Namanya Suminto. Bocah kelas 6 SDN II Nglebo, Suruh, Trenggalek. Saya mengenalnya saat prosesi Tebar Hewan Kurban (THK) awal Januari tahun lalu. Ia anak ke-5 dari 8 bersaudara. Umumnya keluarga miskin di desa itu, ia seperti tetangga lainnya makan nasi tiwul. Untuk lauk pauknya, ikan asin sudah sangat istimewa. Itupun belum tentu seminggu sekali bisa beli.
Idul Adha lalu, di desa itu untuk pertama kalinya dapat jatah 5 ekor kambing. Juga pertama kali ada potong kurban. Suminto dan keluarganya ikut kecipratan satu kantong plastik kecil. Sedikit sekali. Masih jauh dari layak. Tetapi sudah jadi kesepakatan panitia lokal, seberapapun dapatnya, daging mesti dibagi rata. Jangan sampai ada tetangga terselip tidak kebagian.
Minto, demikian biasa dipanggil. Ia girang pulang ke rumah dengan Madi, ayahnya sambil menenteng plastik berisi daging. Sang Simbok yang juga telah menunggu segera menyalakan kayu bakar. Daging sejimpit itupun direbus di panci dengan kuah kelewat banyak. Minto dan adik-adiknya tak beranjak dari dapur. Ditunggui rebusan daging campur tulang itu. Sesekali Minto dan adiknya menciumi asap rebusan daging.
“Walah, enak tenan lo le ambune”, (enak sekali baunya dik) kata Minto pada adiknya. Sang adik tak mau ketinggalan turut menghirup baunya. Simbok dan bapaknya hanya melihati tingkah anak-anaknya tanpa melarang ini dan itu.
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Daging sejimpit dengan kuah yang banyak siap dibagi. Minto, kakak, dan adiknya berebut piring. Kemudian antri satu persatu menghampiri ibunya. Cukup dekat saya melihat. Dada saya bergemuruh. Pedih mulai menjalari nurani tatkala melihat isi piring mereka. Daging tak lebih dari sebesar ibu jari kaki, ditambah sepotong tulang yang dicacah kecil-kecil. Tujuannya biar rata.
Pesta makan dengan lauk daging kurban dimulai. Lahapnya mereka meski dengan nasi tiwul yang berwarna kecoklatan. Saya amati Minto, menikmati betul makannya. Sekitar 30 menit, acara makan pun usai. Tetapi ada pemandangan yang mengusik hati. Daging sejimpit dan tulang itu tak dihabiskan. Mereka menyimpan kembali dagingnya di piring masing-masing.
“Ojo dientekne le, di nggo lawuh sesuk” (jangan dihabiskan buat lauk besuk), kata ibu mereka. “Wong Jakarta, atine apik tenan yo mbok. Gelem menehi daging barang” (orang Jakarta baik hati ya bu, mau ngasih daging segala), komentar Minto senang.
Mata saya pun berkaca-kaca. Lantas saya pamit membawa kenangan yang menancap di hati. Minto, bisa jadi satu dari jutaan anak miskin di Indonesia yang untuk mencicipi daging saja sulit. Sepuluh tahun lalu, sebelum syiar Islam semarak di desa itu. Jika masyarakat ingin merasakan daging, mereka mengadakan gladak celeng (berburu babi hutan). Keluarga Minto salah satunya.
Kini kebiasaan itu tak ada lagi. Selain hutan di sana mulai gundul, syiar Islam mulai berkembang dengan baik. Sejimpit daging yang dinikmati Minto dan keluarganya, dirasai nikmatnya hingga ke tulang sunsum. Sungguh, hewan kurban yang ditebar sampai pelosok-pelosok itu telah menjadi penjalin silaturahim yang erat.
No comments:
Post a Comment