‘’Jangan khawatir, kalau mau cari persoalan di sini, insya Allah sangat banyak,’’ katanya membuka percakapan. ‘’Mulai dari fasilitas kehidupan, karakter ummat, tentangan dakwah, sampai tunjangan da’i,’’ lanjut juru dakwah di Dusun Salappa, Desa Munthei, Kec Siberut Selatan, Kab Kepulauan Mentawai, ini.
Kedengarannya seperti mengeluh. Tapi, Afdal (44) yang berasal dari Pulau Bayak, Singkil, Aceh, membuktikan bahwa dia serba bisa di tengah keadaan serba tiada.
Pada 1992, Afdal yang perantauan di Muara Siberut, Mentawai, direkrut Dewan Dakwah untuk menjadi da’i di pedalaman Mentawai. Dua tahun kemudian, ketika menuju Muara Sikabaluan untuk memulai berdakwah, boat yang ditumpanginya dihajar gelombang Samudera Hindia. Barang-barang bawaannay hanyut. Dua rekannya tewas. Ia sendiri selamat setelah berenang sekuat tenaga ke tepian. Setelah muntah air laut dan siuman dari pingsannya, Afdal merasa kesakitan di tenggorokan. Belakangan, dokter bilang pita suaranya rusak.
Dua tahun pertama, Afdal lebih banyak menjadi tontonan ketimbang tuntunan. Pakaiannya yang beradab serta bahasanya yang asing, itulah yang membuat warga Mentawai asli terkesima. Bukan pada pesan dakwahnya.
Afdal pantang menyerah. Lulusan SMA ini membuka warung kecil di pondoknya untuk menarik jamaah. Kalimat-kalimat pergaulan dalam bahasa suku setempat dia catat. Begitu pula konsep ceramah dia siapkan dalam bahasa lokal. Ia tak acuh meskipun jamaah sering bengong atau terpingkal-pingkal karena bahasa dakwahnya kerap jungkir balik.
Setelah dua tahun berdinas, Afdal dinilai sukses. Ia misalnya, menguasai bahasa Mentawai dan Nias, selain bahasa Aceh, Minang, dan bahasa Indonesia. Keberhasilan adaptasinya membuat banyak warga primitif hijrah ke pangkuan Islam nan fitri. Ia lalu menjalani serangkaian tour of duty ke beberapa desa seperti Saliguma, Sarausau, dan Rogdok.
Saat ini, Afdal berdinas di Dusun Salappa, sekitar 3 jam perjalanan boat 20 PK dari Muara Siberut menuju hulu sungai Silaoinan. Ia tinggal di pondok kecil bersama istri setia, Nurhayati. Mereka belum jua dikaruniai anak, meski sudah puluhan tahun menikah. Tapi anak-anak asuh mereka dari keluarga jamaah muallaf setempat cukup menghibur.
Jamaah binaan Afdal saat ini berjumlah 26 KK, dari sekitar 94 KK penduduk dusun keseluruhan. Ia juga ikut mengatur pendidikan dan pembinaan lanjutan warga yang meneruskan sekolah atau pindah ke Muara Siberut. Dalam dakwahnya, Afdal pun tak segan mengundang pendeta setempat ke mushola. ‘’Tapi pendeta itu mengatakan kepada utusan saya bahwa ia tidak mau diundang dan tidak mau mengundang saya,’’ kata Afdal sambil tersenyum.
‘’Bajak Afdal bagus. Saya suka,’’ kata Bajak (bapak) Kere Pagulaitta, ketika ditemui di Mushola Nurul Ikhlas, Salappa. Kere Pagulaitta bisa berbahasa Indonesia lantaran pernah menjadi kenpetai di jaman Jepang. ‘’Saya pernah dikirim ke Jakarta,’’ akunya. Lelaki 75 tahun yang tubuhnya bertatto ini seorang sekerei (dukun) suku Satoinong. Ia kini rajin sholat setelah mengikuti pengajian yang diasuh Afdal.
Pengakuan serupa juga disampaikan Bajak Sakalabbek (81), dalam bahasa setempat. Lelaki ber-tatto yang ketika sholat tetap merokok ini, mengacung-acungkan jempol saat mendengar ceramah Afdal.
Selain tunjangan sekadarnya dari Dewan Dakwah, Afdal juga pernah mendapat sokongan dana dari Bazis Semen Padang dan DKM Masjid Al Wahidin Muara Siberut. ‘’Alhamdulillah, tapi bantuan itu jauh dari mencukupi untuk hidup di sini,’’ katanya. Beras misalnya, paling murah Rp 6000/liter. Bensin Rp 6500-7000 per liter, dan perjalanan ke desa lain memakan biaya ratusan ribu rupiah.
Untuk menambah penghasilan sekaligus mendekati jamaah, Afdal membuka warung kecil di pondoknya. Sebulan sekali ia turun dengan pompong (semacam kano) ke Muara Siberut untuk kulakan sambil bertemu koordinator da’i Ustadz Ramli AK.
No comments:
Post a Comment