tak segan kerahkan segala cara dan sumber daya. Dalam merubah paradigma, mindset-nya telah ditanam dengan pendidikan. Untuk kuasai sumber daya, mereka invest utang sebanyak-banyaknya. Karena tak kuat bayar, konsensi pun dituntut. Maka ada pertanyaan usai krisis 1998. Mengapa bantuan untuk pemilu hibah, sedang untuk fakir miskin utang?

Dalam mengerat kekuatan negara, globalisasi diusung dengan pendekatan multinational corporate. Professional dan entrepreneurship, begitu biduk pemandunya. Kerjasama dengan asing tak salah. Asal bagi hasilnya adil. Franchaise pun tak bisa dicegah. Yang untung dan buntung pasti ada. Di sektor pemberdayaan, NGO telah lama mengakar. Dengan pendekatan kultural, capacity building tak lagi asing. Bahkan bagi pemulung sekalipun. Pencerahan memang telah terjadi. Tetapi berapa banyak yang mafhum hidden agenda-nya.

Dalam menguasai sumber daya, mereka yang asing memang harus bersiasah. Itu sah, lumrah dan wajar saja. Yang tak wajar, kita. Dalam pandangan awam, mengapa kita yang punya sumber daya tapi cuma dapat porsi kecil. Kita penuhi kebutuhan mereka, tapi tak peduli untuk rakyat sendiri. Jika ada Hugo Chavez atau Mahathir di Indonesia, episodenya mungkin lain. Namun apa yakin? Dengan carut marut peta politik kita, mungkin Hugo Chavez dan Mahathir pun tak jadi apa-apa di Indonesia. Keduanya pasti habis diakali dan dikhianati.

Sebagian pejabat dan politikus kita, punya kesamaan tabiat. Jabatan dan kedudukan adalang peluang. Tanggung jawab, no way-lah. Begitu asing masuk, ini jalan tol maksimalkan peluang. Maka set up-nya jauh-jauh hari. Yang sadar, undur diri seperti saat Indosat dibeli Temasek. Ini idealisme. Yang mendukung ada. Yang mencibir, mungkin lebih banyak lagi. Saat KPPU ketok palu, pro dan kontra meletup. Meneg BUMN tak sependapat. Sebagian karyawan juga protes atas keputusan KPPU. Ini jadi cermin. Problem kita tak satu bahasa. Antara tanah air dan ‘zona nyaman’, kini seperti air dan minyak. Jika anda ingin bela tanah air, siap-siaplah ditertawai. Katanya: ‘Hari gene masih ada Pahlawan Kesiangan’. Mau coba?

Read More......

Kampung Unik di Tapal Kuda

Sawir, masih ingat kuat pada kebaik an seorang pria yang naik becaknya. Meski wajahnya tak mampu diingat detail, tapi kemuliaan hati orang itu menancap kuat. Kejadian itu, sudah satu tahun berlalu. Tiba-tiba, Rabu pagi l alu, ia mengingatnya kembali dan bercerita ikhwal kisahnya.


Sawir, dengan usia yang mulai lanjut, masih mengayuh becak di pusat kota Situbondo, Jawa Timur. Bapak lima anak berdarah Madura itu, mulai gelisah, setelah mangkal seharian hanya dapat Rp 4.000,-. Menjelang Magrib, seseorang menghampirinya untuk mengantar cari hotel. Akal bulus Sawir berbisik. Ia menawarkan jalur yang berputar kepada calon penumpangnya. Tujuannya, Sawir mau menggandakan ongkos. Jika jalur biasa cukup Rp 5.000,-, Sawir meminta penumpangnya membayar Rp 20.000,-. Sepakat, Sawir pun mengajak penumpangnya
berputar-putar menuju hotel yang dituju.Sampai di hotel, Sang Penumpang memberinya lembaran Rp 50.000,. Saat Sawir kebingungan tak punya kembalian, orang itu berucap, “Kembaliannya buat bapak saja. Terima kasih ya?”

Sawir hanya mengangguk, romannya bersalah. Ia terpukul telak. Hatinya berkecamuk, antara senang dan rasa bersalah. Sesampai di rumah, ia serahkan uang itu pada istrinya. Lumayan, Rp 50.000,- bisa untuk hidup cukup selama satu pekan. Tapi rasa bersalah itu, terus melekat. Ia telah memetik hikmah dari sebuah transaksi yang tidak jujur.

Ia mengurai kembali akal bulus itu, sembari duduk di pelataran bekas rumahnya yang hilang, dibawa arus banjir bandang yang melanda Situbondo, Sabtu (9/2). Rumah yang ia bangun dari peluh mengayuh becak, lenyap begitu saja. Barang dan perabotan juga tak tersisa. Diam diam, ia berbisik dalam hati. Mungkinkah akan terulang, kejadian Rp 50.000,- itu, pada nasibnya saat ini?

Kampong Kajegen

Selain rumah Sawir, terdapat 19 rumah warga yang hanyut dan 19 rumah rusak berat. Kampung Sliwung Utara, Desa Sliwung, Kecamatan Panji, Situbondo ini, memang berada di area bantaran Sungai Sampean. Pada 2002, banjir serupa juga menyapu tujuh rumah warga. Kejadian ini amat memukul, apalagi masyarakat di desa ini, hidup di bawah kemiskinan.

Mayoritas warga Sliwung Utara, bekerja sebagai tukang becak. Pekerjaan ini dilakoni, sambil menjadi buruh tani dan memelihara sapi titipan. Tingkat pendidikan rendah, rata rata lulus SD. Kesibukan orang tua untuk bertahan hidup, membuat kondisi pendidikan anak-anak memprihatinkan. Jangan terkejut, jika menjumpai anak umur delapan tahun, sudah paham aktivitas orang dewasa. Menikah muda, di bawah 17 tahun seperti bagian dari tradisi. Bahkan, seorang anak baru lulus SD, sudah siap untuk dinikahkan.

Sliwung yang 100 persen dihuni etnis Madura, memang unik. Desa ini, juga bagian dari wilayah yang kerap disebut daerah Tapal Kuda. Sungai Sampean menjadi tempat MCK. Warga bebas mandi di ruang terbuka tanpa penutup. Di seberang desa yang dibatasi sungai, sudah jadi rahasia umum sebagai area prostitusi gunung sampan. Kegemaran berjudi, bagian dari ritme kehidupan di desa, yang mengalami paceklik tiap musim kemarau itu.

Mushola, mesjid, dan pesantren juga melengkapi suasana desa. Seorang bandar judi terkenal di desa itu, bahkan yang paling taat menjalankan sholat lima waktu. Seorang yang dikenal sebagai maling ulung, juga menetap di desa ini. Dukun tersohor, yang dipercaya mampu membedah penyakit dalam tanpa operasi, juga seorang yang dituakan di Sliwung Utara.

Kepercayaan pada daya gaib sebilah keris, bagian dari keyakinan komunitas yang lebih patuh pada sosok Kyai ketimbang bupati ini. Seorang warga, bahkan menantang arus banjir tak bakal mampu menggeser rumahnya yang bermaterial kayu dan bambu. Karena sebilah keris dan rajah arab gundul dari Kyai, menempel di pintu rumahnya. Meski akhirnya, tak lebih dari lima menit, banjir merampas rumah itu hingga lenyap, dari mitos sakti Sang Keris.

Suwarno, seorang pendamping masyarakat di desa itu, mencemaskan, lima tahun lagi Sliwung Utara menjadi daerah merah total. Kecemasan lelaki berdarah Sampang itu, amat beralasan. Jika melihat taraf ekonomi dan profesi masyarakat yang aneh-aneh, kemungkinan menjadi kampung rawan tak terelakkan.

Wajar jika, ada rasa ciut di benak Iman Surahman, tim kemanusiaan Dompet Dhuafa Republika (DD), tatkala membuka posko di kampung yang lumpuh oleh banjir itu. DD dihadapkan pada kondisi karakter masyarakat yang keras. Sulit diajak diskusi, jika tanpa restu Kyai. Tapi dengan melebur tinggal bersama mereka, satu pekan kemudian, ruang diskusi bisa dicairkan.

“Bapak bapak dan ibu ibu, kalau kita mau dapat bantuan, mari rapikan posko dan sambut setiap tamu dengan ramah. Jangan diacungi clurit atau golok. Pak Sakerah sembunyi dulu,” kata Iman sembari bercanda. Warga pun terbahak bahak. Suasana cair, bantuan pun mengalir. Tiap orang dan lembaga yang menyalurkan bantuan ke dusun itu, mengaku amat terkesan.

Anggota DPRD, pejabat daerah, bupati, hingga camat silih berganti mengunjungi desa itu. Mereka melihat proses relokasi korban banjir ke tempat baru, yang dilakukan DD bersama warga. Dengan spirit “Kampong Kajegen” (kampung gotong royong), DD membangun 38 unit rumah berukuran 5 x 6 meter, di atas lahan desa 3150 meter persegi. Rumah terdiri dari material kayu, dinding gedhek, lantai semen, dan atap seng. Nilai satu unit rumah, Rp 3 juta.

Bisik hati Sawir yang tercenung di atas bekas rumahnya, pagi itu, seperti terjawab. Jika dibandingkan dengan rumahnya yang hilang, rumah sekarang, menurut Sawir jauh lebih baik. Sementara bagi DD, kampung komunitas semacam ini – bertumpu pada modal sosial masyarakat – sudah menjadi rutinitas program penangan bencana berbasis komunitas. Tujuannya, selain menyalurkan amanah donatur tepat dan strategis pada sasarannya, juga bagian dari transformasi value etos dan kemandirian masyarakat.

Tak lupa, dengan bahasa Maduranya, Sawir dan warga korban banjir di Sliwung Utara mengucap terima kasih. Sawir juga berjanji, tak akan jadi tukang becak yang berakal bulus. Matur kaso’on Cong”.

Read More......

Natirah, Ngojek untuk Hidup

Di Bumi Sawangan Indah, Pengasinan, Sawangan Depok, Natirah Ratnasari (33), cukup dikenal. Selain orangnya baik, supel, dan ramah, Natirah seorang Ibu yang dikenal tangguh. Ia sarat inspirasi, bagi orang-orang yang lemah dan menyerah pada keterpurukan. Natirah, sosok yang dinamis dan ulet. Jika sebagian kita ada yang kendur semangat hidupnya, kehidupan Natirah dapat menjadi cermin untuk belajar.


Tiga tahun lalu, Natirah ditinggal suaminya, dengan status cerai. Ia diwarisi tiga anak dan kredit rumah tipe 21, yang baru lunas tiga tahun lagi. Naluri keibuannya berputar cari akal. Bagaimana bisa menghidupi anak anak dan tetap mempertahankan mereka
untuk sekolah. Ibu dari Anita Puspita Sari (17), Aditya Permana (15), dan Lusiana Rahayu (9) ini, mencoba jualan peyek. Ketiganya sekolah di SMK, SMP, dan SD.

Tapi mengandalkan pada usaha amat mikro ini, jelas tak menyelesaikan masalah. Untungnya tak cukup untuk makan satu hari. Lantas, terbesit di benaknya untuk ngojek saja. Tapi ia tak punya motor. Apalagi, seorang wanita jadi tukang ojek, sungguh beratnya. Apa kata tetangga, duh malunya. Tapi, perasaan itu hanya sekejap. Nasib anak-anak dan kelangsungan hidup keluarga, mengalahkan semuanya. Maka, dengan dipinjami motor tahun 1990-an oleh kakaknya, Natirah memutuskan jadi tukang ojek anak anak sekolah.

Awalnya, ia malu untuk menawarkan jasa. Tapi perut tak cukup disumpal malu dan gengsi. Wanita yang hanya lulus SMP ini pun, perlahan menekuni profesi itu. Kini, ia punya sembilan pelanggan ojek. Natirah mengawali waktu kerjanya sejak pukul 06.00. Satu kali angkut, ia membonceng dua anak. Jarak ke sekolah lumayan jauh.

Usai mengantar pelanggannya, Natirah pulang ke rumah untuk mengambil dagangan peyeknya. Kemudian, ia menjajakan ke rumah rumah dan warung warung. Sampai jam 10.00, jualan itu baru berhenti. Natirah kembali menjemput pelanggannya ke sekolah. Hingga waktu dzuhur tiba, ia setia menunggu. Biasanya, ia menunaikan sholat sekalian di mushola sekolah.

Pulang menjemput pelanggannya, Natirah tak istirahat atau tidur siang. Ia punya aktivitas lainnya. Yakni, mengasuh anak-anak tetangga yang ditinggal orang tuanya kerja siang. Natirah mengambil anak-anak itu, untuk dibawa dan dijaga di rumahnya yang sempit.

Sembari menjaga anak-anak, ia nyambi memasak untuk makan anaknya, sepulang sekolah nanti. Biasanya, sekalian dia membuat adonan peyek untuk digoreng pada malam harinya. Anita, anak pertamanya, selalu setia menemani sang ibu hingga larut malam, untuk menggoreng dan membungkus peyek. Sementara, adik adik Anita serius belajar. Natirah pun bersyukur, jerih payahnya terbalas oleh prestasi sekolah anak-anaknya yang membanggakan.

Dalam keterbatasannya, ia bercita-cita dapat mengantarkan anaknya hingga jenjang kuliah. Tetapi, kadang ia tertawa geli. Mungkinkah dengan usaha yang dilakoni saat ini anak-anak bisa kuliah? Lulus sekolah saja rasanya sudah beruntung. Namun, Natirah bukan sosok yang mudah menyerah.

Di saat saat sulit, ia tak mampu memungkiri rasa sedihnya. Ia harus menghidupi keluarga seorang diri. Saat anak-anaknya tidur, diam diam ia berbincang dengan kucing kesayangannya. Dia, Si Belang, Si Memeng, dan Si Empus. Dicurahkannya rasa letih dan mimpinya, untuk mengantar anak-anak ke jenjang pendidikan tinggi. Kucing kucing itu pun, hanya membisu sembari tiduran di pangkuan tuannya. Ia yang menghibur dan mengusir lelah.

Menjelang Subuh, Natirah bangun untuk tahajud. Ia berdoa dan mengadu pada Allah SWT. Paginya, ia terasa punya energi baru, untuk membawa anak-anaknya menuju hidup lebih baik. Terus berjuang Natirah!

Read More......

Tuesday, February 26, 2008

Menyeberangi Arus Untuk Sekolah

Anak-anak Dusun Sliwung Utar, Kecamatan Panji, Situbondo ini, tengah berjuang menyeberangi arus deras sungai Sampean. Mereka memaksa pergi sekolah, setelah dua pekan meliburkan diri karena kampung mereka hanyut oleh banjir bandang yang melanda Situbondo, Sabtu (9/2). Dengan rakit batang pohon pisang, mereka membawa seragam sekolah. Ayo, jangan jangan menyerah nak!





Read More......

Relokasi Korban banjir Situbondo

SITUBONDO (26/2) – Pasca banjir Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (9/2), Dusun Sliwung Utara, Kecamatan Panji, mengalami kerusakan paling parah. 19 unit rumah hilang dibawa banjir dan 18 rumah hancur. Hingga saat ini mereka tinggal di rumah saudara dan para tetangga. Sambil menunggu keputusan pemerintah, Dompet Dhuafa merelokasi mereka ke tempat tinggi dan aman yang ada di desa itu.



Bersama warga korban banjir, saat ini tengah dibangun rumah 5x6
meter berjumlah 38 unit. Material rumah dibangun dengan bahan kayu, atap seng, dan diding gedhek dengan dua kamar tidur dan satu ruang tamu. Rumah ini direncanakan akan usai dalam dua pekan. Belum ada kepastian dari pemerintah setempat tentang nasib para korban banjir ini.

Menurut Presiden Direktur Dompet Dhuafa, Rahmad Riyadi, relokasi permukiman ini hasil kerjasama warga dan pemerintah setempat yang dapat menjalin kekompakan. Dompet Dhuafa sendiri memfasilitasi pendampingan dan pembuatan rumah senilai Rp 114 juta dengan rincian Rp 3 juta per rumah. Sementara lahan relokasi disiapkan oleh pemerintah desa. Dalam bahasa Madura, kampung ini dinamai “Kampong Kajegenan” (kampung gotong royong).

“Kami selalu berusaha mewujudkan cluster komunitas yang bertumpu pada modal sosial masyarakat. Karena dalam kondisi bencana, kita sadar hanya mereka yang dapat menyelesaikan kesusahannya. Tugas lembaga semacam kami hanya mendampingi, mendorong dengan bantuan berjangka panjang, tidak cukup charity semata”, tandas Rahmad saat bersama warga Sliwung di pengungsian.

Menyangkut jumlah SDM yang diterjunkan untuk menangani tiap bencana, Rahmad menandaskan tak lebih dari dua orang. Keduanya terdiri dari satu orang program dan satu orang komunikasi. Di lapangan tim kecil itu harus mampu memberdayakan masyarakat lokal. Beberapa kampung komunitas yang dapat dibangun Dompet Dhuafa pasca bencana, diantaranya, Kampung Logodor Pangandaran, Desa Penyangkak Bengkulu, Situbondo, dan cluster komunitas lain yang dibentuk melalui program pemberdayaan non bencana.

Sementara, untuk jangka panjang, pemberdayaan akan dilakukan lembaga zakat ini melalui program Kampoeng Ternak. Kemiskinan di dusun Sliwung Utara ini – mayoritas etnis Madura – juga cukup akut. Masyarakatnya mayoritas tukang becak dan buruh tani. Saat musim kemarau, mereka akan mengalami krisis air dan paceklik.

Read More......

Friday, February 15, 2008

Mozaik Petani Telang Sari

Dari tanah yang semula dikepung rawa, mengandungi kadar asam tinggi, petani Telang Sari mengubahnya jadi lahan persawahan subur. Ironisnya, mereka sulit sejahtera, karena harga pertaniannya, selalu jeblok di musim panen.

Pada 1979, Desa Telang Sari dibuka, sebagai area transmigrasi untuk masyarakat dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Rumah-rumah kayu mungil dan sederhana, dibangun di atas tanah yang dikepung rawa-rawa. Untuk mencapai desa itu, perlu perjalanan satu jam dari Palembang menggunakan speed boat –kecepatan kira-kira 50 km perjam – yang menyusuri sungai Banyu Asin.

Awal dibuka, Telang Sari yang masuk wilayah Kabupaten Banyuasin itu, masih dikepung rimba belantara. “Kami benar-benar seperti dibuang dan diisolasi. Larang pangan sering kami alami, pokoknya sengsara. Tapi sekarang saya bisa merasakan, tinggal di sini ternyata jauh lebih baik dari dulu di Jawa”, kata Poniman, transmigran asal Banyuwangi, mengenang.

Satu tahun pertama, para transmigran masih mendapat jatah beras dari pemerintah. Seterusnya, mereka harus mandiri dengan bergantung pada alam sekitar. Sejak itu, mereka mengalami kesulitan hidup yang luar biasa. Kadar asam tinggi yang membuat air tanah terasa asin, bagian tantangan hidup yang harus ditaklukkan. Bagi yang tidak tahan, kemudian memilih hengkang dari desa itu.

Setelah 28 tahun berlalu, Telang Sari kini menjadi area persawahan yang subur. Seiring waktu, Telang Sari menjadi peradaban baru. Keberadaan mereka, juga mendorong perkembangan peradaban penduduk asli yang banyak mendiami pinggiran Sungai Banyu Asin. Mereka banyak belajar pertanian pada warga transmigran. Dari semula hidup berpindah tempat, mulai menetap dengan membuka sawah.

“Setelah kami menanam padi, penduduk asli juga ikut menanam. Bahkan, mereka juga belajar bagaimana cara panen padi dan sebagainya. Akhirnya kami bisa hidup berdampingan dengan damai”, terang Daryono. Dia, satu-satunya sarjana lulusan IAN Palembang di desa itu, yang dikuliahkan orang tuanya dari hasil bumi Telang Sari.

Meski dari tingkat kesejahteraan masih rendah, warga Telang Sari setidaknya tak lagi dicekik paceklik. Mereka sudah bisa memproduksi makanan beras. Sebelumnya, mereka mengkonsumsi tiwul, pisang kukus, dan talas rebus.

Panen Uang Jerman

“Kalau musim panen gini, petani seperti saya panennya uang “Jerman” mas”, celetuk Pakde Karto gemas. Menurut lelaki asal Ponorogo itu, uang Jerman hanya singkatan dari ijir ora oman (setelah uang panen dibagi-bagi, petani tidak dapat bagian). Karena, uang hasil panen habis untuk membayar utang pupuk, utang traktor, dan utang sarana produksi pertanian lain, saat musim tanam. Lebih naas lagi, ketika tiba panen, harga beras jeblok.

Masalah dasar petani Telang Sari, eposnya sama dengan problem petani Indonesia umumnya. Yakni, ketiadaan posisi tawar terhadap harga pertanian. Menjelang musim panen, harga beras bisa mencapai Rp 4.500,- per kg. Setelah panen tiba, petani dibuat menangis, karena harga beras bisa sampai level terendah Rp 1.800,- per kg. Sebaliknya, pemerintah pada saat yang sama, malah mengimpor beras.

Hal ini, selalu terulang tiap musim panen tiba. Petani yang ringkih terus tertindih, di atas lahan pertaniannya yang subur. Mereka tidak mungkin menimbun beras, sebagaimana tengkulak nakal. Karena para petani itu, selepas panen, harus melunasi utang yang menjerat, saat dulu perlu modal untuk tanam.

Ketidakberdayaan mempertahankan harga beras ini, juga mendorong suburnya rentenir di desa desa. Mereka memanfaatkan petani-petani miskin, dengan meminjamkan modal. Lantaran tidak ada pilihan lain, petani terpaksa mencaplok umpan beracun itu. Dua petani di Telang Sari misalnya, harus kehilangan sawah, untuk melunasi utang pada rentenir yang bunganya beranak pinak.

Lima tahun lalu, program pemerintah pernah masuk ke desa ini untuk bantuan pertanian. Harapannya, bisa memangkas rantai rentenir. Tapi, satu tahun berjalan, gagal. Dana tidak dapat bergulir, apalagi kembali. Dana pinjaman, yang konon asalnya dari utang luar negeri itu, menguap tanpa hasil. Selain alasan gagal panen, pemikiran yang mengerikan telah mengakar di masyarakat.

“Namanya juga bantuan pemerintah, masak harus dikembalikan. Daripada dikembalikan nanti dikorupsi pejabat yang di atas, lebih baik dimakan rakyat to mas”, tandas Karmin, salah seorang petani, berpikir pragmatis.

Petani Berzakat

Pada Juni 2006, Dompet Dhuafa Republika (DD), masuk ke Desa Telang Sari. Melalui jejaringnya, Lembaga Pertanian Sehat (LPS), DD menggulirkan dana muzaki (donatur) Rp 342 juta, untuk program pemberdayaan petani Telang Sari. Terdapat 134 petani yang terlibat dalam program ini. Luas lahan percontohan program, mencapai 130,5 hektar. Mereka terbagi dalam 15 kelompok.

Realisasi program ini, meliputi pendampingan, subsidi pupuk, benih padi ciherang, dan dua unit traktor. Pada panen pertama awal 2007 lalu, produksi padi melimpah. Namun, harga beras setelah panen rendah. Tapi menurut Poniman, salah seorang ketua kelompok, kondisi petani lebih tenang karena tidak dikejar pinjaman rentenir.

“Biasanya habis panen petani banyak nelongsonya. Sudah harga beras nggak laku, harus lunasi pinjaman ke rentenir”, katanya.

Diakui Poniman, program DD cukup efektif. Selain memberi bantuan, juga pendampingan nilai kemandirian. Para petani diberikan penjelasan, cara membangun komunitas, menabung, dan menghindari rentenir.

“Petani di sini, sekarang sudah 90 persen yang tak utang ke rentenir mas. Sisanya, mereka yang kurang sabar saja. Mewakili kelompok, saya berharap program LPS ini dilanjutkan terus”, Poniman berharap.

Menurut Direktur Program DD, Ahmad Juwaini, dilihat dari pengembalian dana bergulir, program ini cukup kelihatan dampaknya. Hanya yang sekarang dipikirkan, bagaimana LPS bisa mendorong agar musim tanam di Telang Sari bisa dua kali dalam setahun. Juga mendesaian, jaringan pasar beras mandiri, sehingga petani tidak tergantung pada tengkulak dan punya harga tawar beras yang adil.

“Dari total petani yang bergabung, hanya lima petani yang tidak dapat mengembalikan penuh dana bergulirnya. Itu karena mereka gagal panen. Melihat hasilnya, kami komitmen untuk melanjutkan program ini. Dalam jangka panjang, kami juga ingin meluaskan ke daerah lain”, kata Ahmad Juwaini, saat panen raya padi kedua kalinya, di Telang Sari, Jumat (8/2). Sebelumnya DD juga punya program pertanian serupa, di Lamongan, Mojokerto, Brebes, Bogor, dan Sukabumi.

Bagi DD, program Telang Sari memberikan kejutan yang luar biasa. Pasalnya, petani Telang Sari kini sudah membayar zakat pertanian 5 persen dari hasil padi mereka. Zakat itu, ditunaikan melalui lembaga zakat Dompet Sosial Insan Mulia (DSIM) Palembang. Panen tahun lalu, nilai zakat petani Telang Sari mencapai lebih dari Rp 12 juta.

Petani Telang Sari, potret kecil petani Indonesia. Negeri ini mampu mencapai swasembada pangan, jika ada kebijakan yang berpihak pada petani. Karena, modal etos kerja yang tinggi pada petani Indonesia, telah teruji dalam berbagai lahan dan medan.

Jika kemudian, banyak program pemerintah gagal di akar rumput, mungkin cara pendekatannya yang kurang tepat. Atau tak ada salahnya, dalam menjalankan programnya, pemerintah menggandeng lembaga sosial dan pihak lain yang aktivitasnya murni berkhidmat untuk masyarakat. Prinsipnya, beda cara penetrasi program, tapi tujuannya sama. Yakni, menyejahterakan petani Indonesia.

Read More......

Sastra Dalam Bus

“Kacang..kacang, tahu...tahu…seribu…seribu”. “Minumnya pak…, minumnya bu…”.

“Bapak-papak, ibu-ibu, Om dan Tante…mohon maaf kami pengamen jalanan mengganggu perjalanan Anda. Hanya demi sesuap nasi, bukan mencopet atau mencuri, kami harap jiwa-jiwa sosial Anda. Seribu, dua ribu uang Anda sangat berarti bagi kami.”

Salam Sastra…… kalau hidupmu tidak mudah, keras, penuh tekanan, kejam dan hampir-hampir kau tak tahu harus berbuat bagaimana, maka menulislah puisi….”, bait-bait puisi besutan Wiji Thukul terus meluncur dari bibir pengamen, di dalam bus jurusan Cikampek – Kampung Rambutan.

Hampir setiap hari, saya harus menempuh perjalanan ke kantor yang relatif panjang, karena saya tinggal di pinggiran Cikampek. Maka pentas sastra itu, sangat akrab di telinga saya. Terkadang saya jujur agak terganggu dengan sedu sedan itu. Selain gayanya tak jauh beda, dalam satu bus lebih dari lima pengamen bergantian tampil. Mereka selang seling dengan tukang tahu, tukang minuman, tukang buah, tukang mainan dan tukang-tukang lainnya. Kadang terbesit protes pada pemerintah, mengapa tidak mampu memberikan transportasi yang aman dan nyaman bagi rakyatnya.

Tapi di kala pikiran berkecamuk, dengan tetap berusaha menikmati aneka hiruk pikuk dalam bus itu, saya belajar beberapa hal. Pertama, rakyat kecil di tengah himpitan ekonomi yang berat, ternyata mempunyai daya tahan yang cukup kuat. Dengan segala kreatifitasnya, mereka mampu menciptakan lapangan kerja bagi dirinya, bahkan bagi orang lain. Setidaknya jika pengamen menyuguhkan lagu dengan serius dan pedagang menawarkan dagangan dengan ramah, dapat menjadi oase di tengah panas dan kemacetan.

Kedua, rakyat kecil dalam keterbatasannya ternyata mempunyai sikap kedermawanan yang tinggi. Saya termasuk orang yang pelit terhadap pengamen. Kalau lagu dan musiknya asal-asalan, hampir pasti saya tidak akan merogoh saku saya, kecuali karena kasihan atau takut dipalak. Tapi dalam setiap kali perjalanan saya, justru yang banyak memberi kepada pengamen dan pengemis jalanan, adalah orang-orang yang secara penampilan biasa saja.

Pernah suatu ketika, saya tidak tahan untuk tidak bertanya, kepada penumpang di sebelah saya. Mengapa ia selalu merogoh sakunya ketika ada yang mengamen. Bahkan ia selalu mengeluarkan Rp 1000,- untuk itu. “Mereka kan cari makan juga, seperti kita,” jawabnya sederhana seakan melecut hati saya. Ternyata, rakyat kecil punya logika sendiri. Mereka rela membagi agar orang lain juga makan. Sangat sederhana. Tapi melebihi jargon-jargon puitis politikus yang selalu indah terbungkus.

Mungkin, rakyat kecil hanya butuh yang sederhana saja. Yakni, tercukupinya kebutuhan dasarnya. Saya yakin, negara yang sebenarnya sangat kaya ini, suatu saat mampu memenuhinya. Namun, kalau pemerintah tak juga mampu, mungkin rakyatlah yang harus saling menyejahterakan, saling memberi dan mengatur dirinya sendiri.

lalu kami berbagi, kuberi ia kepalanya, batal nyawa melayang, aku hidup, ia hidup, kami sama-sama makan,…Sastra dalam bus itu, terus mengiang dalam pendengaranku. Melengkapi cerita orang-orang kecil di jalanan, yang bertahan hidup di Jakarta nan penat dan tak bersahabat.(Rini Suprihartanti)

Read More......

Dera Nurhayati Tiada Henti

Wanita setengah baya itu pantang mengeluh. Ia tegar bertahan, dari gempuran ujian yang datang silih berganti. Nurhayati (48), sosok ibu yang tangguh itu, bercocok tanam di lahan sempit di belakang rumahnya. Sekadar untuk menanam batang singkong yang dipetik daunnya, kangkung, juga bayam, cukup untuk dikonsumsi sendiri. Atau dijual jika hasilnya berlebih. Tetangga juga boleh minta, secara cuma-cuma.

Derita Nurhayati bermula, sejak suaminya menderita paru-paru. Selama empat tahun, sang suami tak mampu bekerja mencari nafkah sebagai kuli bangunan. Praktis, ia tampil menjadi tulang punggung keluarga untuk menghidupi suami dan lima anaknya. Meski menderita sakit, cinta Nurhayati pada suami tak pupus. Hingga akhirnya, suami yang ia cintai itu meninggal pada 2003.

Dua bulan berselang, anak sulungnya yang sudah menikah meninggal dunia. batin Nurhayati makin teriris, tatkala almarhum anak lelakinya itu, menitipkan seorang anak bayi yang harus ia urus. Konon, menantu perempuannya, menikah lagi tanpa mau membawa anak kandungnya.

Kini, Nurhayati menghidupi empat anak dan satu cucu. Tugas yang berat, untuk seorang wanita yang bekerja serabutan. Kesabaran Nurhayati terus diuji, saat empat bulan lalu, anak bungsunya menderita sakit panas. Nurmela Sari (14), gadis itu, yang baru duduk di kelas tiga SMP. Ketiadaan biaya, memaksa Nurhayati merawat sendiri putrinya yang panas tinggi.

Satu pekan di pembaringan, mendadak, Mela, demikian anak itu dipanggil, tak mampu menggerakkan badannya. Nurhayati pun terpukul hebat, setelah mengetahui Mela ternyata lumpuh. Seiring hari, tubuh Mela kian kurus kering. Nurhayati sempat membawa anaknya itu ke RS Ciawi. Hanya beberapa hari, kemudian ia membawa pulang Mela, dengan hati tercabik-cabik. Ia tak punya biaya lagi, jika Mela harus dirawat intensif di rumah sakit.

Kini, hari-hari Mela dirawat sang bunda seperti bayi lagi. Ia disuapi, digendong, dan dibopong ke kamar mandi jika mau dimandikan. Kadang, saking letihnya, Nurhayati hanya mengelap Mela dengan air hangat, agar wajahnya sumringah.

Di rumahnya yang sederhana, tanpa dipan tempat tidur dan meja tamu, Nurhayati menjalani ujian berat ini. Ia tinggal di kampung Jampang, Gg. Masjid, RT.03/06, Jampang, Kemang, Bogor. Letaknya tak jauh dari perumahan Telaga Kahuripan. Selain bercocok tanam, Nurhayati merajut keset, pita bunga, dan mute kerudung. Kerajinan yang bahan bakunya diambil dari sebuah pabrik di Parung itu, kerap dikerjakan hingga larut malam. Kadang sampai jelang subuh.

Setiap tiga hari sekali, pihak pabrik akan mengambilnya. Setelah itu, Nurhayati menerima upah Rp 30.000,- sampai Rp. 50.000,-. Tergantung jumlah yang dihasilkan. Dalam penggal penggal doanya, Nurhayati mengaku kerap mengiba.

“Ya Allah, sudah semua ujian hamba jalani. Datangkanlah pertolongan-Mu ya Allah”, lirih, Mila menyingkap tabir doanya. Ia memohon sembari bersimpuh di samping Mela, yang berbaring tak berdaya. Sementara, anak itu akan menangis tiap mendengar doa-doa Ibunya.

“Maafkan Mela Bu”, isak Mela meremas hati.

Read More......

Friday, February 01, 2008

Bahaya Dendam Kemiskinan


“Saya nelongso, merasa nista”, kata Soeharto, dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Membara api dendam, sakit hati, dan merana yang sangat. Perlakuan kakek ibunya, Notosudiro, yang menurutnya tak adil, masih terekam kuat hingga ia menjadi seorang Presiden. Meski ketika itu umurnya belum genap lima tahun.

Dalam seni memimpin bangsa ini, dari enam presiden Republik Indonesia (Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY), almarhum mantan Presiden Soeharto, adalah yang paling terbuka bicara kemiskinan di masa kecilnya. Bocah ndeso, yang melarat dan hidup terlunta-lunta, dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Hidupnya sungguh nelongso. Sebutan ini, bisa kita maknai sebagai kehidupan paling sengsara dan menderita, baik secara fisik maupun batin.

Meski dalam paripurna perjalanan hidupnya, nelongso tadi dapat ditebus Soeharto dengan terhormat. Jika saja, Notosudiro masih hidup, ia akan terperangah. Melihat cucu buyutnya, dikuburkan di Makam Astana Giribangun, atau Mangadeg, yang dibangun berdekatan dengan makam raja-raja Mataram. Kenistaan Soeharto tertebus.

Perlakuan kepada jenazah Soeharto, bahkan melebihi perlakuan kepada petinggi keraton. Prosesi pemakamannya, disiarkan langsung oleh semua televisi. Jasadnya diantar dengan iringan mobil-mobil mewah. Simbol kekayaan tumpah ruah di jalanan, hingga digenapi jalur udara melalui iring-iringan pesawat Hercules, Fokker dan Boeing. Demikian, prosesi pemakaman Sang Jenderal Besar yang dikenal hidup dalam kesederhanaan itu.

Dendam Kemiskinan

Dengan segala kontroversi yang ditinggalkannya, Soeharto telah menghadap Sang Khaliq dengan tenang. Sebuah pelajaran besar, dapat dipetik dari mendiang anak seorang ulu ulu (penjaga air irigasi) ini. Yakni, pelajaran pada perilaku dan kehidupan, tatkala orang miskin memegang tampuk kekuasaan.

Dalam kehidupan kita, tak sedikit orang yang dendam dengan kemiskinan. Kemiskinan dilihat sebagai monster mengerikan yang harus dibunuh. Bahkan dengan cara apapun. Pertarungan dengan monster kemiskinan ini, melibatkan banyak taktik dan tipu muslihat. Bagi yang rapuh menghadapi serangan monster ini, Iblis amat kuat sebagai pendukung dan pembisik.

Tak heran jika, orang kemudian korupsi. Pejabat main sikat. Pemimpin pun, lupa pada amanahnya sebagai pemimpin rakyat. Seorang pemimpin bisa berbalik, menjadi pemimpin untuk kelanggengan dinasti kekayaan dan keluarganya, agar kemiskinan tak terwarisi turun temurun.

Hidup miskin telah dianggap sebagai aib, bukan dilihat sebagai guru kehidupan. Karena aib, tatkala seorang miskin merangkak kaya, ia malu terciprati kemiskinan orang lain. Standar hidupnya naik, gaya hari-harinya berubah. Tiap aktivitasnya, dipenuhi polah tingkah yang neko-neko.

Di masyarakat, hal demikian selalu hadir dalam rutinitas hidup di desa dan perkotaan. Berjuta keluarga miskin rela tak makan, tapi ia terpuaskan menonton sinetron melalui televisi layar datar di rumahnya yang reot. Meski hasil kreditan. Musik dangdut dengan sound system menggelegar, bersaing antar satu kontrakan dengan kontrakan lain. Hiburan diri yang sesaat diperjuangkan, sementara nasib pedidikan anak-anaknya dilupakan.

Mentalitas demikian, tak hanya melekat dalam diri masyarakat kecil. Ia juga telah membudaya dalam kehidupan sebagian besar elit, anggota dewan, dan pejabat pemerintah di negeri ini. Dendam kemiskinan, memaksa mereka menumpuk-numpuk kekayaan. Aji mumpung tak terbendung. Pun, hingga liang lahat kekayaan itu harus tercitrakan dalam bentuk kuburan berdinding batu pualam. Jika perlu dilapisi emas. Tak peduli, apakah kepergiannya ke alam baka, meninggalkan sanak keluarga dan tetangga yang kelaparan.

Mendiang Soeharto, menjadi cermin para pemimpin dan calon pemimpin negeri ini. Kemana amanah kepemimpinan akan dibawa. Pencitraan macam apa yang akan diteladankan pada kehidupan berbangsa. Meninggalkan negara tegak bermartabat, atau meninggalkan kebesaran semu yang menyilaukan, tapi keropos.

Mendiang Soeharto, juga cermin bagi orang-orang miskin yang kelak memegang kekuasaan. Ilmu dan pengalaman hidupnya, sah untuk diambil baiknya, dan dikuliti keburukannya untuk dibuang. Selama di dalamnya tidak ada muatan dendam pada kemiskinan. Karena pada hakekatnya, dendam akan berbuah pada aktivitas negatif yang merugikan diri sendiri, bangsa, dan orang lain. Jika orang miskin mampu tampil jadi pemimpin, tanpa ada dendam kemiskinan, mestinya ia mampu mewujud sebagai seorang pemimpin besar.

Pemimpin yang tak memiliki dendam kemiskinan, akan berkaca, menilai harga baju dan dasi yang dipakai, ketika rakyat sudah tak sanggup lagi membeli baju, apalagi dasi. Mereka akan gelisah ingat rakyat yang kelaparan, saat mereka mendatangi jamuan makan di hotel-hotel berbintang dan istana-istana kaca, baik didalam dan luar negeri. Mereka akan berhitung, berapa liter bensin diboroskan, tatkala menaiki nyamanya mobil mewah yang boros bahan bakar. Mereka akan berwasiat pada anak cucunya, untuk dimakamkan secara sederhana dan mengembalikan harta kekayaannya yang tak sah pada negara.

Nabi juga Nelongso

Nabi Muhammad saw, juga mengalami masa kecil dengan amat nelongso. Pernah pula ia diludahi bahkan dilempari batu. Lebih getir dari Soeharto, malah. Tapi Nabi, mengakhiri kehidupannya di dunia dengan cara yang sederhana. Ia bisa saja minta dipasang nisan emas dan simbol kekayaan di kuburnya. Tapi nabi, memilih gundukan tanah pasir.

Semasa hidupnya, Rasulullah dalam membela kelompok masyarakat yang tertindas, selalu membangkitkan harga diri rakyat kecil dan dhuafa. Ia senantiasa bersama orang-orang lemah. Pada suatu hari para sahabat melihat Nabi sedang memperbaiki sandal anak yatim, lain kali menjahit baju janda tua yang miskin. Bila masuk masjid Rasul memilih kelompok orang miskin, dan di sanalah ia duduk. Digembirakannya mereka, dipeluknya, hingga kadang-kadang Rasulullah tertawa bersama mereka.

Sebagai pemimpin orang kecil, Nabi memilih hidup seperti mereka. Ia hidup amat sederhana, lantaran ia mafhum sebagian besar sahabatnya masih menderita. Ditahannya rasa lapar berhari-hari, karena ia tahu sebagian sahabatnya juga tidak makan berhari-hari.

Suatu hari, sepulang perjalanan jauh ia dijamu oleh Aus bin Khaulah dengan susu dan madu. Rasulullah menolaknya, “Aku tak mengatakan bahwa ini haram, tetapi aku tak ingin pada hari kiamat nanti, Allah bertanya kepadaku tentang hidup berlebihan di dunia ini. (HR Ahmad bin Hambal).

Bahkan dalam kitab Adz-dzull wa al-Inkisar li al-Aziz al-Jabbar al-Khusyu fi al-Shalah karya Ibn Rajab al-Hambali, Ibnu Majah meriwayatkan dari hadis Abu Sa'idah al-Khudri r.a., bahwa Nabi saw., pernah mengucapkan doa, "Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan bangkitkanlah aku bersama orang-orang miskin."

Jika saja, Soeharto kenal Nabi sejak dulu, ia pasti tak akan nelongso ingat kemiskinannya di masa kecil. Kepemimpinannya, bisa jadi bukan cermin retak yang kontroversial untuk diteladani dan diukir dalam sejarah bangsa Indonesia. Bahkan, bukan tidak mungkin, jika akhirnya ia memilih dikubur seperti Nabi. Selamat jalan Pak Harto.

Read More......

Nyawa Dai Papua Disandera Rp 200 juta


Menebar dakwah di Papua tidak mudah. Setidaknya itu yang dirasakan Agung Sibela. Dai asli Ternate ini, sudah lebih dari 12 tahun meretas dakwah bagi warga Papua, di pesisir dan pedalaman. Ia tak segan blusukkan ke dalam hutan, menyeberangi laut yang ombaknya ganas untuk menuju komunitas pesisir.

“Saya pernah terdampar waktu mau ke Babo”, kenangnya. Dari Sorong, perlu satu malam untuk sampai di Babo.

Ganasnya medan, bagian dari terjalnya dakwah yang harus dilalui Agung. Belum lagi karakter masyarakat yang keras. Tiap kaki melangkah, rasanya tak boleh salah. Harus tepat seperti aturan adat yang berjalan di komunitas yang dikunjunginya.

Selain dakwah ke lapangan, Agung juga memanfaatkan radio sebagai sarana dakwah. Menempati ruang sederhana, di menara Masjid Agung, Sorong, Agung mengajak anak-anak muda untuk menjadi aktivis dakwah. Meski masih memperjuangkan ijin gelombang frekuensi ke Jakarta, radio itu 24 jam memutar syiar Islam. Responnya luar biasa. Konon, Agung belajar mengelola radio ini di RAS FM Jakarta.

Tak jauh dari Sorong, Agung yang belum lama diangkat menjadi PNS di Depag Sorong ini, juga punya binaan warga Suku Kokoda. Lokasinya di pinggir lapangan udara Dominic Edward Osok (DEO), Sorong. Suku Kokoda, sebuah komunitas muslim yang terbelakang secara ekonomi dan pengetahuan.

“Banyak pendatang mencari ekonomi di Papua ini. Tapi yang mau mengemban misi dakwah tidak banyak, makanya perkembangan orang Papua ini lambat”, kata Agung prihatin.

Ia mengakui, dakwah di Papua memang rumit. Apalagi warga Papua di mata pendatang, warga yang malas. Agung berharap, siapa pun yang memetik hasil bumi Papua, hendaknya juga memikirkan nasib orang Papua.

“Jangan hanya mau hasil buminya, tapi tak mau mengurus masyarakatnya”, tandasnya.

Selain Suku Kokoda, Agung Sibela juga punya binaan warga Suku Abun di pedalaman Klamalu, Sorong. Perjuangan Agung membantu Suku Abun ini, juga tak kalah dramatisnya. Ia harus mencari donatur untuk membebaskan lahan baru untuk ditinggali komunitas Suku Abun yang masuk muslim.

“Alhamdulillah, Dompet Dhuafa akhirnya yang membebaskan lahan untuk bermukim Suku Abun. Bahkan sekarang sudah dibangunkan masjid juga”, terangnya.

Tidak hanya suku Papua asli, Agung Sibela juga berdakwah hingga jauh masuk ke masyarakat transmigran di Klamono. Daerah ini berada di pedalaman, tempat transmigran asal Jawa dan transmigran lokal. Kondisi ekonomi mereka sangat memprihatinkan. Tapi semangat mereka mempelajari Islam kuat.

Sayang, Agung saat ini tengah diuji berat. Dua orang santri dari Babo, Papua, yang ia pesantrenkan di Bekasi, meninggal tertabrak kereta api di Bekasi, beberapa pekan lalu. Kasusnya jadi panjang, tatkala orang tua santri minta ganti rugi Rp 200 juta. Sebagai jaminan, saat ini salah seorang dai, teman Agung Sibela disandera oleh keluarga santri di Babo. Menurutnya, nyawa harus ditukar nyawa. Prinsip suku di sana, pohon tidak akan mati jika tidak dipindah. Jika tak dapat menebus Rp 200 juta, nyawa sang dai sebagai gantinya.

“Saya sedang negosiasi dengan keluarga mereka. Juga mencari penyelesaian di Jakarta dengan berbagai pihak. Yah… ini resiko dakwah di daerah primitif”, kata Agung getir. Kita bantu Agung, atau kita biarkan sang dai mati menebus Rp 200 juta? Wallahualam.

Read More......