Bukan perhelatan penuh gebyar-gebyar. Hanya peresmian sederhana yang sarat makna, karena dibingkai dalam suasana Ramadhan. Tetapi kesehajaan itu menjadi penting, lantaran para pucuk pimpinan negeri ini hadir dalam dunia kaum dhuafa sesungguhnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Yusuf Kalla, Ketua MPR dan Wakil Ketua MPR, Menteri Kesehatan, Menkokesra, Gubernur DKI, ulama, dan para tokoh masyarakat, hadir dalam perhelatan zakat, pada peresmian Rumah Sehat Masjid Agung Sunda Kelapa, Jumat, (14/9).
Rumah Sehat, sebuah layanan kesehatan gratis yang mengadopsi pengelolaannya dari klinik 24 jam, Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa. LKC, sekaligus sebagai yang diberi tanggungjawab mengelola Rumah Sehat itu. Pembiayaan atas pembangunan dan operasionalnya, menggunakan dana zakat dan wakaf. Karena zakat menjadi pondasi terwujudnya fasilitas kesehatan gratis bagi kaum fakir miskin itulah, kehadiran Presiden SBY dirasakan amat istimewa.
Hingga Presiden SBY, merasa perlu untuk meresmikan Rumah Sehat ini, tegas-tegas mengangkat harkat zakat. Selama ini zakat selalu terpinggirkan. Hanya 2.5%, kecil dan selalu diminta-minta. Penerima zakat juga fakir miskin. Sama sekali tidak elit. Karenanya gema zakat hanya di surau kecil. Yang jika diberdayakan, cenderung berupa santunan sembako. Mungkin juga beasiswa sekian ribu rupiah atau hanya untuk sunatan massal. Sebelumnya sebagian praktisi zakat juga kalah pede dengan pegiat LSM.
Empat Poin dari SBY
Kini, dengan presiden melihat langsung peran zakat yang dikelola lembaga, harusnya masa depan zakat lebih cerah. Kehadiran Presiden, juga sebagai pengakuan pemimpin negara pada publik. Bahwa zakat, salah satu instrumen ekonomi umat yang dahsyat. Dalam sambutannya, ada empat poin penting yang layak dicatat menyangkut zakat di tanah air, menurut SBY.
Pertama. Presiden SBY, dengan tegas menghimbau masyarakat muslim Indonesia untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah. Presiden meyakini, jika semua orang mampu dan kaya di Indonesia menunaikan zakatnya, maka akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteran rakyat Indonesia.
Presiden juga memahami zakat dalam makna batiniahnya. Bahwa, dengan membayar zakat, menurut SBY, hati akan lebih damai dan tenteram. Keyakinan ini, sebelumnya baru ungkapan yang kerap melecut para pejuang zakat di tanah air. Jika kini presiden juga meyakini, ini sebuah amunisi yang bakal memperkuat masa depan zakat di Indonesia.
Kedua. Presiden SBY, meyambut gembira pengelolaan zakat, infak, dan sedekah melalui lembaga. Karena, melalui lembaga yang punya kredibilitas, zakat dapat dikelola secara profesional dan dimanfaatkan secara tepat dan strategis. Dengan demikian, lembaga zakat, baik yang dibentuk pemerintah maupun swasta (masyarakat), ditantang untuk makin kreatif dalam menghimpun dan mendayagunakan zakat.
Ungkapan Presiden ini, sebuah advokasi yang baik bagi masyarakat. Artinya, kalangan berpunya dalam istilah SBY menyebut orang kaya, tidak lagi tergoda untuk mengelola sendiri zakat pribadinya. Ia sendiri, pernah memberi teladan dengan mempercayakan zakatnya melalui lembaga. Pada Ramadhan 2006 lalu, di Istana negara, Presiden SBY menunaikan zakat pribadinya melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Saat menunaikan zakat, SBY menegaskan, zakatnya berasal dari gaji sebagai presiden. Sungguh ini peristiwa langka. Di saat umat masih berwacana bahwa tak ada zakat profesi, SBY seolah menandaskan bahwa; Zakat saya adalah zakat profesi.
Ketiga. Zakat dalam pandangan SBY, juga sebagai solusi efektif dalam menjalin hubungan antara kalangan berpunya dengan fakir miskin. Zakat menjadi jembatan antara keduanya. “Apa yang akan kita resmikan hari ini, adalah contoh nyata pendekatan yang positif, pendekatan yang sehat. Membangun jembatan daripada mempertentangkan, membikin jarak. Tapi dengan jembatan itu, mari kita ketuk hatinya, kita dorong mereka-mereka untuk lebih dermawan”, kata Presiden.
Maka, ia tak segan menyampaikan terima kasih dan penghargaan pada masyarakat Indonesia, yang telah mempercayakan amanah zakatnya melalui lembaga.
Keempat. Nilai penting dari peran zakat di Indonesia yang penghimpunannya masih sedikit, telah dipercayai Presiden SBY sebagai peran yang telah nyata-nyata membantu program pemerintah. Kepercayaan ini tentu mahal. Di tengah tuduhan “utopis”, jika zakat mampu mendorong fakir miskin untuk berdaya, SBY percaya akan kekuatan zakat.
Presiden juga secara lugas mengakui, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam mengatasi masalah kemiskinan di tanah air. Meski terus meningkatkan jumlah anggaran, namun dalam pelaksanaan program di lapangan, kerap belum maksimal. Di sinilah peran lembaga masyarakat diperlukan.
“Program yang dilakukan atas inisiatif masyarakat itu ternyata sangat membantu, sangat meringankan beban, bagi mereka yang memerlukan dan sebagai pendamping dan pendukung dari program-program yang dilaksanakan pemerintah”, tandas SBY.
Pertanyaannya kini, setelah Presiden mempercayai peran efektif lembaga masyarakat itu, bagaimana selanjutnya ia melahirkan kebijakan sinergi dalam setiap program antara lembaga zakat misalnya, dengan pemerintah. Apa yang dilakukan BAZNAS dengan Dompet Dhuafa dalam membuat program, sebenarnya belum mewakili kebijakan kerjasama pemerintah dengan masyarakat. Karena dana yang dikelola BAZNAS bukan dana APBN, melainkan zakat masyarakat. Itu artinya, pemerintah tidak dapat lagi memandang sebelah mata pada keberadaan dan peran BAZNAS.
Sambutan Presiden SBY dalam peresmian Rumah Sehat, jumat lalu, dapat dikata penuh advokasi terhadap dunia zakat di tanah air. Terutama menyangkut peran zakat yang dikelola melalui lembaga. Ini sebuah keberpihakan baru, dalam ranah zakat Indonesia. Hanya, dukungan Presiden SBY atas usulan zakat sebagai pengurang pajak, yang pernah disampaikan saat menunaikan zakat di Istana negara tahun lalu, hingga kini masih sebatas wacana.
Padahal, Erie Sudewo, salah satu tokoh zakat Indonesia dan juga pengurus BAZNAS yang ikut hadir saat SBY bayar zakat di Istana, pernah mencatat ungkapan itu dalam tulisannya. Di akhir pertemuan, SBY mendukung usulan zakat jadi pengurang pajak. Menteri Agama, Menteri Sosial dan Menteri Keuangan diminta membahasnya. “Jangan lupa, tim BAZNAS juga harus turut serta”. Tulis Eri Sudewo setahun lalu.
No comments:
Post a Comment