Oleh: Sunaryo Adhiatmoko
Jumat, 21 Oktober lalu, menginjak hari keempat saya diMogadishu, Somalia. Saya mewakili PPPA Daarul Quran yang sinergi dengan para ulama dari Afrika Selatan. Pagi itu, di kamp pengungsian Dallada, Tarbuunka, lima kilo meter dari Mogadishu yang dihuni 6.000 lebih keluarga. Seorang ibu, dengan jilbab hitam dan raut muka pucat, tergopoh menghampiri. Ia bersimpuh, meratap, dan memecah tangis di hadapan saya.
“Anaknya baru saja meninggal. Ini anaknya yang kedua meninggal dalam bulan ini”, terang Maxamed Cusman, penterjemah saya di Somalia.
Perempuan itu, bersama keluarganya datang dari desa di Baydhabo, sekitar 150 km dari Mogadishu yang datang ke kamp dengan berjalan kaki.
“Setiap hari di kamp ini selalu ada yang meninggal”, kata Cusman.
Siapapun yang melihat kehidupan di kamp itu, hatinya pasti remuk. Tak ada yang bisa saya perbuat, kecuali berdoa. Kemudian, deras pulalah air mata ini di hadapan ribuan orang yang lapar menunggu maut di kamp itu.
Tak banyak kata, kematian yang tiap hari terjadi tak memantik orang-orang di kamp untuk terlalu risau. Mereka seakan paham, pada saatnya kematian berikutnya hanya giliran, selama suplai makanan tidak datang ke kamp pengungsian.
Dengan terisak, ibu malang itu, kembali ke tendanya yang terbuat dari ranting-ranting kayu, dengan atap plastik seadanya. Luasnya tak lebih dari 2 x 2 meter yang dibuat mirip payung. Di dalam tenda, jasad bocah laki-laki 10 tahun, menggelepar tanpa nyawa di atas tanah. Tubuhnya kurus, penuh luka cacar yang baunya menyengat.
Masih dengan derai air mata, ia gali tanah di samping tenda. Jenazah bocah itu pun, dikubur apa adanya, tanpa prosesi pemakaman yang layak. Lengkaplah, tragedi kemanusiaan memilukan itu, terpampang di depan mata. Usai dikubur, perempuan paruh baya itu, tertunduk memeluk lutut. Tangisnya tak henti, sampai saya tinggalkan tendanya dengan perasaan terkoyak.
Di sudut tenda yang lain, seorang anak perempuan 12 tahun berbaring lemas di atas tanah, beralas selembar kain lusuh. Tulangnya menyembul, tubuh jangkungnya meranggas tanpa daging. Matanya menatap langit, seakan menanti malaikat penjemput maut datang.
Dalam catatan Maxamed Cusman, ketika para pengungsi itu datang ke kamp, sebagian postur tubuhnya masih cukup bagus. Pada hari-hari berikutnya, setiap tubuh manusia dalam kamp itu akan menyusut, mengering, kemudian berakhir di tanah kamp pengungsian.
“Saya tak tahu kenapa kami mengalami tragedi kelaparan ini”, ungkap Cusman.
“Setiap hari, kami melihat satu per satu di antara kami mmeninggal di Mogadishu. Tak hanya anak-anak, tapi juga dewasa”, Cusman berkaca-kaca. Mogadishu yang tak lebih luas dari Jakarta itu, telah dikepung sekitar 40 kamp pengungsian.
Ikhtiar Kemanusiaan
Somalia, telah membetot perhatian masyarakat dunia. Semua hati tergugah, melihat tiap hari anak manusia meninggal kelaparan. Demikian pula, sebagian masyarakat yang menjadi keluarga besar PPPA Daarul Qur’an menyisihkan sesuap nasinya, untuk dibagi pada masyarakat Somalia. Tanpa mengurangi perhatian, pada sebagian masyarakat Indonesia yang sedang kesulitan. Pun, kita juga tak boleh menjadi batu, atas peran masyarakat di negara lain yang berduyun-duyun membantu tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, dan tatar kebencanaan lain di Indonesia yang selalu memantik kepedulian dari manusia-manusia di belahan negara lain untuk membantu.
Dengan bantuan Rp 300 juta, PPPA Daarul Qur’an menuju Cape Town, Afrika Selatan, sebelum menuju Somalia. Di Cape Town, ikhtiar dilakukan, dengan menggalang sinergi bersama organisasi Islam di Afrika Selatan. Terbentuk “Save Somalia” yang terdiri dari PPPA Daarul Qur’an (Indonesia), Muslim Judicial Council (MJC), Darul Islam Zakah Fund, dan Al-Quds Foundation. Kami merancang program yang melibatkan para ulama Afrika Selatan dan ulama Somalia yang ada di Afrika Selatan.
Dua pekan di Afrika Selatan, PPPA bersama para ulama Afrika Selatan ngamen dari masjid ke masjid, dari acara pengajian ke acara pertemuan orang mau naik haji. Cara tradisional dengan menenteng gentong plastik ukuran besar, kami lakukan. Kami berguman, jika pada akhirnya anak-anak Somalia terus meninggal, setidaknya kami yang jauh pernah berusaha menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Itu niat sederhananya.
Dalam dua pekan itu, kami punya target Rp 1 miliar. Maka, tepat menjelang keberangkatan tanggal 17 Oktober, dengan pancingan dana awal Rp 300 juta dari Indonesia, kami dapat menghimpun Rp 1 miliar.
Sebelum berangkat, kami melakukan pertemuan yang dihadiri sekitar 1000 orang Somalia dan para ulamanya yang di Afrika Selatan dan para ulama dari Afrika Selatan sendiri, ditambah PPPA Daarul Qur’an. Dalam pertemuan itu, kami menyerukan perdamaian bagi Somalia. Tanpa berdamai, tragedi kelaparan ini sulit dicari solusinya, karena relawan yang membawa bantuan kemanusiaan selalu terancam jiwanya di Somalia.
Masak untuk Pengungsi
Menyusuri kamp-kamp di Mogadishu, Somalia, akan banyak gundukan tanah yang mengubur jasad mereka yang tak mampu bertahan melawan lapar. Tidak ada air dan tak ada suplai makanan rutin, masuk ke kamp-kamp pengungsian di Mogadishu. Perang saudara membuat semua makin sulit. Bantuan kemanusiaan, juga tak mudah masuk langsung ke Somalia. Semua orang asing yang masuk Somalia, wajib menyewa tentara bayaran yang tarifnya 200 US Dollar per hari. Tak ada negosiasi untuk keamanan ini, tapi, saya dan rombongan pernah nego nyawa untuk menurunkan tarif.
Dataran somalia memang sedang kering. Masyarakat setempat mengatakan, hujan terakhir tiga tahun lalu. Pertanian menguning, menyisakan debu. Ternak-ternak mati kelaparan dan semua orang meninggalkan rumahnya, menuju Mogadishu atau Kamp pengungsian di Kenya. Ratusan kilo meter jalan ditempuh, sebagian banyak yang meninggal di perjalanan.
Di Mogadishu, kami punya target 9 hari. Program yang dijalankan, masak dari kamp ke kamp. Ada tiga kamp yang kami suplai kebutuhan makannya untuk jangka satu bulan. Yakni, Kamp Tarbuunka, Kamp Baadle, dan Kamp Thoro-thoro. Setelah 9 hari itu, program pemberian makan dilanjutkan mitra lokal dari Al-Kahfi Welfare Foundation yang bermarkas di Mogadishu. Tak lupa, di setiap kamp kami juga memotong unta, sebagai lauk nya dengan menu nasi kebuli. Menurut masyarakat setempat, daging unta adalah daging nomor satu.
Di Kamp Tarbuunka, saya bertanya pada sebagian pengungsi. “Kapan terakhir kali makan?”.
Mereka serentak menjawab, “Empat hari lalu”.
Saya lantas membisu, menunduk malu. Tapi, obat hati yang remuk selama di Mogadishu adalah, saya dan para ulama dari Afrika Selatan, diberi kesempatan masak selezat mungkin. Setelah nasi kebuli dengan daging unta matang, ribuan orang antri untuk dapat jatah makanan. Satu per satu, mereka menadahkan panci, ember, dan kantong plastik. Kami bertatap mata sejenak, mendadak semua bisa tersenyum hari itu.
Saya tahu, senyum itu sesaat. Karena besuk, mereka masih harus bertahan hidup. Sementara sesuap nasi yang kami masak hari itu, hanyalah pelipur perihnya perut dan pedihnya derita kelaparan, untuk beberapa jam saja. Hari ini, saat saya dan rombongan kembali ke rumah, menyantap hidangan bergizi, bercengkerama dengan anak dan istri, mereka dipanggang terik kemarau dan rintihan kelaparan yang diintai maut setiap hari.
Maafkan, hanya ini yang bisa kami lakukan. Bad Baadi Somalia(selamatkan Somalia), itu bisik kalian saat kami gontai tinggalkan Mogadishu.