Berbagai upaya dibongkar pasang. Agar masa depan Aceh pasca tsunami bangkit kembali. Setelah 2 tahun berlalu nyatanya Aceh tetap menjadi mozaik Indonesia yang belum usai. Senang dan kecewa mengiringi catatan kami jelang 2 tahun pasca tsunami.
Hari itu, Sabtu 22 April 2006. Lagu “Samboet Batee”, berdendang merdu mengawali peresmian SMA Negeri I Lhoong, di Desa Cundin, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Jalan Banda Aceh-Meulaboh. Jaraknya sekitar 56 kilometer dari Banda Aceh. Ratusan undangan yang hadir seakan tersihir. Khusuk meresapi pesan dalam isi syair yang dibawakan dengan irama geleng-geleng kepala. Suasana makin mengharukan tatkala nyanyian khas aceh itu dibawakan para pelajar.
Tak hanya suguhan tari dan lagu, upacara adat juga disiapkan untuk menyambut para tamu dari Jakarta. Menurut masyarakat setempat, ubo rampe ini sebagai tanda terima kasih atas pembangunan gedung sekolah. “Ini sekolah terbaik yang pernah dibangun di Aceh Besar. Kami sangat bersyukur. Ini anugerah yang tak terhingga,” kata Zulkifli, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Besar.
Pasca tsunami yang mengoyak Bumi Iskandar Muda, banyak pihak mengomentari SMA N I Lhoong menjadi sekolah termegah. Dengan biaya Rp 5,3 miliar, sekolah ini menjanjikan fasilitas yang lengkap, konstruksi bangunan wah, serta fasilitas ekstrakurikuler yang komplit. Di areal seluas 1,3 hektar ini, berdiri lima gedung. Gedung untuk 12 kelas, gedung aula, gedung perpustakaan berlantai dua, gedung laboratorium dan gedung untuk perumahan guru. Selain itu ada lapangan basket, bola voli, dan lapangan bola.
Dana sebesar itu hasil bantuan dari Pemkot Balik Papan Rp 2,404 miliar dan Gap Inc. sebanyak Rp 2,926 miliar. Agar tak sekadar memancangkan kemegahan fisik, Dompet Dhuafa Republika (DD) melalui Lembaga Pengembangan Insani memberikan pendampingan sistem pendidikan di sekolah itu. Cita-cita ideal yang ingin diusung, agar SMA N I Lhoong menjadi sekolah yang mampu melahirkan SDM unggul di Nanggroe Aceh Darussalam.
Rasanya, belum ada setahun cita-cita itu diteguhkan. Masih membumi hingga kini. Tetapi realita bicara berbeda. Merubah sistem nilai dan kemandirian memerlukan kerja habis-habisan. Benturan budaya kadang tak mampu dielak. Bisa menang, dapat pula kalah di satu pihak. Demikian pula pendidikan di Aceh. Tak semulus di atas kertas yang dikonsep. Alih-alih ingin mencapai takaran ideal malah kecewa.
Akhir November lalu, Resource Director Baznas – Dompet Dhuafa, Ahmad Juwaini menengok perkembangan SMA N I Lhoong. Sebagai penanggung jawab program DD di Aceh, jelang 2 tahun tsunami, ia mengevaluasi program di lapangan. Dari program ekonomi, keuangan mikro, sampai pendidikan. Diantara program yang membekas dan bergeliat cukup baik adalah Baitul Qirodh (BQ).
BQ, sebuah lembaga keuangan mikro syariah. Sebelum di Aceh DD pernah sukses mengembangkan program ini di Jawa, yakni Baitul Mall wa Tanwil (BMT). Agak mirip sedikit barangkali dengan Gramen Bank-nya Muhammad Yunus di Bangladesh. Di aceh ada 2 BQ. BQ Amanah Umat di Meulaboh dan BQ Bina Insan Mandiri di Banda Aceh.
Kenyataan yang cukup menyesakkan justru pada kodisi SMA N I Lhoong. Meski sudah diserahkan pada masyarakat dan pemerintah setempat, sepertinya bangunan megah itu sekadar simbol saja. Tak ada rasa memiliki. Aula sekolah yang luas mendadak jadi ajang trek-trekan motor. Kamar mandi yang semula harum, mendadak mirip wc di jalur pantura. Jorok dan bau. Jamban berisi kotoran sampai tak disiram. Asrama guru berubah jadi gudang debu. Pendamping dibuat terpental. Jam belajar tak sedisiplin awal-awal sekolah berdiri. Amburadul.
Bicara kualitas pendidikan. Sungguh malu dengan cita-cita ideal itu. Di awal, dalam dialog dengan para pelajar dan guru di sana, mereka amat antusias dengan sekolah itu. Hampir semua bicara cita-cita membangun Aceh dengan SDM unggulan. Tak mau tertinggal, apalagi tertindas. Saatnya berdiri sama tinggi dalam meraih kualitas pedidikan. Aceh harus bangkit berjaya dengan potensi SDM lokalnya. Sungguh mengharukan perbincangan kecil di sudut lapangan basket usai peresmian itu.
SMA N I Lhoong di tempat asalnya tinggal pondasi. Bangunan yang dulunya sederhana itu, terbabat habis oleh gelombang tsunami. Jika kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan tinggi, menjaga saja kiranya lebih dari cukup sebagai wujud syukur. Namun, menjadikan aula sekolah sebagai ajang balapan motor, dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan.
Budaya
Jelang 2 tahun pasca tsunami, 26 Desember nanti. Kami punya catatan tersendiri. Cerita sesak dari Serambi Makkah itu baru satu kisah dari realita yang terjadi di lapangan. Betapa benturan budaya amat melekat nuansanya. Tak semua program yang pernah sukses di tempat lain dapat bertahan di Aceh. Benar kata orang, membantu Aceh tak cukup sekadar pengorbanan harta benda. Bila hati dan samudera kemanusiaan tak luas lebih baik tak datang ke sana.
Sebagian orang berpendapat, membangun Aceh harus dengan pendekatan budaya. Masyarakat Aceh sangat kuat dipengaruhi keagungan dan keemasan masa lampau. Zaman keemasan kesultanan masa lalu diwariskan turun-temurun dalam masyarakat Aceh, seperti bagaimana hebatnya Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu Aceh sudah mempunyai mata uang emas dan hebat dalam perdagangan. Itu selalu menggelitik memori kolektif orang Aceh tentang bagaimana mengembalikan kejayaan Aceh masa lampau.
Masyarakat Aceh butuh cepat. Bukan janji-janji. Hal ini tercermin dalam prilaku budaya tarian mereka. Lihat saja tarian dan tabuhan dari Aceh, seperti genderang dan rapai. Dari musik yang klimaks bergemuruh dan tiba-tiba pada suatu titik terhenti. Budaya Aceh lahir dari gambaran-gambaran alamnya dan karakter tersebut perlu dipahami. Begitu hancur, begitu pula dibangun secepatnya. Pun, budaya ini yang menjiwai DD dalam membangun SMA N I Lhoong. Selesai dalam waktu cepat, kuat, mewah, dan megah. Meski kini amat memprihatinkan.
Apa yang terjadi di lapangan sesungguhnya koreksi yang harus terus dievaluasi. Sudah menjadi kewajiban lembaga menjelaskan kondisi ini. Agar masyarakat dan donatur memahami sejauh mana perkembangan program DD di Aceh setelah mau menginjak 2 tahun.. Ini bentuk tanggung jawab terhadap publik. Meski patah tumbuh silih berganti, Aceh akan tetap menjadi mozaik yang kita cintai.
Sebagaimana Presiden Direkur Baznas – Dompet Dhuafa, Rahmad Riyadi mengurai cintanya untuk Aceh. Maka, tepat sekali bila Aceh akan bertumbuh sehat bila digarap oleh tangan-tangan penuh ‘’cinta”, diguyur oleh perhatian dan kerja yang dipenuhi rasa ‘’cinta”, dan diwujudkan bersama cita-cita ke depan dengan semangat ‘’cinta” yang saling menguatkan. Tanpa itu semua, sesungguhnya ‘’cinta” akan berhenti sebagai slogan. Kejayaan masa lalu pun akan tetap sebagai slogan yang tak bisa membuat konstruksi kesadaran dan etos rakyat Aceh berubah. Para pemberdaya pun akan berhenti pada program normatif yang tidak menawarkan perubahan paradigmatic bagi Aceh Baru yang lebih baik.
Diperlukan keberanian dua-arah antara masyarakat Aceh dan kelompok pemberdaya yang terdiri atas sejumlah besar komponen: masyarakat peduli, LSM, pemerintah dalam skala luas untuk menyadari arti penting kebersamaan membangun Aceh masa depan. Keberanian itu menuntut perubahan wacana dalam diri masing-masing komponen untuk mengubah citra. Apa pun bentuknya, situasi di sekitar penanganan Tsunami Aceh telah mengisyaratkan sebuah pesan penting bahwa ‘’semua komponen tidak akan berdaya mencapai sesuatu tanpa keridhaan (rasa cinta)” dalam kebersamaan itu.
Dengan segala suka dukanya. Setelah 2 tahun lalu tragedi buruk mencabik tanah rencong, kita jadikan bumbu pedas, pahit, dan getir sebagai racikan penyedap rasa. Agar Aceh bangkit berjaya. Senantiasa berdoa, sebagaimana lirik yang tersurat dalam lagu Rafli:
Talakee do‘a ..taniet bak Allah/Ubee musibah..musibah bek lee trok teuka/Aceh beu aman..beu aman bek lee ro darah..ro darah/Seuramo mekkah..mekkah beu kong agama.
Bermohonlah do’a kepada Allah/Semua musibah... musibah...supaya terhindar/Aceh moga aman tak lagi darah tertumpah/Serambi Mekkah smoga kuat agamanya.
1 comment:
mungkin harus lebih spesifik, kapan dan di BMT apa yang di klaim DD berhasil ? agar tidak menyesatkan publik.. terima kasih.
Post a Comment