Pemerintah menetapkan standar 4,25 untuk lulus dalam UAN. Angka ini menghadirkan polemik di kalangan yang gagal melampauinya. Tetapi gagal UAN, bukan berarti kiamat. Jalan masih panjang.
“Ujian” kata yang tak asing di telinga. Mengandungi berjuta makna yang di dalamnya ada kerja keras, usaha, kejujuran, dan keiklhasan. Jika “ujian” itu terlampaui dengan baik, maka dapat dikata menang. Disebut berhasil, juga sukses. Bila “ujian” itu gagal dilalui, orang banyak merasainya sebagai kegagalan. Malah ada yang bilang, nasib buruk. Dunia seakan sudah kiamat. Tak ada lagi harapan. Ujian akhirnya dipandang sebagai batu sandungan meraih cita-cita.
Ketahanan tiap orang berbeda dalam melakoni ujian ini. Golongan yang dewasa dan matang cenderung lebih arif, bijak, dan sabar. Terbalik dengan kaum muda yang menatap ujian sebagai tantangan. Ujian bak tembok angkuh yang menantang andrenalin. Sayangnya, jika gagal melewati ujian ini tak jarang ditumbur frustasi. Jalan pendeknya, memilih bunuh diri karena memandang ujian sebagai tombol penekan untuk menentukan nasibnya. Seperti tak ada lagi jalan lain.
Senin (19/6), menjadi hari bersejarah bagi murid kelas III SMA/SMK. Saat hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) diumumkan, dua gelombang perasaan beradu. Ledakan gembira, sorak-sorai berderai dari siswa-siswi yang mampu melampaui angka 4,25. Pun, tak sedikit yang meratap kaku karena gagal melampaui angka itu. Tak pelak, UAN dituding sebagai biang keladi kegagalan ini. UAN, tatanan yang dipandang anti kemanusiaan hingga diajukan ke Komnas HAM. UAN telah menjadi daya kejut yang mendebarkan.
Pemerintah agaknya sudah gerah dengan realita rendahnya kualitas SDM bangsa. Untuk mengurai itu, salah satu kebijakan yang dilakukan dengan mematok standar kelulusan 4,25. Menurut Mendiknas, Bambang Sudibyo, patokan ini ingin agar terlahir lulusan terbaik. Targetnya, bisa menciptakan lulusan yang berkualitas nasioal dan internasional sekaligus. Palu telah diketok dan kebijakan dijalankan. Ditentang, diberondong lemparan kritik sekalipun kebijakan musti tetap tegak. Jika surut tak ubahnya singa tiada bertaring. Sebaliknya, dengan legowo pemerintah juga musti memberi solusi bagi yang kecewa oleh angka 4,25 itu.
Sayangnya tradisi bangsa ini gemar hidup pada aturan abu-abu. Menekuk-nekuk besi yang lurus, membolak-balikkan arah jalan yang benar. Enggan mengaku gagal, tak mau disebut kalah. Untuk mengakomodir kekecewaan bagi yang tak lulus, DPR teramat pintar menawarkan solusi dalam wujud ujian ulang. Untuk solusi sekelas itu, siapapun bisa memberikannya. Tak perlu selevel anggota dewan. Jika itu jalan keluarnya, lebih baik patokan angka 4,25 itu dihapuskan saja. Padahal dengan kekuasaannya, DPR dapat memberi solusi lebih cerdas dengan meminta pemerintah menggratiskan biaya pendidikan setahun bagi yang gagal UAN.
Pun, UAN telah menjadi standar gengsi. Tak ubahnya Sepak bola Piala Dunia yang mempertaruhkan gengsi, nasionalisme, dan harga diri. Tiga hal yang menakar ego setiap diri yang mau mengejar prestasi. Tak heran jika Zinedine Zidane sampai meringis oleh cakaran Johan Vogel. Meski dalam aturan, yang boleh aktif hanya bola dan kaki. Untuk tiga hal itu pula, Tomas Galasek dari Republik Ceko, enteng saja meniban pemain Amerika Serikat, Eddie Johnson dengan pantat. Kebrutalan-kebrutalan itu pun berlangsung sepanjang pertandingan. Meski sebelumnya bendera kuning bertuliskan “My game is fair play” dibentangkan sebelum pertandingan.
Standar gengsi ini pula yang turut menciderai UAN. Mirip-mirip Piala Dunia, “May game is fair play” tercoreng oleh ulah sebagian guru yang membiarkan anak didiknya mencontek saat ujian. Bocor soal pun sudah bukan rahasia lagi. Langkah ini bisa dibilang kepepet agar standar 4,25 itu terkejar. Telepon seluler pun main sikut dengan pesan singkatnya. Menukil Indonesian Corruption Watch, yang menyebut kecurangan pelaksanaan UAN sebagai akibat hasilnya menjadi prestise kepala sekolah dan kepala dinas. Jika demikian pemerintah masih gagal mengubah karakter bangsanya. Lantas apa arti 4,25 itu dipatok, jika mental maling dan tak percaya diri masih menjiwai dunia pendidikan.
Gagal bukan kiamat
UAN juga menghadirkan perlawanan kalangan yang tak lulus ujian. Mereka tak sendiri, para orang tua sebagian ikut terlibat mengajukan protes. Dari datang langsung ke gedung DPR, mendatangi Komisi Nasional Perlindungan Anak sampai Komnas HAM. Demikian hebat kiranya dampak UAN. Lulus dan tidak lulus akhirnya terkait dengan masalah hak azasi manusia. Keberatan ini dapat dimafhumi mengingat rata-rata anak mereka adalah juara di kelasnya. Sebuah kenyataan pahit menyaksikan sang juara tumbang di ajang UAN.
Kekecewaan ini ditambah hitung-hitungan biaya sekolah yang digelontorkan dari kocek orang tua selama ini. Bagi kalangan mampu, biaya sekolah setahun tidaklah terasa. Tetapi bagi orang tua sepeti Rofiq (40) yang anaknya gagal UAN, biaya SMA setahun sebuah beban berat. Sebagai tukang ojeg di bilangan pasar Ciputat, penghasilannya amat berat untuk menunjang hidup dan sekolah tiga anaknya.
“Saya tak marah sama anak. Kecewa pasti ada tapi kami sudah biasa hidup susah dan kecewa. Ini pelajaran buat anak agar dia belajar sungguh-sungguh. Hanya saya minta pada pemerintah agar biaya mengulang sekolah setahun itu digratiskan, biar saya dapat membiayai anak saya yang lain”, kata Rofiq yang sudah tujuh tahun ngojeg.
Orang susah seperti Rofiq cenderung arif menerima kenyataan. Jika saja ia mampu secara ekonomi mungkin akan turut bergabung dengan yang lain untuk berunjuk keberatan. Rofiq tak sempat, sejengkal waktu baginya ladang untuk mencangkul nafkah. Hikmah lain yang sarat pesan, ia memahami kegagalan anaknya sebagai ujian. Tempaan hidup yang sulit bertahun-tahun membuatnya lapang mengakui kalah dan gagal. Tetapi jiwa semacam ini tak tentu dimiliki semua orang yang menganggap kegagalan sebagai hikmah. Atau istilah yang membesarkan hati, “kegagalan, keberhasilan yang tertunda”.
Bercermin pada Rofiq, yang kurang dimiliki bangsa ini sepertinya, keberanian mengakui kegagalan. Nyaris tak ada yang berani tegak mengakui keunggulan lawan. Selalu ada celah untuk menjegal dan menggali lobang untuk menjebak. Kegagalan dipandang sebagai aib yang memalukan. Jarang yang merenungi kegagalan sebagai guru kehidupan. Kegagalan sebagai pintu lain yang ditunda Allah untuk pilihan yang lebih baik. Kita seakan tak siap hidup diatur. Padahal menengok bangsa tetangga, mereka mencapai kemajuan karena tegaknya aturan negara.
Jika sedari dini yang ditanamkan pada generasi muda adalah ketidak legowoan menerima kegagalan, maka gengsilah yang akan menjadi standar hidup. UAN yang mematok angka 4,25 telah menjadi pilihan pemerintah untuk mendongkrak kualitas generasi bangsa. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, negara tengah mencoba punya standar pendidikan. Sulit dan pahit, kiranya sistem pendidikan kita musti ada yang menggawangi. Asal tak terus dicurangi. Tugas orang tua kini, mendampingi putra putrinya menyelami makna kegagalan sebagai ujian untuk meraih hidup yang lebih baik.
Berkaca pada Piala Dunia. Selalu ada yang menang dan kalah. Gagal dan berhasil sudah keniscayaan. Gagal UAN bukan berarti kiamat. Masih ada celah dan kesempatan. Sebaliknya, angka 4,25 tiada arti jika karakter maling masih ditularkan pendidik pada anak muridnya, hanya karena standar gengsi nilai. Sebuah aib paling memalukan bagi dunia pendidikan kita.
No comments:
Post a Comment