Rabu (17/1) lalu, di Universitas Indonesia, Baznas – Dompet Dhuafa Republika mempelopori seruan “Saatnya Bayar Utang Kepada Rakyat Miskin”. Sebagai penajaman seruan itu digagaslah Manifesto Ekonomi Etis (MANIFET) yang berisi tiga hal. Bayarkan Hak-hak Orang Miskin, Berikan Akses Produktif Pada Orang Miskin, dan Bangkitkan Ekonomi Berkeadilan.
Sebagaimana disampaikan Rahmad Riyadi selaku salah satu penggagas MANIFET, ini bukan manifesto politik. Juga tak hendak mengipasi suasana politik tanah air yang tengah memanas. Melainkan manifesto keberpihakan. Sebagai lembaga zakat keberpihakan pada yang lemah, miskin, dan tertindas sudah menjadi ruh organisasi.
“Manifesto ini sebagai seruan bagi seluruh elmen bangsa bahwa tujuan dari tiap yang mengatasnamakan perjuangan adalah rakyat. Hasil dari kritik juga mesti berpulang pada rakyat. Berpolitik juga wajib berorientasi rakyat. Bukan pribadi, kelompok, dan golongan. Sebagaimana zakat, ia istrumen yang netral dan ditunaikan sebagai wujud nyata keberpihakan pada rakyat miskin. Saya yakin dengan zakat tiga isi MANIFET dapat diwujudkan, bukan sekadar manifesto biasa”, tandas Rahmad Riyadi.
Mencermati apa yang disampaikan Presiden Direktur Baznas – Dompet Dhuafa ini, MANIFET jauh dari aroma politik. Karena memang lembaga zakat tak perlu ikut larut ke ranah panas itu. Selama antrian dhuafa masih mengular, konsentrasi hanya terfokus memikirkan dan mencari terobosan program-program yang membawa kemaslahatan bagi nasib mereka.
MANIFET juga tak henda menggedor nurani kesadaran pengelola negara dan elit semata. Melainkan mengingatkan pada kita semua. Betapa kita prihatin, seiring jumlah lembaga zakat dan lembaga yang peduli pada kemanusiaan menjamur bersamaan itu pula jumlah kemiskinan bertambah. Sebagaimana seorang pemerhati masalah sosial memberikan komentarnya, “Jumlah lembaga zakat tambah banyak tapi orang miskin juga ikut banyak”.
Tentu amat dini mengkambing hitamkan lembaga zakat atau membebankan persoalan kemiskinan hanya pada pengelola zakat. Selama kebijakan negara ini tak pernah pro rakyat tetap saja kemelaratan akan abadi. PP Nomor 37 Tahun 2006 yang ditandatangani Presiden, November lalu, contoh anyar ketidakberpihakan pada rakyat miskin. Dengan kenaikan gaji anggota DPRD yang berlipat-lipat tak dapat dielak menyedot sebagian besar PAD. Tentu ini mengurangi jatah PAD untuk rakyat.
Jadi masih jauh panggang dari api jika lembaga zakat di negeri ini mampu berbuat lebih banyak. Di satu wilayah program pemberdayaan zakat dilakukan di situ pula program itu tumbang. Saat mustahik zakat mulai berbenah menata ekonomi, bersamaan itu pula kebijakan yang tak berpihak digariskan. Akhirnya lembaga zakat mega-megap berpacu menutup lobang-lobang yang digali pemerintah. Sementara perolehan zakat yang mesti mengguyuri kemiskinan itu tiap tahun juga tak banyak meningkat.
MANIFET, seruan yang ditujukan pada semua pihak. Bahwa tidak etis selamanya menjadikan ekonomi ini hanya berpihak pada kalangan atas. Sudah saatnya yang mengatasnamakan rakyat dan bangsa menampakkan kemurnian perjuangannya benar-benar untuk rakyat dan negara. Hak-hak orang miskin harus dikembalikan, akses produktif bagi orang miskin dibuka selebar-lebarnya, dan keadilan ekonomi tegak serta berpihak.
Contoh Utang Pada Dhuafa
Rini Widiawati, direktur perusahaan jasa cleaning service PT IAS di Jakarta bercita-cita, “Andai saya seorang menteri”. Perusahaan yang dikelolanya menghidupi hampir 600 orang miskin yang semuanya dari kalangan dhuafa. Kini 60 persen saham perusahaan itu dimiliki Dompet Dhuafa Republika (Baznas – Dompet Dhuafa) yang diperuntukkan bagi para cleaning service PT IAS.
Rini kepepet berazam itu lantaran gemas dipingpong rekanan pemakai jasa PT IAS. Di antara pemakai jasa perusahaan ini adalah institusi milik negara. Ironisnya pembayarannya menunggak sampai Rp 150 juta. Bagi perusahaan sebesar ini sungguh angka yang amat bernilai. Terlebih bagi nasib para karyawannya.
Lebih menyedihkan lagi, lembaga itu menyodorkan negosiasi yang menyanggupi pelunasan dengan cara mencicil dalam kurun setahun setengah. Sungguhkah keuangan negara sudah bangkrut atau pengelolanya yang lalai dan korup.
Bandingkan jika rekanan lembaga ini perusahaan jasa dari luar negeri. Mereka sudah pasti tak berdaya ingkar janji apalagi menunggak. Apa yang dialami PT IAS yang sahamnya dimiliki kaum dhuafa ini, bisa jadi sebagian kecil dari kezaliman sebuah kebijakan. Masih banyak utang-utang negara ini pada rakyatnya sendiri. Utang terbesarnya yakni utang keberpihakan.
Dengan seruan MANIFET saatnya hak-hak kaum dhuafa dikembalikan. Bangsa ini harus belajar pada sistem ekonomi yang diterapkan Rasulullah. Syariah, berpihak dan berkeadilan. Jika tidak, tetap saja akan menjadi bangsa kerdil sebagaimana Martin Luther King berkata, you are as strong as the weakest of the people --kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih lemah dan miskin.
No comments:
Post a Comment