Friday, March 28, 2008

Catatan Tercecer dari Senegal

Selain Pemerintah Indonesia yang hadir dalam KTT OKI ke-11 di Dakar, Senegal, Dompet Dhuafa Republika, juga hadir dalam rangkaian acara yang sama. Diwakili Presiden Direktur DD, Rahmad Riyadi, DD mengikuti Konferensi Organisasi Kemanusiaan I Negara Anggota OKI.


Ada yang tidak biasa, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-11 Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang digelar di Dakar, Senegal, pada 13 -14 Maret lalu. Sebelum KTT dimulai, organisasi kemanusiaan dari 57 negara anggota OKI di seluruh dunia berkumpul di Senegal, untuk menggelar Konferensi Organisasi Kemanusiaan I Negara Anggota OKI.

Dari Indonesia, Dompet Dhuafa Republika (DD), diundang OKI, sebagai wakil organisasi kemanusiaan di Indonesia. Konferensi ini, kali pertama sejak KTT OKI memasuki KTT nya ke-11. Sekaligus sebagai pra KTT OKI, yang dihadiri para pimpinan negara anggota OKI, pada 13-14 Maret. Tujuannya, untuk menyatukan langkah civil society dengan pengambil kebijakan di pemerintahan.

Sebagaimana kita mafhu
m, tugas OKI kian tahun makin berat. Aroma konflik dan perang, terus merebak melanda negara negara Islam. Belum lagi lingkaran kemiskinan yang membelit Asia dan Afrika. Juga bencana alam yang terus mengintai. Bahkan, KTT kali ini pun, juga dibayang bayangi konflik dan ketegangan baru yang menyerang negara negara anggota.

Pada akhirnya, organisasi kemanusiaan di negara anggota OKI, sudah saatnya terlibat membantu peran OKI. Konferensi ini, berlangsung pada 7 – 9 Maret, di sebuah cluster pantai peristirahatan di Saly Portudal, 80 km dari Kota Dakar, Senegal. Konferensi merumuskan action plan, yang akan dilakukan oleh organisasi civil society, untuk diusulkan dalam KTT OKI, empat hari kemudian.

Jika dipetakan, organisasi yang hadir, sebagian besar perwakilan negara-negara Asia dan Afrika. Namun, juga hadir peserta dari NGO muslim Eropa, Amerika, dan UN OCHA PBB yang menjadi observer. Para peserta bebas mengemukakan pendapatnya, dalam tiga bahasa, Arab, Inggris, dan Perancis.

Penyambutan peserta konferensi oleh negara bekas jajahan Perancis itu, ramah. Pemerintah Senegal, menyediakan Lounge khusus, untuk seluruh peserta konferensi. Mereka siaga 24 jam, di Bandara Internasional Dakar, untuk menyambut tamu dari berbagai negara. Semua tamu, disambut dengan standar VIP.

Dalam konferensi itu, peserta dibagi dalam empat komisi. Mereka bertugas merumuskan tahapan aksi, yang menghasilkan empat rekomendasi yang disampaikan dalam KTT OKI. Empat rekomendasi itu meliputi: penguatan kapasitas organisasi dan database, perundang-undangan nasional dalam aksi kemanusiaan dan karitas di negara-negara anggota OKI , hubungan OKI dengan lembaga humanitarian di negara anggota, dan hubungan
antar organisasi kemanusiaan. Isi empat rekomendasi ini, secara lengkap dapat dilihat di www.dompetdhuafa.or.id.

Pelajaran Ukhuwah
Nyaris, DD tidak menghadiri forum organisasi internasional itu. Pasalnya, tenggat waktu tiga pekan – sejak undangan diterima – menyulitkan DD dalam pengurusan visa. Tapi keseriusan OKI mengundang DD, ditunjukkan dengan turun tangan langsung, membantu proses pemberangkatan Rahmad Riyadi ke Senegal. Artinya undangan ini spesial, bukan basa basi.

Di dalam forum tidak res
mi, beberapa NGO dan perwakilan OKI mengorek kiprah DD, di pentas kemanusiaan internasional. Agak malu malu, DD pun menyebut bantuan kemanusiaannya untuk Afghanistan, Irak, Palestina, Lebanon, Kamboja, dan Filipina. Nilai tiap bantuan masih kecil, di bawah 100 ribu dollar AS. Di luar dugaan, mereka merespon aktivitas kemanusiaan DD ini, sebagai program yang luar biasa.

Ketika bertukar pengalaman dengan organisasi kemanusiaan dari Iran, Eropa, Inggris, Mesir, Perancis, Banglades, Afrika, dan Malaysia, ada sebuah kesimpulan yang layak dipetik. Yakni, nilai bantuan kemanusiaan, bukanlah nominalnya, melainkan silaturahim dan ukhuwahnya. Sementara, DD sendiri masih sempit gerak, jika donatur tidak menghendaki bantuan kemanusiaannya untuk luar negeri.

Global Peace Mission, yang mewakili Malaysia dalam pertemuan itu misalnya, meski bantuannya tak besar, tapi telah merambah hampir ke seluruh komunitas muslim tertinggal di seluruh dunia. Mereka membawa misi bangsanya. Bahwa kehadirannya, sebagai wujud empati dan persaudaraan. Layak ji
ka di komunitas muslim Kamboja dan Filipina, Malaysia sangat menancap sebagai saudara bagi mereka.

Sikap demikian, juga ditunjukkan negara lain, seperti Iran. Organisasi kemanusiaan di negara itu, telah menebar silaturahim hingga penjuru Darfur Sudan, Sierra Leon, Nigeria dan Ethiopia. Mereka telah memaknai kepedulian ini pada intisari yang sesungguhnya. Bentuk ukhuwah yang dicontohkan negara negara itu, terbukti efektif, sebagai jalinan diplomatik tak resmi antar negara. Inilah, yang harus dipelajarai oleh masyarakat Indonesia.

Banyak nilai kemanusiaan antar bangsa, menjadi perbincangan hangat dalam konferensi organisasi kemanusiaan itu. Selanjutnya, pada puncak KTT OKI ke-11, sebagaimana diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pemimpin negara pun, banyak yang bicara solidarity fund (dana solidaritas). Dengan target 10 miliar dollar AS.

Lantas, dengan angka kemiskinan tinggi dan bencana alam yang datang dan pergi, apakah Indonesia layak dapat jatah solidarity fund itu?, ”Indonesia akan menjadi pihak yang mendapat bantuan. Bila kita berkontribusi, maka kitapun akan mendapatkan manfaat yang nyata”, tandas SBY. (www.presidenri.go.id).

Sementara, DD dapat mewujudkan harapan konferensi organisasi kemanusian negara OKI itu, jika masyarakat Indonesia mendukungnya. Karena lembaga ini, tumbuh dan berkembang oleh dukungan dana masyarakat. Organisasi kemanusian di negara lain, telah memberi banyak pelajaran, bahwa ukhuwah melebihi segala galanya. Ini cara paling efektif membantu komunitas muslim di negara lain. Sekaligus sebagai duta yang membawa misi bangsa.

Read More......

Mudasir, Sudah Semua Diberikan

Hidup di Tempuran, Desa Nglebo, Suruh, dengan tanah tak lebih dari 300 meter persegi, sangat terasa sulit. Apalagi, desa itu berada di daerah pegunungan tak subur di Trenggalek, Jawa Timur. Tapi Mudasir (42), bergeming dengan kondisi itu. Ia tetap berusaha menghidupi keluarga dan menjadikan tanah sempit itu, untuk kemaslahatan masyarakat.



Lahan warisan sang mertua itu, dibagi untuk tiga fungsi, tempat tinggal, masjid, dan madrasah. Praktis, hanya tersisa satu petak kecil buat kandang kambing. Tak tersisa lahan untuk menanam singkong dan sayur mayur.

Maka, penopang makan sehari hari, Mudasir ikut menggarap lahan di hutan yang ditanami singkong – bahan baku nasi tiwul yang masih menjadi makanan sehari hari keluarga Mudasir – dan jagung. Meski bagiannya tak terlalu luas, tapi cukup untuk menyambung hidup. Secara ekonomi kehidupannya sulit, tapi ia tak mungkin meninggalkan desa itu, hanya untuk kepentingan pribadinya.

Mudasir, mengawali dakwah di Tempuran sejak 1991, setelah ia menikahi Sari, gadis setempat. Kini dikaruniai dua orang anak. Anak pertamanya, sekolah di SMK Hidayatullah, sekolah swasta kampung yang murah dan terjangkau. Anak kedua masih duduk di bangku SDN Nglebo II. Rumahnya sederhana, cukup untuk sekadar berlindung dari panas dan hujan. Tapi nuansa keberkahan tampak di dalamnya.

Kehadiran Mudasir yang hijrah dari kecamatan Karangan, membawa banyak perubahan di Tempuran. Dusun itu, dulu akrab dengan memuja kuburan, keris, dan berbagai ritual mistik dengan membakar kem
enyan. Almarhum mertua Mudasir sendiri, dulu seorang bandar judi dadu. Tapi di akhir usianya, ia menjadi orang tua yang taat sholat lima waktu. Bahkan tanah yang diwariskannya pun, dimanfaatkan untuk aktivitas ibadah dan pendidikan.

Seiring hari, kesadaran beribadah masyarakat di desa itu meningkat. Para orang tua, mulai menyuruh anak-anaknya belajar ngaji di masjid (lebih mirip mushola kecil) samping rumah Mudasir. Mereka, tak lagi membawa anak-anaknya ke orang-orang pintar, untuk ngangsu ilmu mistik dan perdukunan.

Tapi, saat budaya klenik itu sirna, budaya modern yang disuguhkan televisi, menyasar anak-anak desa Nglebo yang lugu. Dampaknya lebih mengerikan. Para remaja mulai akrab dengan narkoba dan mabuk mabukan. Bahkan, tak s
edikit anak anak yang berani melawan orang tua. Mereka menuntut dibelikan motor dan handphone. Di kala gema takbir Idul Adha dan Idul Fitri membahana, sekelompok orang bahkan memfasilitasi anak anak muda, untuk mabuk mabukan di dekat Masjid.

Dakwah Mudasir makin berat. Beruntung ia dapat pasokan pendatang baru, seorang ustad yang hijrah dari sebuah Pondok Pesantren di Pasuruhan, bernama Ustad Badar. Kedua guru ngaji itu pun bahu membahu, membendung kerusakan moral yang makin menjadi di desa yang berada di bawah kaki Gunung Linggo itu.

Keduanya sepakat untuk mendirikan Madrasah. Lahan yang kini siap, di pekarangan rumah Mudasir. Meski tak akan punya lahan lagi untuk bercocok tanam, tapi Mudasir mendapat dukungan kakak ip
arnya, Marli, yang juga menyetujui pemakaian sisa tanah itu. Namun, kendala dana jadi persolan yang sulit. Proposal Ustad Badar ke Departemen Agama, juga belum ada jawaban. Terpaksa, 75 murid yang kini belajar di Madrasah itu, sementara menempati ruang masjid, dengan sekat kelas sehelai kain tipis. Sisanya memanfaatkan serambi.

“Kalau sederhana, Rp 15 j
uta, insya Allah sudah jadi satu madrasah. Tapi ya nggak tahu, tahun kapan bisa ngumpuli dana sebesar itu, lha wong warga sini saja hidupnya pada susah mas”, bisik Mudasir lirih.

Melihat perjuangan Mudasir, sarat teladan yang layak ditiru. Dengan segala kekurangan ekonominya, ia berjuang meralat generasi di desanya. Tak hanya dakwah lisan, tapi ia telah berikan semua yang dimiliki. Sementara kita?

Read More......

Dampak Cuaca Ekstrem

Cuaca ekstrem melanda belahan bumi kita. Pagi yang cerah, tiba tiba digelapkan hujan dan badai yang datang tiba tiba. Kita hampir sulit menduga perkembangan cuaca tiap jamnya. Beberapa daerah yang biasanya tidak banjir, mendadak tenggelam. Curah hujan lebat, ditimpali hutan hutan di pulau Jawa yang tambah gundul, makin membuat alam kita remuk.


Allah SWT, tegas mengingatkan kita, bahwa kerusakan di muka bumi ini, buah keserakahan manusia di dalamnya. Lihatlah dampak kejahilan manusia itu, banjir bandang melanda di mana mana. Setelah Jakarta, banjir meluas hingga seluruh Jawa dan belahan wilayah di Indonesia lainnya. Semua merenggut korban harta, benda, dan jiwa yang tidak sedikit.

Bagi kaum dhuafa, kehilangan rumah karena tersapu banjir dan ladang hancur karena kekeringan, berarti akhir dari segalanya. Kebanyakan mereka amat terpukul bencana alam, karena tidak punya asuransi dan tabungan yang dapat membantu bangkit kembali.
Pendidikan anak anak dhuafa pun tercerai berai. Mereka tidak hanya harus hidup di pengungsian, tapi juga kehilangan kesempatan belajar. Banjir yang akhir akhir ini meluas, makin menambah daftar panjang kesusahan sebagian masyarakat negeri ini.

Ranah kemanusian tak lelah lelah, berpacu untuk membantu. Tapi, bencana yang tiada henti, seakan membuat gerak kemanusiaan limbung. Dahsyatnya bencana pun, kini mulai ditakar berapa banyak nyawa melayang dan peradaban yang hilang. Seruan peduli, ibarat teriakan menggema di bibir jurang menganga. Ini menyedihkan.

Bagi lembaga yang bergerak dalam kubang kemanusiaan, mestinya tak larut dalam kejenuhan itu. Seberapapun dampak bencana terjadi, ia tetap bencana yang menghadirkan kerugian dan kedukaan mendalam bagi korbannya. Tugas lembaga kemanusiaan, tetap hadir membantu semaksimal yang ia mampu. Tak boleh surut, lelah, dan menyerah.

Percayalah, masyarakat mampu kita, masih teguh nurani kemanusiaannya. Selama aktivitas kemanusiaan kita sampai pada yang berhak, transparan, dan dapat dipertanggung jawabkan, bantuan kemanusiaan itu masih akan terus mengalir.

Hati hati yang hidup, akan tetap berbagi, peduli, dan menengadah doa, untuk sesama yang tertimpa musibah. Wallahu’alam.

Read More......

Saturday, March 15, 2008

Sliwung di Simpang Jalan

Nyaris tidak ada rumah di Situbondo yang tak memasang foto KH Cholil As’ad, pengasuh Pesantren Walisongo dan KH Fawaid As’ad, pengasuh pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Keduanya, dikenal kiai paling berpengaruh di wilayah Tapal Kuda itu. Tokoh panutan, yang diyakini menuntun pada kebaikan dan kebajikan. Fatwa dan petuahnya, bak sabdo pandito ratu yang pasti akan ditaati. Wajar, jika dua sosok ini magnet kuat bagi peta politik di tanah air.


“Bagi saya, kiai adalah orang tua kedua, yang dapat memberi petunjuk pada jalan yang benar”, terang Kadar, seorang tukang becak yang mangkal di terminal bus Situbondo. Ia salah seorang korban banjir Situbondo, 9 Februari lalu. Rumahnya di Sliwung Utara, kini hilang tanpa bekas.

Gebyar foto dan karisma Sang Kiai, juga membumi di Desa Sliwung. Sebuah area yang diakui kepala desanya, Suriwan, sebagai daerah merah. Menurut Pak Tinggi (panggilan bagi kepala desa), Sliwung yang diapit gunung dan sungai, sempat menjadi sarang para m
aling sapi. Di seberang sungai Sampean Baru, yang membatasi Sliwung dengan Kotakan, adalah daerah prostitusi. Karakter masyarakat yang keras pun, membuat Sliwung makin tampak tidak aman.

“Awal jadi kepala desa, saya dihadiahi pembunuhan seorang tuna netra yang dibakar karena dituduh sebagai dukun santet”, terang Suriwan yang sudah delapan tahun menjabat kepala desa. Kasus kasus lain pun mulai beruntun. Dari maling, perselingkuhan, hingga perjudian. Tapi Suriwan bergeming.

"Perlahan, dengan sifat lembut tapi tegas, Suriwan menata Sliwung, yang dibagi menjadi tiga pedusunan. Dusun Sliwung Krajan, Sliwung Utara, dan Belibis. Dasuki, seorang warga Sliwung Utara mengakui, banyak yang berubah di bawah kepemimpinan Pak Tinggi sekarang. Sliwung tak lagi jadi tempat pelarian para maling. Kebiasaan tawuran usai adu layang layang, mulai hambar diusir rasa malu dan rugi pada diri sendiri."Meski penyakit masyarakat – seperti perjudian dan miras – masih marak, setidaknya usaha Pak Tinggi menciptakan Sliwung yang aman cukup berhasil. Tugas berat yang kini ia emban, bagaimana penyakit masyarakat itu dihilangkan dan ekonomi warga Sliwung sejahtera.

“Terus terang, penjudi yang paling banyak di desa ini ya di Sliwung Utara ini”, ungkap Suriwan di depan warga Sliwung Utara. Penegasan Pak Tinggi pun, disambut gelak tawa warganya.

“Tapi sungguh sulit saya mencegah. Saya hanya wanti wanti, yang penting desa ini aman. Itu dulu yang saya kejar”, tandasnya.

Konon, menurut warga Sliwung Utara, Umi KH Cholil As’ad, lahir di bumi Sliwung Utara. Cholil kecil, juga pernah menghabiskan masa kanak kanak di dusun ini. "Suriwan, bukan tak mau mencegah lebih keras, tapi ia harus menyelami masalah mendasar warganya. Sliwung, dari karakter alamnya mayoritas kering. Dari 500 hektar luas Sliwung, hanya 40 hektar yang dapat dijadikan area pertanian. Itu pun, mengandalkan air tadah hujan. Sudah pasti, ekonomi sulit membelit desa ini.

Profesi warga Sliwung pun aneka rupa. Tak melulu bertani, tapi juga menarik becak bagi yang tak punya lahan. Namun mbecak, juga makin sulit, tergusur becak Jepang (sepeda motor). Pendapatan mereka terus mengecil seiring hari. Kian terpuruk, tatkala ditimpuk harga sembako yang melambung. Derita pun lengkap sudah. Wajar jika Pak Tinggi sendiri tiada berdaya melarang polah tingkah warganya. Aman, cukuplah sudah.

Tapi hati kecil Suriwan masih yakin, karakter ini bisa berubah jika ada perbaikan taraf ekonomi. Caranya, dengan membangun sarana air untuk pertanian. Agar lahan di gunung yang luas itu, bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Mereka yang nganggur dan berjudi, biar sibuk menggarap ladang. Dulu, pernah ia menawarkan ke berbagai instansi, tapi menguap hingga kini. Padahal, ketersediaan air untuk pertanian, diyakini Suriwan akan mampu ubah Sliwung.

"Melihat Sliwung – khususnya Sliwung Utara – memang pedih. Lihatlah anak-anak kecil sudah berpikir, pikiran orang dewasa. Minat belajar mereka rendah. Mengaji juga tak pernah, meski banyak surau di tiap RT. Anak-anak gemar menyemir rambut, dengan warna warni. Ironisnya tidak ada orang tua yang melarang. Anak anak tumbuh liar dan sesukanya.

Dangdut kenda
ng kempul gaya Banyuwangi, dengan penyanyi yang mengumbar seksi, menyebar di pentas panggung dan VCD yang merasuk hingga tiap rumah penduduk. Anak anak, bebas melihat dan meniru liuk tariannya. Trend dalam sinetron yang diajarkan produser dan artis Jakarta melalui televisi, bagian dari racun yang juga mereka telan. Hasilnya, tatanan sosial memprihatinkan.

Saat anak anak yang suci terancam masa depannya, kebanyakan orang tua justru asyik diskusi nomor togel. Benar kata Pak Tinggi, judi mengakar di dusun ini. Mengadu pada dukun, memuja keris, batu akik, dan hal hal ghoib bagian dari tradisi yang diyakini. Foto ulama dan kiai yang dipajang sebagai penghormatan, tak mampu mencegah perilaku itu. Meski kita percaya, para kiai yang mereka kagumi akan melarang hal hal yang dilarang agama ini.

Pak Tinggi Sumringah

Di balik tugas berat yang dipanggul Pak Tinggi. Pekan terakhir ini, ia selalu tampak sumringah. Bintangnya tengah bersinar terang. Ia jadi perbincangan hangat. Dari level rakyat hingga Bupati, bahkan pemerintah provinsi. Para pejabat dan wakil rakyat, mendadak silih berganti mengunjungi desanya yang terpencil. Pun, KH Fawaid As’ad, juga turut menggelar istighozah di Sliwung Utara.

Relokasi korban banjir Situbondo yang dilakukan Dompet Dhuafa Republika (DD), satu pekan pasca banjir, Sabtu, (9/2) itu, menjadi sebabnya. Percepatan relokasi dan recovery 38 rumah, korban banjir di Sliwung Utara, menjadi percontohan pemerintah daerah. Bahkan, sekitar 1000 korban banjir di Situbondo, rencananya juga akan direlokasi di Sliwung. Tepatnya di bagian gunung, dekat Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Situbondo.

“Ini Dompet Dhuafa bikin gara gara sama saya”, celetuk Suriwan terkekeh. Suriwan merasa dapat teman untuk membangun Sliwung. Apalagi setelah Presiden DD, Rahmad Riyadi menyampaikan komitmennya untuk membuat program jangka panjang di desa ini. Ia ingin generasi Sliwung dibawa ke arah hidup yang benar. Punya masa depan dan membangun desa.

Namun, dengan karisma kiai yang demikian membumi di hati masyarakat, betapa kuat jika mereka juga terlibat langsung. Karena dengan pengaruhnya – tanpa melalui jalur politik pun – mereka mestinya mampu membangun komunitas masyarakat madani yang agamis. Kita tidak mungkin melawan kehancuran moral ini, dengan legenda kanuragan dan kesaktian. Tapi kita perlu ajaran dan teladan, yang mencerahkan dan mencerdaskan.

Read More......

Siapa Kita?

Oleh: Erie Sudewo

Tahun 70-an, muncul buku berjudul Manusia Hipokrit. Judul yang merupakan kesimpulan ini jelas berani. Bukan dipaksa dan tak pula gegabah. Karena ada kredibilitas dan integritas di baliknya. Ada tanggung jawab yang musti diusung. Mochtar Lubis sang penulis, tentu tak asal menyimpulkan. Seorang wartawan sekaligus sastrawan, yang karakternya tak bisa disungkur dengan bayonet. Juga tak bisa dibungkam dengan setumpuk uang. Jika harus mendekam di bui, itulah jalan yang dipilih.


Tabiat negatif tahun 70-an tentu tak sekasat mata saat ini. Perilaku destruktif juga belum terlanjur memasal. Tamsil ‘ada asap pasti ada apinya’, agaknya pas menggambarkan kejelian Mochtar Lubis. Setipis apapun asap, sependar apapun apinya, tetap punya makna bagi Mochtar. Sebab baranya justru digenggam sebagian policy maker. Bara di tangan rakyat jelata, hanya merusak tangan sendiri. Tapi di lengan pejabat, bisa memanggang bangsa ini.

MAW Brouwer, seorang pastoral, juga mengungkap keresahan yang sama. Dalam banyak tulisan, MAW Brouwer menyisik manusia Indonesia dari sisi psikologis. Namun apapun yang ditulis MAW Brouwer dan Mochtar Lubis atau para budayawan dan kritikus, semua tertumbur kesia-siaan. Wabah hipokrit terus melaksa, bermimikri sesuai sikon. Yang menjabat, ingin langgeng. Yang punya kekuasaan, tak mau muspro. Yang keenakkan difasilitasi, terus perdayai agar fasilitas tetap tergenggam. Yang miskin jadi pejabat, malah balas dendam. Bosan miskin maka apapun disikat.

Inti hipokrit tak lain dahulukan kepentingan sendiri. Bicara nasionalime, kini bukan zamannya. Bicara kebangsaan, pasti terlecehkan sebagai pahlawan kemalaman. Yang bicara ibu pertiwi, ibu yang mana? Tanah airku, tanah tumpah darahku, kini tinggal di lagu-lagu perjuangan ‘tempo doeloe’. Kita paham Barack Obama dan Hilarry Clinton. Tapi sungguh siapa Wiranto dan Megawati, sebagian tak paham prestasi apa yang telah mereka ukir saat menjabat dulu.

Kini kita lihat kebiasaan kita sehari-hari. Usai tidur kita gosok gigi. Lihat produk apa yang digunakan: Pepsodent, Colgate atau Close Up? Siapa pemilik merk-merk itu. Dulu ada produk nasional dari Surabaya, Siwak namanya. Tapi kini juga sudah diakuisisi PMA. Saat mandi, kita bilas dengan Lux, Lifeboy, Camay atau Dove? Rambut dikeramas dengan Sunsilk, Rejoice atau Pantene? Usai mandi, semoga kita masih gunakan handuk made in Tasikmalaya. Bila gunakan handuk Palmer maka untuk urusan mandi, seluruhnya ditangani PMA. Jangan-jangan kloset dan shower yang kita gunakan pun import. Air hangat pun dari Wika, bukan Solahart.

Sambil bersiul kita kenakan pakaian dalam. Merknya jangan-jangan Jordan atau Hanes. Lagi-lagi import. Kenakan kemeja Hugo Boss jelas keren. Dipatutkan dengan celana Nautica, gaya pun makin dendy. Tak lupa semprotan pewangi. Ada Aigner, Polo atau Versache. Kaos kaki Mark Spencer tentu makin pas dengan sepatu Lacoste. Jam tangan bisa Patek Phillip, Rolex atau Omega.

Breakfast bolehlah dengan sereal. Bubur kacang hijau, eh apa itu. Bila masih roti, semoga masih Lauw atau Tan Ek Tjoan. Jika berganti Sari Roti atau Sara Lee, itu PMA. Sebagai penghangat tentu seduhan capucino makin pas. Seperti saat santai di Starbuck atau Oh La La. Atau kalau tak mau hangat, ada juice atau yoghurt dari Malaysia dan Thailand.

Saat ke kantor, semoga masih Kijang atau Panther yang rakitan lokal. Tetapi ada Yaris, Swift, Harier dan CRV. Yang lain Mercy, BMW, Jaguar atau Lamborghini. Sampai di kantor, entah merk meja dan kursi yang diduduki. Yang pasti PC maupun laptop, bisa Lenovo, Toshiba, IBM atau Apple. Saat makan siang, kita berharap masih suka pecel Madiun. Jika Paregu atau Sizler, gaya kita makin jauh dari akar sejarah. Sementara Mc Donald, KFC dan AW sudah merangsek kemanapun.

Saat pulang, kita buka kulkas merk Sharp. Kita ambil Coca Cola dan seuntai anggur Australia. Sambil menyeruput dinginnya softdrink, kesejukan AC Mitsubishi mulai menerpa. Audio Blaupunk kita on-kan. CD Beeges mulai melantun I Started a Joke. Sambil merebahkan kepala, semua terasa nikmat. Padahal lagu Beeges itu jadi gugatan. Lelucon apa yang sesungguhnya tengah kita jalani.

Dari bangun tidur hingga mau tidur, kulit sawo matang ini gunakan produk yang 90% asing. Makin sering gesek kartu kredit, makin sedikit sentuhannya dengan pedagang kecil. Makin kaya, agaknya makin sedikit kontribusi pada ekonomi rakyat Hipokrit, ah itu istilah silam. Sekarang zamannya globalisasi. Semua musti profesional. Ada kompetisi yang tak bisa dicegah. Jika harus kerja sama dengan asing, lumrahlah. Jika harus serahkan asset negara, ya mau bagaimana lagi. Siapa diri kita? Ah bagaimana besok sajalah.

Read More......