Di negeri para nabi, pesta demokrasi baru usai. Atas dasar demokrasi, Hamas menang mutlak dalam pemilu di Palestina. Kemenangan yang menuai badai, karena sang guru demokrasi tak menghendaki.
Hamas menang, sebuah keniscayaan. Ia kelompok pejuang yang mengakar di hati rakyat. Teruji di medan juang, dengan ketapel sampai bedil. Untuk kali kedua setelah Pemilu perdana pada 1996, Palestina menerapkan pelajaran dari Barat tentang belajar demokrasi. Sang guru mendadak terhenyak, saat Palestina meniti jalan demokrasi pada 25 Januari 2006 ini. Sang Guru menyeringai marah, saat rakyat Palestina memilih berteduh di bawah kibaran panji-panji Hamas.
Secara mencengangkan Hamas meraup suara mayoritas dengan mengantongi 57,6 % suara atau 76 kursi di parlemen. Fatah harus puas di posisi kedua dengan 43 kursi atau 32,6 %. Sisa 13 kursi atau 9,8 % ditempati oleh faksi-faksi kecil. Kenyataan ini membuat negara kuartet, kelompok `perdamaian` yang terdiri dari PBB, Uni Eropa, Amerika, dan Rusia tidak legowo. Terlebih Amerika yang amat berang. Meski Rusia sendiri dikabarkan membantu keuangan Palestina kini.
Menurut pada pelajaran demokrasi barat itu, Hamas sah sebagai pemenang. Ia pilihan rakyat. Jika boleh mengutip, suara rakyat adalah suara Tuhan. Kiranya Tuhan tengah menunjukkan pada dunia bahwa rakyat Palestina berhak menentukan nasibnya sendiri. Palestina menohok wajah barat, inilah buah dari pelajaran demokrasi yang anda dengungkan.
Saat belahan dunia lain memuji atas suksesnya Pemilu Palestina yang bebas, adil, dan aman, Pamansam menggelar dagelan. Presiden Amerika, George W. Bush dalam jumpa persnya di gedung putih, sehari setelah diumumkannya hasil pemilu Palestina, mengatakan bahwa Amerika tidak akan melakukan kerjasama dengan Hamas. Terlihat betul betapa Amerika sakit hati atas kemenangan yang dipetik Hamas dengan jalan demokrasi itu.
Bukan tanpa alasan Amerika kecewa. Kemenangan Hamas berarti kegagalan mengendalikan Palestina untuk tunduk pada anak emasnya Israel. Untuk siasat ularnya, pada masa pemerintahan Palestina tahun lalu saja, Washington memberikan bantuan langsung sebanyak 225 juta US$, ditambah dengan bantuan khusus yang diberikan kepada para pengungsi sebesar 88 juta US$. Suntikan dana yang sarat dengan kepentingan itu sejak lama mengalir dalam perekonomian Palestina.
Alasan lain penyebab Amerika dan Uni Eropa berang, Hamas tak juga tunduk pada tekanan mereka. Tuntutan yang diajukan, agar Hamas melucuti senjata sayap militernya, serta mengakui eksistensi Israel di tanah palestina. Mereka juga mendesak agar kelompok pejuang ini mengubah deklarasi piagam pendirian Hamas di tahun 1987. Salah satu poin yang mereka tuntut untuk dihapus adalah, melenyapkan negara Zionis Israel dari peta dunia.
Setelah tuntutan itu tak dikabulkan, sang guru demokrasi menjatuhkan embargo ekonomi pada Palestina. Dengan dalih demokrasi itu pula, Amerika sesuka perut menentukan kebijakannya. Demokrasi musti tegak dengan prinsip-prinsip dan keuntungan yang dapat dipetik Amerika. Demokrasi bagi Amerika, tidak berlaku untuk rakyat Palestina menentukan nasibnya sendiri. Demokrasi Amerika adalah otoritarian sejati berwajah humanis yang sesungguhnya bengis.
Pengkhianatan terhadap demokrasi juga nyata di depan mata. Kebijakan embargo adalah wujud pengingkaran terhadap sesembahan mereka sendiri. Bernama Tuhan demokrasi. Terlepas dari latar belakangnya, Hamas adalah representasi dari suara hati Palestina. Kiranya rakyat telah muak dengan banyaknya kasus korupsi dan penyelewengan di dalam tubuh pemerintahan sebelumnya. Hasil pemilu pertama yang didominasi faksi Fatah. Rakyat telah jenuh dengan perjanjian-perjanjian damai antara pemerintah dengan Israel, yang kerap berakhir pengkhianatan.
Pasca embargo, sampai hari ini pemerintahan baru Palestina tengah menggalang simpati dan dukungan politik internasional. Di bawah komando biro politiknya, Khalid Misy’al, Hamas segera mengirimkan delegasinya ke beberapa negara Timur Tengah, negara teluk, dan Afrika. Diantara negara yang sudah dikunjungi adalah Mesir, Qatar, dan Sudan.
Kiranya kerja keras ini mulai menuai hasil. Perdana Menteri Palestina, Ismail Haneya, dalam jumpa persnya, menyampaikan bahwa Palestina saat ini sudah mendapatkan Legalitas dari dunia Arab. "Terbukti dengan diterimanya delegasi kami oleh Sekjen Liga Arab Amir Musa, dan kesiapan beberapa negara Arab untuk membantu perekonomian di Palestina," ungkapnya.
Bisa jadi, Kemenangan Hamas akan menjadi pemantik bangkitnya Negara-negara Arab bersatu. Bila babak ini terwujud, akan menjadi horor yang menakutkan bagi dunia barat. Terlebih jika Arab sepakat menjatuhkan embargo minyak pada barat dan Amerika khususnya, maka kemenangan atas Negara-negara penjajah itu telak. Dunia akan menyaksikan kemenangan atas kezaliman barat tanpa mengokang senjata. Tak perlu juga melontar rudal.
Kemenangan Hamas atas Pemilu di Palestina yang tak diterima barat dan Israel, sekaligus cermin retak nilai demokrasi. Suguhan paradoks yang mengingkari pesan-pesan demokrasi ala Amerika yang menjadi kiblat demokrasi dunia. Demokrasi yang menjadi fatwa untuk bertindak bengis. Menginvasi kedaulatan Negara lain, membombardir bayi dan wanita, menciptakan lautan darah, benci, dan dendam. Semua di bawah kepongahan panji demokrasi yang dibanggakan itu.
Hamas menjadi ujung tombak menjebol keangkuhan hegemoni Amerika terhadap Negara-negara lain. Namun, posisi Pemerintah Palestina saat ini serba dilematis. Dari luar, Amerika dan sekutunya terus melakukan tekanan. Di dalam negeri, kekerasan yang dilakukan agresor Israel makin menjadi. Daftar target pembunuhan pun telah disiapkan Israel dengan membidik para pejabat teras Palestina dan pimpinan tertinggi faksi-faksi perlawanan. Pun, konsolidasi antar faksi-faksi palestina sendiri juga menjadi tantangan tersendiri.
Di negeri para nabi ini, demokrasi diuji. Rakyat Palestina telah memilih Hamas sebagai penentu masa depan. Dunia tahu, Pemilu itu ditempuh dengan jalan jujur, aman, dan adil. Nyatanya, buah demokrasi itu pula yang menyebabkan embargo jatuh di Palestina. Wajah demokrasi barat yang diagungkan, penuh puja-puji, akhirnya menampakkan wujud aslinya. Sebuah pengkhianatan demokrasi. Pernah dimuat di Filantropi, REPUBLIKA (12/5/06)
No comments:
Post a Comment