“Tanpa pertanian, penduduk dunia tidak dapat meneruskan kehidupan mereka”. (Adam Smith: The Wealth of The Nations, 1776).
‘’Krisis pangan bisa memicu perang,’’ Presiden World Bank, Robert Zoellick, mengingatkan 2 April lalu. Menurutnya, akan ada 33 negara di seluruh dunia yang mengalami masalah instabilitas politik dan sosial akibat tingginya harga bahan pangan dan harga bahan bakar minyak.
Seperti dilansir lembaga riset beras dunia (International Rice Research Institute/IRRI), dunia dihadapkan pada krisis pangan akibat tekor suplay pangan khususnya beras terhadap permintaan. Laporan Bank Dunia tahun lalu menyatakan harga gandum dunia melonjak 181% selama 36 bulan hingga Februari 2008, sedang harga pangan keseluruhan naik 83 persen. Harga beras dunia pun mengamuk menjadi US$700 per ton. Melonjak 50% dibanding harga akhir Januari lalu.
Ditengarai, ketekoran pangan akibat dua eksportir besar beras dunia yakni Thailand dan Vietnam, dihajar hama dan banjir. Padahal, selama ini Thailand mampu memproduksi 22 juta ton/per tahun dan mengekspor 7,5 juta ton diantaranya. Sedangkan Vietnam memproduksi 18 juta ton/tahun dan mengekspor 5 juta ton diantaranya.
Tak lama setelah Zoellick bersabda, kerusuhan-kerusuhan akibat kelangkaan bahan pangan terjadi di Mesir, Pantai Gading, Madagaskar, Kamerun, Filipina, Papua Nugini, Mauritania, Mexico, Maroko, Senegal, Uzbekistan, dan Yemen. Di Pakistan, batalyon pasukan diturunkan untuk mengamankan truk-truk pengangkut tepung gandum. Perdana Menteri Haiti bahkan dimakjulkan dari jabatannya, gara-gara soal perut yang menyebabkan 5 warga mati ditembak dalam kerusuhan massal.
Itu belum seberapa. David Ignatius, pengamat ekonomi dan kolumnis dari Washington Post, menulis, tingginya harga beras hanyalah masalah kecil. Ada masalah yang lebih besar yang segera tiba, yakni ancaman inflasi global terutama akibat kenaikan harga bahan pangan.
Berdasarkan data IRRI, saat ini 2,4 miliar penduduk dunia sangat bergantung pada beras. Dengan kontribusi belanja rumah tangga sebesar 20%, kenaikan harga akan memicu inflasi besar-besaran. Tentu saja yang paling terpukul adalah rumah tangga miskin, yang 70% anggaran pendapatannya dialokasikan untuk beras seperti di Indonesia.
Menurut prediksi FAO, 36 negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengalami krisis pangan, termasuk Indonesia. Global Information and Early Warning System dari FAO menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis itu, selain Irak, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor Leste.
Menurut Amartya Zen (1998), sepanjang sejarah dunia sebenarnya tidak pernah bumi ini mengalami kekurangan dalam penyediaan bahan pangan. Tapi yang terjadi, distribusi tidak merata sehingga krisis demi krisis kerap terjadi. Hal ini diakui oleh FAO dalam laporannya tahun 2004. Laporan menyatakan, peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia, sebesar 16% yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kini pun, ketika dunia meneriakkan resesi pangan, produksi beberapa komoditas pangan dunia sebenarnya meningkat. Produksi gandum naik hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sedangkan produksi gula dunia meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun lalu. Produksi jagung, tahun 2007 lalu mencapai rekor produksi 781 juta ton atau meningkat 89,35 juta ton dari total produksi tahun sebelumnya. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17%. Itu pun karena ada penyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15% untuk proyek biofuel.
Lalu, apa masalahnya?
"Masalahnya adalah mutlak struktural," jawab Stuart dari Oxfam.
Oxfam, LSM di bidang kemanusiaan dan pembangunan, dalam laporan Agustus 2003 bertajuk ‘’Running into the Sand’’ mengungkapkan, negara-negara maju telah memberi subsidi satu miliar dollar AS per hari pada petani mereka.
Nilai subsidi itu besarnya enam kali lipat dari nilai bantuan yang diberikan pada negara-negara miskin. Negara-negara Uni Eropa telah mengucurkan subsidi kepada petani gula 50 euro/ton panen tebu. Sama dengan lima kali lipat harga pasar gula dunia.
Negara-negara maju juga memberikan proteksi berupa hambatan tarif dan nontarif, bagi produk pertanian guna mencegah masuknya berbagai komoditas serupa yang berpotensi mematikan bisnis petani lokal. Misalnya, Jepang mematok bea masuk impor beras 400%.
Sebaliknya, negara-negara besar itu ‘’mengatur’’ pertanian negara-negara lain agar menguntungkan pertanian mereka sendiri. Misalnya lewat tangan WTO (World Trade Organization), mereka melakukan politik pertanian internasional mazhab Neo-liberalisme dengan memaksakan kesepakatan AOA (Agreement on Agriculture) WTO. Termasuk kepada Indonesia, yang meneken perjanjian ini sejak 1995 hingga kini.
Butir-butir kesepakatan AOA-WTO itu, Pertama, kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia, harus dibuka seluas-luasnya bagi komoditi pertanian luar negeri.
Kedua, penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian.
Ketiga, penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan.
Karena itulah, Brasil dan India tahun lalu walk out dari perundingan empat negara (G-4) plus Uni Eropa di Postdam. Menteri perdagangan Brasil dan India tak mau dicurangi Amerika, yang memberikan tawaran pemotongan subsidi pertanian terlalu kecil. Amerika dan Uni Eropa, juga menekan India dan Brasil agar lebih membuka pasar mereka untuk produk-produk asing dengan kemudahan.
‘'Pertemuan ini tidak ada gunanya sama sekali,‘’ geram Menlu Brasil Celso Amorim. Menurut laporan BBC, Kegagalan pertemuan itu membuat masa depan perundingan WTO secara keseluruhan yang biasa disebut Putaran Doha menjadi tidak menentu.
Bisakah Indonesia punya nyali seperti India dan Brasil?
Dalam temu wicara dengan petani padi se-Jabar sekaligus panen benih padi varietas Mira-1, di Desa Rancadaka, Pusakanagara, Subang, 4 Juni 2007, Presiden SBY memaparkan enam pilar yang menjamin kemajuan di bidang pertanian Indonesia. Yakni: kebijakan pemerintah yang baik, inovasi teknologi, infrastruktur yang mendukung, budaya petani, lingkungan hidup, dan kepemimpinan.
Pemerintah sudah cukup baik dengan menerbitkan Inpres No. 3/2007 tentang perberasan, yang mengendalikan harga pembelian untuk menjaga kestabilan serta keadilan harga beras dan gabah. Sebab, "Jika diserahkan kepada mekanisme pasar, saya khawatir akan terjadi ketidakadilan dalam menentukan harga. Dalam hal ini tentu pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membentuk keadilan tersebut," kata SBY.
Padahal, menurut David Burton, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, menanggapi proteksipertanian di Asia, "Saya kira tindakan terbaik adalah mengijinkan mekanisme pasar berjalan, dimana membiarkan harga-harga naik kemudian akan ada respon terhadap suplainya."
Menurut Komite Penghapusan Hutang Negara-Negera Dunia Ketiga, biang utama krisis pangan di negara-negara miskin justru adalah kebijakan imperialistik Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Seperti dilansir Televisi BBC 16 April lalu, komite yang berpusat di Belgia, itu menegaskan, IMF dan Bank Dunia, sejak 20 tahun lalu memaksa negara-negara Selatan menerapkan kebijakannya, sehingga menyebabkan kerugian besar negara-negara tersebut.
Komite ini menambahkan, kini rakyat negara-negara Selatan terpaksa harus membayar mahal program-program IMF dan Bank Dunia. Semestinya dua lembaga itu yang menanggung dosa dari kesalahan tak terampuninya ini. Tapi kini, IMF dan Bank Dunia malah berupaya menyembunyikan kesalahannya dengan memanfaatkan isu krisis inflasi dan pangan dunia.
Nah, sekarang, beranikah kita keluar dari ketiak IMF dan World Bank? Ini urusan (politik) perut, Bung! Jangan sampai tragedi Haiti terjadi di sini. pane fakri
Seperti dilansir lembaga riset beras dunia (International Rice Research Institute/IRRI), dunia dihadapkan pada krisis pangan akibat tekor suplay pangan khususnya beras terhadap permintaan. Laporan Bank Dunia tahun lalu menyatakan harga gandum dunia melonjak 181% selama 36 bulan hingga Februari 2008, sedang harga pangan keseluruhan naik 83 persen. Harga beras dunia pun mengamuk menjadi US$700 per ton. Melonjak 50% dibanding harga akhir Januari lalu.
Ditengarai, ketekoran pangan akibat dua eksportir besar beras dunia yakni Thailand dan Vietnam, dihajar hama dan banjir. Padahal, selama ini Thailand mampu memproduksi 22 juta ton/per tahun dan mengekspor 7,5 juta ton diantaranya. Sedangkan Vietnam memproduksi 18 juta ton/tahun dan mengekspor 5 juta ton diantaranya.
Tak lama setelah Zoellick bersabda, kerusuhan-kerusuhan akibat kelangkaan bahan pangan terjadi di Mesir, Pantai Gading, Madagaskar, Kamerun, Filipina, Papua Nugini, Mauritania, Mexico, Maroko, Senegal, Uzbekistan, dan Yemen. Di Pakistan, batalyon pasukan diturunkan untuk mengamankan truk-truk pengangkut tepung gandum. Perdana Menteri Haiti bahkan dimakjulkan dari jabatannya, gara-gara soal perut yang menyebabkan 5 warga mati ditembak dalam kerusuhan massal.
Itu belum seberapa. David Ignatius, pengamat ekonomi dan kolumnis dari Washington Post, menulis, tingginya harga beras hanyalah masalah kecil. Ada masalah yang lebih besar yang segera tiba, yakni ancaman inflasi global terutama akibat kenaikan harga bahan pangan.
Berdasarkan data IRRI, saat ini 2,4 miliar penduduk dunia sangat bergantung pada beras. Dengan kontribusi belanja rumah tangga sebesar 20%, kenaikan harga akan memicu inflasi besar-besaran. Tentu saja yang paling terpukul adalah rumah tangga miskin, yang 70% anggaran pendapatannya dialokasikan untuk beras seperti di Indonesia.
Menurut prediksi FAO, 36 negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengalami krisis pangan, termasuk Indonesia. Global Information and Early Warning System dari FAO menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis itu, selain Irak, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor Leste.
Menurut Amartya Zen (1998), sepanjang sejarah dunia sebenarnya tidak pernah bumi ini mengalami kekurangan dalam penyediaan bahan pangan. Tapi yang terjadi, distribusi tidak merata sehingga krisis demi krisis kerap terjadi. Hal ini diakui oleh FAO dalam laporannya tahun 2004. Laporan menyatakan, peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia, sebesar 16% yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kini pun, ketika dunia meneriakkan resesi pangan, produksi beberapa komoditas pangan dunia sebenarnya meningkat. Produksi gandum naik hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sedangkan produksi gula dunia meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun lalu. Produksi jagung, tahun 2007 lalu mencapai rekor produksi 781 juta ton atau meningkat 89,35 juta ton dari total produksi tahun sebelumnya. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17%. Itu pun karena ada penyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15% untuk proyek biofuel.
Lalu, apa masalahnya?
"Masalahnya adalah mutlak struktural," jawab Stuart dari Oxfam.
Oxfam, LSM di bidang kemanusiaan dan pembangunan, dalam laporan Agustus 2003 bertajuk ‘’Running into the Sand’’ mengungkapkan, negara-negara maju telah memberi subsidi satu miliar dollar AS per hari pada petani mereka.
Nilai subsidi itu besarnya enam kali lipat dari nilai bantuan yang diberikan pada negara-negara miskin. Negara-negara Uni Eropa telah mengucurkan subsidi kepada petani gula 50 euro/ton panen tebu. Sama dengan lima kali lipat harga pasar gula dunia.
Negara-negara maju juga memberikan proteksi berupa hambatan tarif dan nontarif, bagi produk pertanian guna mencegah masuknya berbagai komoditas serupa yang berpotensi mematikan bisnis petani lokal. Misalnya, Jepang mematok bea masuk impor beras 400%.
Sebaliknya, negara-negara besar itu ‘’mengatur’’ pertanian negara-negara lain agar menguntungkan pertanian mereka sendiri. Misalnya lewat tangan WTO (World Trade Organization), mereka melakukan politik pertanian internasional mazhab Neo-liberalisme dengan memaksakan kesepakatan AOA (Agreement on Agriculture) WTO. Termasuk kepada Indonesia, yang meneken perjanjian ini sejak 1995 hingga kini.
Butir-butir kesepakatan AOA-WTO itu, Pertama, kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia, harus dibuka seluas-luasnya bagi komoditi pertanian luar negeri.
Kedua, penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian.
Ketiga, penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan.
Karena itulah, Brasil dan India tahun lalu walk out dari perundingan empat negara (G-4) plus Uni Eropa di Postdam. Menteri perdagangan Brasil dan India tak mau dicurangi Amerika, yang memberikan tawaran pemotongan subsidi pertanian terlalu kecil. Amerika dan Uni Eropa, juga menekan India dan Brasil agar lebih membuka pasar mereka untuk produk-produk asing dengan kemudahan.
‘'Pertemuan ini tidak ada gunanya sama sekali,‘’ geram Menlu Brasil Celso Amorim. Menurut laporan BBC, Kegagalan pertemuan itu membuat masa depan perundingan WTO secara keseluruhan yang biasa disebut Putaran Doha menjadi tidak menentu.
Bisakah Indonesia punya nyali seperti India dan Brasil?
Dalam temu wicara dengan petani padi se-Jabar sekaligus panen benih padi varietas Mira-1, di Desa Rancadaka, Pusakanagara, Subang, 4 Juni 2007, Presiden SBY memaparkan enam pilar yang menjamin kemajuan di bidang pertanian Indonesia. Yakni: kebijakan pemerintah yang baik, inovasi teknologi, infrastruktur yang mendukung, budaya petani, lingkungan hidup, dan kepemimpinan.
Pemerintah sudah cukup baik dengan menerbitkan Inpres No. 3/2007 tentang perberasan, yang mengendalikan harga pembelian untuk menjaga kestabilan serta keadilan harga beras dan gabah. Sebab, "Jika diserahkan kepada mekanisme pasar, saya khawatir akan terjadi ketidakadilan dalam menentukan harga. Dalam hal ini tentu pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membentuk keadilan tersebut," kata SBY.
Padahal, menurut David Burton, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, menanggapi proteksipertanian di Asia, "Saya kira tindakan terbaik adalah mengijinkan mekanisme pasar berjalan, dimana membiarkan harga-harga naik kemudian akan ada respon terhadap suplainya."
Menurut Komite Penghapusan Hutang Negara-Negera Dunia Ketiga, biang utama krisis pangan di negara-negara miskin justru adalah kebijakan imperialistik Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Seperti dilansir Televisi BBC 16 April lalu, komite yang berpusat di Belgia, itu menegaskan, IMF dan Bank Dunia, sejak 20 tahun lalu memaksa negara-negara Selatan menerapkan kebijakannya, sehingga menyebabkan kerugian besar negara-negara tersebut.
Komite ini menambahkan, kini rakyat negara-negara Selatan terpaksa harus membayar mahal program-program IMF dan Bank Dunia. Semestinya dua lembaga itu yang menanggung dosa dari kesalahan tak terampuninya ini. Tapi kini, IMF dan Bank Dunia malah berupaya menyembunyikan kesalahannya dengan memanfaatkan isu krisis inflasi dan pangan dunia.
Nah, sekarang, beranikah kita keluar dari ketiak IMF dan World Bank? Ini urusan (politik) perut, Bung! Jangan sampai tragedi Haiti terjadi di sini. pane fakri
No comments:
Post a Comment