Bicara zakat, rukun Islam ketiga ini akan terus bergandeng dengan kemiskinan. Zakat menjadi pemenggal kesenjangan, mengurai kecemburuan, dan zakat pula penyelamat bagi pembayarnya juga penerimanya. Dalam banyak literatur sejarah, kajian-kajian, dan diskusi-diskusi, zakat dicatat mampu menjadi solusi menghentikan monster mengerikan bernama kemiskinan. Kenangan gagah itu tertoreh beberapa abad lalu.
Hari ini, bulu kuduk kita bisa jadi makin merinding tat kala awal September lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan pada Maret 2006 terjadi kenaikan jumlah orang miskin sebesar 3,95 juta orang dari 35,10 juta pada Februari 2005 menjadi 39,05 juta orang pada Maret 2006. Kabar buruk yang membuat kita makin lemas. Jumlah orang miskin makin menggunung. Berlahan namun pasti ia akan menjadi bom sosial yang tiap saat meledak.
Bahkan Allah SWT dengan tegas memperingatkan bahwa kemiskinan ancaman setan. “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan.” (QS Al-Baqarah: 268). Rasulullah pun mewanti-wanti: kadzal fakru ayyakuna kufran. Kefakiran adalah bibir jurang kefakiran. Beliau pun mengajarkan doa, “Ya Robbi, aku berlindung kepada-Mua dari belitan utang (ghalabat al dayn) dan dari cengkeraman kekuasaan orang lain (qahr al-rijal)”. Sedangkan Sayyidina Ali ra dengan tegas mengatakan, :Jika kemiskina berwujud manusia niscaya akan kubunuh dia!”.
Namun kemiskinan di dalam negeri makin tak terurai. Selama Dompet Dhuafa Republika (DD) lahir, sejak itu menjadi saksi betapa kemiskinan terus bertambah. Baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Dan kemiskinan itu pun seolah tak mengenal lelah. Terus meruyak, baik ke sudut-sudut perkotaan maupun ke daerah-daerah subur pedesaan.
Sejatinya dari sisi manusiawi, tak ada insan yang lahir dan besar di muka bumi ini ingin miskin. Kemiskinan dipandang memalukan dan bikin orang tidak percaya diri bahkan rendah diri. Jadi orang miskin itu bukan prestasi tetapi aib. Islam memandang masalah kemiskinan ini dengan standar yang sama, di negara manapun, dan kapanpun. Karena itu, menurut pandangan Islam, kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh. Syariah juga telah menetapkan kebutuhan primer tersebut, yaitu sandang, papan, dan pangan.
Islam juga telah menganggap kemiskinan sebagai kelemahan sekaligus menganjurkan agar kita mengasihi orang-orang miskin. Islam telah menjadikan terpenuhinya kebutuhan primer serta mengusahakannya untuk orang yang tidak bisa memperolehnya adalah fardlu. Jika kebutuhan primer tersebut bisa dipenuhi sendiri oleh seseorang, maka pemenuhan tersebut menjadi kewajibannya. Namun, jika orang tersebut tidak bisa memenuhinya sendiri, karena tidak mempunyai harta yang cukup atau karena dia tidak bisa memperoleh harta yang cukup, maka syariah telah menjadikan orang tersebut wajib ditolong oleh orang lain, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan primernya.
Zakat Ringan
Satu-satunya instrumen yang mampu memenuhi kebutuhan primer orang miskin adalah zakat. Pun, dalam hidup keseharian zakat sesungguhnya mencerminkan kesalehan sosial dari sebuah masyarakat. Dengan beredarnya zakat, hubungan silaturahmi masyarakat menjadi erat. Persatuan dan kesatuan umat bisa terjalin dengan kuat. Di samping kerja sama yang tumbuh, menjadi cermin dari praktek yang saling menolong.
Namun, apakah memang cerminan itu yang muncul di masyarakat kita? Kenyataannya, belum ada di Indonesia sebuah lembaga zakat yang mengelola dana zakat dalam jumlah yang besar. Artinya, zakat masih menjadi nomor sekian dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Kita prihatin menatap cermin wajah kita. Saat memantulkan wujud masyarakat Islam yang Pa Kumis, yakni Padat Kumuh dan Miskin. Di sudut-sudut Pak Kumis itu mayoritas dihuni warga beragama Islam. Di jalan-jalan, dominasi pengemis kebanyakan mengaku beragama Islam. Bahkan pengambilan dana di jalan untuk pembangunan panti, sekolah dan masjid, bukankah juga berasal dari kalangan kita.
Memang, muslim mana yang tak malu menyaksikan hal demikian. Suatu kegiatan yang jadi publikasi buruk untuk Islam. Belakangan ini, kegiatan demikian malah semakin menjadi. Andai setiap muslim kaya mau menyalurkan zakatnya, tak mungkin kegiatan demikian bisa berlangsung terus menerus. Maka benarlah seperti yang Rasulullah SAW pesankan. "Tak mungkin seseorang kelaparan dan telanjang kalau bukan karena kebakhilan muslim yang kaya".
Maka diwajibkannya zakat, sebenarnya untuk memenggal ketimpangan di masyarakat. Sebab ditinjau dari Rukun Islam, zakat merupakan satu-satunya rukun yang ditujukan untuk masyarakat. Sebagai Rukun Masyarakat, mengabaikan zakat artinya sama dengan meruntuhkan sendi-sendi masyarakat. Dan itulah yang terjadi, kehidupan masyarakat muslim tercabik-cabik karena zakat tak ditegakkan.
Diwajibkannya zakat, merupakan tanggung jawab sosial muslim kaya terhadap muslim lainnya yang kekurangan. Bila zakat tidak dijalankan, akan banyak pihak yang dirugikan. Rugi karena zakat memang hak orang lain. Kalau ini berlarut, kehidupan orang-orang bawah akan semakin sukar. Harkat sebagai manusia juga jatuh. Lihatlah pengemis yang mengorek sampah, apa bedanya mereka dengan, maaf, binatang. Kalau mereka akhirnya harus wafat, apakah akan tetap dibiarkan kaku di pinggir jalan atau di sudut-sudut tembok?
Perbedaan dan kesenjangan, jelas bibit penyakit. Dengan terlantarnya si miskin, si kaya merasa jijik. Sebaliknya rasa benci si miskin semakin subur karena dibiarkan menderita. Jika kaki kita ringan melenggang masuk ke gudang-gudang perbelanjaan untuk memenuhi kebutuhan selingan, kapan langkah kita ringan menuju zakat. Saat tangan ringan mencabut lembaran dolar dan rupiah untuk dihamburkan demi prestise dan gaya hidup, kapan jemari ringan mencabutnya untuk memenuhi kebutuhan primer orang miskin. Sungguh, jika hati diasah untuk tajam memahami problem sosial akut di sekelilig kita sejatinya semua ringan untuk berbuat kebajikan.
Akan makin ringan jika dilandasi keikhlasan. Sesungguhnya ikhlas itu roh atau jiwa sesuatu amalan. Siapa yang beramal tanpa keikhlasan di dalamnya maka amalan yang ditunaikan itu tiada mempunyai roh dan tidak diterima. Sabda Rasulullah s.a.w. Maksudnya: "Allah tidak menerima amalan melainkan amalan yang dikerjakan dengan tulus dan ikhlas baginya dan bertujuan mendapat keredaanNya".
Zakat itu ringan jika dipahami sebagai kewajiban. Bila dimaknai bahwa ada hak mereka dalam bulir harta yang ditimbun. Makin zakat itu ditunaikan ia tak akan mengeruk ceruk harta kekayaan. Zakat gerbang kemuliaan diri di hadapan Allah dan manusia. Zakat ringan ditunaikan, karena memang itu bukan hak yang boleh ditimbun. Seringan tangan menyuapi diri dengan gizi. Seringan itu pula zakat wajib ditunaikan. Jelang Ramadhan yang sebentar lagi tiba, maka zakat lebih mudah diingat. Meski untuk menunaikannya tak perlu menunggu bulan itu.
No comments:
Post a Comment