Hati Mursydin (52) sekan teriris iris. Tiap ia kenang sampannya yang hilang. Deburan ombak yang mengempas pesisir Maumere, seperti membawa pulang sampan kecil itu. Ia tengok, tapi selalu hampa. Dia hanya dapati perahu ukuran besar yang berlabuh di pantai. Mursydin mulai kerap termenung. Batinnya guncang, memikirkan sampan itu.
Waktu sampan belum hanyut ke laut, Mursydin menggunakannya untuk mancing ikan. Ia bisa menghidupi istri dan 9 anaknya. Sejak sampan hilang, Mursydin terpaksa minjam sampan pada saudara dan tetangganya. Ia menunggu berjam jam, sampai pemilik sampan mendarat. Setelah itu, ia baru bisa melaut dengan cuaca yang tak mampu ia pilih. Mursydin tak leluasa seperti dulu, dapat memilih saat saat jam ikan kumpul.
Satu bulan setelah sampan hilang, ujian lebih berat menimpa lelaki mualaf itu. Malam itu, cuaca buruk mengintai pesisir Maumere. Tapi Mursydin tidak menyadari, karena telinganya tidak dapat lagi mendengar suara apapun. Ruhmania (42), sang istri, telah mengingatkan dengan bahasa isyarat, kalau angin di luar kencang. Tapi Mursydin diam. Ia malah beranjak tidur. Pulas.
Kali ini, deru angin makin mengerikan. Perkampungan di pesisir Maumere, seperti tersapu. Ruhmania yang baru mau tidur, terbelalak. Ia segera membangunkan anak anaknya. Sementara suaminya tetap pulas.
“Hai bapak! Kita punya rumah mau terbang ini! bangun!”, teriak Ruhmania cemas. Mursydin malah mendengkur.
“Anak anak, bangunkan bapak kalian!”, Ruhmania panik.
“Bapak! Bapak! Ayo bangun!”, jerit anak anaknya sembari memukul mukul tubuh ringkih Mursydin.
“Hai! Ada apa kalian bangunkan bapak!” nyawa Mursydin belum kumpul. Ia masih bingung. Tatkala kepalanya mendongak ke langit, ia mulai sadar.
“Lho! dimana aku tidur!” Mursydin bangun, kaget. Ia tengok atap rumahnya sudah hilang. Benda benda di sekitarnya juga bergoyang hebat. Kini ia mulai panik. Tangannya, bergegas menarik tangan istri dan anak anaknya.
“Ayo kita lari!” Mursydin bergegas. Sembari masgul, Ruhmania dan anak anaknya mengikuti arah lari Mursydin.
Belum 100 meter berlari, mereka berhenti. Dalam pendar pendar lampu kapal, Mursydin menengok sejenak rumahnya.
“Brusss!” ombak tinggi naik lebih dari 100 meter dari pantai. Rumah Mursydin lenyap seketika. Mursydin lemas. Ia lunglai tak mampu lari lagi.
“Ya Allah, apalagi yang Engkau ambil dari kami”, gugat Mursydin lirih.
Esok pagi, ia tengok rumahnya sudah tidak berbekas. Sejak itu, bersama korban lainnya, Mursydin tinggal di tenda darurat. Suatu hari, ia pernah didata untuk menandatangani kertas bantuan. Isi bantuannya, seng, paku, kayu, dan beras. Tapi setelah datang, yang ia terima bersama korban lainnya, hanya seng. Point yang lain, tidak pernah sampai, hingga kini.
Dari 9 anak Mursydin, hanya satu yang sekolah. Itupun karena ada yang menitipkan di panti asuhan Surabaya. Anak itu yang kelak diharap harap Mursydin, bisa membawa pulang kembali sampannya yang hilang. Namun, penantian itu tidak pasti. Sementara, keluarga Mursydin, harus melanjutkan hidup.
Menurut Ruhmania, Mursydin malu sampai kini masih pinjam sampan. Pikirannya jadi tertekan. Tapi hanya itu yang dapat diperbuat saat ini. Sampai sampai, ia berangan angan, jika kelak punya sampan akan meminjamkannya ke orang lain.
Sore itu, angin di pesisi Maumere cukup kencang. Di depan tenda daruratnya, Mursydin memandang laut Flores. Mungkin ia masih berharap, sampannya kembali, menyembul dari dasar laut. Mungkinkah Mursydin?
1 comment:
Halo kang Naryo, ane Fathurroji NK dari majalah Gontor.
Terus terang aku seneng banget baca tulisan2 sampean, ngalir enak dan menyentuh. aku harus banyak belajar dari sampean. apalagi tulisannya hasil dari pergumulan saat di lapangan. wah...mengasyikkan.
Post a Comment