Friday, April 18, 2008

Ini Soal (Politik) Perut, Bung!

“Tanpa pertanian, penduduk dunia tidak dapat meneruskan kehidupan mereka”. (Adam Smith: The Wealth of The Nations, 1776).

‘’Krisis pangan bisa memicu perang,’’ Presiden World Bank, Robert Zoellick, mengingatkan 2 April lalu. Menurutnya, akan ada 33 negara di seluruh dunia yang mengalami masalah instabilitas politik dan sosial akibat tingginya harga bahan pangan dan harga bahan bakar minyak.

Seperti dilansir lembaga riset beras dunia (International Rice Research Institute/IRRI), dunia dihadapkan pada krisis pangan akibat tekor suplay pangan khususnya beras terhadap permintaan. Laporan Bank Dunia tahun lalu menyatakan harga gandum dunia melonjak 181% selama 36 bulan hingga Februari 2008, sedang harga pangan keseluruhan naik 83 persen. Harga beras dunia pun mengamuk menjadi US$700 per ton. Melonjak 50% dibanding harga akhir Januari lalu.

Ditengarai, ketekoran pangan akibat dua eksportir besar beras dunia yakni Thailand dan Vietnam, dihajar hama dan banjir. Padahal, selama ini Thailand mampu memproduksi 22 juta ton/per tahun dan mengekspor 7,5 juta ton diantaranya. Sedangkan Vietnam memproduksi 18 juta ton/tahun dan mengekspor 5 juta ton diantaranya.

Tak lama setelah Zoellick bersabda, kerusuhan-kerusuhan akibat kelangkaan bahan pangan terjadi di Mesir, Pantai Gading, Madagaskar, Kamerun, Filipina, Papua Nugini, Mauritania, Mexico, Maroko, Senegal, Uzbekistan, dan Yemen. Di Pakistan, batalyon pasukan diturunkan untuk mengamankan truk-truk pengangkut tepung gandum. Perdana Menteri Haiti bahkan dimakjulkan dari jabatannya, gara-gara soal perut yang menyebabkan 5 warga mati ditembak dalam kerusuhan massal.

Itu belum seberapa. David Ignatius, pengamat ekonomi dan kolumnis dari Washington Post, menulis, tingginya harga beras hanyalah masalah kecil. Ada masalah yang lebih besar yang segera tiba, yakni an
caman inflasi global terutama akibat kenaikan harga bahan pangan.

Berdasarkan data IRRI, saat ini 2,4 miliar penduduk dunia sangat bergantung pada beras. Dengan kontribusi belanja rumah tangga sebesar 20%, kenaikan harga akan memicu inflasi besar-besaran. Tentu saja yang paling terpukul adalah rumah tangga miskin, yang 70% anggaran pendapatannya dialokasikan untuk beras seperti di Indonesia.

Menurut prediksi FAO, 36 negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengalami krisis pangan, termasuk Indonesia. Global Information and Early Warning System dari FAO menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis itu, selain Irak, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor Leste.

Menurut Amartya Zen (1998), sepanjang sejarah dunia sebenarnya tidak pernah bumi ini mengalami kekurangan dalam penyediaan bahan pangan. Tapi yang terjadi, distribusi tidak merata sehingga krisis demi krisis kerap terjadi. Hal ini diakui oleh FAO dalam laporannya tahun 2004. Laporan menyatakan, peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia, sebesar 16% yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kini pun, ketika dunia meneriakkan resesi pangan, produksi beberapa komoditas pangan dunia sebenarnya meningkat. Produksi gandum naik hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sedangkan produksi gula dunia meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun lalu. Produksi jagung, tahun 2007 lalu mencapai rekor produksi 781 juta ton atau meningkat 89,35 juta ton dari total produksi tahun sebelumnya. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17%. Itu pun karena ada penyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15% untuk proyek biofuel.

Lalu, apa masalahnya?

"Masalahnya adalah mutlak struktural," jawab Stuart dari Oxfam.

Oxfam, LSM di bidang kemanusiaan dan pembangunan, dalam laporan Agustus 2003 bertajuk ‘’Running into the Sand’’ mengungkapkan, negara-negara maju telah memberi subsidi satu miliar dollar AS per hari pada petani mereka.

Nilai subsidi itu besarnya enam kali lipat dari nilai bantuan yang diberikan pada negara-negara miskin. Negara-negara Uni Eropa telah mengucurkan subsidi kepada petani gula 50 euro/ton panen tebu. Sama dengan lima kali lipat harga pasar gula dunia.

Negara-negara maju
juga memberikan proteksi berupa hambatan tarif dan nontarif, bagi produk pertanian guna mencegah masuknya berbagai komoditas serupa yang berpotensi mematikan bisnis petani lokal. Misalnya, Jepang mematok bea masuk impor beras 400%.

Sebaliknya, negara-negara besar itu ‘’mengatur’’ pertanian negara-negara lain agar menguntungkan pertanian mereka sendiri. Misalnya lewat tangan WTO (World Trade Organization), mereka melakukan politik pertanian internasional mazhab Neo-liberalisme dengan memaksakan kesepakatan AOA (Agreement on Agriculture) WTO. Termasuk kepada Indonesia, yang meneken perjanjian ini sejak 1995 hingga kini.

Butir-butir kesepakatan AOA-WTO itu, Pertama, kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia, harus dibuka seluas-luasnya bagi komoditi pertanian luar negeri.

Kedua, penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian.

Ketiga, penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan.

Karena itulah, Brasil dan India tahun lalu walk out dari perundingan empat negara (G-4) plus Uni Eropa di Postdam. Menteri perdagangan Brasil dan India tak mau dicurangi Amerika, yang memberikan tawaran pemotongan subsidi pertanian terlalu kecil. Amerika dan Uni Eropa, juga menekan India dan Brasil agar lebih membuka pasar mereka untuk produk-produk asing dengan kemudahan.

‘'Pertemuan ini tidak ada gunanya sama sekali,‘’ geram Menlu Brasil Celso Amorim. Menurut laporan BBC, Kegagalan pertemuan itu membuat masa depan perundingan WTO secara keseluruhan yang biasa disebut Putaran Doha menjadi tidak menentu.

Bisakah Indonesia punya nyali seperti India dan Brasil?

Dalam temu wicara dengan petani padi se-Jabar sekaligus panen benih padi varietas Mira-1, di Desa Rancadaka, Pusakanagara, Subang, 4 Juni 2007, Presiden SBY memaparkan enam pilar yang menjamin kem
ajuan di bidang pertanian Indonesia. Yakni: kebijakan pemerintah yang baik, inovasi teknologi, infrastruktur yang mendukung, budaya petani, lingkungan hidup, dan kepemimpinan.

Pemerintah sudah cukup baik dengan menerbitkan Inpres No. 3/2007 tentang perberasan, yang mengendalikan harga pembelian untuk menjaga kestabilan serta keadilan harga beras dan gabah. Sebab, "Jika diserahkan kepada mekanisme pasar, saya khawatir akan terjadi ketidakadilan dalam menentukan harga. Dalam hal ini tentu pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membentuk keadilan tersebut," kata SBY.

Padahal, menurut David Burton, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, menanggapi proteksipertanian di Asia, "Saya kira tindakan terbaik adalah mengijinkan mekanisme pasar berjalan, dimana membiarkan harga-harga naik kemudian akan ada respon terhadap suplainya."

Menurut Komite Penghapusan Hutang Negara-Negera Dunia Ketiga, biang utama krisis pangan di negara-negara miskin justru adalah kebijakan imperialistik Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Seperti dilansir Televisi BBC 16 April lalu, komite yang berpusat di Belgia, itu menegaskan, IMF dan Bank Dunia, sejak 20 tahun lalu memaksa negara-negara Selatan menerapkan kebijakannya, sehingga menyebabkan kerugian besar negara-negara tersebut.

Komite ini menambahkan, kini rakyat negara-negara Selatan terpaksa harus membayar mahal program-program IMF dan Bank Dunia. Semestinya dua lembaga itu yang menanggung dosa dari kesalahan tak terampuninya ini. Tapi kini, IMF dan Bank Dunia malah berupaya menyembunyikan kesalahannya dengan memanfaatkan isu krisis inflasi dan pangan dunia.

Nah, sekarang, beranikah kita keluar dari ketiak IMF dan World Bank? Ini urusan (politik) perut, Bung! Jangan sampai tragedi Haiti terjadi di sini. pane fakri

Read More......

Pejuang Dari Babakan Sabrang

Rindu kami padamamu ya Rasul. Rindu tiada terperi…
Nuraini dan teman temannya, menyanyikan “Rindu Kami Padamu”, garapan Bimbo itu, dengan merdu. Petikan dawai gitar yang mengiringinya, membuat suara kian menyayat. Group paduan suara SMP Alternatif Cendekia ini, benar benar mengeluarkan vokal dengan hatinya. Mata mereka sampai berkaca kaca. Sedalam itukah?


Kelihatannya ada sebab lain. Sebelum lagu itu dinyanyikan, anak anak bercerita kisah hidupnya yang tak terperi. Nuraini misalnya, ia punya cita cita jadi penulis. Tapi kehidupan orang tuanya sulit. Sejak kecil, ia tinggal bersama neneknya. Demikian juga Atik, dia pernah tak makan saat orang tuanya tidak mampu beli sembako.

“Saya pernah kak tidak makan. Satu hari setengah”, celetuk Atik polos. Menurutnya tak hanya sekali, beberapa kali malah. Apalagi saat harga harga naik seperti hari ini, sulitnya amat terasa. Wajar, tatkala lagu yang syahdu itu dinyanyikan, mereka mendalami hingga tulang sumsum.

Nuraini, Atik, dan teman teman sebayanya, hanya mampu menempuh pendidikan di SMP Terbuka. Mereka secara ekonomi tidak mampu sekolah di pendidikan formal. Tetapi, tatkala ujian, mereka akan menginduk ke SMP Negeri setempat.

Sekolah terbuka yang berada di Desa Babakan Sabrang, Ciseeng, Bogor itu, dirintis oleh Hadisuryanto. Mulanya, ia seorang mahasiswa yang sedang KKN di desa itu, pada 2002. Hubungannya dengan masyarakat setempat, meluruhkan nurani Hadi. Ekonomi lemah dan pendidikan yang rendah, menjadi keprihatinan lelaki berambut gondrong itu.

“Saya senang tinggal di sini. Tahun 2003, saya buat sanggar belajar di rumah seorang ustad. Saya ngajar matematika, komputer, dan bahasa Inggris. Respon anak anak sangat antusias”, kenang mahasiswa Madina Ilmu, Depok itu.

Sejak itu, ia makin terpikat dengan kondisi anak anak Desa Babakan. Apalagi, kebanyakan anak muda di desa ini hanya lulus sekolah dasar. Mereka banyak yang nikah muda. Bulat sudah tekad Hadisuryanto, untuk membantu generasi Babakan mendapat mencerahan pengetahuan. Apapun caranya, mereka harus sekolah.

“Saya akan tetap bertahan, sampai saya bisa melihat anak anak mandiri. Karena mereka yang nanti akan melanjutkan perjuangan ini”, tekad ayah satu anak yang terpisah jarak ini. Hadi tinggal di Ciseeng, sementara istri dan anak pertamanya yang baru umur dua bulan, tinggal di Palembang.

Mendirikan sekolah gratis ternyata tak mudah. Hadi harus memutar akal, bagaimana sekolah itu bisa bertahan. Ia pun menghubungi teman teman kuliahnya, untuk menjadi guru di sekolah itu. Tak hanya dari teman satu kampus, guru gurunya juga datang dari mahasiswa Gunadarma Depok.

SMP Alternatif Cendekia, menempati kontrakan rumah Rp 3,2 juta per tahun, di Jl AMD Raya No 14. Juni ini, masa kontrak habis dan tak bisa diperpanjang lagi. Muridnya 78 Anak. Mereka juga berasal dari desa sekitar, seperti Cigombong, Ciseeng, dan Prigi. Anak anak, banyak yang jalan kaki dua jam untuk ke sekolah. Di dalam kelas, terdapat tiga unit komputer, beberapa buku pelajaran, dan meja duduk tanpa kursi. Karena sempitnya ruangan, jadwal sekolah dibagi dua, pagi dan sore.

Tahun lalu, Hadisuryanto bertemu seorang dermawan. Tatkala melihat aktivitas SMP terbuka ini, orang itu luluh hatinya. Akhirnya, ia membatalkan rencana umrohnya bersama keluarga. Biaya untuk rencana umroh itu, akhirnya disumbangkan ke SMP Cendekia dalam bentuk 600 meter tanah. Saat ini, di lahan itu, tengah dibangun gedung sekolah. Hadi menerima bantuan itu syukur, juga masgul. Sebab, ia harus mencari dana tambahan untuk proses pembangunannya yang tertatih tatih.

“Jujur saja, kalau dulu saya tahu rasanya begini, saya nggak berani membuat sekolah ini mas. Benar benar berat. Tapi saya tak akan mundur”, tandasnya. Ia juga berencana, gedung itu nanti dapat menampung jenjang SMA. Rencananya, tahun ajaran ini.

Perjuangan Hadi tak sia sia. Anak anak di sekolah itu, mengaku bersyukur ada sekolah ini. Jika tidak, meraka pasti terhenti hanya di bangku sekolah dasar. Dengan pengetahuan, kini mereka punya asa. Nuraini ingin jadi penulis, Atik mau jadi guru, dan anak anak yang lain semua punya mimpi menggapai bintang.

Meski untuk itu, Hadi tak rampung kuliahnya. Terpisahkan dengan anak dan istri. Lelaki gondrong yang bersahaja itu, telah memberikan hidupnya, untuk anak anak yang termarginalkan. Kami malu padamu Hadi.

Read More......

Tuesday, April 15, 2008

Ini Indonesia Bung!

Mahalnya beras dan kelangkaan minyak tanah, tak mengusik hidup Abdullah (72) yang akrab disapa Pak Abdul. Sebab, warga Kampung Cibarani, Desa Karangnunggal, Cirinten, Banten, ini memang sudah beberapa bulan terakhir ‘’putus hubungan’’ dengan kedua komoditas itu. Tepatnya setelah harga beras dan minyak tanah membubung tinggi sehingga menjadi barang mewah buatnya.


‘’Sekarang kita mah pake kayu bakar dan makan singkong bae,’’ katanya sambil asyik menganyam kulit bambu untuk dibuat besek. Untuk membakar kayu, tak perlu minyak tanah. Cukup memakai dedaunan kering yang gampang dijumpai di kampungnya. Memang agak lama, tapi Pak Abdul sudah biasa menikmati kesusahan.

Istri, menantu, dan cucu Pak Abdul juga mulai terbiasa melawan kerasnya hidup. Mereka mewarisi ilmu anyam si kakek yang masih cukup gesit itu.

Spirit keluarga Pak Abdul tak lepas dari gemblengan Ustadz Dulhani, da’i Dewan Da’wah yang berdinas di perbatasan Badui Dalam. Dulhani berpesan agar jamaah pandai-pandai berkelit dari peliknya kehidupan. Baik tantangan alam maupun kebijaksanaan ‘’Jakarta’’ yang seringkali tidak masuk dalam hitungan hidup warga terpencil seperti warga Cibarani.

Maka ketika pemerintah memaksa rakyat beralih dari minyak tanah ke gas elpiji, Dulhani mengajak warga Cibarani beralih ke kayu bakar dan dedaunan kering. Sebab, kompor gas dan elpiji masih menjadi makhluk asing di Karangnunggal yang terpencil.

‘’Kalau pake kayu bakar nggak boleh karena dianggep balakan liar, ya kita bakar ranting dan daun kering. Kalau itu juga nggak boleh, ya kita bakar gubug kita,’’ tutur Pak Abdul sambil terkekeh geli. Menertawakan nasibnya sendiri.

Abdullah sekeluarga, bertahun-tahun memang hidup di gubug berdinding bambu. Mereka juga memperoleh penghasilan pas-pasan dari kerajinan tangan menganyam kulit bambu. Tapi, tentu saja pilihan pada bambu ini bukanlah agar mudah dibakar sewaktu-waktu.

Tapi, kalau tahu, tempe, beras, minyak tanah, sudah jadi barang mewah, suatu saat nanti mungkin Pak Abdul memang harus menjadikan gubugnya sebagai bahan bakar. Who knows. Ini Indonesia, Bung! (Pane Fakhri)

Read More......

Friday, April 11, 2008

Lonceng Kematian LAZ

Ssst, draft RUU Zakat pengganti UU 38/1999, sampai di tangan. Di era keterbukaan, menggagas diam-diam mematangkan misteri. Harusnya melegakan, tapi resah yang terpicu. Bola jelas bakal liar, yang implikasinya meluas. Kebijakan seolah cuma uji coba. Tak peduli pada tatanan yang telah terpola sebaik apapun. Gairah zakat berkat paduan strategi dan siasah selama ini porak poranda. Struktur yang terbentuk pun terjungkal sia-sia. Bingung, yang meretas kebingungan lain. Ketidakpastian, itulah kepastian yang dihadapi di tiap perubahan UU.


Enam Soal

RUU Zakat setidaknya punya delapan perkara. Tulisan ini merupakan satu dari delapan rencana tulisan berseri. Kini kita kupas pasal 7 ayat 2. Isinya: “Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah dikukuhkan di instansi pemerintah dan swasta diubah statusnya menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari Badan Amil Zakat (BAZ) setempat”.

Ada enam masalah berkait dengan pasal ini. Pertama nasib LAZ memang tak pernah dihargai. Pasalnya jelas. Karena LAZ seperti DD Republika, RZI, PKPU, BM Hidayatullah dan DPU DT merupakan produk masyarakat. Bukan ingin mendahului kehendak Allah SWT. Tapi tanpa LAZ, dunia zakat di Indonesia tak bakal marak. LAZ terbukti menginspirasi lahirnya tiga hal penting. Pertama UU 38 tentang Pengelolaan Zakat disahkan tahun 1999. Kedua LAZ membuahkan hasil terbentuknya sub-direktorat zakat di Depag. Dan ketiga, tanpa LAZ mustahil BAZNAS ada.

Tapi pameo ’air susu dibalas dengan air tuba’, bukan tanpa makna. LAZ sang inspirator, justru sedang dikubur oleh lembaga yang lahir berkat LAZ. Sementara beberapa negara luar yang telah kirim dutanya – seperti Tanzania tahun 2002 – amat tertarik dengan LAZ sebagai satu role model. PPZ (Pusat Pungutan Zakat) Malaysia, bahkan juga jajaki aliansi twin sister dengan DD Republika.

Di 2002 itu juga, Indonesia masuk dalam 59 negara gagal yang dibahas World Economic Forum dan Universitas Harvard. Ciri negara gagal, di antaranya angka kriminal dan kekerasan tinggi; korupsi meraja lela; miskinnya opini publik; serta tingginya suasana ketidakpastian (Meuthia Ganie-Rochman, Kompas, 4 Jan’08). Kontradikitf: di sisi pengelolaan zakat, LAZ jadi role model. Di penyelenggaraan negara, Indonesia masuk dalam contoh studi pembangunan negara gagal.

Soal kedua alih-alih asset, di mata pemerintah, LAZ adalah pesaing. Aroma ini sudah tersedak di UU 38/1999. Begitu semangatnya, hingga arsitek UU 38/1999 gagal sembunyikan ketersinggungannya karena zakat dikelola masyarakat. Padahal konsep negara modern, menuntun pemerintah tak perlu berlelah-lelah kerjakan serba sendiri. Lebih-lebih kemiskinan yang 120 juta orang (World Bank), harusnya mentawadhukan pemerintah lebih rendah hati. Syukur-syukur bisa melafal hamdallah karena hadirnya LAZ. Apalagi sebagai negara gagal, mestinya pegiat zakat dihadiahi medali. Lho, malah diancam.

Dan justru itulah soal ketiga, kreatifitas bottom up dicoba diberangus. Padahal dalam konteks negara gagal, kreatifitas jadi penghela untuk lepas dari keterpurukan. Bottom up jelas bukti konkrit masyarakat yang tak pernah bisa diam. Lantas bukankah kreatifitas bottom up LAZ, hasilkan pengelolaan zakat ala Indonesia. Khasanah pengelolaan zakat dunia diperkaya. Konteks zakat, hanya bisa dikuak muamalahnya dengan kreatifitas. Gaya top down Orde Baru, ternyata masih kuat melekat. Maka kemandegan, itulah tanda-tanda dunia zakat Indonesia ke depan.

Keempat, karena dunia zakat mandeg, motivasi pun tergerus. Kebijakan ini menambah contoh, ihtiar selalu disumbat. Apakah karena pemerintah, kebijakan mematikan pun otomatis dianggap maruf? Demotivasi pegiat zakat, bakal terpicu hebat. Begitu RUU disahkan, dunia zakat Indonesia pasti ditinggal orang-orang terbaiknya. Kebijakan yang ‘mengganggu’ ini, berpotensi gagalkan tujuan kebijakan itu sendiri.

Kelima, atas nama agama, kebajikan zakat yang telah nyata dicerabut. Di balik kebajikan, itulah kepercayaan. Namun karena dianggap benda mati, kepercayaan seolah mudah saja dialihkan pada lembaga bentukan pemerintah. BAZ-nya tak salah. Kredibilitas pemerintah yang jadi soal. Berbeda dengan calhaj yang terpaksa ‘mau’ diatur karena no choice. Bagi sebagian muzaki, gaya top down jadi problem. Begitu RUU disahkan, itulah aba-aba: Memilih salurkan langsung ke masyarakat, tetap ke LAZ meski diberangus atau turuti kehendak RUU.

Maka keenam, siapa bakal ambil alih tanggung jawab dan biaya kegiatan yang telah berjalan di masyarakat? Negara bukan hanya terbukti gagal lindungi, rakyat miskin malah terus bertambah. Sedang LAZ yang coba membantu, justru hendak dipunahkan. Dibantu malah tersinggung.

Tanggalkan Baju Zakat
RUU Zakat, agaknya kebijakan ketersinggungan. Gegabahnya menikam banyak pihak. Masyarakat pun digiring apatis. Mudahkah gapai tujuan yang dipandu nalar ego? Set back dan demotivasi. Begitu kekagetan banyak pihak menyimak RUU Zakat. Siapa yang tak geleng kepala, kreatifitas zakat yang telah terpola direngut. Atas nama agama pula, buah-buah kebajikan dicabuti.

Dengan RUU Zakat, ada yang terbahak, ada pula yang masghul. Sedikit yang mau tahu, namun banyak sekali yang tak peduli. Yang diam dianggap ‘sopan’. Yang aktif mengadvokasi dianggap sakit hati. Sambil mengamati ketidakpastian, harapan tinggal di DPR. Cermatkah DPR deteksi klausul tak produktif. Jika tidak, LAZ jelas tanggalkan ‘baju zakat’ untuk beralih ke LSM. Sebab Depsos yang ‘sekuler’ terbukti malah lebih bijak. Tak terbersit jadikan LSM dan NGO sebagai UPS (Unit Pegiat Sosial). Sementara muzaki yang masih ingin salurkan zakat, tetap bisa dilayani oleh LSM dengan nafas baru ini.erie sudewo

Read More......

Friday, April 04, 2008

Optimisme Hapet

Di mana optimisme itu terselip? Dalam relung sanubari pemerintah dan elit? Terbingkai dalam pikiran jernih, cerdik pandai? Terserak di tengah gemuruh kampanye partai politik? Atau, terendap dalam janji para Balon (bakal calon)? Entahlah. Optimisme memang misteri. Ia kata yang mudah kita cuap cuapkan. Tapi sulit dilihat serpihan wujudnya.




“Satejena oreng kodu optimis gadebbi kabedeen odi’ samangken”, (dalam menjalani hidup ini harus optimis) terang Hapet. Ia tukang becak di terminal bus Situbondo, Jawa Timur. Sudah 30 tahun profesi itu ia jalani. Melebihi separo dari hidupnya, kini menginjak umur 54 tahun.

Wujud optimisme itu, beru
saha ia buktikan dengan setia pada pekerjaannya. Kulit Hapet mulai kering keriput, tapi badannya yang kurus masih tampak sehat. Matanya cekung. Nafasnya kadang tersengal. Tapi ia enggan berhenti, menghisap lintingan tembakau.

“Beden kaule koat tak nedde asalkan aroko”, (saya kuat tidak makan asal merokok) akunya, dengan logat Madura murni.

Rokok, bagi Hapet dan kebanyakan pekerja kasar, pil ampuh menahan lapar. Jika dituruti, godaan perut bisa mem
buat bangkrut. Pulang ke rumah bisa tidak membawa uang. Maka, asap rokok menjadi penyumbat rasa lapar itu. Rokok yang mereka hisap, buatan sendiri, dari tembakau yang dilinting dengan kelobot (kulit jagung).

Entah darimana Hapet tahu, ungkapan optimisme itu. Membaca ia tak pandai, televisi juga tak punya. Mungkin, ia mendengar celetukan penumpang bus antar kota, yang riuh saban hari di terminal. Bisa juga mendengar dari penumpangnya.

Tak peduli dari mana, ayah lima anak itu dapat optimisme. Tapi sejak ia kali pertama mengayuh becak, itu optimisme
nya untuk melanjutkan hidup. Meski sampai kini, rumahnya masih bertulang ori (jenis bambu) dan dinding gedhek yang mulai lapuk, Hapet merasa hidup harus optimis.

Optimisme, membakar Hapet tak ciut oleh luapan sungai Sampean yang arusnya deras. Di musim penghujan, tidak ada jalan lebih dekat menuju kota, selain menyeberangi sungai itu. Tiap pagi, Hapet menenteng sebatang bambu untuk menyeberang.

Bambu itu, ia gunakan menopang badannya agar tak tenggelam. Dari pinggir awal men
yeberang, ia akan berusaha mengapung dan membiarkan dirinya terseret arus, hingga 200 meter untuk sampai di pinggirnya. Sementara tangan kanannya memeluk bambu, tangan kiri menjulang ke langit, menahan pakaian yang dibungkus plastik agar tak basah.

Selama musim penghujan, Hapet selalu menempuh jalan yang dekat dengan maut itu. Sebaliknya, tukang becak yang lain di desanya, memilih bertahan di rumah. Mereka baru akan menyeberang, jika air sungai surut dengan sampan penyeberangan. Tapi Hapet tak mungkin diam, hanya oleh rintangan alam itu. Keluarganya perlu makan.

Dengan optimisme dan ketangguhan sekuat itu, berapa rupiah uang yang dibawa pulang Hapet. Jumlahnya tak lebih dari Rp 20 ribu. Bahkan, sejak banjir sepeda motor, penghasilannya kini paling bagus Rp 15 ribu. Itupun hanya pada hari hari tertentu. Seperti liburan, lebaran, dan perayaan Maulid. Penumpang yang sepi, ditumbur harga kebutuhan pokok yang terus naik, membuat hidup tukang becak tak terperi. Tapi Hapet bergeming, harus tetap optimis.

Pikiran sederhananya, ia berusaha tak menyerah oleh kehidupan yang sulit. Kalau Hapet ingin hidupnya lebih baik, mungkin harus pindah pekerjaan. Namun, di senja usianya, Hapet hanya punya sepasang kaki untuk mengayuh pedal dan becak, yang besi besinya mulai karatan.
Hapet juga mustahil ber
saing, dengan sarjana yang kini sulit mencari kerja. Mau berdagang – kalau toh ada modal – nyaris tak ada lapak aman dari gusuran trantib. Sekali waktu, Hapet berangan tinggi, tapi optimismenya mentok di sadel becak.

Di masyarakat kecil kita, banyak yang punya ketangguhan semacam Hapet. Temui mereka di desa desa, trotoar, pasar, gang gang sempit, dan jalanan. Betapa kreatif masyarakat negeri ini. Mereka lihai menyiasati hidup, meski silih berganti bangkit dan limbung. Penggusuran pedagang yang mengusir mereka dengan bengis, tak membuat menyerah. Esok, datang menggelar dagangan lagi.

Menyelami detak jantung kehidupan masyarakat kecil, kita merinding melihat betapa optimisnya mereka mengurus diri sendiri. Mereka optimis, dalam serba keterbatasannya. Tidak saling ganggu, apalagi rusuh. Kecuali ada segelintir kecil yang memanfaatkan keluguannya. Menyulut api, atas nama demokrasi.

Optimisme Hapet, mestinya membuat bangsa ini maju dan agung.
Tinggal bagaimana nahkoda bangsa ini, membuktikan optimisme kebangsaannya. Tentu bukan optimisme dalam irisan idealisme dan pragmatisme. Jika itu yang dimaknai, pemimpin negeri ini kalah dengan optimisme Hapet, si tukang becak.

Pun, optimisme Hapet bening. Ia mengingatkan, kita harus optimis dalam hidup, dengan cara mencari rezeki yang halal. Wejangan yang kelihatannya berat, dijalankan pengelola negeri ini. Karena
acap bicara optimisme, kerap dari balik jubah korupsi dan manipulasi.

Dalam ketidakpastian ini, kita sepakat harus menghidupkan optimisme. Lantas, bagaimana ia bisa membumi dari sekadar kata kata? Jika mau dengan cara melankolis, mungkin dapat memetik optimisme cinta Maria, dalam film Ayat Ayat Cinta. Betapa optimisme cintanya, dalam merebut hati Fahry mengagumkan. Hingga Presiden SBY, mengaku menangis usai menonton film itu.

Sebaliknya, jika optimisme bangsa ini seperti Hapet, yang keluar bukan air mata. Melainkan kerja keras dan peluh bercucur.

Read More......

Dari Beras Hingga Pisang Rebus

Perlahan, matahari tenggelam di ujung barat Flores. Dari utara, Kapal Armada Bahari Mulia yang mampu mengangkut 15 ton muatan, merapat ke pelabuhan Pulau Adonara. Kapal kayu itu, dimuati biji mente dari Alor. Setelah bersandar, lima awak kapalnya turun. Mereka singgah sejenak di Desa Adonara, Kelubagolit, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), kampung halaman mereka.


Pelayaran itu, dipimpin Arifudin Anwar. Ia salah seorang aktivis sosial di Adonara, yang mengelola pendidikan gratis, jenjang SMP dan SMA. Murid-muridnya, datang dari Maumere, Larantuka, Lembata, dan Alor. Mereka dari keluarga tidak mampu. Karena jarak kampung halaman mereka yang jauh, Arifudin membangunkan asrama sederhana untuk mereka tinggal.

Malam itu, ia si
nggah sejenak di rumah untuk menemui anak istri dan murid-muridnya. Ia perlu waktu empat jam, untuk bercengkerama dengan anak didiknya. Kemudian ia akan melanjutkan pelayaran, menuju Maumere untuk menjual mente.

Di dalam ruang tamu yang sederhana, istri Arifudin memanggil murid murid yang tengah belajar di dalam bilik asrama, untuk kumpul. Terdapat 69 murid SMP dan 25 murid SMA, yang sekolah di Yayasan Ikhwatul Mukminin itu. Dalam temaram penerangan lampu petromak, Arifudin bersila di hadapan anak muridnya. Tak ketinggalan, lima anak kandungnya sendiri
juga duduk berbaur dengan mereka.

“Selama ustad pergi, kata Ibu, kalian nakal ya”, kata Arifudin memecah keheningan. Anak-anak yang semula menund
uk, kaget. Mereka mendongak serentak menjawab.

“Tidak Pak Ustad!”

“Kalian makan apa hari ini?” Arifudin menyelidik.

“Alhamdulillah, masih bisa makan pisang dan ikan asin Ustad”, celetuk Ismail mewakili teman-temannya. I
a murid kelas dua SMA yang berasal dari Alor.

“Ismail! Kamu dapat salam dari mama kamu. Dia pesan, kamu tidak boleh nakal di sini. Belajar yang rajin”, tandas Arifudin. Di Alor, Arifudin menjumpai orang tua Ismail, untuk mengabarkan keadaan anaknya di sekolah. Demikian juga jika ia pergi ke Lembata, Maumere, dan Larantuka. Arifudin selalu menyempatkan bertandang ke rumah para orang tua murid. Mereka senang, tiap dapat kabar anak-anaknya sehat dan naik kelas.

“Anak-anak, malam ini saya akan melanjutkan perjalanan. Saya pesan, kalian belajar yang benar, jangan nakal. Selama saya pergi hanya ibu (istri Arifudin) yang mengawasi kalian. Jangan kecewakan guru guru
yang sudah bimbing kalian”, wasiat Arifudin, didengarkan seksama para muridnya.

Hampir dua jam, Arifudin ber
tukar pikiran dengan anak asuhnya. Ia selalu membagi pengalamannya, menempuh perjalanan dari pulau ke pulau. Dibaginya kabar orang tua mereka di kampung halaman yang hidupnya sulit. Hikmah dan nasehat selalu tersemat.

“Saya tidak menuntut apapun dari kalian. Kalian tidak perlu pikirkan bagaimana biaya sekolah. Saya hanya minta kalian ganti dengan semangat belajar. Apa yang saya makan, itulah yang kalian makan. Saya tidak beda-bedakan di antara kalian”, nasehatnya.

Pertemuan mendadak seperti itu, kerap dilakukan Arifudin untuk melihat perkembangan anak muridnya. Ia sendiri, hari-harinya sibuk untuk mendampingi masyarakat dan berdagang. Sementara, untuk belajar mengajar, ada tujuh guru yang mengajar di sekolah itu. Di antaranya, istri dan adiknya.

Meski sekolahnya be
rdiri serba sederhana, tapi muridnya berasal dari empat Kabupaten di Flores Timur. Semua berasal dari keluarga miskin. Mereka tinggal di bilik bilik sederhana di sekitar sekolah, berdekatan dengan rumah Arifudin. Bilik itu diberi dinding gedhek dengan atap ilalang.

Mencukupi kebutuhan hidup 94 anak, tidak mudah. Arifudin harus bekerja keras. Selain dari usaha berdagang,
ia memanfaatkan hasil bumi yang tumbuh di atas lahan warisan orang tuanya, untuk mendukung operasional sekolah.

Bulan Agustus hingga September, Adonara memasuki musim paceklik. Stok jagung dan beras akan menipis. Dalam keadaan begini, Istri Arifudin dituntut kreatif. Agar anak anak tidak kelaparan, ia memanfaatkan pisang untuk penggan
ti beras dan jagung. Diolahnya pisang itu, dengan sedikit lauk ikan teri asin, sayur jantung pisang, daun singkong, dan rebung. Menu itu, ia gonta ganti agar selera makan anak-anak tak menurun.

Hidup di gugusan kepulauan Flores, umumnya memang sulit. Wilayah NTT, hampir rutin mengalami tiga musim hujan, dan sembilan musim kemarau. Kala hujan, curahnya rendah dan tidak merata. Meski hidup dalam kondisi alam yang demikian keras, Arifudin selalu menekankan anak muridnya untuk tidak menyerah. Ia berpesan, agar hidup yang selalu sulit menjadi tungku api menatah masa depan.

“Hanya kalian yang dapat mengubah nasib kalian. Lihatlah mama dan bapak kalian, hidupnya susah sampai sekarang. Lihat juga adik adik kamu, di pundak kalian harapan itu mereka tunggu”, lecut Arifudin, dalam.

Sekolah itu, didirikan pada 2002. Biaya pembangunan dan operasionalnya, sebagian bantuan dari donatur. Kondisi ekonomi murid yang sulit, tak memungkinkan sekolah memungut biaya pendidikan. Apalagi, seman
gat sekolah anak-anak di sana tergolong rendah.

Selepas pertemuan itu, Arifudin pamitan. Anak muridnya berduyun duyun mengantar, sampai ujung desa di tepi pantai. Dalam temaram petromak, anak-anak bersalaman. Mereka akan jumpa lagi, lima hari kemudian. Arifudin bersama anak buahnya, menarik jangkar. Kapal perlahan melaju, menuju Maumere. Menjelang sore, biasanya kapal baru sampai.

Di ujung desa menghadap laut Flores, anak anak menadahkan tangan, mendongak ke langit. Mereka tampak khusu berdoa. Semoga sang guru selamat. Diam diam, mungkin ada yang membatin, agar ustad pulang membawa beras. Tapi tanpa itu, mereka toh tetap semangat. Rumusnya perut terisi. Pisang rebus, cukup sudah membuat kenyang.

Read More......

Mengabdi dengan Kedhuafaan

Badannya perlahan bongkok. Usia yang merambat dan tempaan hidup, membuat Saminan (53) tak gagah lagi. Tapi semangatnya tetap kokoh, bergeming menahan gempuran kehidupan. Enam anak telah dibesarkan oleh cucuran keringatnya. Dua di antaranya, telah berkeluarga meneruskan trah Saminan. Empat lainnya, masih dalam tanggungannya. Berkumpul di dalam bilik berdinding gedhek yang sederhana.


Pada 1975 – 1984, Saminan pernah mencicipi angkuhnya Jakarta. Kurun sembilan tahun, ia menyusuri gang dan kompleks, menjajakan minyak tanah di bilangan Tanjung Priok. Meski telapak kakinya makin kebal, oleh jilatan aspal jalan yang mendidih, kehidupan Saminan tak jua berubah.

Gerobak minyak tanah itupun ditinggalkan. Ia beralih menjajal keperkasaan tangannya, dengan jadi kuli bangunan. Kala itu, Ibukota sedang giat memancangkan gedung gedung pencakar langit. Permukiman elit juga subur menjamur. Selama tenaga kuat, cari kerja bangunan tak sulit ketika itu. Meski Saminan kini tak tahu, pembangunan di Jakarta kian mati suri. Jalan jalan berlobang, gedung gedung yang dulu ikut dibangunnya, juga termakan uzur, seperti tubuhnya yang makin ringkih.

Saminan, akhirnya pulang kampung. Bersama Ratih (50), istri tercintanya, ia memutuskan damai tinggal di Kampung Kolengan, Jasinga, Bogor. Pengalaman merajut hidup di Jakarta, membakar api semangat Saminan, untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ia paham, tanpa pengetahuan, hidup akan terus sulit. Jika anak-anaknya, tak dibekali ilmu, Saminan sadar penderitaannya akan diwarisi anak cucu. Tapi keinginan yang meledak ledak itu, pecah di rongga dadanya yang mulai rapuh.

Menopang mimpi tinggi, dengan pondasi jualan Cilok, sungguh berat. Tapi Saminan, tetap teguh memikul gerobak Cilok itu. Ia susuri jalan jalan kampung, berhenti di keramaian, dan mampir di sekolah sekolah. Berangkat pukul tujuh pagi, ia akan kembali menjelang Magrib. Malam hari, Ratih menyiapkan Cilok untuk esok harinya. Jika Saminan nglokro, Muhidin – anak ketiga Saminan yang sekolah di SMP PGRI Kolengan – menggantikan pekerjaan Sang Ayah.

Tatkala Saminan jualan, Ratih, pergi mencari kayu bakar. Keluarga Saminan, memang tak berdaya menggunakan kompor, apalagi gas elpiji. Sejak dulu, keluarga itu penikmat tungku. Keuntungan Cilok Saminan, tak lebih dari Rp 15 ribu per hari. Ratih, dengan teliti membagi untuk biaya sekolah empat anaknya dan kebutuhan sehari-hari. Tatkala bahan Cilok (terigu dan minyak goreng) mahal, Saminan dan Ratih ingin menjerit. Tapi ketidakberdayaan itu, pahit ditelan sendiri.

Jika boleh berangan, Saminan ingin punya usaha toko sebenarnya. Meski ia belum paham, bahwa usaha inipun rawan bangkrut. “Kahayang abdi mah teu jualan Cilok terus, tapi hayang ngawarung supaya bisa ngabiayaan sakola anak sing luhur, jeung bisa nyukupan kabutuhan keluarga”, harapnya. (Ingin saya itu tidak hanya jualan Cilok terus, tapi ingin membuka toko, supaya bisa membiayai anak sekolah yang tinggi dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga).

Dalam keterbatasannya, Saminan orang hebat di kampungnya. Saat tidak ada orang mau menjadi ketua RT, Saminan didapuk warga mengurus mereka. Jabatan sosial itupun, dilakoni Saminan selama 20 tahun. Tanpa cacat. Budi pekerti dan ketulusan Saminan telah memikat hati warganya.

Sore pekan lalu, Saminan mangkal di SMP PGRI Kolengan, salah satu tempatnya jualan. Ia pandangi panflet dan sepanduk calon bupati Bogor dan calon gubernur Jawa Barat yang menyebar tak jauh dari situ. Segudang janji dengan puja pujinya, berderet dan berlomba tentang kesejahteraan rakyat. Saminan hanya mesem. Mungkin dalam hati kecilnya berbisik.

“Dengan kemiskinan, sudah 20 tahun saya mengabdi tanpa gaji”.

Read More......