Sabtu lalu saya silaturahim ke komunitas masyarakat di kaki Gunung Singgalang, Jorong Bintungan, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat. Untuk menuju lokasi ke Jorong (desa) itu hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki satu jam. Jalannya mendaki lereng Gunung Singgalang.
Kedatangan kali ini agak istimewa lantaran ditemani seorang anggota dewan dari provinsi Sumbar. Di sana kami bersua seorang pembuat gula tebu tradisional yang memanfaatkan tenaga kerbau untuk memeras air tebu.
Nama lelaki dengan raut muka agak kasar itu, Marajo. Sudah lebih dari 10 tahun ia menekuni pekerjaan ini selain juga sebagai petani. Lahan miliknya juga tak lebih dari 1 ha. Dalam perbincangan kecil dengan Marajo, saya bertanya apa harapan kedepan dari usaha ini.
Dia hanya mesem. Pandangannya kosong.
“Entahlah, harga gula sekilo Rp 3000 isinya 6 potong. Sehari paling banyak dapat 7 kilo. Sekarang harga beras Rp 4000, kebutuhan sembako yang lain juga naik. Lahan tebu saya tidak tambah tetap saja segini. Bila tebu sedang musim tanam saya tidak dapat produksi gula. Tak ada lagi yang dapat diharap, kecuali harga-harga bisa turun lagi mungkin baru ada harapan”, ungkap Marajo sembari menghela kerbaunya.
Hampir sejam saya larut ikut aktivitas giling tebu Marajo. Tetapi, di mana-mana mustahik yang tinggal di pelosok cenderung pantang mengeluh. Meski tampak mata, hidup mereka amat berat, tetap saja tampang memelas tersimpan rapi. Padahal dilihat dari tempat tinggalnya, kediaman Marajo sebuah rumah panggung yang kayu rangka dan dindingnya rapuh.
Tanpa bicara vulgar, Marajo hendak berkata, bagaimana memperbaki rumah, untuk makan saja sulit. Anak Marajo yang kecil dan tanggung ada 6. Yang besar cukup tamat SD saja. Saya tak sekali melihat masyarakat yang menjalani nasib seperti Marajo. Baik di Sumbar maupun belahan lain di Indonesia. Apalagi di Indonesia Timur. Banyak. Hebatnya, selama berbincang, tak sepatah kata Marajo mengeluh apalagi berputus asa.
Sesampai di bawah gunung, saya berbincang tentang Marajo dan tetangganya dengan anggota dewan tadi. Juga kemungkinan membuat program pemberdayaan masyarakat yang dapat mengembangkan usaha kecil seperti usaha Marajo. Tetapi saya heran, ia mengaku bingung apa yang bisa dilakukan. Padahal Jorong itu salah satu konstituen yang memilih partainya saat pemilu lalu.
Bahkan bicara tentang kemiskinan, ia menyebut sulit mengidentifikasi orang miskin di Sumbar. Kira-kira tidak adalah orang miskin sepeti kriteria BPS. “Orang miskin di sini beda dengan orang miskin di Jawa. Di sini ndak ada orang kelaparan”, tandasnya.
Mulut saya tiba-tiba bisu. Tak mampu keluar sepatah kata untuk beberapa saat. Kepala saya hanya manggut-manggut, nurut apa yang dipaparkan anggota dewan itu. Setelah berpisah, saya merenung tentang Marajo. Saya berkali-kali bertemu sosok sepertinya di tempat lain di Indonesia. Tetapi di tempatnya kondisi Marajo dan tetangganya belum dianggap mengkhawatirkan.
Karena penasaran saya masuk ke sebuah pasar di Pauh Kambar, Padang Pariaman. Menguping apa bisik-bisik tentang uang belanja dan dapur. Juga nongkrong di Lapao (warung) mengamati ibu-ibu belanja sembako. Tiba-tiba seorang wanita terperangah, “Ha, maha bana, lado saibu dapek limo!” (ha, mahal banget cabe seribu dapat lima).
Pikiran nakalpun menjalar. Jangan-jangan ada yang salah cara orang memandang tentang kemiskinan. Hanya karena dia tidak demo dan teriak-teriak di depan gedung dewan dan istana negara maka orang seperti Marajo tak dikata miskin. Karena orang miskin banyak diam, lantas dianggap penduduk negeri ini sejahtera. Ataukah saya yang salah dalam melihat kemiskinan.
No comments:
Post a Comment