Hidup di Tempuran, Desa Nglebo, Suruh, dengan tanah tak lebih dari 300 meter persegi, sangat terasa sulit. Apalagi, desa itu berada di daerah pegunungan tak subur di Trenggalek, Jawa Timur. Tapi Mudasir (42), bergeming dengan kondisi itu. Ia tetap berusaha menghidupi keluarga dan menjadikan tanah sempit itu, untuk kemaslahatan masyarakat.
Lahan warisan sang mertua itu, dibagi untuk tiga fungsi, tempat tinggal, masjid, dan madrasah. Praktis, hanya tersisa satu petak kecil buat kandang kambing. Tak tersisa lahan untuk menanam singkong dan sayur mayur.
Maka, penopang makan sehari hari, Mudasir ikut menggarap lahan di hutan yang ditanami singkong – bahan baku nasi tiwul yang masih menjadi makanan sehari hari keluarga Mudasir – dan jagung. Meski bagiannya tak terlalu luas, tapi cukup untuk menyambung hidup. Secara ekonomi kehidupannya sulit, tapi ia tak mungkin meninggalkan desa itu, hanya untuk kepentingan pribadinya.
Mudasir, mengawali dakwah di Tempuran sejak 1991, setelah ia menikahi Sari, gadis setempat. Kini dikaruniai dua orang anak. Anak pertamanya, sekolah di SMK Hidayatullah, sekolah swasta kampung yang murah dan terjangkau. Anak kedua masih duduk di bangku SDN Nglebo II. Rumahnya sederhana, cukup untuk sekadar berlindung dari panas dan hujan. Tapi nuansa keberkahan tampak di dalamnya.
Kehadiran Mudasir yang hijrah dari kecamatan Karangan, membawa banyak perubahan di Tempuran. Dusun itu, dulu akrab dengan memuja kuburan, keris, dan berbagai ritual mistik dengan membakar kemenyan. Almarhum mertua Mudasir sendiri, dulu seorang bandar judi dadu. Tapi di akhir usianya, ia menjadi orang tua yang taat sholat lima waktu. Bahkan tanah yang diwariskannya pun, dimanfaatkan untuk aktivitas ibadah dan pendidikan.
Seiring hari, kesadaran beribadah masyarakat di desa itu meningkat. Para orang tua, mulai menyuruh anak-anaknya belajar ngaji di masjid (lebih mirip mushola kecil) samping rumah Mudasir. Mereka, tak lagi membawa anak-anaknya ke orang-orang pintar, untuk ngangsu ilmu mistik dan perdukunan.
Tapi, saat budaya klenik itu sirna, budaya modern yang disuguhkan televisi, menyasar anak-anak desa Nglebo yang lugu. Dampaknya lebih mengerikan. Para remaja mulai akrab dengan narkoba dan mabuk mabukan. Bahkan, tak sedikit anak anak yang berani melawan orang tua. Mereka menuntut dibelikan motor dan handphone. Di kala gema takbir Idul Adha dan Idul Fitri membahana, sekelompok orang bahkan memfasilitasi anak anak muda, untuk mabuk mabukan di dekat Masjid.
Dakwah Mudasir makin berat. Beruntung ia dapat pasokan pendatang baru, seorang ustad yang hijrah dari sebuah Pondok Pesantren di Pasuruhan, bernama Ustad Badar. Kedua guru ngaji itu pun bahu membahu, membendung kerusakan moral yang makin menjadi di desa yang berada di bawah kaki Gunung Linggo itu.
Keduanya sepakat untuk mendirikan Madrasah. Lahan yang kini siap, di pekarangan rumah Mudasir. Meski tak akan punya lahan lagi untuk bercocok tanam, tapi Mudasir mendapat dukungan kakak iparnya, Marli, yang juga menyetujui pemakaian sisa tanah itu. Namun, kendala dana jadi persolan yang sulit. Proposal Ustad Badar ke Departemen Agama, juga belum ada jawaban. Terpaksa, 75 murid yang kini belajar di Madrasah itu, sementara menempati ruang masjid, dengan sekat kelas sehelai kain tipis. Sisanya memanfaatkan serambi.
“Kalau sederhana, Rp 15 juta, insya Allah sudah jadi satu madrasah. Tapi ya nggak tahu, tahun kapan bisa ngumpuli dana sebesar itu, lha wong warga sini saja hidupnya pada susah mas”, bisik Mudasir lirih.
Melihat perjuangan Mudasir, sarat teladan yang layak ditiru. Dengan segala kekurangan ekonominya, ia berjuang meralat generasi di desanya. Tak hanya dakwah lisan, tapi ia telah berikan semua yang dimiliki. Sementara kita?
No comments:
Post a Comment