Debu-debu bekas rezim komunis masih menyedak hidung. Kebengisan Pol Pot, tatkala membantai jutaan umat manusia, masih melekat kuat di ingatan. Lukanya, menganga dan sakit. Ia mewariskan anak-anak tak berbaju di dunia yang beradab ini. Sebuah generasi terhapus ingatannya, di mana dulu tanah tempat nenek moyangnya berpijak. Kini, mereka hanya menempati lahan dan tanah yang tak tahu dulu milik siapa.
Sebuah peradaban, mundur 40 tahun ke belakang. Kampung dan desa, masih mengandalkan Aki mobil untuk penerang di malam hari. Ketahanannya, tak lebih dari tiga jam, tiap malamnya. Jalan antar provinsi masih hamparan tanah merah. Berlobang dan bergelombang. Tiap kereta kuda, sepeda pancal, dan motor keluaran tahun 1970-an melalui jalan itu, maka debu akan berhamburan menutup atap-atap rumah dan membungkus pepohonan yang hidup di sepanjang jalan.
Tiap pagi, suara batuk dan dahak, berlomba dari dalam bilik-bilik rumah panggung, disebabkan debu yang menyumbat pernafasan seharian. Di kala hujan, semua jalan tak dapat dilalui. Berubah jadi lumpur. Sebagian besar terendam banjir, karena meluapnya air dari Sungai Mekong. Sungai terpanjang di Asia yang mengular dari China, Burma, Laos, Thailand, Kamboja, hingga ujung selatan Vietnam. Layak jika rumah-rumah penduduk, semua berdiri di atas penyangga 3 meter. Inilah, denyut kehidupan sebagian besar wilayah Kamboja, Desember 2007 ini.
Dengan luas wilayah, 181.035 km2, mata pencaharian sebagian besar penduduk Kamboja bertani, buruh, dan mencari ikan. Penghasilan rata-rata masyarakat Kamboja, di luar Phnom Penh, $20 atau 82.000 Riel (mata uang Kamboja), setara dengan Rp 190.000 per bulan. Namun, di desa dan kampung-kampung, masyarakat amat menggemari transaksi menggunakan Dollar. Terlebih dengan para pendatang.
Tetapi, di pusat Ibu Kota Kamboja, Phonm Penh, pemandangan paradoks menyentak. Mobil-mobil mewah keluaran anyar berkeliaran, memadati jalanan sempit dan semrawut. Dengan $10.000, seseorang dapat memiliki Land Cruiser 4WD baru yang masih kinyis-kinyis keluar dari pabrik.
Sedan-sedan high class, pemandangan yang bisa membuat iri. Ini sungguh surga bagi mobil-mobil mewah, sekaligus diramaikan dengan pengemis, pejalan kaki, pengendara sepeda, becak, pengasong, pak ogah, juga pencopet. Persis Jakarta. Bedanya, Jakarta lebih maju peradabannya 30 tahun. Soal kesenjangan sosial, tak jauh beda.
Antara 1975 – 1979, di bawah rezim Pol Pot, sepertiga penduduk Kamboja tewas. Itu berarti hampir dua juta yang terbunuh oleh kekejaman Khemer Merah yang ultra Komunis. Selama kurun itu, lahan pertanian berubah jadi ladang pembantaian. Warga tak berdosa dirotasi untuk bertukar tanah. Selain membunuh banyak kaum Budha, ratusan ribu umat muslim Kamboja juga mengalami pembantain.
Sebelum rezim Komunis menguasai Kamboja, umat muslim di negara ini mencapai 800.000 orang dari total 9 juta penduduk Kamboja. Kini jumlah muslim Kamboja tak lebih dari 500.000 orang dari total penduduk 13,1 juta. Mereka hidup dalam tekanan ekonomi dan pendidikan yang rendah. Sebagian besar menopang kehidupan, dengan mencari ikan di sepanjang aliran Sungai Mekong.
Dalam The Black Book of Communism, digambarkan bagaimana umat muslim Kamboja mengalami kekejian semasa rezim Pol Pot. Pada tahun 1973, masjid-masjid dirobohkan dan sholat diharamkan di dalam zona bebas. Tindakan ini makin meluas selepas bulan Mei 1975. Al-Quran dikumpulkan dan dibakar, masjid-masjid yang ada ditukar menjadi bangunan lain atau dihancurkan. 13 orang tokoh Islam dihukum pada bulan Juni, sebagian karena pergi sholat dan tidak menghadiri penyatuan politik, yang lain karena mengadakan majelis perkawinan. Ada lagi yang lebih dahsyat: kira-kira 1000 orang yang pergi haji ke Makkah, hanya tersisa 30 orang hidup.
Dari kekejian Pol Pot ini, hanya ada satu komunitas masyarakat yang berani melawan. Meski pada akhirnya mereka harus berkorban ribuan nyawa. Mereka komunitas muslim Cham. Kini, mereka mendiami wilayah Kampong Cham, salah satu provinsi di Kamboja dengan jumlah muslim terbesar. Komunitas Cham, bukanlah suku asli Kamboja yang mayoritas Budha. Mereka keturunan warga kerajaan Champa, sebuah kerajaan besar di Asia Tenggara abad XVII.
Kampong Cham
Menjejakkan kaki, kali pertama di Kampong Cham, setelah menempuh perjalanan enam jam dari Phnom Penh melalui jalan tanah, rasanya merinding. Kisah heroik komunitas muslim saat melawan Khemer Merah di wilayah ini aromanya masih terasa. Meski tak lagi terdengar deru mesiu dan bau anyir darah, tapi Kampong Cham mewakili wilayah Kamboja lainnya. Miskin dan terbelakang. Anak-anak leluasa tak mengenakan baju, hanya celana pendek.
Di atas atap rumah panggung, selalu tertera tahun dibangunnya. Menandakan, tahun itulah awal mereka bangkit dari kehancuran perang saudara. Sarana transportasi banyak mengandalkan tenaga kuda dan sapi untuk pergi berladang. Anak-anak, dapat mengayuh sepeda untuk menuju sekolah yang jaraknya puluhan kilo meter, melalui jalan tanah yang berdebu di kala kemarau dan berlumpur tatkala hujan. Tak ada listrik di kampong Cham, tetapi sinyal ponsel amat kuat.
Di rumah Ustad Yusuf Ishak, salah seorang tokoh muslim di desa Pas II, Kampong Cham, Dompet Dhuafa Republika (DD) singgah. Tepat pukul 10 malam. DD disambut ratusan warga dengan antusias. Mereka mengenali sebagai orang muslim dari Malaysia. Lantas, Yusuf Ishak mulai bertutur bagaimana tingginya empati warga Malaysia pada muslim Kamboja.
Dengan bahasa Melayu yang cukup sulit, ia menaburkan segala puja puji pada masyarakat Malaysia. Tatkala Idul Kurban maupun Ramadhan, muslim Malaysia banyak yang bersilaturahim mengunjungi mereka. Meski bentuk bantuannya tak besar, tapi kunjungan mereka dirasakan muslim Kamboja sebagai amunisi yang memperkuat akidah beragama mereka.
Di tengah perbincangan, dengan rasa tak enak, Datok Mustofa, seorang teman perjalanan dari Malaysia menjelaskan pada Yusuf Ishak dan warganya.
“Mohon maaf. Kami silaturahim ke sini mewakili masyarakat Indonesia yang menitipkan 43 ekor lembu melalui Dompet Dhuafa untuk muslim Kemboja. Kami mewakili Indonesia”, terang Dato Mustofa.
“Oh, Indonesia? Ahlan wa sahlan Indonesia”, sahut Yusuf terhenyak. Karena, sejak ia kecil, ini pertama kali ada orang Indonesia mengunjungi kampungnya.
Lepas malam itu, kurban dari Indonesia menjadi buah bibir di komunitas muslim Kampong Cham, Phnom Penh, Takeo, dan Kratie. Di empat provinsi ini, Tebar Hewan Kurban (THK) DD menyalurkan amanah 300 orang pekurban dari Indonesia.
Tak pelak, penghargaan pada Indonesia ditunjukkan Wakil Menteri Agama Kerajaan Kamboja, Zakaryya Adam dan perwakilan Parlemen Kerajaan Kamboja, Abdul Kadir B Osman. Di tempat terpisah, sebelum DD pulang ke Indonesia keduanya berharap kehadiran muslim Indonesia ke Kamboja bukan yang pertama dan terakhir.
Dijelaskan Zakaryya Adam, sejak Kamboja perlahan damai, muslim Kamboja membutuhkan banyak simpati dunia luar. Ia berharap Indonesia menjadi pelopor, merecovery kehidupan muslim Kamboja yang hari ini mengalami kemiskinan hingga titik nadir. Bahkan, kepercayaannya pada Indonesia, dibuktikan dengan mengirim salah seorang putranya untuk belajar agama di Indonesia.
Read More......