Usai Jepang tercabik-cabik, digempur sekutu pada perang dunia kedua, Kaisar Hirohito, kala itu tak mencari tahu berapa tentara tewas dan pertahanan apa yang tersisa. Pikiran tercepatnya, malah tertuju pada keingintahuannya, berapa guru yang masih hidup. Kaisar Hirohito, meyakini harta Jepang yang tersisa dalam hancur lebur perang itu, tinggal bulir-bulir ilmu pengetahuan yang tercecer di otak para guru yang masih hidup. Setelah semua ilmu pengetahuan dan peradaban yang dibangun Jepang, nyaris musnah.
Demikian pula, mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, yang kala itu masih menjabat senator, merasa geram tatkala Rusia menyalip kecanggihan teknologi negaranya. Rusia unggul lebih dahulu, setelah berhasil meluncurkan satelit pertama di dunia, Sputnik I, pada 4 Oktober 1957. Kennedy lantas melempar tanya pada bangsanya, “What's wrong with our classrooms?". Pertanyaan itupun seperti melecut bangsa AS untuk berbenah diri dalam menata pendidikan. Sepertihalnya, Kaisar Hirohito, John F Kennedy juga percaya, guru memegang simpul utama dalam perubahan kemajuan di Negeri Paman Sam.
“No teacher, no education”, demikian Presiden Vietnam, Ho Chi Minh menunjukkan kekagumannya pada peran guru. Pernyataan itupun, dijadikan pondasi pemerintahan Vietnam dalam membangun bangsa berbasis pendidikan, dengan peran guru sebagai intisarinya.
Negeri serumpun Malaysia dan negeri gigseng, Korea Selatan, juga meletakkan peran guru sebagai pilar membangun kemajuan bangsa. Kedua negara itu pun, dalam tempo 10 – 15 tahun melesat cepat sebagai negara makmur dan canggih dalam teknologi serta ilmu pengetahuan.
Pun, Indonesia juga sangat menghormati peran guru. Sebagaimana Presiden RI Soekarno pada 21 November 1945 menyatakan, bahwa guru bukan penghias alam, tetapi membentuk manusia. Bahkan, perjuangan guru Indonesia juga melegenda dalam “Guru pahlawan tanpa tanda jasa”. Tapi pahlawan itu, hingga kini masih memerankan tokoh dalam lakon “Oemar Bakrie”.
Guru di negara maju, berada pada top of mind para pemimpin dan masyarakatnya. Guru, sebagaiamana diungkapkan George Splinder (1983), sosok yang sangat strategis dalam perambat kebudayaan, proses akulturasi, dan penanaman nilai-nilai luhur suatu bangsa. Pun, guru dalam pandangan Islam berperan sebagai penyampai ilmu yang benar (mu’allim), pengembang proses pendidikan (murabbi), penitip pelajaran dan kemahiran (mudarris), pengajar budi pekerti (mu’adib), dan pembentuk jiwa kepemimpinan (mursyid).
Tetapi guru di negeri kita, adalah pahlawan yang terluka. Batin menjerit, jika mata boleh mengintip isi tas yang ditenteng “Oemar Bakrie” saat menuju tugas mengajar. Tas “Oemar Bakrie” berisi buntelan nasi, berbeda dengan guru di negara maju yang tasnya bersi laptop dan buku. Layak jika sebagian pihak meyakini, rendahnya penghargaan pada guru dalam bentuk mencukupi kesejahteraannya, dipicu sebagai faktor yang membuat gerak pendidikan Indonesia lambat seperti siput.
Guru Sukarela
Dalam serba keterbatasannya bangsa ini menghargai guru, tak sedikit orang yang tetap jalan lurus menekuni profesi ini. Digaji negara sebagai pegawai negeri, maupun relawan yang malah membiayai sekolah anak muridnya. Mereka tetap mendidik, lantaran geram melihat generasi bangsanya yang makin mundur ke belakang. Guru-guru tangguh itu, tersebar di berbagai pelosok tertinggal. Mereka memahat kebodohan, agar terbentuk generasi maju, di pulau-pulau terpencil yang terputus akses pendidikan.
Dia, Laode Ardin dan istrinya, Endang Salmiati. Sepasang suami istri yang hidup di komunitas tertinggal, Desa Watubangga, Baruga, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Laode, dalam serba keterbatasannya mendirikan sekolah gratis. Bukan karena ia kaya, tetapi ia gelisah sebagaimana Jhon F Kennedy dan Ho Chi Minh resah.
“Sesulit apapun kehidupan, kita bisa atasi jika kita punya bekal ilmu. Tetapi, anak-anak kurang mampu seperti di tempat kami yang pelosok ini terputus akses pengetahuannya. Hanya jika kita ikhlas untuk mengubah bangsa ini menjadi maju, ilmu secara suka rela bisa kita tularkan”, kata Laode Ardin Agustus lalu.
Laode mendirikan sekolah Tsanawiyah dan Ibtidaiyah, dengan 52 anak didik. Bangunan sekolah dari papan sederhana, didirikan dengan jerih payahnya sendiri. Dia mengajar bersama istrinya, hingga peluhnya membuahkan hasil, tatkala murid-muridnya lulus UAN 100 persen.
Guru-guru pilihan yang tak kalah gigihnya, sepertihalnya Zulfan. Ia generasi Banggai Kepulauan, yang memimpikan anak-anak Banggai menjadi bagian dari bangsa yang maju. Zulfan memperjuangkan berdirinya SMA Pertama di Mansamat, Tinangkung, Banggai. Meski sekolah yang dibangun Dompet Dhuafa ini akhirnya berdiri, para guru di sekolah itu tak sempat berpikir kesejahteraan dapurnya. Bukan lantaran tak ingin, mereka mengaku cukup terbayar, jika lima generasi Banggai kelak terentas dari kebodohan.
Di Flores, juga berdiri kukuh Sang Guru, Arifudin Anwar. Ia membangun sekolah gratis di kampungnya, Pulau Adonara, Kelu Bagolit, Flores Timur. Murid-murid di sekolah Arifudin, berasal dari pulau-pulau kecil, terpencil, bahkan sebagian tak ada dalam peta Indonesia. Mereka tinggal dan menetap di asrama sekolah yang sederhana, dari dinding bambu dan atap ilalang.
“Apa yang kami makan, itulah yang mereka makan. Jika persediaan beras kami habis, kami menggantinya dengan pisang. Apalagi di musim kemarau, kami akan mengalami masa-masa sulit. Tapi kami tak menyerah, anak-anak tetap semangat”, terang guru yang juga ustad itu. Kelangsungan pendidikan gratis di sekolahnya ditopang dari usahanya sebagai pedagang.
Kerja keras Laode Ardin, Zulfan, dan Arifudin serta sosok-sosok di belahan lain yang kita lupakan, mengingatkan kita pada perjuangan bangsa Jepang usai hancur lebur oleh bom atom. Meski gaji guru di Jepang kini mencapai 200 ribu Yen, sekitar Rp 16 juta per bulan, guru-guru di Jepang dulu juga pejuang tanpa gaji. Jika buah manis itu kini dipetik, itu hasil tanam seluruh masyarakat Jepang.
Di tengah kondisi bangsa yang belum mampu membuat lompatan dahsyat, kiranya kita perlu menanam benih bersama-sama. Kita bisa ciptakan ruang belajar di rumah, untuk sanak kerabat dan tetangga yang anak-anaknya terputus akses pendidikannya. Kita bisa menjadi guru, untuk mereka yang tidak sekolah. Selamat hari guru, tetap mengabdilah pahlawanku!
Saturday, November 24, 2007
Selamat Hari Guru
Label:
pendidikan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment