Sudah berkali-kali, Herman Buyung (40) memenuhi panggilan pihak sekolah lantaran anaknya belum melunasi biaya sekolah. Ia terjepit dilema, pilihan manakah yang harus diutamakan. Membayar kontrakan, memenuhi kebutuhan dapur, atau biaya sekolah anak. Tiga-tiganya buah simalakama, tidak hanya untuk menentukan, memenuhi salah satunya saja sungguh sulit.
“Kalian tidak boleh malu. Selama tidak diusir dari sekolah, tetap saja sekolah, nanti bapak yang akan temui kepala sekolah”, kata Herman pada empat anaknya menyemangati.
“Saya selalu ingatkan anak-anak. Kita boleh miskin tetapi pendidikan tak boleh berhenti. Sesulit apapun jalan yang harus ditempuh, saya akan tetap berjuang untuk membiayai anak-anak”, terang lelaki asal Solok, Sumatera Barat yang berprofesi sebagai tukang pijat keliling itu.
Sudah tujuh tahun, Herman Buyung menekuni profesinya sebagai tukang pijat keliling. Dengan mengendarai sepeda pancal, yang dipasang papan nama, Herman berputar dari perumahan ke perumahan. Dari jam sepuluh pagi ia berangkat, pulang ke kontrakannya di bilangan Cimanggis, Depok, bisa sampai jam empat jelang subuh.
Ia tak pernah mengeluh. Semangatnya meledak-ledak, acapkali bicara pendidikan dan masa depan anak-anaknya. Herman, selalu menanamkan pada anak-anaknya untuk hidup mandiri dan tidak gengsi. Tinggal di kontrakan yang sempit, tak boleh membuat anak-anaknya rendah diri.
“Ini masalah nasib dan ujian. Kita mau menyerah dan menjadi peminta-minta, atau kita bangkit dan bekerja keras. Alhamdulillah, anak-anak saya bisa memahami keadaan saya”, ungkap Herman yang juga pernah menjadi sopir angkot.
Selain memijat keliling, usai sholat subuh, Herman memanfaatkan waktu untuk bercocok tanam di lahan kosong dekat kontrakan. Lahan itu, ia tanami singkong dan ubi-ubian. Hasilnya lumayan untuk mengganjal kebutuhan dapur dan dibagi ke para tetangga. Demikian pula sang istri, juga membantu Herman dengan membuat susu kedelai.
Rizki Septian, anak kedua Herman yang duduk di bangu kelas tiga MTs Nadlatul Qoir, kebagian jualan susu kedelai itu. Jam satu siang, sepulang sekolah, Rizki berjalan kaki sembari memikul susu kedelai menuju ke perempatan lampu merah Gas Alam, Cimanggis. Jarak dari kontrakan ke Gas Alam lebih kurang empat kilo meter.
“Saya kasihan sebenarnya. Saya suruh naik angkot, katanya sayang uangnya pak, lumayan buat nambah biaya sekolah”, kata Herman yang kerap terharu melihat kegigihan putra putrinya.
Tak hanya Rizki yang gigih meringankan beban orang tuanya. Anak ketiga Herman yang duduk di bangku kelas satu di sebuah SMP swasta, juga turut membantu dengan jualan es lilin di SD Mekarsari. Demikian pula anak pertamanya, tak ada anak-anaknya yang berpangku tangan. Herman mengaku bangga dan bersyukur, memiliki anak-anak yang rajin dan taat pada agama. Apalagi, dari empat anaknya itu, semua masuk dalam peringkat sepuluh besar di sekolahnya.
Herman memang tak sempat sekolah. Ia berhenti di tengah jalan sampai kelas tiga sekolah dasar. Tetapi, ia mengisi kekurangannya itu dengan melahap berbagai macam buku bacaan, Koran, dan majalah. Dari membaca itulah, ia menyadari pentingnya pendidikan. Ia meyakini, dengan pendidikan kemiskinan yang melilitnya bisa terurai. Itulah mengapa ia terus berlelah-lelah siang dan malam.
No comments:
Post a Comment