Ranah Minang diguncang gempa, Selasa (6/3). Bumi mendadak retak, belahannya mengular dari Solok, Tanah Datar, Padang Panjang, Agam, hingga Pariaman. Tapi suara perih itu mendadak redup oleh terbakarnya pesawat Garuda yang hangus di Bandara Adi Sumarno, Yogyakarta. Sesak duka korban gempa redup oleh gemetar takut para tokoh terkenal yang terguncang di dalam pesawat itu.
Entah mengapa, ribuan korban gempa yang terguncang jiwanya mendadak redup di pemberitaan. Ekposnya kecil. Apa sebab? Wajah luluh lantak hanya tampak di pinggiran jalan provinsi yang membelah Solok. Atau bagian-bagian kecil yang tampak umum. Entahlah, saya juga tak paham musab ini. Bahkan heran akan minimnya bantuan kemanusiaan untuk korban gempa. Kalau toh ada banyak yang focus pada logistik.
Sayangnya, logistik menjadi kurang terlalu dibutuhkan. Mengingat Sumatera Barat masuk kategori daerah hijau. Dampak gempa yang mesti dapat perhatian serius adalah pendidikan. Mayoritas bangunan sekolah dasar di empat Kabupaten yang dilalui jalur gempa rusak. Kalu toh tak sampai roboh, retak bangunannya mengancam keselamatan anak-anak.
Sebulan saya di Sumbar ingin berbagi oleh-oleh dan menuangkan cacatan perjalnan. Salah satu yang berkesan, saat membangun sekolah darurat (bukan sekolah tenda) yang rampung dua hari untuk satu sekolah yang terdiri dari enam kelas. Nyaman? Pasti lebih baik ketimbang belajar di bawah tenda. Lihatlah foto-fotonya:
No comments:
Post a Comment