Dalam babak etos Dalimin, ada cermin untuk berkaca. Yakni semangat kemandirian. Tak menyerah oleh tempaan alam nan keras dan lingkungan yang tak nyaman.
Meninggalkan kampung halaman sungguh catatan kehidupan yang kadang menyesakkan. Terlebih jika kepergian itu lantaran diusir oleh kemiskinan. Pilihan pahit mesti ditelan. Suka atau duka. Perubahan “radikal” harus ditempuh untuk memangkas rantai kemiskinan. Jika terpenggal, terjadilah perbaikan generasi. Sebaliknya jika pilihan itu gagal, maka kemiskinan akan bestari abadi.
Jalan meralat generasi agar tak terus terpuruk ini pernah ditempuh Dalimin (50). Pergi dari tanah tumpah darahnya di Bantul, menjadi catatan memilukan dalam sepanjang hidupnya. Bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil, ia hijrah ke bumi Lahat di Sumatera Selatan sebagai transmigran.
Bersama 600 KK lainnya dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, Dalimin mendiami rumah kayu 5x 6 meter. Kala itu, 1982, SP II Bumilampung, Margamulya, Kikim Timur, Lahat, masih dikepung belantara. Hingga kini seramnya juga masih tampak. Malah menurut sebagian orang, Lahat distigma sebagai kampung para bandit dan pencoleng.
“Hindari melintas pada malam hari di Lahat jika menempuh perjalanan ke Sumatera”, wasiat seorang sopir truk lintas Sumatera dalam perbincangan kecil di sebuah rumah makan di Muara Enim. Menurut sopir yang mengaku pernah menjadi korban bajing loncat ini, jalur Lahat dan Tebing Tinggi yang sudah bertahun-tahun dihajar jalan rusak menjadi wilayah bronx.
Tetapi bagi Dalimin yang telah berbulat hati, cerita-cerita seram macam itu tak menyiutkan nyali. Baginya hutan belantara, pencuri, perampok, dan pembunuh hanyalah kerikil kecil dalam meniti terjalnya kehidupan. Ia bisa sirna oleh pikiran dan prasangka positif manusia. Karena horor yang paling menakutkan dalam kehidupannya adalah kemiskinan.
Perlahan, tekun, dan ulet Dalimin mulai melawan “hantu” itu. Sosok yang membayangi suram nasib anak cucunya, sejak di Bantul dulu. Dalam kurun 25 tahun, ia telah membuktikan ketangguhannya. Sementara dari 600 KK yang datang bersama Dalimin membabat belantara Lahat pada 1982, tak lebih dari 20 persen yang tersisa.
“Banyak yang tak bertahan sampai lima tahun di sini. Mereka pulang ke Jawa atau pindah ke tempat lain. Sekarang kampung ini banyak dihuni oang-orang baru. Lumayan menambah jumlah jiwa dan desa lebih semarak”, kata Dalimin.
Etos Dalimin yang membumi pun berbuah hasil. Kini ia menepis anggapan jika kehidupan orang transmigran selalu identik dengan ketertinggalan. Benar memang, hidup di pedalaman terputus segala akses. Minus teknologi informasi, sarana pendidikan, dan terpenggal fasilitas transportasi. Selain tidak ada kendaraan umum, infrastruktur jalan yang hancur menjadi bumbu keperihan lainnya.
“Ini lebih baik daripada kami tetap tinggal di kampung dengan lahan sempit dan sumberdaya alam yang terbatas. Kami masih bisa makan dengan memanfaatkan lahan yang luas. Semua tergantung tekad kita, mau mengubah nasib apa tidak”, ujar Lilik Sumantri (40) ketua RT 10/3 Margamulya asal Tasikmalaya.
Serba Keterbatasan
Seperti diakui Dalimin dan Lilik Sumantri, hidup di pedalaman sebagai transmigran memang serba terbatas. Malah, jika kita silaturahim ke dapur mereka, rasanya sulit meraba-raba bagaimana Dalimin dan komunitasnya bisa survive. Mencukupi air bersih dengan menampung air hujan dan terancam kekeringan tatkala kemarau melanda. Juga berjaga di ladang siang malam untuk menghalau ancaman babi hutan yang merusak tanaman mereka.
Hidup yang demikian, mutlak dibutuhkan keberanian, ketangguhan, dan keuletan. Dengan itu Dalimin bisa menyekolahkan tiga anaknya di Yogyakarta. Membekali mereka dengan ilmu dan keterampilan dan memintanya pulang kembali ke Lahat usai ilmu diraih. Anak-anaknya dikirim keluar dari pedalaman transmigrasi tidak untuk menjadi orang sukses di perantauan. Tetapi diminta membawa hasil belajarnya di ranah rantau untuk membangun kampungnya kini yang masih tertinggal.
Dalimin membagi semangat dan visi hidupnya pada para transmigran lain. Agar pilihan bedol desa dulu tidaklah sia-sia. Meraih apa yang dicita-citakan dan memperbaiki nasib agar lebih baik. Sebagian ada yang setuju dengan gagasan Dalimin. Namun banyak juga yang ragu bahkan mencibir. Bagaimana memikirkan visi, bertahan sehari saja amat berat.
Dalimin pun menguji diri. Di kampung yang dikepung hutan karet dan sawit tiga anak Dalimin menjadi entrepreneur. Membuka kursus elektro dan membuka konveksi. Banyak dari warga lokal, warga transmigran, bahkan dari kota lahat sendiri bertandang ke kampung Dalimin. Membuat desa yang gulita dikala malam hari itu menjadi hidup dengan aktivitas. Serta mempelopori berdirinya pesantren dan madrasah yang menjadi tumpuan pendidikan anak-anak di desa itu.
Dalam babak etos Dalimin, ada cermin untuk berkaca. Yakni semangat kemandirian. Tak menyerah oleh tempaan alam nan keras dan lingkungan yang tak nyaman. Hidup serba terbatas, bahkan terisolasi bukan menjadi alasan untuk mengelak dari tempaan kemiskinan. Hantu bernama kemiskinan itu mesti diusir hingga titik nadir.
Etos-etos yang membumi ini hendaknya menyemai di sanubari semua kita. Menginspirasi para pemimpin dan elit dalam menata negeri. Keterbatasan, bukan alasan orang tumpul kreatif. Menyerah pada keadaan dan membiarkan diri terpuruk. Kita kerap menghakimi minimnya fasilitas dan kemudahan jika tujuan yang hendak dicapai gagal. Pun kita kerap takut hidup dalam keterbatasan dan tak tertantang menggapai asa dan cita-cita dengan kekurangan itu.
Dalam kekinian, etos Dalimin layak menjadi nuklir perubahan budaya kemandirian. Dalam serba keterbatasan ia mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di tempat tanahnya berpijak untuk membalik kehidupan lebih sejahtera. Sebagaimana ia berkata pada Sabtu lalu (7/4) saat bersua di desanya.
No comments:
Post a Comment