Monday, February 26, 2007

Balada Kuli Sindang


Dari ribuan relawan yang terlibat aksi membantu korban banjir tahun ini, ada yang kelewat kesebut. Mereka para kuli sindang yang kerap melintas di jalan-jalan dan perumahan-perumahan. Dengan memikul pengki, pacul, dan sabit, kuli sindang siap menawarkan jasa membersihkan rumput dan pekarangan rumah. Berjalan berkilo-kilo meter tak kenal lelah, membiarkan badan dibakar terik matahari. Kuli sindang tetap melenggang.

Mereka biasanya datang dari Cirebon, Brebes, Banyumas, dan daerah Jawa Barat. Dengan berbekal tenaga kasar kuli sindang mengadu nasib di Ibukota. Pikirannya sederhana, di Jakarta pasti jarang orang mau bekerja kasar. Untuk mencabut rumput pun pasti membutuhkan kuli. Tetapi angan tak selalu manis, di Jakarta mencari orang yang perlu tenaga kasar ternyata juga sulit.

Selama di Jakarta kuli sindang biasanya tinggal berkelompok. Seperti komunitas kuli sindang asal Brebes yang menempati bedeng di pinggir Kalimalang Bekasi. Dengan tempat berteduh seadanya mereka bertahan untuk menjajakan tenaganya. Karena tidak setiap hari jasanya dipakai orang, kuli sindang harus bisa hidup hemat. Jika sehari dapat Rp 50 ribu, belum tentu tiga hari berikutnya segera dapat obyekan.

Sempitnya lapangan pekerjaan di kampung halaman menjadi salah satu pendorong mereka menekuni profesi ini. Sodikin, kuli sindang dari Cirebon ini misalnya, saat musim paceklik tidak ada pekerjaan lain kecuali harus merantau. Tetapi dengan hanya modal tenaga, tak banyak yang mampu dikerjakan di kota. Kecuali menjadi kuli kasar.

Namun di musim penghujan begini, mencari kerja juga sulit. Terlebih saat harga beras naik, kesulitan sudah pasti makin menghimpit. Anak dan istri tanpa harus dibayangkan, sudah memanggil sayup-sayup. Seperti yang dirasakan Kisno, kuli sindang dari desa Wlahar, Banyumas. Wajah istrinya yang panik cari pinjaman beras sudah melekat di pelupuk mata.

Tak hanya Kisno dan Sodikin yang punya cerita getir. Wartam, kuli sindang asal desa Pananggapan, Brebes juga punya epos yang sama. Merantau tak tetap di kota membuat nasib mereka makin tidak jelas. Kalau ada bantuan raskin atau bantuan lainnya mereka hanya dapat melihat dari jauh. Bukan karena tidak berhak, tetapi mereka bukan penduduk setempat. Hanya numpang sementara.

Bulan ini, di saat obyekan sepi, Kisno dan Wartam ikut bergabung jadi relawan membantu korban banjir. Bersama 100 kuli sindang lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Jateng dan Jabar mereka ikut program cash for work. Dengan perlengkapannya, para kuli sindang itu bekerja keras membersihkan lumpur, puing-puing, dan sampah bekas banjir.

“Kalau di kampung gotong royong seperti ini sudah biasa mas. Tapi kalau di kota seperti ini, kayaknya gotong royong itu aneh ya. Orang pada sibuk ngurusi dirinya masing-masing”, kata Wartam yang sudah tiga hari jadi relawan.

Setelah program relawan ini selesai, Wartam dan kuli sindang lainnya ingin segera nengok anak istri di kampung. Kabar kenaikan harga beras membuat pikiran mereka gelisah. Apalagi, hujan lebat di kampung juga merusak sebagian tanaman yang mereka tanam sebelum berangkat ke Jakarta. Padahal tujuan merantau sementara ke kota untuk mengisi sela sampai musim panen nanti tiba.

“Saat begini, yang jadi pikiran makannya anak istri. Di kampung uang belanja lima ribu itu sudah cukup, lha sekarang beras seliter harganya lima ribu lebih. Nggak bisa tidur saya kalau malam mas, anak-anak kebayang terus”, ungkap Sahroni berkaca-kaca. Gelisah di benak kuli sindang toh tak mengusik gelisah tidur mereka yang terus berbuat dhalim.

Read More......

Pasarnya Wong Alit


Bukan karena anti kemapanan, jika Bupati Bantul, Yogyakarta, Idham Samawi menolak mal dan hypermarket menancapkan cakar bisnisnya di Bantul. Ia hendak menunjukkan keberpihakan pada ekonomi wong alit (orang kecil) melalui pasar tradisional. Dengan memberi ruang pada pasar tradisional, ekonomi pasca gempa 27 Mei 2006 lalu diyakini lebih cepat membaik.

Melalui pasar tradisional, Idham Samawi melihat adanya interaksi lebih dekat. Antara pedagang dengan pembeli. Mengenal satu sama lain hingga tertaut nuansa kekeluargaan dan kebersamaan. Ada saling tawar jika satu pihak merasa kemahalan harga. Pembeli dari orang miskin juga punya kebebasan memilih sesuai kemampuan koceknya.

Mal, di mata mantan wartawan Kedaulatan Rakyat ini, juga tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya di Bantul. Dalam bertransaksi di mal misalnya. Pembeli tidak punya hak untuk menolak harga. Diatur sedemikian rupa ibarat transaksi dengan robot meski penjaga mal nya manusia. Asal tahu bandrol harga, pembeli tinggal mengambil barang pilihannya. Datang ke kasir tanpa sapa salam, membayar lantas pergi. Nyaris tanpa komunikasi dua arah.

“Sebenarnya sudah ada sembilan pengusaha yang menawarkan membangun mal di Bantul. Tetapi saya tolak karena hasilnya pasti tidak berpihak pada wong alit ”, tandas Idham Samawi usai meresmikan pasar komunitas, Pasar Kembangsari di Desa Sri Martani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Senin (19/2). Pasar ini dibangun Baznas – Dompet Dhuafa dalam tempo 110 hari yang menghabiskan dana Rp. 847.100.000.

Saat menyaksikan bentuk fisik dan desain pasar, Idham merasa menemukan visinya tentang keberpihakan. Pasar Kembangsari memang ditata tak lazim layaknya pasar-pasar umum. Los-los yang dipakai pedagang kecil menempati ruang depan. Sementara kios-kios semacam ruko menempati bagian dalam.

Tentang konsep pasar yang tidak umum ini, Presiden Baznas – Dompet Dhuafa, Ramad Riyadi mengungkapkan. “Kami menamainya pasar komunitas. Di dalamnya ada pemerataan perputaran ekonomi dengan menempatkan pedagang-pedagang kecil di bagian depan. Sehingga pedagang kecil mudah diakses pembeli. Sementara dengan dagangannya yang lebih komplit pedagang kios tetap dapat konsumen”, terang Rahmad Riyadi.

Pemilihan pasar Kembangsari ini sebelumnya melalui proses survey dan pendekatan yang alot. “Kami mensurvey delapan pasar yang rusak pasca gempa di Bantul dan Yogyakarta. Tetapi belum ada pasar yang siap dikelola secara komunitas. Sampai akhirnya kami menemukan pasar Kembangsari yang dengan komitmen kami membangunkan pasar para pedagang siap membentuk komunitas dan mengelola pasar bersama-sama”, kata Rahmad.

Bu Sukani salah seorang pedagang Nasi Kucing turut berkomentar.

Gempa niki mbeto berkah. Nek mboten wonten gempa kula nopo nggih bakal gadah peken ingkang sae”, (gempa ini juga berkah, kalau tidak ada gempa saya tidak bakal punya pasar bagus), akunya senang. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Bu Pawiro yang menempati los no 18. “Nggak pernah mimpi bakal punya pasar sebagus ini mas”, kometar pedagang lainnya, Bu Luluk yang menempati kios no 5.

Layak jika para pedagang tak mampu menyembunyikan keharuannya. Desain pasar dikemas sarat sentuhan artistik didukung struktur bangunan kuat, rapi, dan indah dengan los model payung. Pasar ini memiliki 163 los berukuran 23 x 1,5 meter dan 23 kios berukuran 3 x 2,5 meter.

Wong alit, dalam bahasa Idham Samawi selalu tergilas oleh paradigma ekonomi modern yang kerap menyisihkan pedagang-pedagang gurem. Maka ia akan membuka ruang pada siapapun dan lembaga manapun yang pasca gempa meremukkan ini, benar-benar memancangkan programnya untuk rakyat kecil di wilayahnya.

Pun, Idham mewanti-wanti masyarakatnya untuk pandai bersyukur dalam menerima bantuan orang lain yang datang tanpa pamrih. Wujud syukur, menurut Idham, harus diwujudkan dalam usaha-usaha produktif seperti di Pasar Kembangsari yang hasilnya harus diutamakan untuk investasi masa depan berupa pendidikan bagi anak-anak pedagang pasar. Pasar harus menjadi penopang ekonomi meralat generasi menjadi lebih baik.

Senada dengan Idham, Direktur Utama RRI yang juga Ketua Dewan Wali Amanah Dompet Dhuafa, Parni Hadi, dalam pengantarnya mengatakan jangan sampai adagium “kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange (sungai kehilangan lubuknya, pasar kehilangan keriuhannya)” benar-benar terjadi karena keberadaan pasar diabaikan.

Konsep pasar komunitas yang menempatkan pedagang kecil sebagai penguasa atas hasil jerih payahnya, hanyalah satu dari banyak cara yang dapat dilakukan untuk membantu masyarakat kecil. Namun semua ini bisa terjadi jika para pemimpin secara totalitas memberikan keberpihakannya. Juga tidak menjadikan penderitaan rakyat sebagai tarian proyek yang hanya memuaskan segelintir orang.

Semoga Idham Samawi dengan ketulusannya menginspirasi para pemimpin lainnya di negeri ini. Sebuah pesan yang ia hujamkan pada nurai kita, “Kalau saya harus mengelap sepatu orang sebagai tanda terima kasih karena telah membantu kesulitan masyarakat yang saya pimpin, saya akan lakukan. Saya tidak malu karena semua ini saya curahkan untuk membantu agar wong alit segera bangkit, agar wong alit merasakan keberpihakan kita”, ungkapnya dengan nada bergetar.

Idham Samawi memang bukan malaikat. Di balik kekurangan dan kelebihannya keberpihakan pada wong alit sebuah sikap yang layak diapresiasi. Di tengah tandusnya empati sebagian besar elit dan pemimpin negeri ini, keberanian berkata “tidak” pada pemilik modal menjadi sikap yang layak diteladani. Bukankah tugas pemimpin sejatinya lahir untuk membela yang lemah dan tertindas.

Read More......

Tercekik Harga Beras


Beras, kebutuhan fundamental untuk asupan hidup. Perabotan rumah boleh kosong, tinggal di kolong jembatan tak mengapa, tetapi beras mutlak harus ada. Apa yang terjadi jika segenggam beras pun tak tertanak di priuk nasi kita? Semua mafhum. Perut dihajar lapar yang akan menjalar hingga titik tertentu mengajak seseorang nekat berbuat jahat.

Di kota, yang sudah tak ada lagi sawah dan ladang, amat sulit menyiasati makanan pengganti beras ini. Maka tatkala harga beras naik, limbunglah masyarakat miskin di perkotaan. Sebagaimana Sunarti (45), ibu beranak lima yang tinggal di kontrakan sempit di bilangan Mampang Prapatan ini. Baru saja banjir merenggut harta benda yang dikumpulkan bertahun-tahun, mendadak ia menghadapi lonjakan harga beras.

“Sudah seminggu lebih nggak jualan. Pusing, apalagai grobak bakso suami rusak parah kena banjir. Heran saya, setiap habis rakyat kena musibah selalu diikuti kenaikan harga beras. Kok nelongso (sedih) hidup ini ya, mbok ya pemerintah ini ngertiin nasib kita-kita ini”, gerutu Sunarti sembari menyuapi mi instan anaknya yang paling kecil. Mi instan terakhir yang didapat dari bantuan untuk korban banjir.

Sunarti tak sendiri. Jutaan orang miskin di Indonesia menghadapi perasaan yang sama tentang kenaikan harga beras ini. Di pasar dan warung-warung sembako, harga beras dengan kualitas paling rendah sudah mencapai Rp 5.000 – Rp 6.000 per kilogram. Harga yang amat tinggi bagi orang miskin lainnya seperti Galiyem (40), janda tiga anak yang mburuh cuci dengan gaji Rp 400.000 perbulan di Pulogadung Jakarta Timur.

“Di Jakarta cari pengganti beras nggak ada. Beda dengan di kampung, ketemu banggal (batang) pisang juga masih bisa dimakan”, kata wanita yang mengaku asli dari Wonogiri. Saat sulit beras begini, Galiyem jadi ingat masa-masa pahit waktu kecil di kampung halaman. Musim paceklik, banggal pisang, banggal pepaya, sampai lumbu (daun talas kering) dijadikan bahan makanan.

Galiyem mengaku, meski tahun 1970-an itu amat getir tetapi tidak pernah merasakan cemas. Meski tanpa beras Galiyem dan keluarganya serta orang-orang senasib masih bisa mengganjal perut. Tetapi, di Jakarta kenaikan harga menjadi bencana dengan wajah berbeda.

Galiyem hidup di jaman modern. Era sejahtera yang dicerminkan oleh elit dan pemimpin negeri ini yang tak pernah tampak prihatin. Galiyem dan Sunarti tidak salah lantaran mencari perbaikan nasibnya di Ibukota. Ia hanya kurang berutung, sama seperti kita. Ada yang sukses di Jakarta, ada pula yang sampai ajal menjemput tetap miskin abadi.

Lantas, apakah yang bernasib baik sah menyalahkan, mengapa Galiyem tak kembali ke desa saja. Mengapa sudah tahu bantaran kali rawan banjir tetap saja dihuni. Mengapa Jakarta yang tak ramah pada orang susah tetap didatangi? Dan beragam pertanyaan menusuk lainnya.

Pikiran-pikiran yang kerap terucap atas dasar akal itu sekilas terdengar benar. Tetapi bukankah tiap yang bernyawa punya hak untuk hidup. Semut dan rumput sekalipun. Untuk manusia, semua punya pilihan-pilihan hidup. Tetapi muskil ada yang punya pilihan ingin hidup susah sampai akhir hayat. Kalau akhirnya miskin, toh tidak ada yang memilih hidup dalam kondisi itu.

Dalam berbagai kasus seperti banjir, orang miskin kerap ditohok sebagai yang tertuduh turut andil menghadirkan banjir. Hanya karena mereka terpaksa tinggal di bantaran kali yang padat oleh sampah. Lupakah kita siapa sejatinya penyumbang sampah terbesar yang tak terkelola dengan baik ini. Mustahil orang miskin, nilai konsumtif mereka amat rendah.

Donatur sampah terbesar adalah mereka yang punya tingkat konsumsi perbelanjaan tinggi. Orang yang tak punya kesadaran pada lingkungan. Itulah sebabnya masing-masing individu mesti menyadari telah turut andil dalam kerusakan lingkungan. Pun, juga wajib sadar diri bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Tidak cukup orang miskin saja yang dihimbau sadar, sementara kalangan atas yang notabene berpendidikan masih bebal.

Problem semacam ini tidak semestinya selalu menempatkan orang miskin sebagai tertuduh. Tingginya harga beras, juga tidak cukup dengan menghimbau orang miskin untuk sabar. Betapa kitapun merasa berat, usai terluka melihat harta benda hanyut oleh banjir, bersama itu juga harga beras naik. Diminta untuk sabarpun, sebagaimana himbauan Wapres Yusuf Kalla, kondisi demikian janganlah ditahan hingga dua bulan.

Haruskah orang miskin terus-terusan berkorban? Hanya demi melindungi segelintir pemain yang gemar menari-nari di atas luka-luka korban bencana. Dengan mencari pembenaran kenaikan harga beras dipicu bencana banjir. Bukankah untuk mendapatkan harga beras yang terjangkau, orang miskin memilih presiden, gubernur, dan walikota. Dan untuk itu pulalah mereka dipilih agar melayani dan memberikan keberpihakan pada yang lemah dan tertindas.

Bekerjalah lebih keras dan cerdas pak, agar harga beras kembali normal. Jangan tunggu bencana lebih besar karena rakyat kecil terus dianiaya harga-harga.

Read More......

Monday, February 12, 2007

Lumpuh oleh Kudeta Banjir


Jika di Thailand terjadi kudeta militer. Di Jakarta terjadi “kudeta” banjir. Luapan air sungai yang tak lagi tertampung, menguasai sudut-sudut perumahan miskin hingga kawasan elit. Dalam sepekan sarana vital di Ibukota lumpuh total. Denyut metropolitan mendadak berhenti berdetak. Sekali lagi, Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi menjadi sorotan mata dunia. Sebuah Ibukota yang hampir tiap tahun dikudeta oleh banjir.

Istana mendadak guncang. Presiden dan para pembantunya berembuk serius memutar akal bagaimana banjir bisa dikendalian. Tetapi banjir dengan keliarannya terlambat disambut. Banjir seakan lebih paham bagaimana cara memberi pelajaran telak . Pelajaran yang terus diulang tiap tahun lantaran saking bebalnya kita.

Langkah sigap pertama yang digelar bukan memanggul karung pasir untuk menahan air. Atau menggali parit pemecah serangan banjir. Seperti dalam sebuah film dokumenter, tatkala pemerintah Cina bersatu dengan militer dan rakyatnya menanggulangi banjir hebat.

Melainkan bersafari menengok luapan sungai dan rumah-rumah penduduk yang tinggal atap. Masuk ke dalam kubangan air keruh sembari menyapa tiap korban banjir yang ditemui. Berbagi senyum sebagai tanda peduli dengan sepenggal pesan, “Kita harus sabar”.

Banjir berlahan surut, safaripun berhenti. Hasil rapat panjang lebih dari tiga jam itu pun menguap. Semangat yang semula meledak-ledak mendadak surut ikut arus banjir menuju laut. Perbincangan tentang tata ruang kota kembali lengang. Hingga kini, solusi masih mandul belum mampu menelorkan cara tepat menangkal “kudeta” banjir yang akan terus terulang.

Jakarta banjir memang bukan hal baru. Kota ini dalam sejarah Jakarta sudah rutin jadi langganan banjir sejak jaman Belanda dulu. Struktur sebagian wilayah Jakarta yang berada di bawah permukaan laut, menjadikan kota ini begitu gampang diserang banjir.

Pahlawan Banjir

Ridwan Saidi, seorang Budayawan dan Tokoh Betawi menulis dalam judul artikelnya, “Banjir dan Tradisi Melayu Betawi”. Adalah seorang Kapitein Cina bernama Phoa Beng Gan yang benar-benar gelisah akan adanya banjir yang sewaktu-waktu melanda Jakarta. Dia adalah seorang ahli saluran air dari Tiongkok yang mulai menjabat Kapitein orang Cina. Di Batavia sejak tangal 4 Maret 1645 menggantikan Kapiten Lim Lak.

Gubernur Van Diemen (1636-1645) sebagaimana Gubernur sebelunnya tidak mengambil perduli terhadap persoalan banjir yang melanda Jakarta. Banjir makanan inlanders. Beng Gan sangat prihatin melihat air yang menggenangi rumah penduduk. Saban sore ia ajak sekretaris dan petani bangsa Cina berkeliling tempat dan membuat peta banjir.

Beng Gan lantas mengundang penduduk Cina untuk mengambil kata mufakat membangun saluran. Yang kaya menyumbang uang, sedangkan yang miskin menyumbang tenaga. Saluran air dibuat bergotong royong. Menurut Beng Gan, biang kerok banjir adalah tidak adanya saluran air ke laut. Tetapi, saluran yang baru dibuatnya ini ternyata berguna cuma di musim hujan. Penduduk bergembira jika musim hujan tiba, sebaliknya, jika musim panas datang, maka saluran buatan Beng Gan ini kering kerontang.

Beng Gan berpikir keras bagaimana memanfaatkan air kali Ciliwung yang mengalir melintas kampung Pejambon. Arusnya besar, tetapi sayang mengalir langsung ke laut dengan rute berbelok di daerah yang kemudian disebut Pasar Baru, Gunung Sari, sampai di Ancol, lalu bermuara ke laut. Dari tempat yang kelak bernama Harmoni, atau kampung Jaga Monyet, terus ke arah utara digali saluran air yang kemudian menjadi kali sodetan yang diberi nama Molenvliet atau Kali Penggilingan Obat Pasang.

Begitu proyek selesai, penduduk bukan main girangnya. Atas jasanya itu, Phoa Beng Gan yang oleh lidah Belanda disebut Bingam diberi persenan tanah di bilangan Tanah Abang. Beng Gan kemudian melebarkan kali Tanah Abang, di sekitar ini ia mendirikan tempat pembakaran kapur yang menjadi miliknya. Beng Gan adalah contoh orang berpangkat yang perduli dengan kesulitan yang dihadapi rakyat banyak. Demikian Ridwan Saidi menulis.

Hukum Mutlak Tegak

Jaman merambat cepat dan terus berubah. Beng Gan telah meninggal. Meski kita tak banyak tahu tentang pahlawan banjir ini, apa yang dilakukannya sarat semangat dan inspirasi. Terobosan berani yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam mencari solusi menyelamatkan rakyatnya. Dari sekadar berpikir dan terus berpikir cara mengatasi banjir.

Banjir 2007 ini, kita rasakan lebih luas sebaran dan korbannya dari 2002 lalu. Masyarakat miskin pun bangkrut oleh tragedi alam ini, yang oleh Menkokesra Aburizal Bakrie dikata banjir biasa. Atas asumsi, rakyat miskin korban banjir masih bisa tersenyum dan tertawa.

Banjir, ibarat “kudeta” alam yang tak terelakkan, selama kita terus melakukan perbuatan dhalim pada lingkungan hidup. Kudeta banjir akan terus terulang, tanpa aturan dan hukum yang tegak secara hakiki. Buang sampah dan limbah pabrik sembarang tempat mesti ditindak tegas. Mendirikan rumah di bantaran kali harus dilarang. Demikian pula pengusaha real estate yang mendirikan apartemen di atas tanah resapan air juga harus disiapkan tirai besi.

Pun sampai remeh temeh seperti menebang pohon tidak boleh dilakukan sembarangan kendati di pekarangan sendiri. Harus dengan tegas ditindak barang siapa yang menutup "setu", dan daerah resapan air lainnya, termasuk hutan lindung kota. Jakarta yang dibelah oleh 14 sungai juga sudah seharusnya membutuhkan manajemen pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang konsisten dan berkelanjutan.

Jika hukum tidak diberlakukan dengan tegas, tanpa pandang bulu, “kudeta” banjir akan datang lebih dahsyat. Jangan tunggu sejarah kelak mencatat, Ibukota Jakarta lenyap oleh “kudeta” banjir. Wallahu’alam

Read More......

Sembilu Aburizal Bakrie


Kang Karmun terbelalak. Wajahnya memerah menahan amarah. Nyaris ia bangkit berdiri untuk membanting televisi yang tengah menyiarkan berita liputan petang di SCTV. Suasana di dalam kontrakan adik Kang Karmun di bilangan Cimanggis, Depok itu sempat tegang. Berita di televisi menjadi pemicu meledaknya amarah itu.

Karmun bersama istri dan dua anaknya sengaja mengungsi lantaran rumahnya di Mampang habis dilalap banjir yang mengepung Jakarta sejak Jumat (2/2) lalu. Tak ada yang dapat diselamatkan kecuali selembar pakaian yang nempel di badan. “Dasar menteri tak punya hati nurani!”, umpatnya kesal.

Rupanya pernyataan Menkokesra Aburizal Bakrie tentang, banjir di Jakarta masih biasa saja karena para korbannya masih bisa tersenyum dan tertawa yang menyulut kemarahan Karmun. Statement seorang pejabat seperti di televisi itu, bagi korban banjir seperti Karmun memang amat menyakitkan.

Tersenyum dan tertawa, sebuah prilaku misteri. Ia bisa mewakili rasa puas dan bahagia. Tetapi, jika nurani kita menyelami lebih dalam, sungguh muskil ada orang puas dan bahagia karena dilanda bencana. Sebaliknya, senyum dan tertawa dapat pula mewakili sindiran dan cemoohan. Jangan-jangan, para korban banjir tertawa lantaran mentertawakan ketidakmampuan pejabat yang hanya sekadar numpang lewat.

Karena senyum dan tertawa itu misteri, maka menghadirkan beragam penafsiran. Aburizal Bakrie mengukur dampak banjir dengan barometer senyum dan tawa korban banjir. Jika korban banjir yang harta bendanya lenyap masih tertawa, itu artinya dampak banjir belum luar biasa. Cukup mudah bukan. Jika saja Pak Menteri sempat lama bergumul di kubangan banjir, bisa jadi pernyataan yang keluar akan berbeda.

Namun, tertawa bisa juga mewakili stress diri. Lihatlah orang-orang yang bangkrut tetapi lemah imannya. Ia akan bengong kemudian meledakkan tawa. Malah ada yang sampai bunuh diri. Atau orang-orang yang diuji Allah karena kurang ingatan, ia hanya bisa menjalani hidup di dunia ini dengan tertawa. Lantas, apakah ia kita kata bahagia?

Jadi, Kang Karmun, maafkanlah Pak Ical, ia telah melihat bencana banjir ini dari perspektif jiwa malaikat. Pada tingkatan batinnya, kehilangan harta benda sudah bukan hal yang berarti. Beda dengan Kang Karmun, yang akan menyesal hanya karena kehilangan uang seratus perak. Karena penghasilan Kang Karmun amat kecil.

Berbeda juga dengan tertawanya anak-anak yang berkubang di dalam banjir. Bagi anak-anak kurang mampu, banjir telah menjadi arena bermain dan berenang yang gratis. Tanpa perlu merengek minta uang ke orang tuanya untuk menyewa kolam renang, mereka dapat bermain air sepuasnya. Tanggalkan dulu pikiran jorok dan sakit, mereka sudah lupa itu saking beratnya beban hidup.

Jika Pak Menteri memakai pikiran anak-anak ini, tertawanya korban banjir memang benar tertawa bahagia. Tetapi, bagi para orang tua yang makin hari dililit ekonomi sulit, sungguh banjir ini telah melumpuhkan sendi kehidupan. Kalau toh tertawa, tawa itu amat pahit. Mesem itu kecut. Dan tawa yang justru mentertawakan para pejabat yang hanya mampu bersafari dalam kondisi banjir begini.

Maka, tak perlu malu meminta maaf pada orang-orang kecil yang ditimpa musibah dan disakiti hatinya. Jangan sampai, doa mereka yang teraniaya menembus pintu langit hingga Allah menurunkan azab pada orang-orang dhalim. Orang-orang yang telah menyakiti dan menyepelekan penderitaan masyarakat kecil yang ditimpa bencana. Astaghfirullah.

Read More......

Saturday, February 10, 2007

Muara Gembong yang Terabai



Saya ajak Anda berihlah sejenak menengok korban banjir di Muara Gembong. Sajian dalam foto-foto di bawah ini semoga menghadirkah hikmah bagi kita. Adakah yang dapat memberi harapan untuk warga desa pantai Harapan?

Read More......

Muara Gembong, Maafkan Kami



Banjir boleh surut di Jakarta. Tetapi di Muara Gembong Bekasi, perlu waktu kurang lebih 40 hari. Dari sejak air berwarna kuning keruh hingga berubah jernih. Saat heboh berita menyuguhkan pada pembaca dan pemirsa tentang dampak banjir di Jakarta, Muara Gembong nyaris terabai. Media kita terlihat lebih asyik berkutat di pusat-pusat kota. Tetapi memang itu juga amat perlu.

Saya tak hendak bercerita tentang Muara Gembong yang 1300 hektar lebih lahannya terendam banjir. Area sawah rusak parah menjadi hamparan banjir bak lautan. Saya ingin membagi perih tentang Desa Pantai Harapan, Muara Gembong. Dari data yang saya himpun dua hari, ada 1198 rumah terendam air setinggi 1 – 2 meter. Kebanyakan rumah masih terbuat dari bilik bambu. Itu artinya komunitas masyarakat miskin.

Jumlah korban meninggal 1 jiwa. Ada 8 rumah roboh dan 1 rumah terbakar karena konsleting listrik. Saya ingi membandingkan banjir yang menjadi headline di sebuah televisi tentang banjir di Depok. Karena saya tinggal di depok saya dapat membandingkan dampak banjir ini. Sangat jauh, belum sebanding dengan desa Pantai Harapan. Ditilik dari jumlah rumahnya saja sudah terlihat bedanya.

Saya ingin menyuarakan keluh kesah masyarakat desa itu. “Berita kurang adil”, kata Putra ketua RT setempat. Lantaran tak banyak diberitakan, tak banyak orang peduli untuk mengirim bantuan ke sana. Padahal 40 hari menunggu air surut adalah sebuah penantian panjang. Tak pelak saya dicecar habis karena dianggap ikut andil tak memberitakan Muara Gembog.

Saya hanya mesem kecut sembari membatin. “Hmmm… inikah kado ulang tahunku hari ini, 9 Februari 2007?”

Read More......

Awas Listrik!


Kabel listrik yang melintas di tiang itu aktif tidak dipadamkan. Di Jakarta selama banjir listrik mati. Tetapi di Desa Pantai Harapan listrik tak dipadamkan. Sudah ada dua korban jiwa meninggal karena tersengat arus listrik. Meski air setinggi paha di dalam rumah, listrik tetap menyala. Saya tanya pada tokoh setempat. “Listrik yang melalui desa ini tak mungkin dipadamkan mas. Nanti wilayah lain bisa ngamuk soalnya aliran listrik mereka melintasi desa ini”, kata Rohmin. “Ya, orang miskin dan kecil macam kita memag harus selalu berkorban ya pak untuk menyelamatkan kepentingan orang lain”, hibur saya pahit. Kalau Presiden SBY tahu taruhan nyawa untuk warga desa ini apa ya kira-kira komentarnya?

Read More......

Bocah Muara Gembong



Di balik curah getir para orang tua mereka. Keriangan tak dapat ditepis dari wajah bocah-bocah desa Pulau Harapan, Muara Gembong, Bekasi. Ada yang telanjang sembari main rakit batang pisang, ada pula yang bermain dengan mendayung sampan. Sampan yang terlihat lewat itu berada tepat di jalur jalan desa yang telah berubah jadi lautan air tawar.

"Masalah baru akan tiba pasca banjir", kata ketua RT setempat. Bibit penyakit akan menyerang usai banjir surut. Maka perhatian akan medis kelihatannya perlu diprioritaskan dalam waktu dekat. Gatal-gatal dan diare jenis penyakit yang jadi langganan. Bantuan medis setelah banjir wajib diagendakan. Doakan kami diberi kekuatan dan kesehatan untuk bersua kembali dengan membawa medis bagi warga Muara Gembong.

Read More......

Nasi Bungkus



Setelah tiga hari tidak makan lantaran tak ada bantuan yang masuk. Nasi bungkus amat berarti mengganjal perut perih yang lama ditahan-tahan. Hanya karena tempatnya yang jauh dan tak terberitakan hingga mereka nyaris terabai. "Coba kalau desa kita mudah dijangkau pak, pasti selain banjir air juga banjir bantuan. Tapi kami ini orang kecil, tempatnyapun di ujung berung, ya sudah nasib kalau toh ada yang sampai mati siapa peduli", curhat Kang Mamat.

Read More......

Debok Pisang


Masih tentang foto Debok Pisang. Selain untuk berpijak, juga bermanfaat untuk alas mandi, mencuci pakaian, piring, dan menyeberang ke rumah tetangga.

Read More......

Debok Pisang Saat Banjir


Debok Pisang.

“Biasanya batang pisang bertahan paling lama empat hari”, kata Sarto. Debok (batang) pisang, amat bermanfaat untuk rakit dan alas untuk berpijak di atas air.

Read More......

Desa Pantai Harapan


Lebih dari 350 hektar sawah menjadi lautan di Desa Pantai Harapan, Bekasi. Saya bersama relawan Dompet Dhuafa Republika mendirikan posko dapur umum. Dari titik-titik aksi banjir, di desa ini kami merasakan suasana yang berbeda. Masyarakat tanpa dikomando bergotong royong memasak logistik yang dikirim Dompet Dhuafa. Hanya ada 1 titik tak tergenang banjir, yakni di Masjid yang menjadi posko dapur umum. Praktis masyarakat tak dapat memasak karena air di dalam rumah yang tak kunjung surut.

Untuk distribusi bantuan, sampan kayu yang rapuh sangat efektif menyeruak semak belukar ke rumah-rumah penduduk.

Read More......

Wednesday, February 07, 2007

Tertawalah Riang Mumpung Banjir


Berenang bagi sebagian anak-anak kurang mampu di Indonesia sebuah keinginan mewah. Arena renang meskipun meruyak di sekitar kita, belum tentu anak-anak seperti Rendi ini mampu menyelami jernih airnya. Beruntung banjir bermurah hati meluapkan keruh airnya hingga masuk ke dalam perumahan-perumahan elit. Nalar kita yang dewasa, ini musibah. Tapi bagi Rendi, apa pedulinya? Kapan lagi bisa berenang gratis macam ini.

Lantas kita yang menonton dari jauh suka nyeletuk. Ih, apa gak takut kalau masuk angin, sakit, dan aneka kehawatiran lainnya. Tetapi kita kerap lupa, justru anak-anak yang akarab dengan alam lebih kebal terhadap penyakit ketimbang anak-anak yang hidupnya dipenjaran aturan tentang kesehatan. Jadi? Allah SWT punya keadilan dan kekuasaan.

Berenanglah Rendi hingga banjir tinggal lumpur... dan tertawalah dengan riang... karena untuk tertawapun di negeri ini kamu mesti membayar.

Read More......

Nerabas Macet


Sabtu (3/2), Sepanjang jalan yang melintas Kalimalang dekat Universitas Borobudur macet total lebih dari lima jam. Tak pelak, penumpang angkutan umum memilih berjalan kaki di luar pagar jalan. Kendaraan baru bisa merambat pukul 17.30. Dampak Banjir

Read More......

Evakuasi Korban Banjir


Aldi, bayi berumur 6 bulan berhasil dievakuasi dari rumahnya di Cipinang Melayu oleh Marinir Brigif II Cilandak.

Read More......

Merendam Ibukota


Ini Februari 2007. Banjir hampir menenggelamkan Jakarta. Kita tak tahu, apakah esok banjir akan benar-benar menjadikan Ibukota lautan air? Tidak mustahil selama tata kota di jantung Indonesia ini diurus dengan cara fikir bancaan dan bagi-bagi proyek bisa jadi benar. Toh penentu kebijakan tetap saja tak peduli. Ia akan lupa dan abai seiring surutnya air. Menunggu banjir bandang berikutnya tiba, lantas kantor gubernur dan istana negara sibuk. Penghuninya mendadak berpikir keras tentang strategi mengatasi banjir. Dan, sekali lagi, tatkala banjir lenyap, mereka akan mandul ide dan solusi. Terus terulang, hingga kelak lahir pemimpin sejati. Tapi kapan? Bukankah bangsa kita lebih memilih kardus ketimbang isinya?

Read More......

Thursday, February 01, 2007

Surga yang Tergusur


Rel kereta api, kolong jembatan, tempat pembuangan sampah, dan bantaran kali, ibarat surga bagi yang tak berdaya. Ruang kosong tak bertuan itu amat berati sebagai istana. Tempat berteduh, beranak pinak, merancang hidup, dan menatah generasi. Nuansanya makin bestari di pusat Ibukota dan kota-kota besar di Indonesia. Apa gerangan yang membuat sebagian orang mencintai tempat-tempat sarat bahaya itu?

Rel kereta api. Tatkala kereta api melaju, tak ada yang dapat mengerem hingga tiba di stasiun berikutnya. Mobilpun diseruduk, apalagi seorang manusia yang lewat. Pasti tewas. Meski kesan ganas itu nyata, ada pula yang tak punya cemas. Lantaran, di jalur yang tiap saat dapat merenggut maut itu rezeki rasanya mudah dicari.

Layak, jika Tarmuji (50) betah mendiami rumah bedeng di bilangan Pasar Gaplok, Senen, Jakarta Pusat selama 17 tahun. Dalam kurun itu, ia mampu membiayai sekolah empat anaknya. Tarmuji menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL) di pinggiran rel kereta api yang jaraknya tak lebih dari 1 meter.

Lelaki asal semarang itu bertutur. Hidup dalam kondisi miskin harus pandai bersiasat. Agar dapat rezeki halal dan berkah. Tak perlu ada yang ditakuti, karena miskin itu sendiri sudah horor yang mengerikan. Jika terompet kereta sudah melengking dan moncong lokomotif mulai tampak, Tarmuji dan pedagang lain bergegas mundur. Tatkala kereta lewat, kembali ke posisi semula menjajakan dagangan.

Terus menerus taktik maju mundur itu dilakoni. Hingga akhirnya, Rabu (31/1) strategi Tarmuji benar-benar berhenti. Ia dan ratusan PKL lainnya tak dapat lagi maju dan mundur. Tak pula ia mampu berkelit menyaksikan gubuk dan lapaknya diobrak-abrik. Ia pun pasrah menyaksikan ladang surganya tergusur. Detak jarum jam Tarmuji seperti telah berhenti hari itu.

Merangkai nasib di antara rel kereta api tak kalah getir dengan merajut hidup di bawah kolong jembatan. Dengan modal kardus dan triplek bekas, dinding istana mulai dibangun. Jembatan berubah jadi atap teduh yang damai untuk sekadar tidur. Demikian pula di tempat pembuangan akhir sampah dan bantaran kali. Esok hari dengan karung dan gerobak penghuninya siap memulung sampah. Sebagian ada yang menadah tangan menjadi pengemis.

Dalam beberapa waktu, mereka yang kebanyakan kaum pendatang boleh merasa lega. Dapat tempat tinggal gratis seadanya. Tetapi, jantung kota tak boleh kotor. Haram rasanya jika tampak komunitas kumuh menyesaki kota. Keberadaan mereka bisa dicap sebagai sampah. Tak jauh beda dengan yang mereka pulung saban hari. Karenanya harus disapu dan dibersihkan. Maka relakan surga-surga itu digusur.

Memang, tempat-tempat rawan bahaya seperti rel kereta api dan bantaran kali selalu diincar kaum yang nekat. Kemiskinan akut biasanya mendorong mereka berani melawan apapun. Karena hanya keberanian dan kenekatan itulah yang tinggal tersemat di raga mereka. Tanpa itu, siapa yang berani bertanggung jawab mencukupi kebutuhan hidupnya. Toh pemerintah tak pernah menjamin.

Sebagaimana seorang menteri pernah bergurau dalam obrolan informal. “Yang diamanahkan menanggung hidup anak-anak terlantar dan fakir miskin sebagaimana isi UUD 45 itu kan negara, memang itu tugasnya. Kalau kami ini kan pemerintah”, kelakarnya polos seperti tanpa dosa.

Kita dipaksa mafhum. Kota sepertinya tidak ditata untuk orang-orang miskin tinggal. Tata kota mesti steril dari pemandangan-pemandangan kumuh. Jangan ada orang miskin mendekat apalagi tinggal. Pasar rakyat tak boleh menggelar dagangan di pusat kota. Tetapi keberadaan mal dan hypermarket menjadi wajib. Karena ia perlambang status masyarakat. Urusan adil dan keberpihakan? Itu cukup jadi peluru politik saat kampanye saja.

Maka, penggusuran demi penggusuran bak teater yang menyuguhkan kisah tentang rakyat kecil membantai sesamanya. Mata kita amat akrab melihat jerit tangis yang meronta-ronta dari orang-orang yang mempertahankan miliknya. Harta benda yang bertahun-tahun dikumpulkan dari perasan peluh, doa, dan air mata dalam sekejap musnah. Tidak karena bencana alam, melainkan oleh perampasan dan penindasan.

Satpol PP yang kerap jadi eksekutor itu tak pelak dimaki dan ditinju. Mereka yang hanya prajurit sesungguhnya sama-sama dalam posisi tidak berdaya. Sebagaimana, Suripto seorang Satpol PP DKI Jakarta berkisah. Ia kerap menangis dan memohon ampun dalam sholatnya. Tangisan dan rontaan nenek-nenek PKL di Pasar Minggu yang pernah ia obrak-abrik lapaknya masih membayangi hidupnya.

“Dia memegangi tangan saya. Menangis dan mohon ampun, tetapi instruksi harus dijalankan. Wajah nenek itu seperti wajah ibu saya di kampung. Saya terus merasa berdosa, siapa yang harus bertanggung jawab pada semua ini. Tetapi keluarga saya juga butuh hidup”, kisahnya mengenang kejadian dua tahun lalu.

Salahkan Suripto dan teman-temannya yang selalau garang saat di lapangan itu? Ada pembenaran yang kerap dipakai untuk menggusur surga orang-orang kecil itu. Pemerintah melakukan itu dengan klaim bahwa mereka berusaha menegakkan ketertiban umum, memindahkan pedagang yang tidak sah dari lahan milik pribadi maupun tanah negara, atau mengosongkan lahan untuk proyek-proyek infrastruktur.

Pada saat yang sama, pembangunan sarana perkotaan di Jakarta misalnya, lebih berat pada aspek formal, seperti membangun mal, plaza, dan hypermarket. Padahal, dalam beberapa hal, sebagian besar masyarakat menyukai bentuk jual beli yang ada di pinggir jalan. Ini terkait dengan kehidupan sosial budaya masyarakat kita sejak zaman dulu.

Sudah semestinya pemerintah sadar bahwa maraknya PKL di Jakarta karena secara fungsional mereka dibutuhkan. Banyak warga kelas menengah ke bawah yang membeli kebutuhannya dari PKL. Sementara banyak mal, plaza, atau hypermarket yang keberadaannya justru tidak disertai ruang bagi para PKL.

Bagaimanapun, rumah bedeng dan PKL telah menjadi surga bagi hidup rakyat kecil. Surga yang terus digusur dengan meninggalkan dendam sosial yang membara.

Read More......

Tugimin dan Kamera Tua


“Anak saya kuliah sarjana hukum di Purwokerto mas”, kata Tugimin (50) membuka cerita. Bapak beranak lima yang tinggal di Kota Lahat ini berprofesi sebagai fotografer keliling. Ia menekuninya sejak 10 tahun terakhir. Saat sepi order ia menjadi kuli bangunan atau mburuh mencangkul di ladang orang.

Aslinya ia orang Brebes. Sejak kecil Tugimin dibawa orang tuanya transmigrasi ke Lahat, Sumatera Selatan. Namun, ia dan keluarganya bukan golongan transmigran yang sukses. Sampai-sampai Tugimin tak tamat sekolah dasar. Ia hanya dapat baca dan menulis sebisanya. Tidak indah tetapi perlu pelan-pelan untuk membacanya, karena semrawut.

Hidup susah, sudah suratan hidup. Namun, semangat membumi di benaknya. Doanya tak putus-putus agar anak cucu tak mewarisi kegetirannya. Dambaan setiap orang susah yang punya semangat merubah nasib. Kepiawaian memotret dengan kamera Nikon tua, ia pelajari secara otodidak. Hasilnya ia dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat SMA.

Bertutur putranya yang calon sarjana hukum, Tugimin amat semangat. Juga kadang terlihat sedih. Anak pertamanya itu hanya mampu ia biayai sampai SMA. Untuk biaya kuliah Tugimin mengaku pasrah.

“Kadang, sama istri sebelum tidur saya suka ngomongin Santoso. Oalah nak, kamu punya tekad sekolah tinggi tapi bapak nggak mampu biayai. Kamu tinggal di mana, makan apa, terus biaya kuliahmu dari mana. Hancur rasanya hati saya”, kata tugimin berkaca-kaca.

Tetapi Santoso memang setegar namanya. Putra Tugimin bukan pecundang yang menyerah pada kemiskinan. Kesulitan hidup malah melecut Santoso untuk segera merampungkan gelar sarjananya. Esok ia cepat bekerja dan kembali ke Lahat menjawab doa-doa orang tuanya.

Dituturkan Tugimin. Santoso di Purwokerto kini tinggal di Masjid sebagai marbot. Lumayan, menghemat biaya tanpa perlu mencari biaya untuk bayar kos. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Santoso selalu ringan tangan membantu orang. Dari macul di sawah sampai motong rumput dilakoni.

Suatu ketika, Tugimin menengok putranya itu. Dicari di masjid tempatnya tinggal tidak ada. Ternyata Santoso sedang keluar masuk kampung mencari dagangan. Dengan keranjang di sepeda pancal, Santoso membeli aneka macam buah-buahan dari rumah-rumah warga untuk dijual lagi ke pasar. Lumayan, hasilnya bisa buat tambah biaya kuliah.

“Sabar ya San. Maapin bapak sama emak tidak bisa bantu kuliah kamu. Adik-adikmu biaya sekolahnya juga mulai tambah besar. Obyekan foto sekarang juga tidak ramai lagi, apalagi kamera bapak sudah tua, kalah sama yang digital. Kamu yang sabar, bapak cuma bisa kirim doa”, pesan Tugiman pada putranya.

“Santoso nggak marah sama bapak dan emak. Jangan pikirin saya, doa saja sudah cukup. Insya Allah tinggal skripsi pak, sebentar lagi Santoso lulus jadi sarjana hukum. Bapak sama emak bangga to?” jawab santoso yang dibalas anggukan Tugimin.

Bagi Tugimin, punya anak mandiri dan sholeh sudah anugerah yang luar biasa. Ia berencana, kamera tuanya tidak akan dijual sebelum dapat mengabadikan wisuda Sarjana Hukum Santoso.

“Kamera ini saya beli dengan cucuran keringat mas. Kamera ini tidak hanya mengabadikan sejarah orang, tetapi juga menjadi cacatan sejarah pahit getir keluarga dan anak-anak saya. Bersyukurlah mas tidak sampai mengalami nasib segetir Santoso”, kata Tugimin yakin.

Saya hanya mesem kecut. “Kang Tugimin ini bisa aja. Saya dari SMP sampai kuliah merampungkan pendidikan dengan biaya dari kerja mbabu di Surabaya dan Jakarta kok kang. Kita sama-sama orang susah”, jawab saya sembari merangkul pundaknya. Tugimin pun kaget. “Oo…”.

Read More......

Rasulullah dan Orang Miskin

Di antara misi terpenting Islam, salah satunya membela, menyelamatkan, membebaskan, melindungi, dan memuliakan kelompok yang lemah dan menderita (dhuafa). Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan bahwa Allah hanya menerima sholat dari orang-orang yang menyayangi orang miskin, ibnu sabil, wanita yang ditinggalkan suaminya, dan yang menyayangi orang yang ditimpa musibah.

Ketika Nabi Musa as bertanya kepada allah SWT, “Tuhanku, di mana aku harus mencari-Mu”. Lalu Allah menjawab, “carilah Aku di tengah-tengah mereka yang hancur hatinya”. Dalam kitab Adz-dzull wa al-Inkisar li al-Aziz al-Jabbar al-Khusyu fi al-Shalah karya Ibn Rajab al-Hambali, Ibnu Majah meriwayatkan dari hadis Abu Sa'idah al-Khudri r.a., bahwa Nabi saw., pernah mengucapkan doa, "Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan bangkitkanlah aku bersama orang-orang miskin."

Nabi saw., sangat memerhatikan dan menyayangi orang miskin. Hal ini tercermin dari doa yang disampaikannya bahwa ia ingin hidup dan mati dalam keadaan miskin, perhatikanlah orang miskin karena doa orang miskin dikabulkan oleh Allah SWT. Bahkan dalam Alquran surat al-Ma'un ayat 1 dan 2 dijelaskan, "Tahukah kamu siapa orang yang mendustakan agama? Orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin”.

Alquran sangat memerhatikan nasib orang miskin, sehingga Alquran mengisyaratkan bahwa orang yang tidak memerhatikan orang miskin adalah orang yang mendustakan agama. Artinya, jika orang Muslim tidak mengayomi, memerhatikan, dan peduli terhadap nasib orang miskin, ia di hadapan Allah akan dikelompokkan kepada orang yang berdusta dan berbohong dalam beragama.

Rasulullah dalam membela kelompok masyarakat yang tertindas, selalu membangkitkan harga diri rakyat kecil dan dhuafa. Ia senantiasa bersama orang-orang lemah. Pada suatu hari para sahabat melihat Nabi sedang memperbaiki sandal anak yatim, lain kali menjahit baju janda tua yang miskin. Bila masuk masjid Rasul memilih kelompok orang miskin, dan di sanalah ia duduk. Digembirakannya mereka, dipeluknya, hingga kadang-kadang Rasulullah tertawa bersama mereka.

Sebagai pemimpin orang kecil, Nabi memilih hidup seperti mereka. Ia hidup amat sederhana, lantaran ia mafhum sebagian besar sahabatnya masih menderita. Ditahannya rasa lapar berhari-hari, karena ia tahu sebagian sahabatnya juga tidak makan berhari-hari. Suatu hari, sepulang perjalanan jauh ia dijamu oleh Aus bin Khaulah dengan susu dan madu. Rasulullah menolaknya, “Aku tak mengatakan bahwa ini haram, tetapi aku tak ingin pada hari kiamat nanti, Allah bertanya kepadaku tentang hidup berlebihan di dunia ini. (HR Ahmad bin Hambal).

Menyelami gaya kepemimpinan Rasulullah, dalam konteks kekinian kita amat merindukan pemimpin yang mampu meneladani Beliau. Pemimpin yang adil dan senantiasa berpihak pada yang lemah dan menderita. Pemimpin yang mendahulukan hajat hidup rakyat, daripada kepentingan pribadi, politik, kelompok, dan golongan. Pemimpin yang berani tampil di depan sebagai garda perubahan budaya dan nilai-nilai kemandirian. Kita amat rindu.

Kitapun luruh dan takut tatkala ingat wasiat Rasulullah, “Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia serta rakus dalam mengumpulkan harta, maka mereka akan ditimpa empat bencana. Yakni, zaman yang berat, pemimpin yang dhalim, penegak hukum yang khianat, dan musuh yang mengancam”.

Astaghfirullah. Jika demikian sungguhkah kondisi kita hari ini sebagaimana rambu-rambu yang disabdakan Nabi? “Ya Allah ampunilah dosa-dosa kami dan dosa pemimpin kami serta tegurlah mereka agar kembali ke jalan-Mu dan memihak orang-orang yang tertindas”. Wallahu’alam.

Read More......