Rindu kami padamamu ya Rasul. Rindu tiada terperi…
Nuraini dan teman temannya, menyanyikan “Rindu Kami Padamu”, garapan Bimbo itu, dengan merdu. Petikan dawai gitar yang mengiringinya, membuat suara kian menyayat. Group paduan suara SMP Alternatif Cendekia ini, benar benar mengeluarkan vokal dengan hatinya. Mata mereka sampai berkaca kaca. Sedalam itukah?
Kelihatannya ada sebab lain. Sebelum lagu itu dinyanyikan, anak anak bercerita kisah hidupnya yang tak terperi. Nuraini misalnya, ia punya cita cita jadi penulis. Tapi kehidupan orang tuanya sulit. Sejak kecil, ia tinggal bersama neneknya. Demikian juga Atik, dia pernah tak makan saat orang tuanya tidak mampu beli sembako.
“Saya pernah kak tidak makan. Satu hari setengah”, celetuk Atik polos. Menurutnya tak hanya sekali, beberapa kali malah. Apalagi saat harga harga naik seperti hari ini, sulitnya amat terasa. Wajar, tatkala lagu yang syahdu itu dinyanyikan, mereka mendalami hingga tulang sumsum.
Nuraini, Atik, dan teman teman sebayanya, hanya mampu menempuh pendidikan di SMP Terbuka. Mereka secara ekonomi tidak mampu sekolah di pendidikan formal. Tetapi, tatkala ujian, mereka akan menginduk ke SMP Negeri setempat.
Sekolah terbuka yang berada di Desa Babakan Sabrang, Ciseeng, Bogor itu, dirintis oleh Hadisuryanto. Mulanya, ia seorang mahasiswa yang sedang KKN di desa itu, pada 2002. Hubungannya dengan masyarakat setempat, meluruhkan nurani Hadi. Ekonomi lemah dan pendidikan yang rendah, menjadi keprihatinan lelaki berambut gondrong itu.
“Saya senang tinggal di sini. Tahun 2003, saya buat sanggar belajar di rumah seorang ustad. Saya ngajar matematika, komputer, dan bahasa Inggris. Respon anak anak sangat antusias”, kenang mahasiswa Madina Ilmu, Depok itu.
Sejak itu, ia makin terpikat dengan kondisi anak anak Desa Babakan. Apalagi, kebanyakan anak muda di desa ini hanya lulus sekolah dasar. Mereka banyak yang nikah muda. Bulat sudah tekad Hadisuryanto, untuk membantu generasi Babakan mendapat mencerahan pengetahuan. Apapun caranya, mereka harus sekolah.
“Saya akan tetap bertahan, sampai saya bisa melihat anak anak mandiri. Karena mereka yang nanti akan melanjutkan perjuangan ini”, tekad ayah satu anak yang terpisah jarak ini. Hadi tinggal di Ciseeng, sementara istri dan anak pertamanya yang baru umur dua bulan, tinggal di Palembang.
Mendirikan sekolah gratis ternyata tak mudah. Hadi harus memutar akal, bagaimana sekolah itu bisa bertahan. Ia pun menghubungi teman teman kuliahnya, untuk menjadi guru di sekolah itu. Tak hanya dari teman satu kampus, guru gurunya juga datang dari mahasiswa Gunadarma Depok.
SMP Alternatif Cendekia, menempati kontrakan rumah Rp 3,2 juta per tahun, di Jl AMD Raya No 14. Juni ini, masa kontrak habis dan tak bisa diperpanjang lagi. Muridnya 78 Anak. Mereka juga berasal dari desa sekitar, seperti Cigombong, Ciseeng, dan Prigi. Anak anak, banyak yang jalan kaki dua jam untuk ke sekolah. Di dalam kelas, terdapat tiga unit komputer, beberapa buku pelajaran, dan meja duduk tanpa kursi. Karena sempitnya ruangan, jadwal sekolah dibagi dua, pagi dan sore.
Tahun lalu, Hadisuryanto bertemu seorang dermawan. Tatkala melihat aktivitas SMP terbuka ini, orang itu luluh hatinya. Akhirnya, ia membatalkan rencana umrohnya bersama keluarga. Biaya untuk rencana umroh itu, akhirnya disumbangkan ke SMP Cendekia dalam bentuk 600 meter tanah. Saat ini, di lahan itu, tengah dibangun gedung sekolah. Hadi menerima bantuan itu syukur, juga masgul. Sebab, ia harus mencari dana tambahan untuk proses pembangunannya yang tertatih tatih.
“Jujur saja, kalau dulu saya tahu rasanya begini, saya nggak berani membuat sekolah ini mas. Benar benar berat. Tapi saya tak akan mundur”, tandasnya. Ia juga berencana, gedung itu nanti dapat menampung jenjang SMA. Rencananya, tahun ajaran ini.
Perjuangan Hadi tak sia sia. Anak anak di sekolah itu, mengaku bersyukur ada sekolah ini. Jika tidak, meraka pasti terhenti hanya di bangku sekolah dasar. Dengan pengetahuan, kini mereka punya asa. Nuraini ingin jadi penulis, Atik mau jadi guru, dan anak anak yang lain semua punya mimpi menggapai bintang.
Meski untuk itu, Hadi tak rampung kuliahnya. Terpisahkan dengan anak dan istri. Lelaki gondrong yang bersahaja itu, telah memberikan hidupnya, untuk anak anak yang termarginalkan. Kami malu padamu Hadi.
No comments:
Post a Comment