Alam semesta dibentang luas dan di dalamnya diletakkan mekanisme keseimbangan. Janganlah kalian merusak keseimbangan itu. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan jangan kalian merusak keseimbangan.” (QS ar-Rahman/ 55:7-9)
Ikan sepat itu besarnya tak lebih dari jempol kaki. Melihat kelebatnya di dalam air keruh, tak tega untuk mengoyak. Nafasnya seperti megap-megap. Jika ditangkappun tak rela hati rasanya memakannya. Tetapi pemandangan di pinggir kali Desa Jombang, Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, sore itu menyuguhkan kenyataan lain. Ikan-ikan kali yang tak menarik minat, nyatanya salah satu sumber penghidupan sebagian besar warga desa itu.
Seorang ibu dengan anak kecilnya, hampir setengah hari termangu di pinggir kali. Menggunakan joran dari bambu, ia berjam-jam mancing ikan-ikan kecil. Saat ember hitam kecil yang dibawanya ditengok, di dalamnya ada beberapa ikan sepat kecil. Melihat wujudnya, sejenak pikiran menduga-guga. “Ah, paling juga buat mainan anaknya”.
Dialog kecil pun terjadi. Nyatanya ikan itu tidak untuk mainan melainkan lauk makan. Bertahun-tahun rutinitas itu dijalani saban hari. Kali telah menjadi sumber pasokan gizi. Tak ada pasar, kalau toh ingin belanja perlu dana Rp 24.000,- untuk sekali pergi. Nilai yang amat besar untuk masyarakat yang tinggal di pedalaman. Bisa pergi ke pasar tak tentu dua bulan sekali. Pasar ibarat pusat kota yang kerap diimpikan untuk didatangi. Sayang tak semua orang dapat berkunjung ke pusat perdagangan tradisional itu.
Dari faktor alam, masyarakat Satui pedalaman yang sebagian kaum transmigran mustinya tak hidup miskin. Desa Jombang, dikepung hutan sawit yang katanya milik pengusaha Malaysia. Gunung-gunung di sekitarnya juga menimbun batubara dan permata. Menurut informasi warga, satu gunung yang mengandung hasil tambang dapat dilumat dalam waktu semalam dengan alat-alat berat. Siang masih bentuk gundukan, esok hari tumbang jadi cekungan.
Penghancuran gunung-gunung itu hasilnya, bukan berkah ketularan makmur yang dirasai masyarakat. Melainkan kiriman banjir yang merendam rumah mereka. Dua minggu lalu Satui tenggelam oleh banjir yag menghanyutkan harta benda. Beruntung, arusnya tak menggulung rumah-rumah panggung di desa itu. Setelah air susut rumah masih utuh, dapat ditempati lagi kecuali sebagian harta benda yang hanyut terseret arus.
Menurut masyarakat, banjir tak biasanya besar, paling hebat menggenangi kaki-kaki rumah panggung. Tetapi tahun ini ketinggian air mencapai atap rumah. Dilihat dari curah hujan, menurut mereka masih normal. Perusahaan pertambangan pun tak pelak ditengarahi sebagai biang keladi. Masyarakat hanya dapat diam, tak berdaya untuk protes. Apalagi untuk teriak sekeras-kerasnya, dari pedalaman tetaplah senyap tak terdengar.
Untuk keluar dari desa itu saja musti melalui jalan milik perkebunan dan pertambangan. Jalur lain melalui sungai. Maka protes dan geram cukup menancap di hati dan sekadar bisik-bisik di antara mereka. Beradu debat sudah pasti kalah. Dari pasokan makanan saja bak bumi dengan langit. Kaum berkuasa mengisi perutnya dengan daging dan susu. Sementara, masyarakat pedalaman lauk ikan sepat saja sudah istimewa.
Kabar banjir pun surut. Mengering, beriring nasib mereka yang ikut susut. Makin hari menanjak miskin. Tambah bulan menjadi bulan-bulanan. Beriring tahun kesulitan hidup akan terus turun temurun. Namun, jika hujan kembali datang, banjir bandang pastinya kan jadi langganan. Sumbernya, hutan dan gunung tak henti-henti dikuras tanpa sentuhan nurani. Tidak memikirkan keseimbangan alam. Kiblat yang jadi haluan adalah keuntungan bisnis dari kekayaan milik Allah ini.
Memahami alam
Kalimantan dan Sulawesi baru saja menuai banjir. Di Sinjai, Sulawesi Selatan, kedahsyatan banjir bandang dari gunung masih membekas. Rasanya, gerak tanah dan cuaca tengah berjalan menyeimbangkan diri. Maka kekeringan yang berdampak pada kelangkaan air dan gagal panen hari ini terus terjadi. Waduk di Jawa yang menampung curah air makin sepi pasokan. Berita hari ini pun berganti dalam hitungan jam. Dari banjir bandang secepat kilat jadi tema kekeringan.
Dari laporan yang dibeberkan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jateng, kerusakan lingkungan menyebabkan daerah aliran sungai tidak dapat berfungsi optimal. Pada musim kemarau sungai kering, dan musim hujan banjir bandang. Dirjen Sumber Daya Air, PU, Siswoko juga mengungkapkan kerusakan lingkungan menjadi salah satu sebab daerah aliran sungai tidak dapat menahan arus air dengan baik. Hingga berdampak pada kekeringan di daerah aliran sungai
Melihat gerak bencana alam (tsunami, gempa, banjir, dan kemarau) yang susul menyusul, sekali lagi kiranya perlu untuk memahami alam. “Alam semesta dibentang luas dan di dalamnya diletakkan mekanisme keseimbangan. Janganlah kalian merusak keseimbangan itu. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan jangan kalian merusak keseimbangan.” (QS ar-Rahman/ 55:7-9)
Di jagad raya ada keseimbangan kosmis. Di bumi ada keseimbangan ekologis. Dalam kehidupan manusia ada keseimbangn sosial yang lebih dikenal sebagai “Keadilan”. Tiap-tiap terjadi gangguan pada keseimbangan itu alam akan melakukan koreksi dan pemulihan. Alam bisa berdehem dan batuk, alam juga bisa menggeliat dan meronta. Semua peristiwa alam mengalir alami saja. Mereka bertindak sekadar menjaga kelangsungan hidup, memelihara keseimbangan dan bertasbih kepada Allah Sang Pencipta. Alam tidak bermaksud jahat dan Allah SWT tidak menempatkan kejahatan di alam.
Ketika sumber-sumber alam di permukaan bumi sudah dikuras secara serakah dan zhalim, alam tidak marah, ia hanya akan bereaksi dengan banjir dan longsor, atau gempa bumi dan letusan gunung berapi, untuk memulihkan ketersediaan sumber-sumber alam itu. Letusan Gunung Galunggung di awal tahun 80-an telah menambah sediaan pasir yang hingga kini tak habis-habisnya diangkut ke kota-kota besar sebagai bahan bangunan meski diangkut dengan ratusan gerbong kereta api setiap harinya. Juga letusan gunung selalu menyediakan kesuburan bagi daerah sekitarnya.
Allah SWT sangat menyayangi manusia, melebihi sayangnya manusia terhadap dirinya sendiri, dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Ia tak akan merusak karya-Nya sendiri dengan sia-sia. Einstein bilang: “Tuhan tidak sedang bermain dadu dengan alam ini”. Kalau pun ada yang harus Ia hancurkan dulu, itu karena Ia hendak menata ulang agar segalanya menjadi lebih indah dan lebih harmonis lagi. Keseimbangan terus dijaga-Nya, perbaikan terus diselenggarakan-Nya, Ia adalah Sang Pemelihara Alam (Rabb al-Alamin).
No comments:
Post a Comment