Denyut lemah, korban lumpur Lapindo. Kehidupan yang terenggut monster lumpur, perlahan-lahan, nyata, dekat, dan menyiksa.
Ketika ditanya nama, Ia memperkenalkan namanya, Bu Bambang. Perempuan yang sudah merambat tua itu, tiap sore duduk termenung di tepi tanggul penahan lumpur lapindo. Matanya, menyapu hamparan lumpur yang membentang di hadapannya. Kemudian ia berdiri, tatkala kaki mulai terasa keram. Lalu duduk berjongkok. Berdiri. Duduk lagi. Kali ini dengan menyelonjorkan kaki. Lima belas menit kemudian, kembali berdiri. Posisinya mulai berubah. Perlahan, ia membalikkan badan membelakangi danau lumpur.
Wajah cemas, dibungkus kerudung cokelat terlihat jelas. Dari tanggul setinggi kurang lebih 10 meter, Ia membayangkan, kalau tanggul itu jebol, lumpur akan menelan kehidupan di desanya, Renokenongo. Desa itu, sebagian tersisa, separonya sudah tenggelam. Di antara yang tersisa adalah keluarga dan rumahnya yang sederhana di RT tujuh.
“Rumah saya retak-retak. Kalau malam tidak bisa tidur. Kuatir”, katanya, Sabtu sore lalu.
Sejak lumpur menyembur, ia terus mengawasi pergerakannya. Mulai tanggul satu meter, hingga tingginya melampaui tiang listrik. Matanya, menjadi saksi sebuah kehidupan dan peradaban yang lenyap, pelan-pelan. Kampung-kampung mulai hilang. Gerakan Lumpur yang merayap, terus mendekat dan makin merapat ke tempat tinggalnya. Jarak itu, kini tak lebih dari perjalanan kaki 10 menit.
“Lumpure iku lo rek, tambah-tambah terus, gak mandeg-madeg. Tanggule yo tambah duwur”, badannya kembali menghadap danau lumpur. (Lumpur bertambah terus, tidak mau berhenti. Tanggulnya juga makin tinggi).
Pandangannya, berselancar menyusuri garis tanggul yang mengular , membelah Renokenongo, Kedungbendo, dan di barat, Siring, Jatirejo, Besuki.
Tanggul yang melintasi Kedungbendo dan Renokenongo, dijadikan jalur alternatif yang menghubungkan Surabaya – Gempol. Jalan pintas itu, selalu padat pada pagi dan siang hari. Terutama saat hari libur. Warga setempat, kebanyakan korban lumpur memanfaatkan kepadatan itu dengan meminta sumbangan. Jarak tiap titik cukup rapat. Tak kurang dari 300 meter. Jika tiap titik meminta, “agak maksa” diberi Rp 1000, sampai lepas jalur tikus, bisa menghabiskan Rp 20 ribu. Entah, siapa yang mengijinkan tanggul penahan lumpur itu jadi jalan raya. Padahal rawan jebol.
Di dalam danau lumpur lapindo, setahun lalu, denyut kehidupan mengisi hari-hari. Terdapat 31 pabrik yang menyedot ribuan tenaga kerja. Sebagian masyarakat bekerja sebagai wiraswasta. Pengrajin kulit, bahkan telah menempatkan ekonomi masyarakat Porong cukup sejahtera. Mendadak, harmoni tercerai berai. Berganti endapan lumpur coklat pekat, hampir hitam dengan bau menyengat. Setajam bau kaos kaki yang sudah seminggu dipakai.
“Podo setres wis kabeh. Lho, yak opo, koyo ngene susahe. Lek gak kuat-kuat yo iso iso geblak”, keluh Bu Bambang, yang betah berjam-jam duduk di tanggul. (semua setres, bagaimana seperti ini. Kalu tidak tahan bisa jatuh terlentang).
“Omah podo ilang, sawah kerendem, pabrik tutup, hancur wis urip”. (rumah semua hilang, sawah terendam, pabrik tutup, hidup hancur).
Matanya masih tertuju pada endapan lumpur di depannya. Tiap duduk di tanggul, ia mengaku berdoa. Setahun sudah, ia dilecut takut, makan tak enak, tidurpun tak tenang. Kejadian tanggul jebol yang kerap terulang, menjadi teror menegangkan. Warga yang tinggal di sekitar danau lumpur, juga mengalami kecemasan yang sama.
Tidak hanya Bu Bambang yang rutin mengunjungi tanggul. Warga lain, yang rumahnya dalam posisi terancam, juga kerap menyambangi tanggul. Mereka hendak tahu debit Lumpur yang terus bertambah.
Lingkar tanggul, pelan-pelan makin menggunung. Luas penampungan lumpur, hampir menyamai luas danau Maninjau, di Sumatera Barat. Area persawahan di bawah tanggul berubah jadi sawah lumpur. Rerumputan kering, seperti terpanggang. Pepohonan layu, untuk kemudian mati. Tanah yang pernah dilalui Lumpur panas, menjadi retak-retak setelah kering. Air sumur warga di sekitar tanggul terasa asin dan bau.
“Tak ada yang berani lagi minum air sumur. Kalau dibuat mandi kulit jadi gatel”, kata Mondro, sambil membuktikan ucapannya dengan menjilat air yang diambil dari dalam sumurnya.
Mondro, salah seorang warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar Baru, Porong. Dinding rumahnya retak-retak. Lantainya lembab. Posisi rumah dengan tanggul kurang lebih 500 meter. Sejak lumpur lapindo membanjiri sawahnya, Mondro berhenti jadi petani.
Di pengungsian, ia banting setir jadi tukang pijat dadakan. Dengan percaya diri, Mondro pasang iklan di secarik kertas. Ia menempelnya pada dinding tiang los pasar tempatnya mengungsi. “Pak Mondro, Tukang Pijat”.
****
“Tiap saya mengunjunginya, dia seperti menangis”, Sudarto mengenang.
Sudarto seperti berdialog dengan manusia, tiap menengok kampungnya di Renokenongo yang tenggelam. Tak ada suara. Tapi ia seolah mendengar suara tangisan yang menyayat. Lelaki berkacamata minus itupun tak tahan. Semula, matanya hanya berkaca-kaca, setelah larut, Sudarto bisa nangis terguguk guguk.
“Dulu susah payah kamu buat aku. Kamu bersihkan setiap hari. Setiap lebaran kamu ganti warnaku menjadi indah dan cerah. Sekarang, aku kamu tinggalkan. Kamu tidak berbuat apa-apa, saat lumpur yang mendidih menelanku. Mengapa kamu tega sekali”. Sudarto merangkai dialog.
Lelaki itu berumur 55 tahun. Ia salah satu dari tim 10, yang mewakili warga Renokenongo menuntut haknya pada Lapindo. Kulit mukanya mulai keriput. Matanya cekung. Postur badannya kurus kering. Anaknya empat. Anak pertama baru menikah, bareng jebolnya tanggul lumpur lapindo, 22 November 2006. Kini ikut jadi pengungsi. Anak kedua dan ketiga, putus sekolah STM gara-gara lumpur. Anak terkecil, berumur sembilan bulan. Bayi yang ikut mengungsi di Pasar baru porong itu terlihat sehat. Meski hanya disuplai air tajin.
Sejak kali pertama menikah, Sudarto hidup susah. Rumah belum punya. Numpang di rumah mertua, lama kelamaan tak jenak.
“Saya ngojek, istri kerja di pabrik. Tapi pabriknya sudah tenggelam”, katanya sembari membetulkan kacamata. Motor yang biasa dipakai ngojek, motor tua produksi tahun 1970-an.
Sejenak ia diam, kemudian nafasnya dihempaskan. Seakan keran air yang terbuka, Sudarto mulai mengucurkan drama hidup dan perjuangannya.
“Motor yang saya pakai bukan punya sendiri. Milik juragan, setorannya Rp 20 ribu per hari. Saya mendidik keluarga untuk hemat jika ingin punya rumah. Saya tiap hari selalu menabung, walapun hanya seribu”.
Lebih dari lima tahun Sudarto menekuni pekerjaannya. Tempat tinggalnya yang ada di kawasan Industri membuatnya cukup mudah cari penumpang. Jalan desa yang menghubungkan desa Renokenongo sampai Siring, jalur yang ia lalui tiap hari.
Jalan itu sudah tak berbekas lagi. Tertutup danau lumpur. Sepanjang jalan itu, rezeki seperti tinggal memungut. Selain Sudarto, banyak buruh pabrik yang lalu lalang, pagi, siang, sore, dan malam hari melalui jalan itu. Bengkel dan pertokoan juga hilang tanpa bekas. Sepanjang jalan kenangan, yang menghubungkan orang-orang kecil merangkai hidup. Tak ada lagi yang tercecer kini. Kecuali kisah pahit.
“Jalan yang melintas Renokenongo sampai Siring, ibarat kantor bagi saya. Tak menduga kalau akan lenyap begitu saja. Seperti mimpi, tapi nyata. Mengapa …”, kalimatnya berhenti.
Dari kelopak mata cekung lelaki itu, terlihat basah. Kepalanya menunduk sebentar. Lalu mendongak lagi dengan sorot mata sayu. Melukiskan betapa pedih hatinya.
Sudarto pekerja keras. Keuletannya mengojek perlahan-lahan membuahkan hasil. Ia mulai punya lahan 140 meter persegi. Di sela istirahat ngojek, ia mulai mengumpulkan bambu untuk bahan rumah. Ia mulai merangkai sedikit demi sedikit. Ibarat rayap yang membangun istananya. Pelan tapi pasti.
“Setelah bambu dan gedek terkumpul, saya pergi ke kebun tebu. Saya cari daun tebu kering yang bagus-bagus. Saya kumpulkan untuk dibawa pulang. Daun itu saya anyam untuk atap rumah”, kenangnya.
Kali ini dari bibir hitam Sudarto tersungging senyum. Sedikit sekali, ia melukiskan, betapa bahagia melihat rumahnya yang berdindinding gedek dan beratap daun tebu berdiri. Sebuah keluarga kecil yang bahagia, mulai ia tata di istana beratap daun tebu itu. Lama lama, senyum Sudarto berubah makna. Senyumnya jadi getir.
Seiring hari, Sudarto makin terpacu bekerja keras. Rumah beratap daun tebu itu mulai ia bongkar. Dengan penghasilan ngojek dan gaji buruh pabrik istrinya, rumah permanen mulai dibangun. Atap daun tebu hilang, berganti genteng. Rumah Sudarto telah menjadi rumah sesungguhnya. Setara dengan rumah warga-warga lain di Renokenongo.
Amblesnya tanggul penahan Lumpur, yang diiringi ledakan hebat pipa gas Pertamina, 22 November 2006, merampas buah perjuangan Sudarto dengan cepat. Hari itu, Rabu, pukul delapan malam. Ledakan mengerikan, menjadi monster yang mulai melalap kehidupan di sekitar tanggul. Lumpur panas yang mendidih, seperti lahar merapi yang siap melumat, tiap benda yang dilewatinya.
Mulanya, perumahan Tanggul Angin Sejahtera yang kena. Permukiman itu kini hilang. Menyebabkan pengungsian besar-besaran di Pasar Baru, Porong. Hanya beberapa atap genteng rumah tingkat yang masih tampak. Saat ini mereka sudah tidak di pengungsian lagi. Mereka memilih mengontrak rumah. Belakangan, perjuangan warga pun cenderung sendiri-sendiri. Korban tidak padu dan bersatu.
Lidah Lumpur panas itupun mulai menjilat ke pekarangan rumah Sudarto. Hari itu, acara pernikahan anak pertamanya baru saja usai. Pengantin baru belum sempat istirahat. Apalagi masuk kamar.
“Kaki saya lemas. Hati saya mulai teriris-iris. Saya menangis sambil menyelamatkan barang-barang”, Sudarto berkaca-kaca.
“Saya seperti ikut merasakan sakit di sekujur tubuh, waktu lumpur panas mulai merendam rumah. Dari jauh saya lihat rumah seperti menjerit-jerit minta tolong. Saya dan istri hanya bisa diam. Rumah itu seperti punya tangan, ingin saya tarik. Kalau bisa seperti ingin ikut mengungsi”, Sudarto tertunduk. Suara isak menyumbat lobang hidungnya. Tangisnya pecah.
Sesaat kemudian ia kembali mendongak.
“Anak saya baru saja jadi penganten baru. Mereka terpaksa ikut mengungsi”, suaranya berat menahan perasaan yang ingin meledak.
“Mereka, tidur beralas terpal tanpa dinding. Saya merasa bersalah hari itu”, akunya.
“Kehidupan yang kami rintis sudah habis. Motor sudah ditarik juragan, istri berhenti kerja, anak-anak putus sekolah. Masya Allah, saya kadang berharap ini hanya mimpi. Tapi kalau saya cubit kulit, rasanya juga sakit. Ternyata ini bear-benar nyata…”, suaranya lirih.
Satu minggu dua kali, Sudarto kadang keluar dari pengungsian. Ia menengok istananya yang tinggal terlihat atap. Dia selalu berdiri, memandangai apa yang bertahun-tahun dibangun, dengan dekat. Beda dengan istrinya yang kini trauma. Tak berani untuk melihat kampungnya lagi.
“Maafkan saya, tidak berdaya menolongmu. Apa yang kamu rasakan juga saya rasakan. Saya dengar kamu menangis seperti juga saya. Kita sama-sama tidak berdaya”, pesan Sudarto, tiap kali beranjak pergi meninggalkan rumahnya untuk kembali lagi ke pengungsian.
****
Udara panas, menyengat suasana pengungsian, di Pasar Baru, Porong. Para pengungsi yang datang dari desa Renokenongo itu, menempati los-los pasar. Mereka para pengungsi yang bersatu dalam Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak (PAGAR REKONTRAK). Mereka, pengungsi gelombang kedua pasca amblesnya tanggul yang diiringi ledakan hebat pipa gas pertamina, 22 November 2006.
Saat ini, terdapat lebih kurang 829 KK yang masih bertahan di pasar itu. Dari jumlah itu ada sebagian para pengungsi yang rumahnya dalam kondisi terancam, dan tak aman dari tanggul lumpur. Juga ada yang sudah terendam lumpur. Adapun, para korban lumpur yang berasal dari desa Kedungbendo, Siring, Jatirejo, Mindi, Besuki, Penjarakan, Kedungcangkring dan warga Perumtas sudah lama keluar dari pengungsian. Mereka menerima dana kontrak.
Di depan posko utama, terbentang sepanduk yang melintang di atas jalan yang menghubungkan los-los pasar. Tulisan warna merah darah di sepanduk itu berbunyi:
“TOLONG JANGAN DIGANGGU! INI TEMPAT PERTAHANAN KAMI YANG TERAKHIR TANAH, RUMAH DAN HARGA DIRI TELAH TERAMPAS! TINGGAL NYAWA YANG TERSISA SEBAGAI TARUHAN!”.
Sepanduk yang baru terpasang itu, sepertinya mengantisipasi berita yang beredar, bahwa pemerintah akan segera mengosongkan pasar itu dari pengungsian, bulan Juli ini. Kabar ini, tak pelak menyulut suasana pengungsian makin terasa panas.
“Kapan saja, kami ini siap pindah. Tapi ya bayar dulu ganti rugi rumah kami. Kan gampang saja sih”, tandas Mamun salah seorang guru ngaji yang mendirikan TPA di dalam pasar itu. Kesal.
“Kalau diusir paksa, kami ini sudah tak punya apa-apa. Silakan saja, paling tinggal caroknya!” sahut salah seorang pengungsi yang bertelanjang dada. Kumisnya tebal dan raup mukanya keras. Galak, kata anak-anak.
Tak hanya sepanduk. Dinding posko juga dipenuhi berbagai tulisan. “MANA JANJIMU WAHAI PEMIMPIN2 BANGSA JANGAN HANYA BISA MENANGIS !”. Senada dengan itu, “MENANGIS MEMANG DIBUTUHKAN, TAPI YG LEBIH PENTING DATANG KE PENGUNGSIAN, BIAR TAHU LANGSUNG KENYATAANNYA TIDAK HANYA KATANYA”.
Tulisan ini, seperti luapan kekecewaan warga Renokenongo, atas ketidakhadiran presiden SBY. Beberapa waktu lalu, SBY, mencoba menunjukkan empatinya, dengan memutuskan berkantor beberapa hari di Sidoarjo. Terakhir, SBY gagal hadir ke lokasi pengungsian maupun tanggul. Padahal, pihak unit kerja penanganan sosial lumpur sidoarjo sudah merapikan area tanggul, yang rencananya akan didatangi SBY.
Di tanggul setinggi 10 meter, yang berada di pinggir jalan tol itu, dilengkapi menara pengawas. Lima meter di bawah tanggul, disiapkan drum yang dilas menjadi rakit. Satu rakit, tersusun atas empat drum. Semua ada lima. Warna cat putih metalik masih terlihat baru. Seorang pengawas tanggul mengatakan, rakit drum itu dibuat untuk menyambut SBY.
“Rakitnya boleh dinaiki di lumpur pak”, tanya Ratno, seorang pengunjung asal Sukodono, penasaran. Dia kira rakit itu sarana untuk wisata lumpur.
“Kalau mau tenggelam boleh”, kelakar sang penjaga menimpali.
“Lho, terus untuk apa?” Ratno terkekeh.
“Ini dibuat untuk persiapan waktu SBY mau datang ke sini. Tujuannya untuk keamanan, kayak sampean gak tahu saja mas. Namanya juga sandiwara”.
Ratno, makin penasaran. “Kalau waktu itu SBY jadi kesini, terus benar-benar mau nyoba rakit ini di atas Lumpur, gimana pak”.
Penjaga tanggul keningnya berkerut. Dia seperti mencari jawaban yang tepat.
“Ya, silakan saja. Paling klelep (tenggelam). Malah bagus, biar beliau tahu kalau dikadali anak buahnya, hehe…”, jawab penjaga tanggul itu bercanda.
Ketidakhadiran SBY di lokasi pengungsian, menjadi perbincangan hangat di antara para korban. Terutama ibu-ibu penggemar SBY. Mereka menduga, SBY takut jika dikeroyok warga.
“Gak kesini takut dikeroyok warga beke (barangkali) mas”, kata Suryani.
“Kami ini kan rakyat kecil, masak sih berani ngroyok presiden. Padahal kalo kemarin datang, saya sudah mau cium tangannya lho mas. Apalagi wonge ganteng. Eee… malah wedi gak teko (takut tidak datang)”.
Suryani, seorang ibu yang memiliki dua anak. Di pengungsian, sudah enam bulan. Seperti para istri yang lain, Suryani juga mengalami kesulitan ekonomi. Para suami kehilangan pekerjaan. Hidup di pengungsian, dengan mengandalkan logistik nasi bungkus.
Pengungsi di pasar ini tidak mendapat Jadup (jatah hidup), seperti yang diperoleh korban lumpur yang meneriman dana kontrak. Mereka yang ngontrak mendapatkan jadup Rp 300 ribu setiap bulan, per kepala selama enam bulan.
Tanpa penghasilan dan lapangan kerja, membuat hidup di pengungsian makin sulit. Para Ibu harus kreatif. Agar anak-anaknya bisa makan, bisa sekolah, dan bisa jajan. Kreatifitas itu, yang menuntut mayoritas para istri di pengungsian, menjemur sisa nasi bungkus. Setiap keluarga, pasti melakukannya. Nasi yang dijemur itu, setelah kering menjadi karak. Setelah terkumpul satu kaleng, lalu dijual. Pembeli, dua kali seminggu datang ke pengungsian itu. Sekali datang tiga karung karak pasti dapat.
“Satu kaleng dihargai Rp 6000. Itupun, juga seminggu sekali baru dapat, kalau pas ada nasi sisa saja dijemur. Lumayan buat jajan anak. Sehari juga habis, kadang buat nambah ongkos sekolah”, kata Suryani.
“Kadang, aqua gelas yang ada di nasi bungkus gak diminum. Disimpan, dikumpulkan sampai berjumlah 48. Nanti dijual seharga Rp 6000. Pokoknya, apa sajalah yang penting bisa hidup”.
Tak hanya pembeli karak yang mendatangi pengungsi. Para sales perumahan, hampir tiap hari menawarkan brosur perumahan. Dari rumah tipe kuecil, sampai rumah mewah. Para pengungsi itu seakan calon konsumen yang menjanjikan. Mereka dipandang sebagai orang yang bakal mendapatkan uang banyak.
“Nih mas, ada Rp 6000 hasil jual karak. Bisa gak buat DP rumah”, kelakar Suryani pada sales yang menyodorinya brosur.
****
Waktu SBY menangis di Cikeas, Imron tak dapat melupakan peristiwa itu. Ia merasa, presiden telah setulus hati memikirkan nasib korban lumpur lapindo. Imron, salah satu perwakilan warga Kedungbendo, yang ikut rombongan ke rumah presiden bersama MH Ainun Najib (Cak Nun). Sayang, ia tak melihat langsung saat bulir bening jatuh dari kelopak mata SBY.
“Saya tidak ikut bertemu presiden. Hanya perwakilan saja yang diijinkan bertemu. Saya nunggu di luar. Kata teman-teman yang masuk ke dalam, presiden menangis”, kata Ketua RT 7, yang kini ngontrak di Perumtas II ini mengisahkan. Mendengar SBY menangis, Imron merasa lega. Perjuangannya terasa tidak sia-sia.
Imron memimpin 117 KK. Keberadaan mereka terpencar kemana-mana. Ada yang ngontrak di perkampungan, ada pula yang ngontrak di perumahan. Namun, jarak tak membuat persatuan mereka untuk memperjuangkan nasibnya terbelah. Komunikasi dan pertemuan tetap berjalan rutin.
“Kami di fasilitasi Cak Nun untuk perjuangan ini. Tak ada salahnya memberi kesempatan pada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini”, tandasnya.
Waktu Kedungbendo belum terendam Lumpur, Imron salah seorang yang cukup terpandang di desanya. Selain bekerja sebagai pegawai negeri, ia juga mengelola wira usaha toko sembako.
Kedungbendo, menurut Imron, dihuni oleh masyarakat yang secara ekonomi makmur. Kebanyakan warganya punya usaha kerajinan kulit. Salah satu produsen tas kulit Tanggulangin yang terkenal itu. Warga Kedungbendo juga masyarakat dengan etos kerja tinggi.
Saat Lumpur masih bercampur air, Imron dan keluarganya tetap bertahan. Ia tak ikut segera mengungsi saat itu.
“Mau mengungsi sayang dengan dagangan. Apalagi saat lumpur lapindo terjadi, omzet dagangan meningkat. Kami tetap bertahan”.
Imron, menunjukkan foto-foto toko dan rumahnya sebelum terendam. Besar memang.
“Kami baru meninggalkan rumah pada 13 Desember 2006. Pukul dua pagi. Itu hari yang paling mengerikan sepanjang hidup saya. Sulit melupakannya”, kenangnya.
Hari itu, Rabu jam dua pagi. Suara bergemuruh terdengar sayup di kejauhan. Mirip suara hujan. Sedetik, dua detik, tiga detik, suaranya makin keras. Gemuruh itu terus mendekat, tambah dekat, lalu semua baru tersadar itu bukan suara hujan.
“Lumpur panas!” teriak warga Kedungbendo bersahutan.
Suanana pagi buta itu panik. Semua warga berlarian mengosongkan rumah. Dalam sejam, kampung kosong, berganti lumpur panas yang jadi penguasanya. Imro sendiri termegab-megab, mengungsikan harta bendanya yang lumayan banyak itu, sampai subuh.
Esok hari, Imron melihat desanya seperti dalam mimpi. Ia sulit percaya, kampungnya benar-benar hilang. Setelah penghuni pergi mengungsi, Imron mengajak warganya ronda. Saat itu banyak penjarahan mulai terjadi. Sulit membedakan mana kawan, mana lawan.
Imron mulai merasakan tidak hanya Lumpur yang mereggut rumahnya. Kabel listrik dan spidometernya, yang mula-mula hilang. Lalu merambat pada atap seng penutup teras rumahnya amblas. Besoknya, besi tiang teras sudah tidak ada. Kali ini bukan oleh Lumpur, melainkan tangan jahil manusia. Maling.
“Malingnya benar-benar nekat. Malah saya melihat ada sekelompok orang yang sengaja membawa kerekan untuk mengambil kabel listrik. Pokoknya, banyak yang memanfaatkan kesempatan dalam kesulitan ini”, keluh Imron.
Tak hanya perilaku biadab para maling yang meresahkan. Para korban Lumpur lapindo ini juga terjepit dari banyak sisi. Ketika para korban menerima dana kontrak, tiba-tiba harga sewa rumah di Sidoarjo, nilainya sama rata dengan jumlah dana kontrak yang diterima. Rp 5,5 juta per dua tahun.
“Hampir semua pemilik rumah, mematok rata harga sewa kontrakan. Kami tak diberi pilihan sama sekali. Kecuali terpaksa menerima”, ungkapan Imron ini, diamini warga korban lumpur lain yang tinggal tak jauh dari blok kontrakannya. Penderitaan bagi para korban, sebaliknya bisnis menggiurkan bagi para pemain yang doyan mencekik orang-orang susah. Kegilaan ini, belum lagi melibatkan para calo yang pandai melipat dan menikung.
Perlakuan ini amat menyakitkan. Tetapi lebih menyedihkan lagi, korban lumpur lapindo ada di persimpangan jalan. Imron dan para korban lumpur lainnya merasa jadi anak tiri. Ketua RT ini masih ingat, tatkala menggalang bantuan kemanusiaan untuk korban tsunami di Aceh. Semua hati manusia rasanya seperti bersatu. Tetapi, korban lumpur lapindo dibiarkan terseok-seok sendiri. Tak ada mobilisasi bantuan kemanusiaan, sebesar Aceh dan Yogyakarta dulu.
“Aceh dan Yogyakarta juga Indonesia, Sidoarjo juga Indonesia. Mengapa kami dianaktirikan. Semua orang diam membisu. Ada apa ini, apa tega kalau melihat kami mati perlahan-lahan”, gugat Imron meradang. Dadanya seperti bergemuruh. Ia diam sesaat.
“Bahkan, dari perbankan juga memperlakukan kami seperti nasabah umumnya. Dulu pernah ada berita, kalau BI mengijinkan penangguhan utang. Nyatanya bunga bank masih berjalan normal. Saya cek utang saya Rp 40 juta, bunganya tak berubah. Pas saya lihat, saya hampir pingsan. Kaget, mau dibayar pakai apa ini”, Imron hampir menangis, bibirnya bergetar.
“Hampir Semua korban lapindo sekarang nganggur. Masih mending yang PNS punya gaji bulanan. Mereka yang buruh dan wiraswasta bagaimana meneruskan kehidupannya. Istri mereka, sekolah anak-anaknya. Kami tinggal punya nyawa saja”. Imron mencurah isi hatinya. Berharap jika suaranya didengar.
Read More......