Monday, February 26, 2007

Tercekik Harga Beras


Beras, kebutuhan fundamental untuk asupan hidup. Perabotan rumah boleh kosong, tinggal di kolong jembatan tak mengapa, tetapi beras mutlak harus ada. Apa yang terjadi jika segenggam beras pun tak tertanak di priuk nasi kita? Semua mafhum. Perut dihajar lapar yang akan menjalar hingga titik tertentu mengajak seseorang nekat berbuat jahat.

Di kota, yang sudah tak ada lagi sawah dan ladang, amat sulit menyiasati makanan pengganti beras ini. Maka tatkala harga beras naik, limbunglah masyarakat miskin di perkotaan. Sebagaimana Sunarti (45), ibu beranak lima yang tinggal di kontrakan sempit di bilangan Mampang Prapatan ini. Baru saja banjir merenggut harta benda yang dikumpulkan bertahun-tahun, mendadak ia menghadapi lonjakan harga beras.

“Sudah seminggu lebih nggak jualan. Pusing, apalagai grobak bakso suami rusak parah kena banjir. Heran saya, setiap habis rakyat kena musibah selalu diikuti kenaikan harga beras. Kok nelongso (sedih) hidup ini ya, mbok ya pemerintah ini ngertiin nasib kita-kita ini”, gerutu Sunarti sembari menyuapi mi instan anaknya yang paling kecil. Mi instan terakhir yang didapat dari bantuan untuk korban banjir.

Sunarti tak sendiri. Jutaan orang miskin di Indonesia menghadapi perasaan yang sama tentang kenaikan harga beras ini. Di pasar dan warung-warung sembako, harga beras dengan kualitas paling rendah sudah mencapai Rp 5.000 – Rp 6.000 per kilogram. Harga yang amat tinggi bagi orang miskin lainnya seperti Galiyem (40), janda tiga anak yang mburuh cuci dengan gaji Rp 400.000 perbulan di Pulogadung Jakarta Timur.

“Di Jakarta cari pengganti beras nggak ada. Beda dengan di kampung, ketemu banggal (batang) pisang juga masih bisa dimakan”, kata wanita yang mengaku asli dari Wonogiri. Saat sulit beras begini, Galiyem jadi ingat masa-masa pahit waktu kecil di kampung halaman. Musim paceklik, banggal pisang, banggal pepaya, sampai lumbu (daun talas kering) dijadikan bahan makanan.

Galiyem mengaku, meski tahun 1970-an itu amat getir tetapi tidak pernah merasakan cemas. Meski tanpa beras Galiyem dan keluarganya serta orang-orang senasib masih bisa mengganjal perut. Tetapi, di Jakarta kenaikan harga menjadi bencana dengan wajah berbeda.

Galiyem hidup di jaman modern. Era sejahtera yang dicerminkan oleh elit dan pemimpin negeri ini yang tak pernah tampak prihatin. Galiyem dan Sunarti tidak salah lantaran mencari perbaikan nasibnya di Ibukota. Ia hanya kurang berutung, sama seperti kita. Ada yang sukses di Jakarta, ada pula yang sampai ajal menjemput tetap miskin abadi.

Lantas, apakah yang bernasib baik sah menyalahkan, mengapa Galiyem tak kembali ke desa saja. Mengapa sudah tahu bantaran kali rawan banjir tetap saja dihuni. Mengapa Jakarta yang tak ramah pada orang susah tetap didatangi? Dan beragam pertanyaan menusuk lainnya.

Pikiran-pikiran yang kerap terucap atas dasar akal itu sekilas terdengar benar. Tetapi bukankah tiap yang bernyawa punya hak untuk hidup. Semut dan rumput sekalipun. Untuk manusia, semua punya pilihan-pilihan hidup. Tetapi muskil ada yang punya pilihan ingin hidup susah sampai akhir hayat. Kalau akhirnya miskin, toh tidak ada yang memilih hidup dalam kondisi itu.

Dalam berbagai kasus seperti banjir, orang miskin kerap ditohok sebagai yang tertuduh turut andil menghadirkan banjir. Hanya karena mereka terpaksa tinggal di bantaran kali yang padat oleh sampah. Lupakah kita siapa sejatinya penyumbang sampah terbesar yang tak terkelola dengan baik ini. Mustahil orang miskin, nilai konsumtif mereka amat rendah.

Donatur sampah terbesar adalah mereka yang punya tingkat konsumsi perbelanjaan tinggi. Orang yang tak punya kesadaran pada lingkungan. Itulah sebabnya masing-masing individu mesti menyadari telah turut andil dalam kerusakan lingkungan. Pun, juga wajib sadar diri bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Tidak cukup orang miskin saja yang dihimbau sadar, sementara kalangan atas yang notabene berpendidikan masih bebal.

Problem semacam ini tidak semestinya selalu menempatkan orang miskin sebagai tertuduh. Tingginya harga beras, juga tidak cukup dengan menghimbau orang miskin untuk sabar. Betapa kitapun merasa berat, usai terluka melihat harta benda hanyut oleh banjir, bersama itu juga harga beras naik. Diminta untuk sabarpun, sebagaimana himbauan Wapres Yusuf Kalla, kondisi demikian janganlah ditahan hingga dua bulan.

Haruskah orang miskin terus-terusan berkorban? Hanya demi melindungi segelintir pemain yang gemar menari-nari di atas luka-luka korban bencana. Dengan mencari pembenaran kenaikan harga beras dipicu bencana banjir. Bukankah untuk mendapatkan harga beras yang terjangkau, orang miskin memilih presiden, gubernur, dan walikota. Dan untuk itu pulalah mereka dipilih agar melayani dan memberikan keberpihakan pada yang lemah dan tertindas.

Bekerjalah lebih keras dan cerdas pak, agar harga beras kembali normal. Jangan tunggu bencana lebih besar karena rakyat kecil terus dianiaya harga-harga.

No comments: