Wednesday, January 30, 2008

Generasi Tiwul dan Nasi Aking

Harga kebutuhan pokok bertahan naik. Pondasi dasar hidup rakyat ini terancam rapuh. Tiap kebutuhan pokok naik, maka melonjaklah harga-harga kebutuhan lainnya. Menanggapi kenaikan ini, terlihat pemerintah belum menerapkan percepatan langkah mengatasinya.

Sebaliknya, pemerintah sibuk mengirimkan utusannya survey ke daerah-daerah. Lagi-lagi keputusan yang selalu telat dan lambat. Tak lupa, beberapa menteri mendadak rajin menulis artikel menyangkut kenaikan bahan pokok ini. Mereka berusaha menjelaskan duduk persoalannya. Mengapa dan sebab apa bahan pokok ini naik.

Dari beberapa artikel yang dimuat di Koran nasional, terdapat sisipan pesan melaporkan peningkatan kinerja departemennya. “Agak promosi” memang. Tak ketinggalan, juga ditulis bagaimana konsep brilian menjaga ketahanan pangan di negeri ini. Meski nyatanya konsep ideal yang ditulis dalam artikel itu menguap begitu saja.

Bagi warga yang tinggal di Ibukota dan sekitarnya, seperak harga naik, dampaknya luar biasa. Mereka tidak dapat mengganti makan selain beras, jika harga beras melonjak. Tapi bagi warga pedesaan, tak mampu beli beras masih dapat merebus singkong atau ubi-ubian lainnya. Untuk sementara.

Tetapi, kearifan orang desa mengganti makanan selain beras ini, juga jangan dimaknai pemerintah sebagai hal yang biasa. Sebagaimana, Meteri Pertanian Anton Apriyantono, pernah menulis dalam artikelnya;

Perubahan mind set atas pangan, seperti "belum makan sebelum makan nasi", persepsi terhadap tiwul, nasi aking, dan bahan pangan lain sebagai makanan orang miskin dan kelaparan, harus dilakukan. Media diharapkan berkontribusi positif dalam mendorong diversifikasi dan bukan menyudutkan pemerintah serta memperolok masyarakat yang makanan pokoknya bukan nasi. (Kompas,16/1).

"Belum makan sebelum makan nasi", bukan pemeo. Orang kaya dan terpelajar bisa saja menggantinya dengan roti dan makanan mewah sejenis. Tapi orang desa yang kerja keras, banting tulang, memeras keringat, dan mengandalkan fisik, nasi sungguh suplai kekuatan paling dahsyat. Menggantinya tidak mungkin, karena biaya untuk mengganti jauh lebih mahal ketimbang nasi itu sendiri.

Demikian pula orang miskin di perkotaan. Harga sebungkus roti tawar bisa mencapai Rp 5.000, lebih mahal ketimbang satu liter beras dengan kualitas sedang. Jika satu bungkus roti tawar, tak kenyang dimakan satu hari seorang diri, sebaliknya satu liter beras bisa dimakan empat orang dengan tiga kali makan. Jadi, makan nasi bagaimanapun tetap pilihan paling ideal untuk orang miskin.

Sementara tentang tiwul dan nasi aking, Presiden SBY, yang lahir dan kecil di Pacitan, mungkin amat paham cerita nasi tiwul. Tetapi melihat postur badannya yang tinggi besar dan subur, kelihatannya SBY bukan bagian dari anak tiwul. Meski belum ada penelitian, biasanya generasi tiwul sulit memiliki badan yang subur.

Anak-anak generasi tiwul, selalu iri acapkali melihat putihnya nasi beras di piring tetangga. Bahasa Jawanya “ngiler”. Kalangan terpelajar, cerdik pandai, yang tak pernah miskin, barangkali melihat hal demikian sesuatu yang beradab. Maka telaah mendalamnya menukik, pada yang penting tercukupi gizi – meski rendah – dan tidak mati.

Orang pegunungan (misalnya Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, Wonogiri, Tulungagung, Nganjuk), untuk bisa membeli secangkir beras harus kerja kuli bangunan ke kota. Sebagian anak gadis dan ibu-ibu, juga merantau ke kota menjadi pembantu rumah tangga.

Anak-anak mereka riang bukang kepalang, acapkali orang tua atau kakak mereka pulang dari rantau. Kegembiraan ini amat beralasan, karena kepulangan mereka dalam beberapa hari akan mengubah hidangan di dapur. Yakni makan nasi beras.

Marli (39), seorang ketua RT di Trenggalek blak blakan mengakui, warga di desanya hingga hari ini masih mengkonsumsi tiwul. Menurutnya, pesta nasi beras hanya dapat ditemui dalam moment-moment pesta perkawinan dan hajatan. Tiwul pun, juga masih kerap kekurangan. Masalahnya, lahan pertanian untuk menanam singkong di Jawa kini makin sempit.

Karena jarang makan nasi beras ini, orang desa kadang kreatif. Sisa nasi yang tak dihabiskan, kerap dikeringkan oleh sebagian orang. Nasi sisa makanan orang yang sudah dikeringkan inilah, kemudian diberi nama “nasi aking”. Bahkan, sisa nasi tiwul juga dikeringkan. Kemudian dimasak tatkala cadangan gaplek (sigkong kering bahan baku tiwul) habis, sembari menunggu musim panen berikutnya.

Jika pemerintah melihat tiwul dan nasi aking ini hal biasa, sungguh sembrono. Jika bijak, kita bisa melihat lahan pertanian di Jawa, sebagaimana Marli bilang, makin sempit. Singkong tak sepenuhnya mampu menopang kebutuhan dasar mereka. Karena pada saat yang lain, singkong juga dijual untuk biaya sekolah dan kebutuhan dapur lainnya. Juga dijual, untuk membeli beras bagi anak-anak bayi, yang tak mungkin perutnya disumpal pakai tiwul.

Ini, realita kekinian yang perlu diselami hingga dasar. Mentan juga menulis: Andai masyarakat tidak mampu membeli beras dan tiwul sebagai pengganti, itu bagus karena dapat mengurangi permintaan terhadap beras dan melakukan diversifikasi ke bahan pangan lebih murah dengan gizi tidak terlalu inferior, apalagi jika dikombinasi bahan pangan yang bergizi tinggi seperti ikan dan sayuran.

Generasi tiwul, sulit beli ikan. Bahkan, sebagaimana warga pegunungan di Jawa Timur juga masih beli gaplek. Jika singkong yang mereka tanam dibelikan ikan sebagai lauk, ini kemewahan yang sulit dicapai sebagai rutinitas harian. Selain juga berisiko pada cadangan makanan pokok mereka.

Sungguh, pemerintah perlu jeli dan hati-hati mengangkat topik yang terkait langsung dengan perut rakyat miskin. Karena, niat baik pemerintah bisa jadi malah menyakitkan. Percayalah, tak ada yang mau menjadi generasi nasi tiwul dan generasi nasi aking. Jika masih ada pilihan lain. Karena pada dasarnya, mereka juga ingin berubah dan tak abadi menjadi generasi ini.

Read More......

Terang Dunia Dalam Gelapnya

Dianugerahi tuna netra sejak lahir, tak mengecilkan hati Asih Khoiriyah (54), untuk menapak di dunia ini. Anak pertama dari enam bersaudara itu, melalui masa kecil dengan berbagai kesulitan. Ia hanya bisa menghafal suara ibu dan ayahnya dari suara. Menandai tiap tapak jalan dengan hati dan nalurinya. Tapi ia punya kelebihan yang belum tentu dimiliki manusia normal umumnya. Yakni tekad, semangat, dan keberanian.

Menginjak dewasa, Asih terbesit niat untuk mondok pesantren. Niatnya sederhana, ia ingin menjalani hidup yang singkat dan gelap ini, dengan meninggalkan manfaat bagi orang di sekitarnya. Tapi niat yang ia ungkapkan pada orangtuanya pada 1982 itu, dianggap bercanda. Asih bergeming. Dengan bekal seadanya, ia berangkat menuju pesantren penghafal Quran di Pancancilan, Cianjur. Ia naik bus seorang diri.

Sepeninggal Asih, Mak Erum, sang ibu dilanda cemas. Siang malam ia berdoa, agar putrinya diantarkan Allah pada tujuan yang hendak dicapainya. Kekuatan hati Asih, membuat jalannya seakan terang benderang. Ia sampai di pesantren dengan selamat dan diterima sebagai santri di pondok itu.

Awal-awal belajar Al-Quran, Asih mengalami banyak kesulitan. Namun ia tegar dan tetap semangat. Dalam satu tahun, Asih mampu menghafal Quran relatif cepat. Sebanyak lima juz berhasil dihafalkan. Selama proses mempelajari Al-Quran, Asih dipandu dengan Al Quran Braile. Hingga kini, Quran keluaran Departemen Agama itu masih melekat padanya. Bentuknya sudah lusuh, karena seringnya dibaca.

Setelah hampir dua tahun mondok, Asih memutuskan pulang ke kampungnya di Pasir Gombong RT 01/08, Desa Pangkalan, Kec. Cikidang, Sukabumi, Jawa Barat. Di desa, Asih mengakhiri masa lajangnya setelah dinikahi seorang suami yang juga tuna netra. Dari hasil pernikahannya itu, Asih dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Iyus, anak lelaki Asih. Kini Iyus sekolah SMA di Pondok Kelapa Nunggal.

Namun, pada 1998 lalu, suami Asih meninggal. Sejak itu, ia mencukupi kebutuhan diri dan putranya seorang diri. Di kampung halaman, juara III MTQ tingkat Jawa Barat 1984 ini, sebagai seorang guru ngaji. Jadwalnya sebagai guru cukup padat. Setiap sore, rumahnya yang mungil dan sederhana menjadi tempat anak-anak belajar ngaji. Selepas magrib, ganti jamaah ibu-ibu di desa itu yang belajar di rumah Asih. Mereka dengan tekun menderas tausyiah keagamaan, dari Asih yang selalu membawakan materi pengajian secara segar.

Selain aktivitas mengajar di rumah, Asih juga mengajar di beberapa majelis talim. Kerap juga diundang sebagai qoriah, pada acara-acara tertentu. Setiap malam Jumat, Asih yang juga pernah menjadi juara III MTQ Tingkat Kabupaten Sukabumi ini, punya jadwal ngajar tetap di Majelis taklim sebelah desa. Meski punya keterbatasan penglihatan, ia seorang yang mandiri. Jarak lebih dari satu kilo meter, ditempuh dengan jalan kaki seorang diri.

Sepenggal harapan yang ia impikan, ia ingin anak lelakinya melanjutkan perjuangannya. Menjadi orang yang bermanfaat, bagi umat dan masyarakat. Ia akan berjuang keras agar Iyus bisa sekolah tinggi. Melihat tekad bajanya, warga desa Pangkalan banyak yang kagum pada Asih. Bahkan, Mak Erum kini mengaku bangga dikaruniai anak seperti Asih. Ia tak menduga, jika Asih menjadi karunia paling besar dalam hidupnya.

Meski kini, ia menjadi seorang guru, Asih punya kegelisahan yang kerap mengganggu pikirannya. Dulu, ketika pulang dari pesantren, ustadnya berpesan agar Al Quran Braile yang dipinjamkan ke Asih utuk dakwah, dikembalikan ke pesantren. Namun, hingga saat ini, Asih belum dapat memenuhi itu, karena Al Quran itu satu-satunya sarana buat dia berdakwah.

Maka, pada semua jamaah, keluarga, dan anaknya, Asih berwasiat jika kelak sudah tiada, ” Tolong kembalikan Quran ini ke pesantren Pacantilan Cicurug”, pintanya sederhana.

Read More......

Tuesday, January 22, 2008

Takbir Terakhir

Dalam perjalanan mengemban tugas kemanusiaan. Saya mendapati banyak cerita mengharu biru. Duka lara, nestapa, hingga kenangan indah. Salah satu cerita dramatis dalam tragedi kemanusiaan di Indonesia, dapat pembaca baca dalam lakon tragis Nurlaila. Korban banjir Sinjai 2006, yang bercerita banyak dengan saya satu pekan pasca musibah.

Dalam sebuah muhasabah kemanusiaan yang dihadiri ratusan orang, kisah ini saya bacakan. Di luar dugaan, suara tangis peserta pecah malam itu. Berikut curhat Nurlaila, sore itu sembari duduk di bekas rumahnya yang tinggal menyisakan batu penyangga.

--------------------------------------------------------------

Saya Nurlaila, anak kedua dari 8 bersaudara. Sekolah di Aliah dan mondok di pesantren Darul Istiqomah, Sinjai, Sulawesi Selatan. Tapi menjelang naik kelas dua, saya diminta Mama pulang ke kampung halaman di Desa Biringere, untuk mengurus adik-adik. Karena ekonomi keluarga kami sulit, saya harus memilih antara tetap tinggal di pondok atau membantu Ibu yang sehari-hari mencari nafkah dengan menjahit. Ayah saya, seorang petani kecil yang menggarap lahan milik tetangga.

Sempat ada rasa sesal, meninggalkan bangku sekolah dan pesantren. Tapi, kini saya orang paling bersyukur atas keputusan pulang ke kampung membantu Ibu. Saat itu.

Hari itu, Minggu pagi, 18 Juni 2006. Tepatnya enam bulan sudah saya meninggalkan pesantren. Hujan rintik mengguyur desa kami yang berada tak jauh dari hulu sungai Sinjai. Desa Biringere berada pada dataran rendah, diapit bukit dan pegunungan, dengan hutannya yang tak lagi selebat lima tahun lalu.

Hujan makin lebat. Kami sekeluarga harus tetap berada di dalam rumah. Oh, iya, rumah kami terbuat dari rumah panggung dengan tinggi tiang hampir tiga meter. Kalau masuk dan keluar rumah, kami naik turun dengan tangga. Tidak seperti orang di Jawa ya.

Di dalam rumah kami yang mungil dan sederhana, hari itu kami tinggal berenam. Saya, Mama, Ayah, adik bayi yang baru dua bulan, adik saya yang umur dua tahun, adik saya nomor tujuh yang baru satu tahun, dan kakak pertama saya yang selama ini setia menemani dan membantu Mama.

Dia kakak yang hebat dan cantik. Banyak lelaki mau menikahinya, tapi kakak belum tega meninggalkan kami sekeluarga. Sementara, tiga adik saya yang lain, semua tinggal di pondok pesantren gratis. Milik seorang ustad dermawan di Sinjai.

Sampai pukul dua siang, hujan belum juga reda. Dari balik jendela kayu rumah yang rapuh, saya melongokkan kepala ke luar. Ternyata air sungai mulai meluap dan sudah menggenangi kira-kira satu meter rumah kami. Mesin jahit Mama yang selama ini menjadi sumber nafkah keluarga, sudah terendam. Saya sempat cemas, takut jika mesin itu rusak.

Tak lama kemudian hujan reda, air mulai surut. Kami sekeluarga mulai membersihkan sisa sampah dan Lumpur. Demikian juga warga desa yang lain. Huh! Lelah sekali! Kami baru selesai bersamaan dengan kumandang adzan Magrib dari speaker di surau dekat rumah.

Karena hujan dan tanah becek, saya tidak sholat jamaah di surau sebagaimana kebiasaan saya selama ini. Saya bersama ayah, mama dan kakak sholat magrib jamaah di rumah. Usai sholat, saya sempat membaca al-Quran. Saya lihat semua penghuni rumah sudah beranjak tidur. Adik saya yang masih kecil, meski tak ikut berlelah-lelah juga terlihat letih. Semua tidur dengan pulas. Tinggal saya sendiriian. Tak terasa mata saya juga mulai sayup. Lantas kami semua pulas selepas magrib sore itu.

Rasa letih, membuat tidur saya nyenyak sekali. Hingga tak sempat ada selintas mimpi yang singgah. Tiba-tiba, kami dikejutkan suara gaduh dan teriakan dari luar rumah. Kami bangun serentak mendengar ada apa di luar.

“Banjir! banjir! air naik! Semua warga siap-siap mengungsi ke tempat aman!”, suara yang tak henti-henti itu diiringi, sirine yang meraung-raung.

Ayah yang kaget, langsung beranjak membuka pintu rumah.

“Allahuakbar!”, seru ayah teriak.

“Air sudah di bawah lantai ma!. Ayo semua siap-siap!”, perintah ayah.

“Ayah! Bagaimana kita keluar. Mama harus lindungi bayi ini pakai apa?”, Mama cemas, sambil mendekap adik bayi.

Saya lihat, ayah juga bingung. Tidak ada sampan dan papan yang bisa kami buat menyeberang keluar rumah. Dengan gemetar, saya lihat rumah kami sudah dikepung banjir. Suara arusnya yang deras bergemuruh, membuat tiang rumah kami bergoyang-goyang. Malam itu, jam dinding di rumah menunjuk pukul 10.00 malam.

Sementara Mama dan ayah berdebat kecil, saya dan kakak bersiap-siap membawa barang yang bisa dibawa. Saya lihat kedua adik masih terlelap tidur. Air makin deras dan tinggi. Kratak! Dugh! Dugh!, suara sampah dan kayu menghantam tiang-tiang rumah panggung kami. Lahaulawalakuwata, saya terus berzdikir dalam hati. Harap dan cemas.

Ketegangan ini terus berlangsung sampai pukul 12 malam, seiring hujan reda. Tapi banjir makin menjadi. Saya terus lihat jarum jam, berharap gerakannya dipercepat agar segera datang siang. Tapi malam itu lama, panjang, dan menakutkan.

“Laila tahajut nak!” seru Mama menyuruh saya, sudah jam satu saat itu.

Saya berdiri menghadap kiblat dengan gemetar. Rukuh dan sujud tidak tenang. Rumah kami terus bergerak-gerak mulai bergeser.

“Ayo semua berdzikir! Baca Qur’an nak! Minta pada Allah kita diselamatkan” perintah Mama histeris. Sementara, ayah berjaga di depan pintu.

Dengan penerangan lampu tempel, saya coba buka Quran. Tangan saya gemetar, mulut saya berat. Beberapa kali Al Quran di tangan saya jatuh ke lantai yang dasarnya mulai basah. Sampai akhirnya, saya tak mampu memungut kembali Quran itu. Saya gendong dan peluk adik saya yang dua tahun. Sementara kakak memeluk yang umur satu tahun. Sedang Mama mendekap si bayi.

Kami kini merapat. Sudah jam 02.30. Saya, Mama, kakak, dan adik-adik berpelukan. Erat dan kuat. Air sudah membasahi kaki kami. Tiang setinggi tiga meter sudah tenggelam. Rumah kami bergeser sedikit demi sedikit.

“Mama, Laila, maafkan aku ya, kalau punya salah”, tiba-tiba keluar kata dari mulut kakak.

“Jangan bilang begitu nak. Kita pasti selamat”, hibur Mama membesarkan hati kami.

“Laila juga ya kak, Ma”, jawabku dengan tangis yang pecah malam itu. Saya lihat kakak, terus menciumi pipi mama. Kami hanya mampu menangis dan pasrah.

Air yang deras mulai terasa menyapu betis kami. Jam dinding yang bergoyang mengikuti gerak rumah, saya lihat 03.00 pagi.

“Allahuakbar! Allahuakbar!, Asahaduallaillahaillallah!…”, terdengar suara adzan dari rongga mulut ayah. Dia beradzan sambil berusaha melindungi kami. Ayah menyingkirkan batang-batang pohon yang mulai mengoyak dinding rumah. Beberapa batang bahkan sudah menembus masuk dinding rumah.

Tiba-tiba, suara ayah hilang, sunyi, dan tak terdengar lagi. Dia tak kuasa menahan amuk banjir dan hantaman kayu. Ayah jatuh terseret arus. Adzan terakhir yang terdengar tak mampu menyelamatkan dirinya dan kami. Adzan terakhir…

Tinggal kami yang masih bertahan berpelukan.

“Brush!” arus deras menghantam pertahanan kami.

“Kratak!” tiang rumah terdengar lepas.

“Allahukabar!” jerit kakak melengking. Tangan kami yang coba saling menggenggam terlepas. Dengan memeluk adik kakak terseret arus. Takbir terakhir yang saya dengar.

“Allahukabar!’ Mama juga berteriak. Tangan mama terlepas.

“Brush!” saya pun terbawa arus dalam gelap gulita. Dengan sekuat tenaga, saya peluk erat adik saya. Kami akhirnya terpencar entah kemana.

“Allahuakbar!” teriak saya tiap punya kesempatan timbul dari permukaan air. Saya terus bertahan meraih ranting dan pohon. Saya harus menyelamatkan adik. Itu yang membuat saya semangat bertahan. Hampir satu kilo meter saya terbawa arus. Tanpa sadar, badan saya tersangkut di akar bakau. Lengan saya masih kuat mendekap adik.

Sambil berpegangan, saya goyang-goyang kepala adik.

“Adik! Adik! Bangun sayang! Bangun!”.

Tapi dia diam. Badannya dingin. Saya lihat nafasnya tak ada suara.

“Ya Allah bangunkan adik saya”, saya sempat berteriak.

Adik tak juga gerak. Dia meninggal. Saya peluk dan ciumi dia. Saya peluk kuat dan erat, sampai pagi tiba dan para relawan menemukan saya dengan selamat.

Sembari tetap memeluk adik, saya dipapah menuju tenda pengungsian.

“Allahukabar! Mama!”, saya teriak histeris melihat Mama dan adik bayi selamat.

“Kakak mana Ma”, tanyaku lirih.

“Laila!” mama tak menjawab hanya memeluk saya. Kami menangis. Kakak ditemukan meninggal dalam posisi memeluk adik. Ternyata, ciuman kakak pada ku dan Mama ciuman terakhir. Takbir ayah juga takbir terakhir…

---------------------------------------------------------------

Tragedi banjir bandang yang memporak porandakan Sinjai, 18 – 19 Juni 2006 itu, telah merenggut tiga nyawa di keluarga Nurlaila. Rumahnya juga terbawa arus tinggal batu penyangga tiang ruamh saja yang tersisa. Semua peralatan jahit dan harta benda tak ada yang tersisa.

Read More......

Monday, January 21, 2008

Mereka yang Bangkit dan Ditumbangkan


Konon, mantan Presiden Suharto salah satu makanan favoritnya tempe. Makin nikmat rasanya, jika tempe itu diolah lezat oleh Bu Tien, istrinya. Demikian pula, presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Juru Bicara Kepresidenan, Andi Malarangeng, SBY juga pecinta tempe dan tahu sejak dahulu.

Ironisnya, presiden dan mantan presiden itu, harus menghadapi kenyataan, tempe lenyap dalam beberapa hari di pasaran. Harga kedelai yang meroket menjadi pemicunya. Ketika, “bangsa tempe”, “mental tempe”, menjadi icon negatif yang melemahkan, rakyat bangsa ini nyatanya guncang, jika tak ada tempe dalam hidangan sehari-hari.

Dari selera, SBY ternyata juga punya cita rasa makanan rakyat. Lidahnya merakyat. Jika tak sekadar penikmat, mestinya Presiden amat paham masalah dasar kehidupan rakyat. Tinggal yang kurang barangkali, kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dan pro tempe.

Harga kedelai melambung, istana pun di demo. Pemerintah “panik”. Dengan sigap, pemerintah mengetuk palu dengan membebaskan bea masuk (BM) impor kedelai. Dari 10 persen menjadi nol persen, untuk beberapa waktu. Solusi instant ini, bisa jadi angin surga bagi para importir dan pengusaha kelas kakap, yang memproduksi produk dari bahan baku kedelai.

Dengan pembebasan BM ini, mestinya efektif menurunkan harga kedelai, tak hanya berpihak pada keuntungan importir semata. Pemerintah juga wajib menjaga transparansi harga. Jika di negara asalnya kenaikan harga kedelai 30 persen, mestinya demikian pula di dalam negeri.

Bagi para pembuat tahu dan tempe skala mikro, kenaikan harga disiasati dengan cara kreatif. Sebagian mereka, membuat produk tahu dan tempe dengan ukuran diperkecil. Harga tak banyak berubah, karena konsumen juga bagian yang tak mau dirugikan. Oleh pedagang kecil sekalipun. Meski pada saat yang sama, para konsumen juga secara sadar, kelompok yang kerap manut “dikerjai” bandrol harga di mall dan supermarket. Tapi untuk pedagang sayur keliling, kerap tega menawar hingga harga terendah.

Namun, juga ada sebagian yang terpaksa berhenti tak memproduksi tahu dan tempe. Seperti pembuat tahu dampingan Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa (MM – DD), di Kampung Iwul, Jampang, Bogor. Mereka sepekan sempat tak memproduksi tahu, lantaran harga kedelai dengan keuntungannya tak seimbang.

Meski sempat berhenti, beberapa hari lalu, penguatan komunitas dari pendamping MM, berhasil membangkitkan mereka untuk kembali memproduksi tahu. Mereka mencari akal untuk memperoleh margin untung – meski kecil – dengan cara berkelompok dalam produksi dan pengadaan kedelai.

Sudah menjadi bukti dalam ranah usaha di negeri ini. Para pengusaha mikro selalu berusaha survive di antara jepitan harga yang gonjang-ganjing, tanpa merugikan negara. Lantas keberpihakan seperti apa yang selanjutnya diberikan pemerintah pada mereka. Dari sekadar terus men-service elit dan kelompok pengusaha raksasa.

Selalu Tumbang

Jika, tak mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS), realitanya angka kemiskinan makin naik. Diperparah sejak kenaikan BBM setahun lalu. Ditimpali bencana alam yang beruntun, kelangkaan minyak tanah, dan kini yang hangat naiknya harga kedelai, minyak goreng, dan terigu.

Kasus Slamet, pedagang gorengan di Pandeglang yang bunuh diri beberapa hari lalu, mestinya masalah yang harus dipikirkan pemerintah secara serius. Jangan lantas gerah, jika kabar tak baik ini diangkat menjadi perbincangan publik.

Karena warga negara seperti Slamet, sejak dilahirkan telah mengurus kehidupannya sendiri tanpa membebani negara. Sekolah bayar, berobat bayar, buat KTP bayar, tak ada yang benar-benar gratis. Ketika punya usaha untuk menafkahi keluarga, usahanya tumbang. Tidak oleh dirinya, melainkan pemerintah terlibat dengan kebijakannya yang tak berpihak pada pedagang kecil seperti Slamet.

Ini kenyataan, jika pemangku negeri ini melihat masalah kemiskinan, sebagaimana Muhammad Yunus, pendiri Gramen Bank bilang, menggunakan mata cacing. Bukan meyakini 100 persen data BPS semata. Atau laporan para staf dan peneliti, yang kadang kurang mengakar ke ceruk kehidupan rakyat sesungguhnya.

Tak sedikit kasus, pengusaha mikro hancur karena kebijakan pemerintah. Dalam pengalaman Dompet Dhuafa Repulika (DD), hal semacam ini kerap terjadi. Maka tugas kemanusiaan lembaga sosial semacam DD, dalam turut membantu pemerintah mengurangi kemiskinan kerap tak nyambung. Tatkala kemandirian tertatih-tatih ditegakkan, kebijakan pemerintah selalu saja membuatnya tumbang.

Di Tangerang, seorang mustahik (orang miskin) bernama Udin, dengan bantuan dana zakat DD, mampu menjadi pengusaha konfeksi dengan 25 karyawan. Bertahan dua tahun. Sempat punya rumah dan mobil. Pada tahun ketiga, Udin bangkrut karena harga pasar rusak oleh kenaikan BBM. Kini ia menjadi mustahik lagi dan 25 karyawannya menjadi pengangguran.

Demikian pula tatkala DD melalui MM berjibaku membantu permodalan dan penguatan komunitas Tahu Iwul, hari ini juga dipaksa kedodoran. Harga dan produksi yang semula stabil sehingga mampu menopang kebutuhan dapur keluarga dan menyekolahkan anak, terkoyak oleh harga kedelai yang melambung. Ini juga andil pemerintah yang tak serius mengurus hal-hal kecil seperti ini. Pada kenyataannya, segigih apapun pemberdayaan masyarakat dhuafa dikuatkan, selalu saja jebol oleh kebijakan pemerintah yang lagi-lagi tak berpihak.

Dalam kondisi makin sulit begini, kata ”keberpihakan pada rakyat” adalah seruan yang harus terus dicuatkan dan diperjuangkan. Harapannya menjadi penyengat, bagi pengelola negeri ini. Agar negara yang demikian kaya, tak terus diurus dengan cara-cara bisnis. Sudah berlebih kiranya, pemodal dan elit, menyusu secara cuma-cuma dari sari pati bumi Indonesia. Kapan giliran rakyat mencicipinya.

Read More......

PT Pemodalan BMT, Adobsi Ventura Amerika


‘’Kalau BMT kolaps karena rush misalnya, siapa yang akan menjamin uang simpanan nasabah?’’ Masih terngiang benar peringatan Faisal Basri ini, tatkala Dompet Dhuafa bersama kawan-kawan BMT (Baitul Maal wat Tamwil) me-launch BMT Center pada 14 Juni 2005.

Warning Faisal yang anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, itu memang beralasan. Meskipun, sebagian BMT telah beraset milyaran rupiah. Tiap jelang Lebaran dan tahun ajaran baru sekolah, cashflow kebanyakan BMT dipastikan kelimpungan akibat penarikan simpanan secara massal dalam waktu relatif bersamaan (rush). Karena itu, salah satu rekomendasi dari silaturahim yang diikuti 200 pengurus dan pengelola dari 100 BMT di Jawa dan Sumatera itu tadi adalah pembentukan semacam lembaga holding BMT. Fungsinya antara lain menjadi penjamin dana BMT anggotanya.

Keseriusan itu terus mewujud. Pada akhir 2006, DD dan 60 pengurus BMT membentuk PT Permodalan BMT. Modal awal perusahaan tercatat Rp 8,2 miliar. Rp 4,5 miliar diantaranya merupakan suntikan DD. Sisanya dibagi 60 BMT.

Pada 14 Maret 2007, lembaga ini ditetapkan Menkeh dan HAM sebagai Perseroan Terbatas yang bergerak dibidang jasa keuangan berbentuk badan hukum Modal Ventura.

Wah, kok Ventura, bukankah ini dari Amerika?

‘’Kami menggunakan badan hukum Perusahaan Modal Ventura (PMV) yang memang berakar dari Amerika, karena dalam beberapa hal, spirit PMV relatif memiliki kesesuaian dengan spirit PT Permodalan BMT,’’ terang Saat Suharto, Direktur Utama PT Permodalan BMT.

Suharto menuturkan, tumbuhnya industri modal ventura pada 1958 di Amerika Serikat ditandai dengan diterbitkannya UU Investasi Usaha Kecil (Small Business Investment Act). Undang-undang itu mengijinkan Kantor Pendaftaran Usaha Kecil (Small Business Administration) mendaftarkan perusahaan bermodal gurem guna membantu pembiayaan dan permodalan dari usaha wiraswasta.

Di Indonesia sendiri, PMV merupakan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang keberadaannya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

Dalam SK Menkeu tersebut PMV memiliki kegiatan antara lain untuk: Pengembangan perusahaan yang pada tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana; Membantu perusahaan yang berada pada tahap pengembangan; dan Membantu perusahaan yang berada dalam tahap kemunduran usaha.

Kesesuaian yang lain antara konsep modal ventura dengan BMT, Suharto menambahkan, misalnya, menggunakan pola bagi hasil. ‘’Terdapat tiga pola bagi hasil yang dapat dilakukan PMV, antara lain sharing berdasarkan pendapatan yang diperoleh atau revenue sharing, berdasarkan keuntungan bersih atau net profit sharing, dan berdasarkan perjanjian,’’ ujar mantan bendahara BMT Center ini.

Buat Saat Suharto dan kawan-kawan yang sudah mapan sebagai eksekutif di BMT masing-masing, keterlibatan dalam PT Permodalan BMT yang masih baru merupakan sebuah perjuangan. BMT Tamzis Wonosobo, Jawa Tengah, yang dikomandoi Suharto misalnya, termasuk salah satu BMT terkemuka dengan asset milyaran rupiah. Sebagai direktur, Suharto tentu berhak menikmati kesuksesan Marhamah. Tapi, ia memilih hijrah ke PT Permodalan BMT.

‘’Ini soal keberpihakan,’’ jelas Suharto. Ia memaparkan, sektor usaha mikro dan kecil di tanah air berjumlah 48,8 juta unit usaha pada 2006. Ini setara dengan 91% jumlah total unit usaha di Indonesia. Dengan menyerap 80,9 juta orang, tak pelak usaha gurem merupakan jaring pengaman sosial yang sangat efektif.

‘’Tapi, sampai sekarang sektor ini masih dianggap pinggiran. Buktinya, ketika BMT yang sejak 1990-an berkiprah sebagai mitra utama sektor gurem kesulitan likuiditas, mereka kesulitan akses modal. Padahal, pada saat yang sama terjadi penimbunan modal dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia hingga mencapai Rp 300 Triliun!’’ Saat Suharto gemas.

Tentu saja, PT Permodalan BMT tak berpretensi menggantikan peran pemerintah untuk mengembangkan sektor informal. Saat Suharto menjelaskan, dalam kurun 2008 sampai 2010, PT Permodalam BMT baru sampai tahap stabilisasi dengan fokus pada konsolidasi dalam rangka pemahaman budaya dan sistem kerja.

Implikasinya, kata Suharto, ‘’dari sisi pembiayaan kami masih fokus pada BMT anggota yang ada saat ini. Dengan kata lain, kami belum bermaksud melakukan ekspansi keanggotaan baru.’’

Sedangkan target investasi PT Permodalan BMT, sampai tahun 2010 baru dipatok Rp 500 milyar.

Selebihnya, ayo fastabqil khairat. Tapi jangan hanya jelang pemilu atau pilkada. aya hasna

Read More......

Sunday, January 13, 2008

"Menunggu Godot" Keberpihakan


Di manapun ruang diskusi dan seminar digelar, kata yang berapi-api selalu berkobar hebat. Sebuah perubahan, seakan bisa diawali cepat, saat itu juga. Tiap patahan-patahan kata yang mencuat, isinya pasti keberpihakan pada yang lemah. Sekaligus kritik dan curahan kekesalan, pada penguasa yang hanya berpihak pada elit, asing, dan segelintir orang.

Demikian pula, nuansa di Medan Gagasan dan Prediksi Social Economic Outlook 2008, yang digelar Circle of Information and Development (CID), di Jakarta, Selasa (8/1). CID, sebuah lembaga kajian dan riset zakat, sosial, dan pemberdayaan yang dibentuk Dompet Dhuafa Republika (DD).

Para peserta dan pembicara menjadi geram, mengapa bangsa ini tak juga tegak hebat. Begitu lambatnya, negeri ini untuk menyejahterakan rakyat. Ironi pengelola negara makin menjadi. Ketulusan mengabdi pada rakyat dan bangsa, terus terkikis kepentingan pribadi.

Kekuasaan yang kini digenggam, sekadar melanggengkan service untuk elit dan segelintir orang. Mereka, akan bertaring dan menyeringai, tatkala kepentingannya diusik. Sebaliknya, “datar” dikala bicara tentang membela kepentingan rakyat dan negara. Bahkan, sebagaimana publik tahu, politik di Indonesia, telah menjadi area pasar gelap. Bukan lagi politik keberpihakan pada kaum lemah. Sebaliknya, kaum miskin dan marginal justru dagangan eklusif dalam pasar politik itu.

Setidaknya, demikian beberapa hal yang gayeng diperbincangkan dalam forum itu. Drajat Wibowo, seorang pengamat ekonomi dan anggota Komisi XI DPR RI, yang menjadi salah satu pembicara dalam medan gagasan itu, juga menegaskan, “Kemiskinan dan pengangguran sudah menjadi bagian dari political survival”. Dampaknya, waktu, dana, dan pikiran tersedot habis untuk urusan politik, tanpa ada kesempatan untuk melakukan pembangunan yang mendukung kesejahteraan rakyat.

Menurut Drajat, kemiskinan dan pengangguran telah menjadi ajang politik. Hal ini, bisa disetir melalui data Badan Pusat Statistik (BPS). Sebuah badan statistik yang belum ada pembanding di negeri ini. Sehingga, meski keakuratannya diragugan sebagian pihak, belum ada yang mampu menyangkalnya.

Sebuah rezim di negeri ini, dapat mengklaim kinerjanya berhasil berdasar data BPS. Pun, data kemiskinan juga dapat menjadi sarana menggarap proyek-proyek. Ironisnya, menurut Drajat Wibowo, Universitas-universitas ikut-ikutan membuat proyek kajian, penelitian, dan lain-lain yang hasilnya tak menyentuh persoalan dasar masyarakat miskin.

Dari sisi publikasi, media pun, sebenarnya mafhum data kemiskinan BPS tak akurat. Sebagaimana diakui Hanibal Widada Yudya Wijayanta, mantan wartawan TEMPO (kini wartawan di antv) yang menjadi salah satu moderator dalam medan gagasan itu, media tak punya data pembanding. Selain “terpaksa” menggunakan data kemiskinan versi BPS itu.

Banyak data dan fakta timbul, dalam ajang yang dihadiri berbagai elemen masyarakat ini. Mereka kebanyakan kalangan pekerja sosial dan aktivis kemanusiaan, yang hari-harinya, hidup dan bernafas dengan problematika kemiskinan. Wajar, jika seorang peserta menyentil keras.

“Ajang semacam ini sering diadakan. Semua bisa bicara dan mengkritik kebijakan-kebijakan yang tak berpihak. Kita semua juga sepakat dengan semua ini. Lalu apa yang bisa mulai kita lakukan sekarang?”, tanya seorang peserta nyaris putus asa.

“Kita harus merebutnya!”, celetuk yang lain berkelakar.

“Setelah direbut, dibagi-bagi lagi”, bisik peserta lain terkekeh, sayup-sayup dari belakang.

Perlu Nyali

Berbagai debat kemiskinan, memang tak ada habisnya. Tetapi juga sulit diwujudkan menjadi praktik, tanpa sebuah keberanian sikap para pemimpin negara. Sebagaimana Erie Sudewo, seorang Social Entrepreneur dan tokoh zakat Indonesia, menyengat dalam tulisannya.

“Mengentas satu keluarga miskin, zakat obatnya. Namun lenyapkan 1.000 keluarga miskin, itu kebijakan. Menggusur satu rumah, biadab. Menggusur 1.000 rumah, real estate hasilnya. Membunuh satu orang, kriminal. Membunuh 1.000 orang, politik”.

Maka, Erie Sudewo, memberi solusi sederhana. Yakni keberanian dan kebijakan untuk berpihak. Tanpa pemimpin yang berani, hujan ide dan gagasan tetap membentur dinding baja.

Tentang pemimpin yang berani dan berpihak, kita boleh “iri” mendambakan punya seorang Nestor Kirchner. Dia, mantan Presiden Argentina, periode 2003 – 2007. Ia presiden yang berani mengusir IMF dari negaranya. Kemudian, kebijakan itu diramal para ekonom Neoliberal yang menyatakan Argentina akan 'habis dan ambruk'. Bahkan, Argentina berani menolak pembayaran utang luar negeri, lebih dari US$100 miliar. Sampai menunggu rakyatnya sejahtera.

Hebatnya, dunia tahu, Argentina dapat tumbuh tanpa IMF dan tanpa investor asing. Kirchner yang memimpin Argentina saat itu, berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sampai 8% per tahun. Argentina dengan 40 juta jiwa penduduk, kini memiliki pendapatan domestik bruto (PDB) US$212 miliar dan pendapatan per kapita US$6.500.

Setelah, pemimpinnya menunjukkan nyali, pada akhirnya Argentina juga mampu membayar utang kepada IMF sebesar US$9,5 miliar. Argentina sebuah negara yang didominasi sektor pertanian. Sebaliknya, Indonesia didominasi segalanya. Pertanian, perikanan, minyak, gas, dan kekayaan perut bumi yang melimpah.

Terakhir, Indonesia juga hidup dalam apa yang diagung-agungkan saat ini, bernama demokrasi. Nyaris sempurna. Sayangnya, dengan modal selengkap ini, Indonesia yang luas dan besar, saat ini belum memiliki para pemimpin dengan nyali tangguh. Wajar jika sebagian rakyat kecil, masih penasaran dengan legenda satrio piningit dan ratu adil. Sebuah “harapan” yang menghibur rakyat di kala terbelit keputusasaan.

Memimpikan Indonesia yang maju dan mandiri, kita perlu mendoa lahirnya pemimpin pro rakyat yang bernyali. Karena pada realitanya, rakyat – diurus atau tidak oleh negara – mereka tetap hidup mandiri dan bergerak dinamis. Tugas negara, cukup mendukung dengan kebijakan yang berpihak dan membangun sarana infrastruktur untuk kepentingan rakyat. Sulitkah?

Kita tunggu babak berikutnya, kebijakan yang merebut hati rakyat, atau kebijakan yang menservice elit. Setelah semua kita mulai lelah menunggu godot, dalam bingkai judul lagu Jamrud, Pelangi di Matamu. Tigapuluh menit kita di sini, tanpa suara, dan aku resah harus menunggu lama…

Read More......

Serbabisa Walau Serbatiada


‘’Jangan khawatir, kalau mau cari persoalan di sini, insya Allah sangat banyak,’’ katanya membuka percakapan. ‘’Mulai dari fasilitas kehidupan, karakter ummat, tentangan dakwah, sampai tunjangan da’i,’’ lanjut juru dakwah di Dusun Salappa, Desa Munthei, Kec Siberut Selatan, Kab Kepulauan Mentawai, ini.

Kedengarannya seperti mengeluh. Tapi, Afdal (44) yang berasal dari Pulau Bayak, Singkil, Aceh, membuktikan bahwa dia serba bisa di tengah keadaan serba tiada.

Pada 1992, Afdal yang perantauan di Muara Siberut, Mentawai, direkrut Dewan Dakwah untuk menjadi da’i di pedalaman Mentawai. Dua tahun kemudian, ketika menuju Muara Sikabaluan untuk memulai berdakwah, boat yang ditumpanginya dihajar gelombang Samudera Hindia. Barang-barang bawaannay hanyut. Dua rekannya tewas. Ia sendiri selamat setelah berenang sekuat tenaga ke tepian. Setelah muntah air laut dan siuman dari pingsannya, Afdal merasa kesakitan di tenggorokan. Belakangan, dokter bilang pita suaranya rusak.

Dua tahun pertama, Afdal lebih banyak menjadi tontonan ketimbang tuntunan. Pakaiannya yang beradab serta bahasanya yang asing, itulah yang membuat warga Mentawai asli terkesima. Bukan pada pesan dakwahnya.

Afdal pantang menyerah. Lulusan SMA ini membuka warung kecil di pondoknya untuk menarik jamaah. Kalimat-kalimat pergaulan dalam bahasa suku setempat dia catat. Begitu pula konsep ceramah dia siapkan dalam bahasa lokal. Ia tak acuh meskipun jamaah sering bengong atau terpingkal-pingkal karena bahasa dakwahnya kerap jungkir balik.

Setelah dua tahun berdinas, Afdal dinilai sukses. Ia misalnya, menguasai bahasa Mentawai dan Nias, selain bahasa Aceh, Minang, dan bahasa Indonesia. Keberhasilan adaptasinya membuat banyak warga primitif hijrah ke pangkuan Islam nan fitri. Ia lalu menjalani serangkaian tour of duty ke beberapa desa seperti Saliguma, Sarausau, dan Rogdok.

Saat ini, Afdal berdinas di Dusun Salappa, sekitar 3 jam perjalanan boat 20 PK dari Muara Siberut menuju hulu sungai Silaoinan. Ia tinggal di pondok kecil bersama istri setia, Nurhayati. Mereka belum jua dikaruniai anak, meski sudah puluhan tahun menikah. Tapi anak-anak asuh mereka dari keluarga jamaah muallaf setempat cukup menghibur.

Jamaah binaan Afdal saat ini berjumlah 26 KK, dari sekitar 94 KK penduduk dusun keseluruhan. Ia juga ikut mengatur pendidikan dan pembinaan lanjutan warga yang meneruskan sekolah atau pindah ke Muara Siberut. Dalam dakwahnya, Afdal pun tak segan mengundang pendeta setempat ke mushola. ‘’Tapi pendeta itu mengatakan kepada utusan saya bahwa ia tidak mau diundang dan tidak mau mengundang saya,’’ kata Afdal sambil tersenyum.

‘’Bajak Afdal bagus. Saya suka,’’ kata Bajak (bapak) Kere Pagulaitta, ketika ditemui di Mushola Nurul Ikhlas, Salappa. Kere Pagulaitta bisa berbahasa Indonesia lantaran pernah menjadi kenpetai di jaman Jepang. ‘’Saya pernah dikirim ke Jakarta,’’ akunya. Lelaki 75 tahun yang tubuhnya bertatto ini seorang sekerei (dukun) suku Satoinong. Ia kini rajin sholat setelah mengikuti pengajian yang diasuh Afdal.

Pengakuan serupa juga disampaikan Bajak Sakalabbek (81), dalam bahasa setempat. Lelaki ber-tatto yang ketika sholat tetap merokok ini, mengacung-acungkan jempol saat mendengar ceramah Afdal.

Selain tunjangan sekadarnya dari Dewan Dakwah, Afdal juga pernah mendapat sokongan dana dari Bazis Semen Padang dan DKM Masjid Al Wahidin Muara Siberut. ‘’Alhamdulillah, tapi bantuan itu jauh dari mencukupi untuk hidup di sini,’’ katanya. Beras misalnya, paling murah Rp 6000/liter. Bensin Rp 6500-7000 per liter, dan perjalanan ke desa lain memakan biaya ratusan ribu rupiah.

Untuk menambah penghasilan sekaligus mendekati jamaah, Afdal membuka warung kecil di pondoknya. Sebulan sekali ia turun dengan pompong (semacam kano) ke Muara Siberut untuk kulakan sambil bertemu koordinator da’i Ustadz Ramli AK.

‘’Kalau ada modal, saya ingin menambah isi warung. Juga menanam kakao dan berdagang rotan,’’ harap Afdal. (nurbowo)

Read More......

Monday, January 07, 2008

Mengejar Arus Liar





Rabu, dini hari pukul 01.00 WIB, 26 Desember 2007, banjir meluap dari sejumlah sungai di Karanganyar, Jawa Tengah. Derasnya air itu, diikuti tanah longsor yang menggerus Desa Ledoksari, Tawangmangu. Kejadian ini, belum menelan korban jiwa. Warga dusun, secara gotong royog masih sempat membersihkan longsoran. Baru, pada pukul 03.00 WIB, listrik di desa itu mendadak padam.

Selang 30 menit, tiba-tiba tebing setinggi 200 meter longsor. Tak pelak, 13 rumah yang berada di bawah tebing itu tertimbun tanah. Lebih dari 37 orang yang berada di lokasi itu, ikut terkubur. Kejadian mengenaskan ini pun, mengawali rentetan dampak banjir yang terus meluas, di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dengan bantuan relawan kemanusiaan dari Corps Dakwah Pedesaan (CDP) dan Relawan Pundong, Jogja, pada Rabu pagi, (26/12), Disaster Management Unit (DMU) Dompet Dhuafa, mulai membantu proses evakuasi korban. Pada hari yang sama, Trenggalek dan Ponorogo, kebanjiran. Tim pun dipecah dua, untuk turut memberikan bantuan kemanusiaan di Jawa Timur.

Selain membantu evakuasi, DMU DD dalam tempo cepat, menghidupkan kembali saluran air bersih yang hancur oleh longsor. DMU DD memasang pipanisasi air bersih sepanjang 600 meter. Saluran air bersih itu, menghidupkan kembali denyut kehidupan di tiga RT yang berada di Desa Legoksari. Selama empat hari tim beraksi, untuk kemudian merapat ke Solo dan Ngawi, Jawa Timur.

Di Solo, tim di koordinir oleh Faisol. Pasca darurat dan air surut, kerjabakti untuk membersihkan masjid dan sarana umum dilakukan. Puncaknya, Rabu (2/1), anak-anak korban banjir diajak melukis bersama. “Walah anak-anak semua gambar banjir”, tandas Faisol yang mulai tampak pucat kelelahan.

Pada 28 Desember 2007, Iman Surahman Korlap DMU, membawa pasukan penuh ke Ngawi. Menempati posko utama di depan alun-alun Ngawi, DMU DD membantu logistik dan medis dari Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC). Terdapat 6 titik posko satelit yang menyuplai kebutuhan logistik bagi korban banjir di Ngawi. Aksi tanggap darurat baru ditutup, Rabu (2/1). Menyusul berikutnya, persiapan recovery pendidikan.

Seiring banjir Ngawi surut, DMU DD mengejar arus banjir yang meluap ke Bojonegoro. Jelang tahun baru, Bojonegoro sepertiganya jadi lautan. Bantuan logistik dan medis menyebar di 4 kecamatan dan 18 Desa. Itu pun tetap tak cukup. Belum sepadan dengan jumlah korban banjir yang mencapai ribuan. Bantuan pun menyebar hingga di Suko dan Rengel, Tuban dan Kali Tidu.

Luasnya banjir dan korban, membuat LKC beberapa kali harus tugar ganti relawan dokter. Kamis kemarin, dengan menggunakan perahu, medis LKC, melakukan pengobatan jemput bola ke rumah-rumah penduduk yang terendam banjir. pengobatan terapung ini menjangkau dua desa di Dander, Bojonegoro. Laporan medis menunjukkan, mereka yang bertahan di atap-atap rumah sejak sepekan ini mulai menurun kesehatannya.

Dengan semangat yang tersisa, hari ini, Jumat, tim mengejar arus liar ke Lamongan. Kemudian, akan bermuara di pantai Gresik. Luapan Bengawan Solo, benar-benar berpacu amat cepat dan menerjang ribuan korban. Lahan pertanian hancur total, tinggal jejak-jejak Lumpur.

Di Lamongan, banjir menyapa relawan DMU DD dengan ramah. “Hai bos, perasaan kemarin kita bersalaman di Solo dan Ngawi ya. Sampai juga kalian kemari”, ledek banjir terkekeh.

“Katrok! Kowe!”, gerutu Iman Surahman masgul, menirukan Tukul. Tapi dalam hati.

Read More......

Saturday, January 05, 2008

Belajar Pada Bangsa Pembelajar


Di penghujung 2007 lalu, Jumat, (27/12), Dompet Dhuafa, dikunjungi rombongan pejabat dari Jabatan Wakaf Zakat dan Haji (JAWHAR) Malaysia. Mereka yang datang, posisinya setingkat Direktur di Jabatan Perdana Menteri. Kunjungan ini, sesuatu yang biasa sebenarnya. Tetapi, tatkala mendengar tujuan kunjungan mereka kali ini, sungguh menghentak.

”Kami ingin belajar kondisi perkembangan zakat secara makro di Indonesia”, kata Datuk Abdul Halim bin Abdullah, ketua rombongan yang kami jamu secara sederhana di lantai dua kantor DD Ciputat.

Meski dalam hati, saya masih menganggap ini gurauan, ternyata delegasi JAWHAR itu amat serius. Selama ini, sebagian kita selalu memandang pengelolaan zakat di Malaysia amat ideal, hingga pas untuk dicontoh di Indonesia. JAWHAR , sebuah lembaga negara baru di Malaysia yang bertugas menyelaraskan pengelolaan zakat dan wakaf di negeri jiran itu.

Ketika saya menggali lebih dalam, mengapa mereka tidak belajar pada pengelolaan zakat dan wakaf pada Singapura. Mereka mengatakan, study kasus wakaf di Singapura tidak cocok untuk diterapkan di Malaysia, apalagi zakatnya. Mereka menilai, dinamika pengelolaan dan gerakan zakat di Indonesia lebih sesuai untuk dijadikan benchmarking dalam platform penyusunan sistem dan regulasi di negaranya.

Selama empat jam, kami diskusi serius. Tentang pengelolaan zakat di Indonesia dan kaitannya dengan otoritas negara. Termasuk menggali program pendayagunaan zakat dan wakaf di DD. Melihat, keseriusan mereka, banyak hal yang dapat saya petik. Yakni tentang kemauan untuk belajar dan belajar. Kita mesti mengakui, Malaysia, bangsa yang memiliki kemewahan intelektual. Pemerintah Malaysia, selalu mengurus secara serius, berbagai faktor yang dapat menopang kesejahteraan rakyatnya.

Pengelolaan zakat misalnya. Pemerintah Malaysia menangani secara maksimal zakat ini, sebagai instrumen menyejahterakan orang-orang dhuafa dan termarginalkan yang juga tak sedikit tumbuh di negaranya. Hingga mereka serius untuk menggali pada lembaga zakat di Indonesia, seperti ke DD.

Bagi DD, kunjungan delegasi Malaysia itu menorehkan pembelajaran dalam menyongsong 2008. Gerak organisasi yang terus dinamis, akan menghadapi banyak tantangan pada 2008 ini. Pencapaian dalam kurun hampir 15 tahun, juga penyengat agar tak terlena oleh sekadar panjangnya usia. Melainkan, buah kerja apa dalam kurun itu yang bisa dirasakan kaum dhuafa dan mereka yang punya harapan pada DD sebagai organisasi milik masyarakat.

Pun, kunjungan pemerintah Malaysia untuk ”belajar” zakat dan wakaf ke Indonesia, juga refleksi bagi bangsa ini. Bagaimana 2008 ini, pemerintah Indonesia sendiri akan memperlakukan zakat. Memandang serius sebagaimana Malaysia, atau hanya sebelah mata. Percayalah, bangsa ini akan maju hanya dengan belajar dan belajar. Malaysia telah membuktikannya.

Read More......