Kemiskinan adalah buatan manusia. Untuk itu, kita sebagai umat manusia harus bisa melawan dan mengikisnya lewat aksi kemanusiaan melawan kemiskinan. Nelson Mandela
Hari Rabu, 17 Oktober 2007, jutaan warga dunia memperingati Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia (International Day of Poverty Eradication). Pemandangan yang membahagiakan, juga tampak di wajah-wajah sebagian warga kota-kota besar di Indonesia, yang terlibat memperingatinya. Di Jakarta, peringatan ini bahkan dilakukan dengan beragam acara yang meriah. Sejumlah band dan artis penyanyi hingga foto model, ikut menyuarakan “Berpihaklah pada orang miskin!”.
Meski suka cita dalam tajuk “antikemiskinan” itu berlansung meriah, semua sepakat, kemiskinan bukan sebatas jargon yang dikampanyekan. Kemiskinan, mestinya juga bukan lagi pilihan kata untuk menjadi naskah dakwah antikemiskinan agar puitis. Kumpulan kata yang tak pernah lepas, tatkala khotip menyampaikan kutbah di mimbar-mimbar Idul Fitri. Agar jamaah berhati peduli, nuraninya hidup dan empati pada kaum miskin di hari lebaran.
Antikemiskinan, juga bukan sekadar kata ampuh yang mudah diucap pejabat dan petinggi negeri ini dari podium ke podium. Antikemiskinan, bentuknya bukan sebatas seruan memikat, dalam orasi di panggung-panggung kampanye politik. Karena, seiring kecerdasan kaum miskin, jargon-jargon itu telah usang dan basi. Gerakan antikemiskinan harus mewujud dalam tindakan nyata, yang mendukung kaum miskin untuk bangkit mandiri.
Maka, tanpa mengurangi kesalutan dalam eforia peringatan hari antikemiskinan tahun ini, gerakan apakah yang layak kita persembahkan pada warga miskin Indonesia. Tidak bisakah, sebagai pertanda kristalisasi gerakan antikemiskinan itu, dibuatkan sarana publik gratis untuk warga miskin, misalnya. Meskipun, masalah kemiskinan di belahan dunia mana pun menjadi tanggung jawab negara, alangkah nyatanya jika kelompok warga mampu turut berperan langsung di dalamnya.
Buatan Manusia
Kemiskinan, tatkala ia dipandang sebagai aib, tidaklah lahir dengan sendirinya. Kemiskinan tumbuh subur melalui proses ketidakadilan yang dibuat manusia. Situasi sosial, politik, ekomi, dan budaya yang tidak berpihak pada kaum miskin, menjadi salah satu pemicu utama mengakarnya kemiskinan itu.
Nelson Mandela, sosok yang kerap mewakili bangsa-bangsa Afrika sebagai simbol kemiskinan, pernah mengatakan, “Kemiskinan adalah buatan manusia. Untuk itu, kita sebagai umat manusia harus bisa melawan dan mengikisnya lewat aksi kemanusiaan melawan kemiskinan”.
Seruan tokoh Afrika Selatan itu, di Indonesia seperti menemukan kebenarannya. Kemiskinan di Indonesia, salah satu penyebab utamanya lemahnya keberpihakan pengelola negara ini pada rakyat. Realita yang jelas, tiap kebijakan publik yang ditetapkan negara, selalu saja tidak berpihak pada rakyat miskin. Kebijakan yang ditelorkan selalu saja lebih mengakomodir kepentingan elit dan segelintir orang.
Lantas, dalam ketimpangan ini, beberapa pihak malah menyalahkan orang miskin di Indonesia yang cenderung malas. Selalu tergantung pada orang lain dan tak mau berusaha. Asumsi ini, bisa benar, dapat pula kurang tepat. Jika kita mau berhitung dengan adil, sungguhkah rakyat jelata di negeri ini membebani negara? Bukankah dengan segala keterbatasannya, mereka mampu menghidupi dirinya sendiri.
Jika kita menjejak dari Sabang sampai Merauke, maka kita akan temui rakyat kecil di Indonesia yang harmoni dalam serba kekurangannya. Di Nusa Tenggara Timur misalnya, kawasan ini setiap tahun menjadi kawasan yang selalu paceklik. Warganya kurang gizi dan larang pangan. Tetapi apakah mereka bertingkah, laiknya politikus kehilangan kursi? Sebaliknya, tatkala kenyamanan mengganggu kelompok menengah ke atas, yang terjadi justru keguncangan nasional.
Sikap rakyat kecil yang tidak neko-neko ini, sebagaimana dibenarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah beberapa hari memanfaatkan suasana lebaran ini dengan berinteraksi bersama rakyat biasa, Presiden menemukan kejujuran rakyat kecil itu. Presiden mengaku, kini saatnya pemerintah memperhatikan rakyat kecil. Diakui presiden, selama ini pemerintah telah memberikan perhatian lebih pada konglomerat.
“Rakyat kecil itu tidak aneh-aneh. Karena itu harus kita bantu agar adil”, kata Presiden. Pernyataan ini, mestinya bukan permainan kata semata. Karena diucap oleh pemimpin negara. Harusnya ugkapan itu, menjadi keputusan yang bersifat nasional dan mengakar hingga birokrasi paling gurem. Intinya, gerakan keberpihakkan pada rakyat kecil, bisa jadi ujung tombak pemberantasan kemiskinan di Indonesia.
Agar gerakan antikemiskinan ini tak tumpul menjadi jargon, kinilah saatnya presiden mengeraskan sikap keberpihakannya itu. Karena, ketiadaan pangan di meja makan terkait dengan lemahnya keberpihakkan pada rakyat kecil. Mereka yang kelaparan hidup di pinggiran kota dan pelosok desa miskin, jauh dari pusat kekuasaan, liputan media dan pengetahuan masyarakat yang mampu. Bagaimana orang-orang kaya tahu ada tetangganya yang tidur dengan perut kosong, sedang mereka memilih hidup bertetangga dengan sesama orang kaya dalam lingkungan perumahan mewah yang dibatasi tembok tinggi?
Parahnya, jika toh bantuan mengalir, uang mengalir, ratusan ton bahan pangan berdatangan, mereka yang kelaparan tetap tidak memperolehnya. Dipotong ditengah jalan oleh korupsi dan penyalah gunaan wewenang. Bantuan berakhir di pasar gelap dan habis untuk poya-poya segelintir orang.
Hari antikemiskinan kali ini, juga mengingatkan kita pada cara melihat orang miskin, sebagaimana wasiat Rasulullah saw: Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berjalan ke sana sini meminta-minta kepada manusia, kemudian diberikan dengan sesuap dua makanan dan sebiji dua buah kurma.
No comments:
Post a Comment