Waktu Erwin Kurniawan, mengakhiri hidup di dunia ini, ia tak sendiri. Terlebih dulu, ia diduga meracuni istrinya yang tengah hamil delapan bulan dan tiga anak lelakinya yang masih kecil. Warga Kandis, Riau itu, memilih episode singkat mengakhiri kemiskinan dengan jalan keji, pada Selasa, (5/6) dua bulan lalu.
Padahal, untuk para orang tua, Allah SWT, telah memberikan janji pada mereka. Kemiskinan mestinya tidak perlu menjadi alasan membunuh, jika ketauhidan manusia pada puncak keyakinan dan keteguhan. “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (al Isra: 31).
Kisah tragis anak manusia, yang menempuh jalan pintas karena tak tahan jerat kemiskinan ini, kerap terulang tiap tahunnya. Tetapi, kasusnya tidak menjadi heboh. Sehingga publik seakan menanggapi biasa-biasa saja. Bandingkan, jika kasus yang sama menimpa kalangan menengah ke atas. Beritanya, bisa jadi membombardir semua isi media massa. Pengaruhnya, penguasa segera sigap melakukan tindakan.
Orang miskin, seolah ditakdirkan untuk tercampak. Dalam banyak kebijakan mereka tersisih. Bukan komunitas yang diprioritaskan untuk segera dipikirkan. Beda, jika yang tersentuh luka kalangan atas, maka pembelaan dan pertolongan begitu cepatnya datang. Ironisnya, orang miskin hanya menjadi bintang, tatkala musim kampanye saja.
Jamaah haji kelaparan, dunia rasanya berguncang. Dari diskusi meja makan, hingga rapat kabinet ramai membicarakannya. Tetapi, ketika Erwin mengambil keputusan fatal karena tak tahan lapar, publik rasanya sepi-sepi saja. Karena derita Erwin, tidak berimbas pada kepentingan kalangan atas. Pun, negara juga tak bereaksi. Diam, membisu.
Senin lalu, saat Indonesia tengah ngerumpi tentang Zaenal Maarif dan Susilo Bambang Yudhoyono, kembali rakyatnya Presiden SBY meninggal karena kemiskinan. Tetapi, perseteruan “memalukan” itu, kelihatannya lebih penting ditonjolkan ke publik, ketimbang erangan sakaratul maut, yang menjemput nyawa orang miskin.
Ida Resdawati (36), ibu lima anak, warga Rejosari, Tenayang Raya, Pekanbaru, kehilangan dua anaknya yang meninggal, terkunci di dalam kamar kontrakan. Kejadian ini bermula, tatkala Ida berusaha menyiasati hidup untuk membesarkan anak-anaknya. Tanpa suami, menghidupi lima anak sungguh beban yang sarat. Untuk meringankan beban, dua anaknya sampai dititipkan pada kerabatnya di Pangkalan Kerinci.
Ida, meninggalkan rumah untuk bekerja sebagai tukang masak, di sebuah usaha makanan yang tak jauh dari kontrakannya. Ia berangkat sejak pukul 05.00, saat anak-anaknya masih terlelap. Ia baru akan pulang sore hari, bahkan sampai malam jika banyak pekerjaan.
Selanjutnya, peran ibu akan digantikan putrinya yang duduk di kelas 2 SD. Anak itu, akan memberi sarapan dan mengurus adiknya yang baru berumur tiga dan satu tahun. Sampai pukul 09.30, baru sang kakak akan berangkat sekolah. Untuk menjaga adiknya agar tak main keluar rumah, ia mengunci dua bayi itu di dalam kamar. Sebagaimana perintah sang ibu. Ida terpaksa menempuh cara ini, untuk mencari nafkah. Pilihan yang pelik.
Tetapi, Senin pagi itu hari naas bagi Ida. Entah mengapa, ia mengajak anaknya yang di bangku SD ikut ke tempatnya bekerja. Sebelum berangkat, Ida menyuruh anaknya membakar obat nyamuk, agar dua adiknya tetap lelap tak diganggu nyamuk. Tapi, dari situlah tragedi terjadi. Sepeninggal Ida, obat nyamuk membakar kasur, dan kebakaran di dalam kamar terkunci itupun tejadi. Dua bocah tak berdosa, meninggal. Ida pun, meratap dan menyesal.
Orang yang belum pernah miskin, barangkali enteng saja mengkritik kecerobohan Erwin dan Ida. Salah sendiri, miskin punya anak banyak. Hujatan yang kerap menyeruak, di pikiran sebagian orang. Dalam banyak hal, kaum dhuafa kerap disalahkan. Tetapi, pada lain kesempatan, kemiskinan juga ajang yang tak henti-hentinya didiskusikan dan diseminarkan. Juga lahan subur, untuk orang menjadikannya kuda troya, mencapai tampuk kekuasaan.
Dalam buku, Keresahan Pemulung Zakat, yang berisi esai-esai salah satu tokoh zakat Indonesia, Eri Sudewo, ia menulis gugahnya, Bahaya Kemiskinan. Dalam tulisannya, ia menuturkan, Islam sangat menentang kemiskinan. Namun Islam menuntun umatnya agar bisa merasai makna miskin. Puasa Ramadhan, misalnya, memaksa supaya tubuh ini bisa merasai ''nikmatnya'' lapar. Lantas, bila makan sehari cukup dua kali, mengapa mulut ini tak pernah bisa berhenti makan? Kalau kita pantas dengan pakaian yang terjangkau, mengapa harus memaksa menggapai yang mewah? Artinya kalau Islam meneladani kesederhanaan, mengapa justru kita terus berlebihan?
Dalam riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah SAW berpesan: ''Kemiskinan, kebodohan, dan penyakit merupakan musuh Islam. Ketiganya dapat menggoyah sendi kehidupan, menghancurkan ketentraman, menghalangi ukhuwah, serta meruntuhkan kemuliaan dan kejayaan bangsa''.
Menurut Eri Sudewo, pesan tersebut, maknanya tentu saja sangat dalam. Bahwa bahaya kemiskinan, tak hanya mengancam individual, melainkan juga akan melibas kehidupan masyarakat. Baik melabrak segi akidah-iman, akhlak-moral, maupun bakal merusak cara bersikap dan berpikir.
Demikian mengerikannya bahaya kemiskinan ini. Mestinya, energi pemimpin dan rakyat bangsa ini, dimanfaatkan untuk memikirkannya. Ketimbang sekadar menguras energi, untuk bisik-bisik masalah aib dan sahwat para pemimpin.
No comments:
Post a Comment