Bagaimana jika sehari saja Jakarta tanpa pengemis, pengasong, pemulung, dan pedagang kecil yang memadati trotoar di jalan-jalan jantung ibukota? Bajaj dan kendaraan sejenis yang dianggap mengganggu pemandangan, juga tak seliweran? Sebagian orang setuju, inilah wajah Indonesia yang sejahtera dan aman. Mungkin juga, sebagian orang akan mengklaim, Indonesia telah berhasil mengatasi kemiskinan. Karena, wajah Jakarta adalah juga wajah Indonesia.
Hal ini, terkait dengan sikap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
DKI Jakarta, yang menyetujui rancangan peraturan daerah Ketertiban Umum
untuk kemudian disahkan menjadi perda yang berlaku di seluruh wilayah
DKI Jakarta, pada Senin (10/9).
Dalam raperda tersebut, pada Pasal 40 disebutkan penduduk dilarang
menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil di
tempat umum. Bagi pelaku dan mereka yang memberikan uang terancam
denda Rp100.000 sampai Rp 20 juta atau kurungan dua bulan. Para pedagang juga dilarang berjualan di trotoar atau kawasan yang dilarang sebagai kawasan larangan berdagang. Juga ada larangan angkutan umum jenis bajaj dan bemo dengan mesin dua tak.
Membayangkan Jakarta tanpa dilengkapi kehidupan orang-orang kecil, bisa indah bagi semua orang. Jika saja, penghapusan wajah suram itu bukan sandiwara. Jika saja, pelenyapan orang-orang kecil di jalanan itu memang menempatkan mereka pada taraf hidup cukup. Bukan dengan pengusiran, kekerasan, dan cara tak beradab hanya untuk menutupi malu, bahwa memang banyak orang miskin di Ibukota.
Ini, memang masalah selera dari pengelola bangsa ini. Mau jujur menampakkan wajah aslinya, atau mau sembunyi di balik kedok yang memalukan. Mau melayani rakyatnya, atau memuaskan selera para elitnya.
Andai, sehari saja Jakarta tanpa denyut jantung orang kecil, jantung siapa yang akan adem ayem tak diganggu pengamen di perempatan lampu merah. Andai, sehari saja Jakarta tanpa bajaj dan kendaraan yang suaranya memekakkan telinga itu, mobil siapa yang akan aman bersaing sesama mobil mewah. Ini juga masalah selera. Ironisnya, rakyat kecil dipandang seakan tak punya lagi selera untuk juga menikmati hidup layak.
Jakarta, memang harus aman dan nyaman. Tetapi, juga keniscayaan jika kota ini diserbu para pendatang. Karena di Ibukota inilah pusat uang berputar. Banyak pekerjaan yang dianggap menjanjikan. Jakarta menjadi magnet bagi para perantau untuk megadu nasib. Mereka yang sudah lelah ditempa kemiskinan di desa asalnya. Jakarta, menjadi tempat menjemput harapan dan impian.
Andai saja, Jakarta tanpa pengasong, pusat-pusat perbelanjaan dan mal akan menjadi satu-satunya pusat bisnis yang tak tertandingi. Jika saja pedagang di trotoar tak menjajakan dagangan untuk pembeli kelas gurem, seperti sopir, pengojek, penumpang angkot, pemakai kereta api, kuli, dan pejalan kaki, maka untuk membeli segelas air minum, kita harus merogoh kocek lumayan mahal, masuk ke restoran cepat saji. Siapa pula pada posisi ini yang diuntungkan?
Berdagang di trotoar dan tempat-tempat umum selalu dianggap sebagai biang keladi kemacetan. Sebaliknya, pusat perbelanjaan yang berada di dalam persimpang jalan dan tempat-tempat padat, justru mendapat dukungan dan pengamanan dari penguasa. Menindas pada sisi yang lemah karena ketiadaan posisi tawar, sekaligus melayani pada yang kuat dan punya modal. Ini ironi yang makin menjadi.
Jika saja, sehari Jakarta tanpa orang kecil, ia akan menawan. Sekaligus terancam oleh kepungan kemiskinan dan dendam sosial yang berdampak pada kerawanan sosial, karena dampak pengangguran dari kebijakan itu. Oleh ulahnya sendiri, yang ingin bersolek sesaat dengan menjadikan korban orang-orang kecil.
Larangan Memberi
Raperda yang disetujui DRPD DKI itu, salah satunya juga larangan terhadap orang untuk memberi pada pengemis. Pada titik ini, sulit pikiran kita menalar bagaimana keran kebajikan ditutup. Bagi yang muslim, mestinya ini bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Sebagaimana nabi juga mencintai para fakir miskin.
Sudah menjadi bagian dari sunatullah, di dunia ini selalu ada kesenjangan. Kemiskinan itu ada, pada hakikatnya karena ada orang kaya, dan diperuntukkan bagi orang-orang miskin. Mereka terlihat baik dan buruk amalnya, dari caranya memperlakukan fakir dan miskin. Niscaya tidak akan ada arti dan maknanya, harta melimpah jika tidak ada orang-orang miskin.
Dari sudut keimanan, orang kaya memandang saudara-saudara mereka yang tidak beruntung sebagai berkah. Ladang baginya untuk menumpuk amal shaleh. Bukan sebaliknya, fakir-miskin dipandang sebagai lalat-lalat pengganggu.
Sikap yang indah ini, terlihat dalam pola interaksi Rasulullah dengan para sahabatanya yang mayoritas bekas budak, kalangan gembel yang lusuh penampilannya dan tidak nyaman aromanya.
Ketika Nabi masuk ke majelis, beliau memilih duduk dalam kelompok orang-orang miskin. Kerapkali Rasulullah berkata, "Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya."
Namun, Rasulullah juga telah bersabda: Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berjalan ke sana sini meminta-minta kepada manusia, kemudian diberikan dengan sesuap dua makanan dan sebiji dua buah kurma.
Para Sahabat bertanya: Kalau begitu siapakah orang miskin yang sebenarnya wahai Rasulullah? Nabi bersabda: Orang yang tidak mendapati kesenangan yang mencukupi buatnya, tetapi mereka tidak tahu karena kesabaran dia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain, dia akan diberikan sedekah tanpa dia meminta dari orang lain. (HR Bukhari, Muslim, Nasai).
No comments:
Post a Comment