Friday, April 17, 2009

Di Sarang Pejuang


Akhirnya saya bercanda dengan mujahidin-mujahidin itu. Pengalaman yang tak mungkin lupa seumur hidup. Di sarang pejuang Hamas, antara tegang dan pasrah. Kisah ini mele
ngkapi misi kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina.


Suatu malam, mereka mengajak patroli ke dekat perbatasan Israel, Erez. Lebih kurang dua kilo meter dari Israel. Para pejuang ini, menenteng AK 47, roket anti tank buatan Rusia, dan ranjau penghancur tank.
Mereka menyelip di antara dinding-dinding puing bangunan yang hancur oleh bom Israel. Juga mengendap di bawah rerimbunan pohon jeruk dan zaitun, pukul 23.00 malam itu.

Di sebuah tempat pe
ristirahatan, seseorang dari mereka membuka bekal makanan. Dikeluarkanlah roti, dan satu kaleng minuman ringan "Coca Cola". Kami bercengkerama di bawah rerimbunan pohon jeruk. Saya bertkata, "Coca Cola di Indonesia diboikot! Ini Israel punya".

"Subhanallah", jawab mereka serentak. "Kami tidak punya pilihan lain", kata salah satu mujahidin. Dia mera
pat, merangkul pundak saya. Dengan bahasa Inggris yang dipaksakan dia berucap, "I Love you Indonesi". Seorang temannya kemudian menyela, "Dakwad!" sembari menunjuk dadanya. Dia bilang doakan kami. Saya kaget, "Anda yang harus doakan saya, karena kalian mujahidin!".

Dia maksa bah
wa dialah yang perlu doa. Mereka seperti sadar, jika pertemuan malam itu bisa jadi perjumpaan terakhirnya dengan orang asing. Mereka tidak tahu, apakah esok masih dapat menatap matahri, atau dijemput syahid.

Pada hari yang lain, saya dijamu sebuah keluarga yang hidupnya sederhana. Disuguhkanlah buah jeruk dan
apel yang mulai layu. Saya bertanya, "Dari mana jeruk ini?". "Dari Israel dan Mesir. Tapi Israel selalu menjual buah yang mulai busuk ke kami", jawab tuan rumah.

Di rumah Abu Anas, seorang warga Gaza yan
g berbaik hati memberi tumpangan menginap, saya mendapati listrik hidup hanya 3 jam. saya bertanya, "Darimana listrik ini?". Abu Anas menjelaskan, "Sepertiga dari Israel dan sepertiga dari mesir".

Di Gaza, saya bertransaksi menggunakan mata uang Israel, Shekel. Juga berkomunikasi dengan, Jawal - jaringan selul
aer milik Israel.

Saya dapat merasakan, betapa berat sebagai manusia terjajah. Seperti diberi hidup, tapi disakiti agar mati perlahan. Namun, saya juga merasakan, sebuah perjuangan tidak mengenal akhir. Membebaskan diri dari penjajahan dan kezaliman sesama umat manusia.

Read More......

Bantuan DD Langsung Tembus Jalur Gaza


REPUBLIKA – Bantuan kemanusiaan masyarakat Indonesia melalui Dompet Dhuafa Republika (DD), sudah tersalur seluruhnya langsung ke jantung Gaza. Bantuan tahap dua senilai Rp 1 milyar yang dibawa tim kedua Ahmad Shonhaji dan Imam Rulyawan, telah didistribusikan dalam bentuk logistik makanan dan santunan korban perang di Rafah Gaza dan Jabalia.


Sebelum keberangkatan tim kedua ini, DD telah mendirikan Pabrik Roti bekerjasama dengan The Islamic Society Jabalia Nazla, di Gaza Utara. Misi pertama yang berhasil menembus Jalur Gaza ini dilakukan oleh Sunaryo Adhiatmoko dan Fachrul Ratzi wartawan Republika. Adapun total bantuan masyarakat Indonesia melalui DD, yang sudah diterima langsung masyarakat Gaza senilai Rp 2,5 milyar.

“Kami tidak dapat masuk Gaza. Tapi jaringan kemanusiaan tim DD pertama yang sudah dibentuk tim DD sebelumnya, berhasil memba
wa sisa bantuan Rp 1 milyar yang tertahan di Rafah”, tandas Ahmad Shonhaji.

Diceritakan Shonhaji, sejak penutupan pintu perbatasan Rafah, Mesir, 5 Februari lalu, tidak ada lembaga kemanusiaan
dapat masuk ke Gaza. Meskipun berbagai kelengkapan administrasi terpenuhi, pemerintah mesir tetap tidak mengijinkan masuk ke Gaza. Akhirnya, selama dua pekan tim hanya bertahan di El Arish dan Rafah Mesir.

Setelah menunggu tanpa kepastian, akhirnya DD memanggil perwakilan dari Islamic Society cabang Rafah Gaza, untuk mengambil langsung bantuan ke El Arish, Mesir.
“Kami menunggu tiga h
ari di El Arish, untuk memastikan bantuan sampai. Mereka mengirimkan bukti dokumentasi distribusi bantuan melalui email”, kata Shonhaji.

Bantuan dalam paket sembako itu, dibawa oleh satu tronton truk yang didistribusikan langsung ke pengungsian. Relawan lokal DD yang diwakili Abu Musaf mengawasi langsung distribusi bantuan ini. Sisanya diberikan secara tunai ke 700 keluarga korban perang. DD juga membantu Madrasah Darul Fadillah di Rafah Gaza, yang hancur oleh 14 roket Israel, pada hari terakhir serangan sebelum
genjatan senjata.

Tentang ketersediaan suplai logistik di dalam Gaza, seperti dijelaskan Sunaryo Adhiatmoko, tim DD pertama yang masuk Gaza, pihaknya sama sekali tidak kesulitan memperolehnya di dalam Gaza. Karena, mitra lokal sangat paham bagaimana cara mendatangkan logistik langsung ke Gaza.


“Blokade panjang yang mengisol
asi mereka membuat warga Gaza kreatif untuk bertahan hidup. Mereka hanya memerlukan uang, nanti untuk membeli barang, mereka tahu bagaimana mendatangkannya. Itu yang kami alami di Gaza”, tandas Sunaryo yang sembilan hari berada di Gaza.

Ada tiga mitra lembaga kemanusiaan DD di Gaza yang meliputi Rafah, Gaza City, dan Jabalia. Diantaranya The Islamic Society Palestine –
Jabalia City yang dipimpin Esam M Juda (Abu Ahmed). Lembaga ini mitra pelaksana program pabrik roti DD di Gaza. azmiah rusydina.

Read More......

Indonesia Builds Bread Factory in Gaza

VIVAnews - A humanitarian team from Indonesia is setting up a bread factory in Gaza, Palestine, aimed at helping Gaza people who lack food due to the ongoing conflict between Israel and Hamas.



Coordinator of Dompet Dhuafa Humanitarian Team, Sunaryo Adhiatmoko, stated that the bakery development requires Rp 1 billion (US$ 85,000).

His team helps provide the fund for developing the factory using relief fund that Indonesians donate to 'Dompet Dhuafa'.

"The financing is agreed after
the situation is mapped and receiving inputs from the public, ulamas and important figures. One of them suggested that we build a bread factory because it is urgent," said Adhiatmoko through telephone from Jabaliya, North Gaza, on Tuesday, Feb 3.

Adhiatmoko said that Israeli aggression has further degraded the standard of living of disadvantaged people. The Israeli attacks have also destroyed a bread factory in Gaza, an important source of food there.

'Dompet Dhuafa' is teaming up with Islamic Society based in Jabaliya Nazla City, a local organization that will implement the program.

The agreement was signed today. "The bread factory should be completed and fully operational in one month," said Adhiatmoko.

Read More......

Menembus Jalur Gaza


Saya berada di Jalur Gaza selama sembilan hari. Berikut catatan saya pada hari ketujuh. Ini hari ketujuh, saya berbaur dengan warga korban agresi Israel di Gaza, (2 Februari 2009). Satu hari saya di Rafah, enam hari sampai sekarang saya bertahan di Jabalia Gaza Utara. Saya melihat Gaza masih utuh, yakni semangat juang rakyat dan cara bertahannya. Gaza masih kukuh, meski blokade Israel makin menggila.


Meski spirit warga Gaza terus membara, secara fisik Gaza porak poranda. Permukiman penduduk, sekolah, masjid
, dan pusat pemerintahan hancur total. Kerusakan terhebat dialami di Rafah, Khanyounis, Bayt Lahia, Bayt Hanun, dan Jabalia. Tetapi roda pemerintahan berderak tak terbendung. Pemerintahan resmi Hamas, tetap menjalankan perannya dengan baik. Tanpa kantor, apara kepolisian dan keamanan tetap beroperasi. Di Rafah misalnya, meski kantor polisi dihancurkan rudal dan bom Israel, mereka tetap berkantor di jalanan dengan absensi selembar kertas. Bahkan mereka sempat menangkap lima orang pengedar narkotika dari Mesir dan Israel.

Gaza City, ibukota Gaza, oase lain di tengah reruntuhan bangunan dan gedung di Gaza. Pusat kota Gaza ini masih utuh. Gedung-gedung yang punya konstruksi bangunan terkokoh di Arab – mungkin – masih angkuh menatap lepas laut Mediterania. Bank dan fasilitas publik lainnya masih berjalan baik. Kemacetan lalulintas juga pandangan hari-hari, seakan mengatakan "Kami masih utuh wahai Israel!".

Biaya hidup di Gaza ting
gi. Nilai $ US 1 sama dengan 3,8 Shekel – mata uang Israel. Transaksi hari-hari rakyat Palestina memakai mata uang Israel. Hotel dengan tarif terendah mencapai $ US 100. Pasca perang, biaya hidup di Gaza naik lebih dari 300 persen.

Setelah tanggal 5 Februari nanti, pintu perbatasan Rafah melalui mesir akan ditutup. Saya dan orang asing lainnya, diminta Kementerian Luar Negeri Mesir, untuk keluar Gaza sebelum tanggal 5.

Ini seperti mimpi buruk. Selanjutnya, perbatasan yang akan dibuka melalui Israel di Karem Abu Salom dan El Auda. Saya membayangkan, jika pintu masuk Gaza melalui Israel, sama halnya dengan mengisolasi total warga Gaza dari dunia luar. Hati saya terus bertanya, mungkinkah suplai kebutuhan hidup melalui terowongan di Rafah mampu menghidupi 2,5 juta lebih penduduk Gaza? Pun, juga heran, bagaiama mungkin pasca gempuran yang demikian hebat, semua jenis kendaraan di Gaza masih beroperasi secara baik. Darimana supali bahan bakarnya? Makin memahami kehidupan Gaza rasanya rumit dan tak masuk akal.

Rasanya adil, jika akhirnya Hamas memplokamirkan kemenangannya. Karena Gaza bisa berdenyut lebih cepa
t dan makin kuat. Bahkan Hamas juga masih mampu melempar roket ke Israel, tiap kali Israel memancing keruh dengan melempar rudalnya ke Rafah, Khanyounis, dan Jabalia. Dalam catatan saya, Hamas hampir tak pernah melempar roket lebih dulu. Biasanya, jika Israel melempar rudal lebih dulu, Hamas baru membalasnya dengan dua sampai tiga roket. Mereka juga ingin menjelaskan, bahwa Hamas masih kokoh sebagai kekuatan militer di Gaza.

Di Gaza, saya berpetualang menjumpai para korban agresi Israel. Saya merekam cukup baik apa suara mereka. Dari anak-anak sam
pai orang tua. Dalam catatan saya, delapan dari sepuluh anak laki-laki di Gaza bercita-cita jadi anggota Brigadir Al-Qosam. Sisanya ingin jadi guru dan pekerja sosial. Sedangkan tujuh dari sepuluh anak perempuan di gaza, ingin jadi dokter. Mereka ingin mengobati para mujahidin yang terluka, jika Israel menyerang tanah mereka.

Dari setiap anak yang saya ajak berbincang, mereka punya suara kejujuran yang tulus tentang perdamaian. "Kami mencintai perdamaian dengan siapapun. Tetapi jika tanah kami dijajah dan orang tua kami dibunuh, kami akan melawan dengan maupun tanpa Hamas", kata Fatimah atlas (13), di reruntuhan puing bekas rumahnya, Bayt Lahia. Murid kelas dua Madrasah itu, ayahnya lumpuh oleh senjata Israel. Dia terkurung tujuh hari di sekolahnya, saat Israel menyerang. Ada 10 temannya yang syahid di sekolah, saat itu terkena ledakan bom.

Untuk menghemat biaya hidup, saya tinggal di rumah-rumah penduduk. Mereka sangat cinta orang Indonesia. Di sepanjang jalan saya lewati, setiap mulut berucap, "Ahlan wa sahlan Indonesia!". Di masjid-masjid temapt saya sholat, para jamaah selalu mengerubungi saya. Nafas rasanya sesak, kare
na seringnya dipeluk. Para imam masjid saling berebut ingin menjamu saya dan menginap di rumahnya.

Keluarga di gaza hidup dalam kesehajaan. Tetapi untuk menjamu tamu, mereka rela mengorbankan makanan terbaiknya. Kadang, saya belanja roti di warung pinggir jalan, tapi karena tahu saya ora
ng Indonesia, mereka tidak mau menerima uang saya. Bahkan saya diajak masuk rumah mereka dan dijamu makan. Ingin menolak, tapi postur tubuh mereka yang tinggi, membuat saya tak berdaya mengelak. Lengan saya yang kecil ditarik paksa masuk rumah.

Teman-teman saya di Jakarta tahu, saya tidak doyan roti. Tapi di Gaza dengan lidah dan mulut yang terus berontak, saya paksakan untuk menelan roti itu. Ironisnya, porsi yang mereka suguhkan sama
dengan porsi yang mereka makan. Repot tapi mengharukan.

Tidak hanya merekam kehidupan anak-anak dan keluarga di gaza. Saya juga dijamu Brigadier Al-Qosam, sayap militer Hamas yang kerap membuat Israel kerepotan dan stres. Suatu malam, saya diajak patroli mengunjungi markas dan tempat penjagaan mereka di perbatasan Gaza – Israel di daerah Jabalia. Jarak ke Israel tak kurang dari 1 km.

Mereka menyambut kami ramah. Muka mereka ditutup sarung kepala hitam, hanya tampak mulut dan matanya. Setiap prajurit menenteng senjata AK 47. Beberapa di antaranya memegang roket a
nti tank buatan Rusia. Sebagian roket modifikasi buatan sendiri yang diberi nama Yassin. Menukil nama almarhuh Syeh Ahmad Yassin yang dibunuh Israel.

Satu malam
saya bersama mereka. Jalan kaki memutari perbatasan Jabalia. Bau badan mereka harum, nafas yang mereka keluarkan tiap bercakap juga harum. Tidak saya temui, nafas parjurit al-Qosam bau jengkol. Telapak tangannya kekar dan kuat. Suarnya lembut dan santun. Saya tidak dapat mengenali siapa mereka. Tapi, beberapa di antaranya sepertinya saya tidak asing. Pernah berjumpa pada siang sebelumnya.

Saya mencoba mengingat siapa yang saya salami malam itu. Esok hari saya berjumpa anak-anak muda yang berpakaian rapi di masjid-masjid. Beberapa saya merasakan seperti sebagian dari orang yang saya jumpai semalam. Benar saja, sebagian mereka mengaku. Melihat gelagatnya, sulit menebak jika anak-anak muda yang gagah, rapi, santun, dan kalem ini adalah pejuang Al-Qosam yang garang di medan laga.

Tak lupa, mereka juga mengajak saya ke rumah para mujahidin yang luka. Mereka ada yang terluka di kepala
, hancur tangan, kaki, dan tubuh yang tidak utuh. Ajaibnya, luka-luka mereka cepat sekali pulih. Menurut seorang dokter di Gaza, suhu dingin di Gaza bagian dari sebab kenapa luka-luka itu cepat sembuh. Seorang mujahidin ada yang empat kali terjun ke medan tempur, dan empat kali juga tubuhnya terluka. Tapi tidak ciut, dia ingin menjadi mujahidin sampai syahid menjemput.

Saat ini di Indonesia, banyak foto-foto calon legislatif dan calon presiden. Tapi di Gaza tak kalah banyak foto-foto terpampang di jalan-jalan dan gang-gang. Tapi bukan foto caleg. Foto-foto yang dipampang di Gaza adalah foto-foto para mujahidin yang syahid. Mereka menjadi idola dan bintang bagi masyarakat Palestina umumnya. Mereka para syahid yang dihormati, karena membela tanah Gaza secuil yang ingin direbut Israel.

Di Gaza, saya merasakan hukum al-Quran diamalkan. Ini tercermin dari tingkah laku dan kehidupan masyarakat Gaza. Masjid-masjid penuh tiap sholat lima waktu. Rasanya saya ingin tinggal lama di tanah para mujahidin ini. Tapi, saya harus kembali membawa kabar pada dunia, bahwa tidak ada
teroris di Palestina. Semua warga Gaza mencintai Hamas. Ia, pemerintahan dan kekuatan militer yang syah di Palestina. Hamas memenangi pemilu secara demokratis. Dan hamas dicintai secara total oleh rakyat. Anak-anak di Gaza dan Palestina kini makin membumi, mencintai perlawanan dan selalu mengidolakan para mujahidin yang syahid.

Ini, catatan hari ke-7 saya di Gaza. Sebelum akhirnya saya meninggalkan tanah Mujahidin itu pada 5 Februari 2009, atas permintaan Mesir. Setelah itu, pintu masuk Gaza melalui Rafah ditutup.

Read More......

Penghuni Kota Mati


Mirip permukiman padat dengan arsitektur bangunan megah dan kuat. Di antara rumah-rumah yang rapat itu, ada bangunan-bangunan dengan kubah mirip masjid. Hanya satu pemandangan yang menyisakan tanya, mengapa permukiman yang mirip real estate itu tampak kusam. Belum hilang penasaran, teman saya berbisik, “Itu yang dinamakan Kota Mati”.



Area yang memiliki luas hampir seluas Bukit Sentul itu, ternyata kuburan. Letaknya rapat di sepanjang jalan dari daerah Dawea sampai Benteng Solahuddin. Kemudian bersambung di sepanjang jalan menuju makan Imam Syafi'i, Cairo, Mesir.

Kuburan yang memiliki arsitektur rumah ini, mempunyai ruang bawah tanah. Jika ada jenazah baru, maka pintu masuk bawah tanah tersebut dibuka. Jenazah kemudian dimasukan ke ruang bawah tanah bersama jenazah yang sudah lama. Hanya pengurus pemakaman yang boleh masuk ke dalam. Setelah selesai pemakaman, pintu ditu
tup kembali dengan batu dan sedikit ditimbali tanah. Sekilas, kita tidak akan tahu dimana pintu penyimpanan jenazah berada.

Meski itu area kuburan, ternyata juga ada penghuninya. Seperti keluarga Zaki yang sudah puluhan tahun mendiami kuburan milik seorang keluarga kaya di Cairo. Ia memanfaatkan kuburan yang mirip rumah megah itu sebagai tempat tinggal permanen.

“Kami menempa
ti kuburan ini karena tidak perlu keluar biaya. Kami tinggal membersihkan dan menjadi juru kunci kuburan”, terang Zaki. Tapi jika boleh memilih, Zaki juga tidak ingin tinggal di kuburan. Namun kehidupan dan ekonomi yang sulit memaksa zaki dan jutaan orang lainnya mendiami Kota Mati ini.

Menurut zaki, populasi penghuni kota mati makin meningkat. Mereka datang dari desa desa miskin di Mesir. Da
lam buku turis yang ditulis Malak Yakan, seorang antropologi Mesir, disebutkan lebih dari lima juta orang Mesir tinggal di kuburan ini dan membentuk komunitas sendiri.

“ Ada lima kuburan utama di area ini. Kuburan Arah Utara, Kuburan Bab el Nasr Kuburan, Kuburan Selatan, Ku
buran yang besar, dan Kuburan Bab el Wazir," kata Yakan.
Dalam sejarah kepercayaan Mesir, kuburan adalah bagian dari kehidupan masyarakat. Tidak hanya khusus untuk orang mati. “Orang Mesir tidak memikirkan bahwa kuburan tempat akhir kehidupan, tetapi kuburan adalah awal dari kehidupan abadi”, kata Yakan.

Pemandangan lain
dari Kota Mati ini, sebagai tempat pembungan sampah. Di dalamnya nuansa kumuh menyengat. Binatang seperti tikus berkeliaran. Kotoran anjing juga di mana-mana. Mereka memanfaatkan apa yang ada di dalam kuburan sebagai alat perabot rumah tangga. Di antara pagar batu nisan, mereka mebentangkan tali untuk mengeringkan pakaian. Sementara kebutuhan akan listrik mengambil dari listrik milik masjid terdekat.

Tapi, jika menatap kota mati dari dari jalan Salah Salem, Kota Mati nampak gagah dan megah. Ia seakan merekam abadi tentang sejarah Mesir yang melegenda dan berabad-abad usianya.

Read More......