Byur!, ombak menampar muka yang membuat badan, pakaian, dan bagian dalam perahu basah. Angin yang menyebabkan gelombang laut tinggi amat tak ramah. Perahupun oling dengan laju yang lambat. Cemas dan takut tak mampu ditepis. Rasanya tamat sudah hidup saat itu.
Namun tidak demikian dengan Zaenudin (45). Seorang nelayan Pulau Tunda yang menemani penyeberangan tiga jam menegangkan dari Pulau Tunda menuju Pelabuhan Karangantu, Serang, Minggu (14/1) lalu. Ia tampak tenang. Matanya tajam mengawasi pergerakan ombak setinggi hampir dua meter yang membabibuta.
Bagi nelayan yang pernah punya pengalaman pahit dirompak bajak laut ini, ombak sedahsyat itu belum mencemaskan. Ia punya banyak pengalaman dramatis di tengah laut yang nyaris merenggut nyawa.
Pengalaman semacam itu bagi Bapak lima anak yang sudah 20 tahun jadi nelayan ini sekadar sisipan kisah petualangan. Urat takut dan cemas bagi Zainudin sudah putus. Tetapi ia tak dapat mengelak dari rasa cemas memikirkan dunia nyata. Terlebih saat ingat masa depan lima anaknya, kecemasan itu terus bergayut.
Berpuluh tahun menjadi nelayan, Zainudin tak juga jadi saudagar atau pemilik kapal. Kemampuannya tetap nguli yang hanya ikut menjalankan perahu orang. Cita-citanya untuk punya sekadar perahu tempel tak jua terwujud. Dari luasnya petualangan mejelajahi laut lepas, yang belum dimiliki tinggal perahu milik sendiri.
Dulu ia berazam agar tak ada anak-anaknya yang mengikuti jejak sengsara Zaenudin. Tetapi sejak cuaca buruk melanda Selat Banten, ekonomi Zainudin praktis mandeg. Anaknya yang liburan sekolah di rumah belum dapat balik masuk sekolah lagi di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Bukan lantaran cuaca atau ombak, bagi anak nelayan ombak besar sudah biasa. Tetapi Zainudin belum punya uang untuk mengongkosi anaknya kembali ke sekolah.
“Dari kecil saya yatim, hanya tinggal dengan ibu. Kurang makan sudah rutinitas hidup. Sekolah cuma sampai kelas 3 SD, saya ingin agar anak-anak bisa sekolah tinggi. Suatu hari pulang dari sekolah saya menuju dapur Ibu, tapi nggak menemukan apa-apa. Lalu saya injak abu tungku dapur, ternyata masih dingin. Pedih hati saya saat itu, saya menunduk dan menangis. Air mata saya jatuh ke tungku dapur. Lantas saya berjanji dalam hati, jangan sampai anak cucu saya mengalami kekurangan makan seperti yang saya alami”, kenang Zainudin berkisah.
Seiring tahun, Zainudin yang rumahnya terbungkus dinding bambu rapuh berlantai tanah tak membayangkan krisis pangan akan melanda Pulau Tunda. Ia dan keluarganya salah satu yang merasakan dampak cuaca buruk itu. Sembari menemani saya mengusir cemas oleh tingginya ombak, Zainudin melanjutkan kisahnya.
“Tak terbayang pengalaman pahit saya terulang pada anak-anak saya. Sebelum ada bantuan sembako datang ke pulau, saya dan istri tak punya uang dan beras meski hanya sejimpit. Lalu saya ingat, di ladang saya menanam beberapa batang singkong. Senang sekali saya teringat singkong itu, demikian juga istri dan anak-anak. Jika ada isinya lumayan buat ganjal perut yang sudah dua hari tak ada nasi. Lalu saya ke ladang. Astaghfirullah! lemas badan saya, ternyata singkong itu sudah dicabut orang. Saya menangis untuk kedua kalinya karena makanan. Pedih, saya jadi ingat janji saya di atas tungku dapur. Rasa bersalah pada keluarga makin berat. Tetapi saya tidak marah, mungkin ada yang lebih lapar dari saya dan anak-anak”, tutur Zainudin menyesakkan.
Sejenak kami diam. Wajah Zainudin yang hitam legam mendadak sendu. Lantas ia berucap. “Jika saja saya punya perahu meski hanya kecil, mungkin pengalaman pahit waktu kecil tak akan dinikmati anak-anak. Tetapi apa daya, saya hidup tinggal menjalani suratan takdir. Saya hanya mampu pasrah dan melaut”, kata Zainudin mengakhiri kisahnya.
Saya tertegun sembari terguncang-guncang di atas perahu. Cerita janji di atas tungku dapur itu serasa merajam ulu hati. Benar. Tiap insan punya takut dan cemas. Ada sebagian kita yang takut harta hilang atau maut menjemput. Tetapi ada perasaan yang umum dirasai kebanyakan kita, sebagaimana yang dicemaskan Zainudin. Takut jika anak-cucu kita kelak mengalami nasib lebih buruk dari yang kita alami.
Zainudin, satu dari jutaan potret nelayan miskin kita. Bukan berati nelayan selalu kenyang dan sejahtera karena dekat ikan dan laut. Sebagaimana prasangka orang. “Nelayan kok kelaparan, mereka kan bisa makan ikan, tinggal nangkap apa susahnya”. Pendapat yang bisa jadi kerap menyemai di benak kita. Dan itu bisa tidak tepat jika kita tidak pernah menengok tungku dapur mereka. Wallau’alam.
1 comment:
salam kenal...
ada kabar dari teman saya katanya oxfam GB akan ada program advokasi di pulau tunda. Entahlah advokasi dalam bentuk apa, mudah-mudahan bukan hanya sekedar unjuk gigi pada dunia...
Post a Comment