Tadi malam, atau mungkin hari ini, Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi, sedang memenuhi janjinya. Mentraktir seorang tamu, pengusaha kertas dari Korea Selatan. Gamawan kalah bertaruh atas pertandingan sepak bola, antara Indonesia versus Korea Selatan yang berakhir 1 – 0, untuk kemenangan Korea Selatan. Rabu kemarin.
“Kalau Indonesia menang, Anda traktir saya. Kalau Korea yang menang, Anda yang saya traktir”, tantang Gamawan. Hasilnya, sebagaimana ungkapan mantan Bupati Solok itu, bangsa kita harus banyak belajar pada Korea Selatan.
Gamawa Fauzi, sedang terkagum-kagum dengan Korea Selatan. Kunjungannya ke negeri gingseng beberapa waktu lalu, telah membuka cakrawala bagaimana kemajuan sebuah bangsa bisa dicapai dengan cepat. Ia mengaku, sedang mengorek banyak resep, dari pengusaha Pabrik Morin Paper Korea Selatan itu.
Pabrik Morin Paper, mewakili Korea Selatan menunjuk Sumatera Barat sebagai pilot project Hutan Tanaman Industri. Luas lahan yang disediakan 70 ribu hektar. Meliputi daerah luar kawasan hutan taman nasional Siberut dan arah selatan Kepulauan Mentawai. Investasi yang direncanakan bisa mencapai Rp 300 triliun.
“Saya akan belajar lagi pada dia. Di mana kunci kejayaan Korea dicapai. Saya akan menerapkan untuk masyarakat Minang ini”, tandasnya. Tersirat kekaguman dari wajah lelaki berkumis tebal itu.
Korea Selatan, menurut Gamawan, melalui kondisi sulit dengan perjuangan hebat. Penjajahan 35 tahun oleh bangsa Jepang, membuat lingkungan hidup rusak berat. Kayu-kayu hutan ditebang habis oleh Jepang. Pada 1960, pendapatan perkapita Indonesia sama dengan Korea. Kini, pendapatan bangsa itu melompat amat jauh dari Indonesia.
Sebelum perang dunia kedua, Korea tak dikenal dalam pentas dunia. Korea hanya sebuah negara pertanian yang miskin. Perang saudara juga telah meremukkan semua sendi kehidupan warga Korea. Sampai terbelah menjadi Korea Selatan dan Korea Utara. Miskin dan sengsara hingga titik nadir.
Tetapi, bangsa Korea Selatan bukan negara yang dihuni masyarakat yang selalu maingke ingke. Istilah Minang, dalam bahasa Gamawan yang berarti gemar merecoki terus menerus, atau banyak bertingkah. Mereka bangsa yang padu, dalam memompa tekad dan semangat untuk bangkit berjaya. Tidak sekadar slogan, tetapi diterapkan dalam nafas kehidupan sehari-hari.
“Pada umumnya, mereka setiap hari bekerja selama 16 jam. Mereka malu pulang terlalu cepat, karena tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak berguna”, terang Gamawan.
Buah dari kegigihan ini, ditandai dengan kebangkitan pendidikan Korea Selatan yang dipuji sebagai salah satu negara yang angka melek hurufnya tertinggi di dunia. Ini menjadi fakta, bahwa orang Korea Selatan yang berpendidikan, menjadi modal utama percepatan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai negara itu, selama tiga dekade silam.
“Dan itu, tanpa demokrasi”, sentil Gamawan sembari mesem kecut.
Sejak didirikannya Republik Korea tahun 1948, pemerintah mulai menyusun sistem pendidikan modern. Lima tahun kemudian, 1953, pemerintah mewajibkan menyelesaikan sekolah dasar selama enam tahun pada usia antara 6 dan 11 tahun. Jumlah anak yang terdaftar pada tingkat dasar ini mencapai 99,8 persen, dan tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah. Tahun 2001 mulai diterapkan pendidikan wajib pada jenjang sekolah menengah.
Belajar dari Korea Selatan, Gamawan menemukan kunci atas keberhasilan ini. Yakni, spirit dan nilai-nilai kemandirian. Tetapi, ia dihadapkan pada kenyataan yang cukup menyesakkan. Dalam survey yang dilakukan Pemda Sumatera barat 2006, warga Sumbar 74 persen berkeinginan jadi pegawai negeri sipil. Ini, sebuah indikasi yang menurut Gamawan sebagai turunnya nilai-nilai kemandirian dan spirit.
Pegawai negeri, bagi Gamawan bukan pekerjaan yang penuh tantangan. Terutama bagi masyarakat Minang yang punya akar budaya sebagai entrepreneur sejati. Jika pola pikir pekerja malas ini yang dipakai, maka mimpi menjadi mirip Korea Selatan, hanya angan-angan di ruang kosong.
Pentingnya Spirit
Orang Indonesia pandai berdalih. Sindir Gamawan. Mengapa Singapura maju? karena negaranya secuil. Mengapa Korea Selatan hebat? karena wilayahnya kecil. Mengapa Cina jadi raksasa, karena wilayahnya besar. Indonesia? Sulit menjadi bangsa setengah-setengah. Selalu saja dalih itu cerdas untuk berkelit.
Perilaku berdalih dan berkelit itu, yang tidak akan mampu menghapus kemiskinan dan kebodohan. Gamawan benar, dalih wilayah yang juga bermakna modal, kerap dijadikan biang keladi. Padahal, modal yang dimiliki bangsa ini dengan kekayaan alam dan kepulauannya yang luas sudah lebih dari cukup. Tak beralasan, dalih yang lebih cocok disebut sebagai kemalasan itu.
Jika diselami, sesuatu yang telah lama hilang dari bangsa ini sejatinya kepercayaan diri, semangat, dan kebanggaan pada bangsa sendiri. Melihat animo hebat dari pecinta kesebelasan Indonesia, di pentas Piala Asia, tidak bisa dipungkiri banyak orang hatinya bergetar. Tiba-tiba, kita seakan menemukan pemicu sebuah kebangkitan. Hingga, Presiden SBY pun merasa perlu untuk larut dalam nafas heroik di Gelora Bung Karno itu. Sayang, Korea Selatan menghentikan momen penting ini.
Korea Selatan memang layak menang. Ia punya segalanya. Teknik, setrategi, semangat, dan kecintaan pada negaranya. Itu pula yang mampu membungkam gemuruh ribuan suporter di kandang lawan. Ini sebuah pelajaran yang mestinya dipetik bangsa ini. Semua lapisan masyarakat hendaknya berkorban untuk membangun bangsanya. Bukan orang miskin melulu, yang dipaksa sabar narimo, berkorban, dan berjuang. Sementara, pemerintah, wakil rakyat, pengusaha, dan para penikmat bumi Indonesia ini, hidup untuk pribadi dan sanak keluarganya.
Dalam buku Rahasia Bisnis Orang Korea yang ditulis Ann Wan Seng, Orang Korea adalah bangsa yang gigih, tahan serangan, tidak takut diuji dan berani mengambil risiko. Orang Korea percaya tiada jalan yang singkat untuk berjaya. Mereka perlu mengawali dari bawah.
Prinsip ini yang dipegang oleh pengusaha Korea dan menjadi asas kejayaan mereka. Mereka mempunyai cita-cita yang tinggi bukan untuk kepentingan peribadi, tetapi untuk kejayaan bangsa dan martabat negaranya. Kejayaan mereka adalah kejayaan bangsa Korea. Pencapaian mereka adalah pencapaian negaranya.
Bahkan, dalam prinsip orang-orang Korea Selatan yang dipatri sedari kecil, agar selalu berada selangkah di depan. "Ketika orang lain sedang tidur, kamu harus bangun. Ketika orang lain bangun, kamu harus berjalan. Ketika orang lain berjalan, kamu harus berlari. Dan ketika orang lain berlari, kamu harus terbang."
Gamawan terpikat karenanya. Maka, dalam pengantar usai penandatanganan launching Dompet Dhuafa Singgalang (DDS), di Rattan Room Harian singgalang, Rabu (18/7), ia berwasiat bahwa yang terpenting untuk membantu penderitaan dan kemiskinan adalah spirit, layaknya yang dimiliki bangsa Korea Selatan.
“Saya terkesan dengan Dompet Dhuafa Republika, yang membangun lembaga dan menjalankan programnya dengan landasan nilai-nilai, semangat, dan kemandirian. Bukan modal yang jadi masalah di negeri ini, tetapi spirit itulah yang utama”.
No comments:
Post a Comment