Minggu, 27 Agustus 2006, di Kantor Komite Peralihan Aceh (KPA). Sholawat Badar dan lantunan Hikayat Prang Sabil mengiringi pencalonan diri Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Dalam sejarah politik tanah air pasca reformasi, pasangan ini amat berani. Lantaran keduanya maju dalam pentas Pilkada tanpa dukungan partai politik. Calon kepala daerah ini pun mendapat julukan “calon independen”.
Sebagai pelengkap deklarasi. Selarik pernyataan dibacakan di depan publik. Juru Bicara KPA Sofyan Dawood membacakan naskah deklarasi pasangan yang diberi nama Perjuangan dan Perdamaian.
“Setelah melihat dan mendengar aspirasi rakyat dan dorongan dari berbagai pihak yang setuju dengan agenda perubahan dan perdamaian, mayoritas rakyat menghendaki personel GAM dan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) untuk dapat maju dalam pemilihan umum mendatang,” kata Sofyan Dawood membacakan naskah yang ditandatangani oleh 33 anggota Majelis GAM, panglima wilayah, serta juru bicara GAM se-Aceh.
Tak pelak. Sebagai mantan petinggi GAM, Irwandi Yusuf tak dapat mengelak dari stempel GAM-nya. Cap itu amat melekat. Namun menjelang detik-detik Pilkada diawali. Pada 27 November 2006, melalui konferensi pers di Banda Aceh, KPA Pusat mempertegas sikap menjelang pelaksanaan Pilkada. Keputusan yang mengagetkan bagi para kandidat. Mereka tidak akan memberikan dukungan terhadap calon manapun dan bersikap netral dalam pemilihan mendatang.
Muzakkir Manaf sebagai Ketua KPA Pusat menegaskan, dalam Pilkada pertama yang digelar pasca penandatanganan Nota Kesepakatan Damai Helsinki ini, KPA akan bersikap netral dan tidak akan memberikan dukungan pada salah satu kandidat. “Ketua KPA Pusat dan ketua KPA wilayah bersikap netral dalam Pilkada,” kata Muzakkir.
Sebenarnya bukan calon independen ini saja yang berasal dari GAM. Hasbi Abdullah yang menjadi calon wakil gubernur perpasangan dengan Humam Hamid juga anggota GAM. Bedanya, pasangan ini diusung melalui bendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan para petinggi GAM di Swedia dan di Aceh secara terbuka mendukung pasangan Human – Hasbi.
Pemenang Independen
Saat menegangkan itupun tiba. Pada 11 Desember lalu, rakyat Aceh menentukan pemimpinnya. Hasil perhitungan cepat LSI-Jaringan Isu Publik memperlihatkan pasangan Irwandi-Nazar mendapatkan hasil penghitungan suara yang mutlak dibandingkan kandidat lain. Demikian pula penghitungan versi Komisi Independen Pemilihan (KIP) NAD, menunjukkan pasangan independen ini masih unggul.
Kabar keunggulan pasangan independen inipun membelalakkan banyak pihak. Terutama kalangan partai politik. Mereka seakan tak percaya dengan realita yang bagi partai politik amat menyesakkan. Cap bahwa Parpol gagal menyiapkan kader pemimpin yang mengakar kiranya layak disematkan. Seiring raba-raba yang menjalari kecurigaan sebagian mereka akan adanya intervensi asing lantaran kemenangan calon independen.
Sebagaimana Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, mengaku kaget dengan kemenangan tokoh GAM itu. "Dengan kemenangan kelompok GAM akan memudahkan masuknya campur tangan asing di Aceh," katanya. (Media Indonesia OL/13/11).
Terbalik dengan kecemasan Soetarjo, Menko Polhukam, Widodo AS, justru berpendapat siapa pun pemenang Pilkada di Aceh, mereka adalah warga negara Indonesia (WNI) yang telah memenuhi syarat-syarat administrasi dan perundang-undangan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah.
Terlepas dari merebaknya pendapat yang senang dan kecewa. Jika akhirnya calon independen menduduki tampuk pimpinan di NAD, sungguh menjadi sejarah baru dalam peta politik tanah air. Menyibak fakta mulai adanya “kebosanan” rakyat pada Parpol. Jalur yang kerap dimaknai sebagai keharusan dalam memilih pemimpin. Dan Pilkada Aceh membuka cakrawala rakyat Indonesia dalam menentukan masa depannya.
Pilkada Aceh, bukan tidak mungkin akan menginspirasi Pilkada di tempat lain. Lahirnya pemimpin yang murni dari kompromi rakyat bukan kompromi partai politik. Pemimpin yang bisa mencicipi selera rakyat, bukan selera birokrat. Masyarakat Aceh mendambakan figur pemimpin Aceh yang benar-benar mengetahui penderitaan dan harapan rakyat Aceh. Mereka juga menginginkan figur pemimpin yang tidak melupakan janji-janjinya saat kampanye lalu. Yakni membawa kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apresiasi ini layak diberikan pada rakyat Aceh. Dengan kesadarannya mereka memilih tanpa silau gebyar panji-panji dan bendera Partai. Pun saat kampanye, Irwandi-Nazar menyuguhkan pada rakyat Aceh tentang pentingnya nilai-nilai budaya di NAD. Seperti yang tampak dalam besutan busana mereka saat kampanye selalu mengenakan pakaian adat Aceh. Selera lokal disajikan untuk memikat hati pemilihnya.
Jika pada akhirnya, pemenang independen Pilkada Aceh memegang pucuk pimpinan, kemenangan ini dapat dimaknai sebagai kemenangan rakyat Aceh. Tiap kebijakannya tentu lebih didengar karena ia pilihan rakyatnya, bukan pilihan partai. Pun, dalam mengelola pemerintahan, mestinya lebih berani menolak kompromi partai yang cenderung tak menguntungkan rakyat. Pemenang independen mesti benar-benar independen dalam menjalankan roda pemerintahan.
No comments:
Post a Comment