Wednesday, November 15, 2006

Jakarta Mimpinya Orang Desa

Jakarta Mimpinya Orang Desa

Rutin saban tahun. Lepas lebaran, kaum pendatang mencoba melempar kail di Ibukota. Ada yang pakai umpan, ada yang cuma kail. Jakarta, kota sejuta mimpi bagi orang desa.

Pusat kemacetan, perempatan dan lampu merah, mulai sepi pengemis. Kawasan perumahan elit juga tak lagi ditemui kumpulan pembawa gerobak yang mirip pemulung sampah. Seiring berlalunya Ramadhan, pengemis dan peminta bergaya pengais sampah kembali ke asalnya. Mereka seakan mafhum, di luar Ramadhan musim kering sedekah mulai tiba. Tahun depan, jelang Ramadhan mereka akan datang kembali ke ibu kota menyongsong saat banjir zakat, infak, dan sedekah.

Wajah-wajah sarat masalah itu boleh saja berkurang di Jakarta. Tetapi jumlah mereka yang semula meruyak, berlahan digantikan para pendatang lain. Tentu tidak untuk mengikuti jejak sebagai pengemis. Pendatang baru, memandang Jakarta pesona yang bertabur bunga. Jakarta dengan cantik semunya berhasil menarik perhatian penduduk nusantara. Peran media seperti televisi, yang kerap menampilkan gemerlapnya kehidupan kota tak dielak ikut mendorong laju pertumbuhan urbanisasi.

Orang-orang miskin di desa yang lugu makin terpesona tatkala musim lebaran, para pemudik berkisah cerita sukses. Umumnya, perantau di Jakarta yang berniat pulang kampung mayoritas sudah cukup berhasil. Sementara yang masih berjuang merasa enggan pulang. Tak salah jika Suwaji (26), pendatang baru asal Tulungagung menyimpulkan bahwa Jakarta tempat yang cocok untuk mendapatkan penghidupan lebih baik. Ia lihat tetangganya yang mudik pulang dengan mengendarai mobil pribadi.

Sartono, bujang asal Bojonegoro bahkan tak betah lagi tinggal di rumah. Di desa tak ada tempat bekerja. Bercocok tanam juga tanah sepetak. Buka usaha tiada modal. Pemuda dengan masa depan suram. Sayangnya, Suwaji dan Sartono menjejak Ibu Kota yang tak ramah pada orang susah bermodal nekat. Keduanya meyakini, langkah terjal Jakarta cukup kuat diinjak dengan doa dan restu orang tua.

Tak ada yang salah dengan Suwaji dan Sartono. Desa, jika kita selami nyaris tak menjanjikan apa-apa. Berkoar pemerataan ekonomi, itu ramai di kota-kota. Desa tetaplah merana. Diskusi kayanya potensi desa-desa di Indonesia tetap saja mentok pada wacana. Ramai di ruang seminar. Bahan diskusi yang tak habis-habisnya dibahas pada level pemerintahan dan anggota dewan sejak bertahun-tahun.

Tak pelak, telinga kita kerap mengiang statement, “Mengapa mereka tidak bangun desanya. Malah datang ke kota tanpa bekal keahlian. Bukankah daerah kita ini makmur dan subur”. Ungkapan yang amat mudah dilontarkan orang-orang yang telah mapan dan menemukan dunianya di kota. Jikapun subur dengan tanahnya, hasil pertanian di musim panen selalu saja jeblok. Petani tak henti-henti diakali. Dikadali dari tengkulak sampai level kebijakan. Tetap saja lahan subur itu tak membuat orang desa makmur.

Alam yang kaya juga tak mendongkrak taraf hidup orang desa. Jikapun mencicipi, mereka mesti mencuri di tanah sendiri. Tambang desa yang harusnya menjadi pundi kemakmuran, nyatanya milik konglomerat kota. Lebih sadis, dikuasai orang asing. Bila ada sebagian kecil yang menggali tambang sendiri mereka diuber, ditangkap sebagai pencuri. Penambangan illegal yang bisa jadi dicap merugikan negara.

Hutan yang luas juga tak berdampak pada kemakmuran orang desa. Di Jawa Timur, ada seorang pencuri kayu tewas dihajar petugas. Lantaran ia ketangkap basah menebang beberapa pohon pinus. Saat musim kemarau dan paceklik merajam desa, hutan bisa jadi sumber yang diharap-harap. Orang itu bernama Doguno, meninggal dengan mengenaskan hanya karena ingin menyambung hidup sampai musim tanam singkong tiba.

Bandingkan dengan para perampok hutan yang dilabeli keren dengan Illegalloging itu. Adakah yang sudah tewas layaknya Doguno. Jauh panggang dari api. Ketangkap saja sulit. Orang desa dari banyak sisi tetap saja terhimpit dan dipersulit. Tak mampu maju. Bertahan hidup saja sudah lebih dari cukup. Tak bervisi masa depan, mengenyam pendidikan saja sungguh sulitnya. Jika bermimpi tinggi, di Ibukota Jakartalah orang desa ingin mewujudkannya.

Maka, Jakarta, sumber dari segala sumber itu menjadi madu yang diserbu. Jakarta juga dicaci, dibenci, dan dicintai. Jantung negara yang menabur sejuta harapan masa depan.

Bercermin Pada M Yunus

Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank yang meraih Nobel Perdamaian 2006 sedang jadi sorotan dunia. Di negaranya Bangladesh, dengan Grameen Bank-nya, sampai Mei 2006, telah melayani 6,61 juta peminjam, 97 persennya kaum perempuan. Bank ini telah memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa, dan tidak hanya melayani peminjam dari Bangladesh, tetapi juga negara-negara lain.

Kita tidak tahu. Apakah di negaranya, juga ada tradisi urban pasca lebaran. Melihat jumlah desa yang dilayani Grameen Bank mestinya di jantung kota Bangladesh tak dibanjiri pencari kerja dari desa. Namun, M Yunus simbol perlawanan perang hakiki. Yakni perang melawan kemiskinan. Layak jika Nobel Perdamaian yang lazimnya diberikan pada tokoh-tokoh yang erat dengan perang fisik, tahun ini dianugerahkan pada M Yunus.

Ada ungkapan menarik yang pernah dilontarkan pria beruban ini. Sebuah kejujuran hatinya dalam melihat kemiskinan. Ia tak malu mengaku salah dalam memandang perekonomian dari kaca mata akademisnya. "Ketika banyak orang sedang sekarat di jalan-jalan karena kelaparan, saya justru sedang mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan. Saya mulai membenci diri saya sendiri karena bersikap arogan dan menganggap diri saya bisa menjawab persoalan itu (kemiskinan). Kami profesor universitas semuanya pintar, tetapi kami sama sekali tidak tahu mengenai kemiskinan di sekitar kami. Sejak itu saya putuskan kaum papa harus menjadi guru saya," ungkapnya penuh penyesalan.

Selaras dengan gerakan M Yunus, Pada akhir 1994, Dompet Dhuafa Republika (kini BAZNAS DOMPET DHUAFA) yang waktu itu masih nebeng di Gedung Republika, menjadi tuan rumah penandatanganan ''Deklarasi Buncit''. Salah satu butir deklarasi yang disepakati puluhan pimpinan holding BMT maupun pimpinan BMT di Jakarta dan sekitarnya ini, menyerukan agar BMT dijadikan gerakan nasional.

Tak lama kemudian, pada 7 Desember 1995, Presiden Soeharto mencanangkan ''Gerakan Nasional 1000 BMT''. Sayangnya, gaung gerakan ini tak segagah namanya. Banyak orang Islam sendiri yang masih bertanya: makhluk apa gerangan BMT (Baitul Maal wat Tamwil)? Menurut Adiwarman Karim yang pernah diundang ke Chicago hanya untuk menerangkan BMT, hal itu lantaran para pejuang BMT terlalu bersemangat. Sementara, kondisi sosial-ekonomi ketika itu belum mendukung, meskipun secara politik ada pemihakan.

Seperti kata pepatah: Li kulli maqamin, maqaalun. Wa likulli maqaalin, maqaamun (Setiap kondisi butuh ungkapan yang tepat. Dan setiap ungkapan, butuh waktu yang tepat pula). BMT, menurut Adiwarman, konsepnya bagus, tapi saat itu belum siap diangkat menjadi gerakan nasional.

Meski demikian, gerakan BMT terus berjalan. DD sendiri sudah mensponsori pendirian 60 LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syariah) termasuk BMT. Mereka tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, DKI, DIY, dan Sumatera. BMT yang masih berjalan ada 47, 44 di antaranya bertahan dalam keadaan sehat. Sebagaimana Grameen Bank, hampir mayoritas nasabah BMT itu para wanita. BMT Beringharjo, yang dipimpin Mursida Rambe, seorang Ibu dua anak sampai saat ini memiliki 16 ribu nasabah pedagang kecil di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, dengan asset BMT 14,6 milyar.

Masih jauh memang dari apa yang dilakukan Grameen Bank. Tetapi langkah serupa telah cukup lama dimulai di Indonesia. Gerakan semacam ini memang tumbuh dan berkembang di desa. Demikian pula BMT yang mendampingi kalangan usaha mikro dalam permodalan yang memihak orang-orang desa yang miskin. Ini salah satu solusi bagaimana menghidupkan desa dengan mengembangkan usaha. Agar masyarakatnya tak melulu meralat nasib ke ibu kota.

Kita layak merenungkan sentilan M Yunus dalam memahami angka penyerbu Ibukota yang meningkat untuk mencari nafkah hidup. Nyatanya, kemiskinan di negeri ini tak mampu diurai dari belakang meja tanpa terjun langsung pemikirnya ke lapangan. Agar kaca mata memandang yang dipakai kaca mata orang miskin, bukan kaca mata orang pintar.

Benar katamu M Yunus, “Kami profesor universitas semuanya pintar, tetapi kami sama sekali tidak tahu mengenai kemiskinan di sekitar kami”.

1 comment:

wardhana said...

salam,, wah.. keren mas tulisanya saya jadi ingin belajar menulis ke mas naryo