Dianugerahi tuna netra sejak lahir, tak mengecilkan hati Asih Khoiriyah (54), untuk menapak di dunia ini. Anak pertama dari enam bersaudara itu, melalui masa kecil dengan berbagai kesulitan. Ia hanya bisa menghafal suara ibu dan ayahnya dari suara. Menandai tiap tapak jalan dengan hati dan nalurinya. Tapi ia punya kelebihan yang belum tentu dimiliki manusia normal umumnya. Yakni tekad, semangat, dan keberanian.
Menginjak dewasa, Asih terbesit niat untuk mondok pesantren. Niatnya sederhana, ia ingin menjalani hidup yang singkat dan gelap ini, dengan meninggalkan manfaat bagi orang di sekitarnya. Tapi niat yang ia ungkapkan pada orangtuanya pada 1982 itu, dianggap bercanda. Asih bergeming. Dengan bekal seadanya, ia berangkat menuju pesantren penghafal Quran di Pancancilan, Cianjur. Ia naik bus seorang diri.
Sepeninggal Asih, Mak Erum, sang ibu dilanda cemas. Siang malam ia berdoa, agar putrinya diantarkan Allah pada tujuan yang hendak dicapainya. Kekuatan hati Asih, membuat jalannya seakan terang benderang. Ia sampai di pesantren dengan selamat dan diterima sebagai santri di pondok itu.
Awal-awal belajar Al-Quran, Asih mengalami banyak kesulitan. Namun ia tegar dan tetap semangat. Dalam satu tahun, Asih mampu menghafal Quran relatif cepat. Sebanyak lima juz berhasil dihafalkan. Selama proses mempelajari Al-Quran, Asih dipandu dengan Al Quran Braile. Hingga kini, Quran keluaran Departemen Agama itu masih melekat padanya. Bentuknya sudah lusuh, karena seringnya dibaca.
Setelah hampir dua tahun mondok, Asih memutuskan pulang ke kampungnya di Pasir Gombong RT 01/08, Desa Pangkalan, Kec. Cikidang, Sukabumi, Jawa Barat. Di desa, Asih mengakhiri masa lajangnya setelah dinikahi seorang suami yang juga tuna netra. Dari hasil pernikahannya itu, Asih dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Iyus, anak lelaki Asih. Kini Iyus sekolah SMA di Pondok Kelapa Nunggal.
Namun, pada 1998 lalu, suami Asih meninggal. Sejak itu, ia mencukupi kebutuhan diri dan putranya seorang diri. Di kampung halaman, juara III MTQ tingkat Jawa Barat 1984 ini, sebagai seorang guru ngaji. Jadwalnya sebagai guru cukup padat. Setiap sore, rumahnya yang mungil dan sederhana menjadi tempat anak-anak belajar ngaji. Selepas magrib, ganti jamaah ibu-ibu di desa itu yang belajar di rumah Asih. Mereka dengan tekun menderas tausyiah keagamaan, dari Asih yang selalu membawakan materi pengajian secara segar.
Selain aktivitas mengajar di rumah, Asih juga mengajar di beberapa majelis talim. Kerap juga diundang sebagai qoriah, pada acara-acara tertentu. Setiap malam Jumat, Asih yang juga pernah menjadi juara III MTQ Tingkat Kabupaten Sukabumi ini, punya jadwal ngajar tetap di Majelis taklim sebelah desa. Meski punya keterbatasan penglihatan, ia seorang yang mandiri. Jarak lebih dari satu kilo meter, ditempuh dengan jalan kaki seorang diri.
Sepenggal harapan yang ia impikan, ia ingin anak lelakinya melanjutkan perjuangannya. Menjadi orang yang bermanfaat, bagi umat dan masyarakat. Ia akan berjuang keras agar Iyus bisa sekolah tinggi. Melihat tekad bajanya, warga desa Pangkalan banyak yang kagum pada Asih. Bahkan, Mak Erum kini mengaku bangga dikaruniai anak seperti Asih. Ia tak menduga, jika Asih menjadi karunia paling besar dalam hidupnya.
Meski kini, ia menjadi seorang guru, Asih punya kegelisahan yang kerap mengganggu pikirannya. Dulu, ketika pulang dari pesantren, ustadnya berpesan agar Al Quran Braile yang dipinjamkan ke Asih utuk dakwah, dikembalikan ke pesantren. Namun, hingga saat ini, Asih belum dapat memenuhi itu, karena Al Quran itu satu-satunya sarana buat dia berdakwah.
Maka, pada semua jamaah, keluarga, dan anaknya, Asih berwasiat jika kelak sudah tiada, ” Tolong kembalikan Quran ini ke pesantren Pacantilan Cicurug”, pintanya sederhana.
No comments:
Post a Comment