Friday, April 20, 2007

Goh Chok Tong Terpikat Wakaf

Rasanya seperti tersedak mendengar ucapan tegas dan serius dari Menteri Senior Singapura, Goh Chok Tong. Keinginannya menjadikan Singapura sebagai pusat ekonomi dunia mungkin sudah lumrah sebagai tujuan. Tetapi jika cita-cita itu akan diwujudkan dengan menjadikan Wakaf sebagai salah satu penopangnya, itulah yang mengejutkan.

Dalam perhelatan wakaf tingkat internasional bertajuk International Waqf Conference 2007 (IWC 2007) di Singapura, 6 – 7 maret lalu, Goh Chok Tong juga menegaskan keinginannya menarik dana-dana wakaf dari negara lain untuk dikembangkan di negaranya. Tak pelak, kita hanya mengelus dada. Mesem kecut, bagaimana di negeri yang muslimnya minoritas, hanya 15 persen, wakaf mendapat perhatian serius dari negara.

Sebaliknya, di Indonesia yang mayoritas muslim, wakaf malah tersisih sebagai tawaran solusi membangun ekonomi orang miskin. Wakaf sekadar wacana kecil yang gengsi untuk dibahas. Negeri ini gemar mencari jalan pintas dengan berutang dan menggadaikan tanah air beserta manusianya. Padahal, dengan sejuta potensinya, wakaf di Indonesia sangat mendukung sebagai instrumen penguatan ekonomi. Ironi, justru Goh Chok Tong yang kepincut ingin serius mengelola wakaf.

Singapura, sebagai negara dengan wilayah amat kecil, kekuatan ekonominya telah melesat jauh meninggalkan Indonesia. Maka jangan menyesal jika dalam beberapa tahun kedepan, wakaf akan menjadi kekuatan ekonomi di negeri yang oleh sebagian orang dijuluki sebagai Israel Asia ini. Dan kita harus bersiap menjadi penonton yang baik untuk kemudian mengirim delegasi study banding ke kampung
Lee Kuan Yeuw.Sebagai contoh, dukungan pemerintah Singapura terhadap wakaf, mereka memberikan kebebasan pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) untuk mengelola wakaf. Tanpa campur tangan apalagi mempersulit. Hasilnya, MUIS mampu mengelola wakaf dengan hasil yang membuat kita berdecak. MUIS membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (WAREES). WAREES merupakan perusahaan kontraktor yang juga menjadi konsultan manajemen dan bisnis guna memaksimalkan asset wakaf.

Beda Pendapat

Pada ICW 2007 yang diprakarsai MUIS ini dihadiri 155 peserta perwakilan dari 17 negara. Amerika, Australia, Turki, Mesir, Jepang, Filipina, Arab, Trinidat, Iran, Kuwait, Indonesia, Malaysia, Brunei, Palestina, Afrika Selatan, Bosnia, dan Sudan. Tujuan dari konferensi ini untuk menuju sinergi antar lembaga wakaf lintas negara dalam pengelolaan wakaf.

Namun dalam acara ini terdapat dua pendapat berbeda mengenai pengelolaan dan pemanfaatan wakaf. Hal ini mengemuka setelah Prof. Dr. Munzhir Kahf, seorang pakar dan konsultan wakaf dari Amerika menyampaikan dua pandangannya tentang wakaf.


Pandangan itu, Pertama, wakaf adalah lembaga independen yang tidak berada di bawah pengaturan pemerintah.
Kedua, pengembangan wakaf digunakan hanya untuk kegiatan sosial dan micro finance dan tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang murni bisnis. Yakni hanya pemberian modal kerja kepada kaum dhuafa untuk mengubah status ekonomi mereka dari dhuafa menjadi aghniya (orang kaya).

Munzhir Kahf mengkritik beberapa negara yang menjadikan lembaga wakaf berada di bawah kendali pemerintah. Menurutnya, wakaf adalah dana filantropi. Berbeda dengan dana zakat yang hukumnya wajib. Dana zakat karena wajib maka dapat diatur oleh pemerintah, tetapi dana wakaf yang merupakan amalan sukarela tidak bisa diatur oleh pemerintah. Pemerintah hanya menjalankan fungsi regulasi dan pembinaan. Hakikat wakaf yang bersifat kesukarelaan, pengelolaannya cukup diserahkan kepada masyarakat, baik perorangan maupun kelembagaan.


Atas pemaparan ini, Munzhir Kahf mendapatkan dukungan sekaligus penolakan. Beberapa negara seperti Mesir, Singapura, Arab dan lain-lain berpendapat bahwa tidak masalah apabila wakaf dikelola oleh negara. Syaratnya negara tersebut amanah dan mempunyai itikad baik dalam pengelolaannya, seperti yang dilakukan pemerintahan Singapura, Malaysia, dan Mesir.


Juga Turki, Iran, dan Arab yang lebih berkonsentrasi mengembangan wakaf untuk kegiatan bisnis seperti membuat pabrik, hotel dan lain-lain. Demikian pula Bosnia dan Afrika Selatan yang mengembangan harta wakaf melalui sukuk atau obligasi syariah.


Di negara-negara tersebut pengelolaan wakaf berada di bawah naungan langsung pemerintah. Pengelolaannya tidak mesti selalu sosial dan micro finance. Wakaf dapat digunakan untuk kegiatan investasi bisnis dengan syarat bisnis yang dijalankan tidak bertentangan dengan syariah. Tetapi, keuntungan dari investasi harus disalurkan kepada mauquf ’alaih atau orang yang berhak menerimanya.


Namun, hal demikian bisa dilakukan jika jumlah orang miskin di suatu negara sedikit. Indonesia? Dengan jumlah orang miskin yang masih meruyak, Direktur Tabung Wakaf Indonesia (TWI), Herman Budianto yang turut dalam konferensi itu berpendapat agar wakaf dikelola swasta, sementara pemerintah bertindak layaknya pemerintahan Singapura. Menjadi regulator yang positif.


Dalam tukar pengalaman mengelola wakaf antar negara, dari Indonesia mengambil study kasus pengelolaan wakaf TWI. Lembaga wakaf yang didirikan Dompet Dhuafa Republika. Berkaca pada TWI, wakaf di Indonesia baru sebatas untuk sosial. Seperti Wakaf pembuatan sekolah gratis, rumah sakit cuma-cuma, pembangunan masjid, dan kegiatan micro finance melalui Baitul Mal wat Tanwil (BMT).

Jangan Mengemis

Sebuah pandangan tajam meluncur dari Dr. Yahia Abdul Rahman, Chairman and Resident Shariah Advisor, American Finance House USA. Ia menekankan pentingan profesionalitas secara total dalam pengelolaan wakaf serta berfikir modern sehingga dapat mengubah mindset masyarakat dunia yang memandang sebelah mata umat Islam.

”Sudah waktunya umat Islam menunjukkan bahwa Islam adalah profesional serta modern yang tidak hanya mampu mengejar ketertinggalan tetapi mampu menjadi pemimpin dunia”, tandasnya. Ditambahkannya, untuk mencapai semua itu umat Islam harus kaya dan menghilangkan budaya meminta atau mengemis. Mengemis secara individu maupun mengemis atas nama lembaga dan negara.

Dr Yahia juga menghimbau kepada para lembaga pengelola dana umat termasuk wakaf untuk menempatkan diri bukan sebagai pengemis yang mengharapkan uluran tangan aghniya untuk menyumbangkan hartanya. Lembaga semacam wakaf harus menempatkan diri sebagai mitra bagi aghniya untuk mengelola wakaf bagi kepentingan umat.

Adapun catatan penting dari konferensi wakaf dunia di Singapura kali ini, negeri Singa ini serius menjadikan wakaf sebagai instrumen kekuatan ekonomi. Bagaimana dengan kita?

No comments: