Monday, January 29, 2007

SBY dan Sutrisno


Sutrisno tampak berapi-api bicara tentang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presidennya kini. Betapa ia bangga punya kesamaan dengan SBY. Diantara kemiripan itu sama-sama punya nama yang diawali dengan “Su”. Menurut lelaki yang biasa disapa Tris ini, “Su” artinya baik dan indah.

Sayangnya awalan “Su” lebih cocok disandang SBY ketimbang Sutrisno. Kalah tampan. Pun, Trisno tak minder meski beda nasib, kalah wajah. Ia tetap merasa punya kesamaan dengan SBY, yakni sama-sama lahir di Pacitan, Jawa Timur. Wilayah yang masuk kategori minus.

Sebulan lalu, Sutrisno meninggalkan desanya di Worawari, Kebonagung, Pacitan untuk mencari nafkah di Jambi. Padahal istrinya tengah hamil tua. Tetapi di Worawari yang masuk kategori desa miskin, tak cukup mencukupi kebutuhan hidup hanya mengandalkan tani. Rezeki rasanya lebih dekat jika dicari di tanah rantau.

Di Pacitan dan kabupaten tetangganya seperti Trenggalek, lahan desa nyaris tak dapat mendongkrak ekonomi. Hanya cukup untuk memenuhi asupan nasi tiwul. Jika ingin nikmat sedikit dengan nasi beras, merantau ke Jakarta, Sumatera, Kalimantan, dan jadi TKI keluar negeri sudah keniscayaan. Itupun jika beruntung dan tak ditipu.

Banyak kasus penipuan di desa. Saking lugunya, sebagian masyarakat kerap terkecoh oleh oknum penyalur tenaga kerja. Mereka beroperasi di desa-desa seperti di Pacitan tempat SBY lahir. Untuk bisa menjadi TKW, mereka rela menjual sawah dan ladang. Setelah uang disetor ke agen, banyak yang gagal berangkat. Kalau toh jadi terbang keluar negeri kadang hasil yang dikumpulkan tak sepadan. Saat pulang ke kampung halaman banyak yang malah tambah susah.

Ironisnya, orang desa yang lugu selalu berkaca pada contoh dan “kata orang”. Ada satu atau dua orang yang mampu membangun rumah dari hasil TKI misalnya, akan menyebarkan virus keirian. Mereka percaya di luar negeri amat mudah menumpuk dolar. Apalagi jika si TKI yang mujur itu mengumbar cerita muluk. Mereka akan tambah semangat menyusul jejak pendahulunya. Hidup di desa dalam kondisi miskin memang penuh dilema.

Sutrisno satu dari sekian banyak orang desa lugu yang ditipu. Belitan ekonomi membuat mitra Masyarakat Mandiri (MM) ini, tergoda tawaran calo pencari kerja. Ia ditawari kerja kontrak empat bulan di sebuah perusahaan kayu di Jambi. Lantaran tergiur, Trisno membiayai keberangkatannya dengan utang. Malang tak dapat ditolak. Belum genap empat bulan, perusahaan ditutup. Pemiliknya kabur. Trisno dan 40 orang temannya pulang kembali ke Pacitan tanpa hasil.

Di Jambi Trisno dkk sempat mau menggugat hak-haknya. Tetapi niat itu urung lantaran tak ada dukungan dana. Mereka mafhum, tak ada yang gratis untuk orang miskin di negeri ini. Kini di desanya, Worawari, Sutrisno kembali ke habitatnya sebagai pekerja serabutan. Bertani di lahan sempit, nderes Nira, dan blantik apa saja yang halal dan bisa dijual.

Sutrisno, satu dari jutaan mustahik (orang miskin) yang kerap terampas hak-haknya. Di desa dikibuli, di perantauan diakali, karena keluguan dan kejujurannya. Orang-orang pintar banyak berkeliaran di desa-desa mencari mangsa. Dengan mengobral janji dan harapan mereka tega menambah sulit kehidupan mustahik. Praktik ini amat mudah ditemui seperti di tempat-tempat jasa penyalur tenaga kerja.

Sutrisno, tak perlu berkecil hati. Meski tak semujur SBY, ia masih punya “Su” sebagai makna yang diyakini punya arti kebaikan dan kebagusan. Ia telah membuktikan sebagai bendahara kelompok mitra MM yang amanah dan bertanggungjawab. “Mas Tris seorang mitra kita yang baik, bagus, dan amanah”, tandas Rudi, pendamping MM di Pacitan.

Beda memang dengan awalan “Su” pada SBY. “Su” telah mewujud dalam prilaku anggun yang selalu menebar pesona. Hmm… heri/arsawening

Read More......

Keberpihakan Lagi


Sekali Lagi, Keberpihakan!

Daripada kita menyebut failure state jauh lebih terhormat kita mengatakan negara kita pressure under colonialism. Kemerdekaan kita baru sebatas proklamasi. Belum merdeka secara hakiki. Maka seperti kata Bung Karno, Revolusi belum selesai. Kita perlu orang-orang seperti Mahmoud Ahmadinejad, Hugo Chaves, dan Moralles jika ingin keadaan kita cepat berubah.

Demikian sebagian penggalan-penggalan pesan Revrisond Baswir yang disampaikan dalam diskusi Dewan Pakar Baznas – Dompet Dhuafa di Auditorium Gd Pusat Studi Jepang FIB UI, Depok, Rabu (17/1) lalu. Sony, demikian ia akrab disapa, juga bicara tentang penjajahan ekonomi. Juga kejahatan Mafia Berkeley. Dalam posisi ini, Amerika menjadi terang sebagai biang keladi lahirnya penjajah wajah baru.

Dalam menjawab pertanyaan audience, Sonny bicara makna merdeka, kita harus memiliki kesepakatan dulu, apakah kita sudah merdeka atau belum? “Bagi saya, kita baru sebatas proklamasi saja. Modal telah menjadi penguasa di Indonesia,” jawabnya. Ia melanjutkan, sekarang ini telah terjadi return of investment. “Bandar-bandar itu sekarang menagih janji lewat infrastructur summit. Lihat saja siapa yang datang dan mendapat proyek,” tukasnya.

Maka untuk mencapai kemerdekaan sesungguhnya, dalam sebuah kesempatan Ia menegaskan, saat ini kita harus masuk pada arah perjuangan dan menjadikannya sebagai gerakan. Langkah-langkahnya adalah pertama, ideologi kita harus jelas. Kedua, kita harus merebut negara dan menjadikannya sebagai alat instrumen rakyat untuk melawan imperialisme. Lalu, ketiga, kita harus merubah sistemnya hingga jelas dan membuat agenda-agenda ke depan secara detail.

Menyangkut subsidi yang berlahan-lahan akan hilang, Revrisond amat menyayangkan. Dengan dalih apapun tugas negara adalah memberi subsidi. Bukan subsidi sebagai instrumen yang harus diacak-acak. Tetapi strukturnya yang harus dirombak.

Sebagai contoh, eksistensi pemerintah selama ini siapa yang menikmati? Polisi misalnya, siapa yang merasakan jasanya? Bukankah lebih banyak orang kaya ketimbang orang miskin. Demikian pula pendidikan, tetap saja orang kaya yang menikmati. Orang miskin? Disubsidi saja mereka tetap tak mampu mengenyam perguruan tinggi.

Dalam berbagai event diskusi dan seminar yang digelar Dompet Dhuafa, Revrisond kali pertama hadir sebagai nara sumber. Kini ia salah satu Dewan Pakar lembaga zakat ini. Cukup hangat suasana diskusi hari itu. Revrisond berhasil mengobarkan semangat perjuangan bagi para pengelola zakat untuk menapak awal tahun 2007. Sebagaimana tema sarasehan “2007, Sebagai Tahun Keberpihakan Ekonomi Pada Rakyat Miskin”.

Namun, dalam bincang informal ia mengungkapkan keraguannya. Sungguhkan zakat mampu menjadi instrumen keberpihakan itu. Dapatkah ia menangkal serangan ekonomi imperialis yang terus mencacah-cacah rakyat miskin kita. Sementara potensi zakat yang diungkap sekian trilyun rupiah itu masih jauh panggang dari api. Maka perlu sumber baru di luar zakat yang dapat menjadi instrumen gerakan “Saatnya bayar utang kepada rakyat miskin” ini.

Memang, jika dihitung, perolehan zakat nasional baru sebatas recehan, jauh dari hitungan ideal. Salah satu faktornya masih kurangnya kesadaran masyarakat yang merelakan zakatnya dikelola oleh lembaga. Sehingga berapa jumlah zakat yang beredar di masyarakat tak terdeteksi.

Hal ini bisa disebabkan oleh dua faktor. Pertama, muzaki (pembayar zakat) tergoda untuk menyalurkan sendiri zakatnya. Kedua, faktor kredibilitas lembaga zakat yang bersangkutan. Sungguhkah jika zakat itu disalurkan via lembaga benar-benar sampai pada mustahik. Jangan-jangan menguap untuk operasional. Sebuah prasangka yang wajar.

Terlepas dari semua itu, pandangan-pandangan Revrisond seirama dengan cita-cita lembaga zakat seperti Baznas – Dompet Dhuafa. Inti dari kesamaan itu menyangkut keberpihakan kita pada rakyat, pada kaum dhuafa, dan mustadafin. Kesanalah kita berkhidmad dan berbuat sebagai lembaga milik umat.

Angin Segar

Di tengah rasa putus asa kita pada kondisi hari ini, pemerintah membuat keputusan yang sejak lama dinanti-nanti para pecinta Indonesia. Pecinta itu adalah mereka yang lebih memilih berdikari ketimbang hidup ditopang asing. Mereka yang loyal pada bangsa sendiri, mereka yang berjuang murni untuk Indonesia. Bukan kaki tangan pihak luar yang hanya memanfaatkan Indonesia sebagai sapi perah.

Seakan menjawab hujan kritik berbagai kalangan tentang lembaga keuangan International Monetary Fund (IMF) dan Consultative Group on Indonesia (CGI), yang menjadi penyebab Indonesia terbelit utang. Pemerintah bertekad mulai 2007 ini tidak akan lagi mengajukan utang pada lembaga keuangan International itu.

Sebagaimana ditegaskan Presiden SBY di Kantor Presiden Jakarta, Rabu (24/1), dengan terlunasinya seluruh utang Indonesia terhadap IMF pada 2006 lalu, posisi Indonesia kini telah sejajar dengan IMF. Dengan demikian, Indonesia tidak dapat lagi didikte oleh lembaga keuangan internasional manapun dalam merencanakan program pembangunannya.

Diakui Presiden, pemerintah sering mengalami kesulitan dalam menentukan program-program pembangunan secara mandiri. Seringkali berbagai rencana program pemerintah harus dinilai dulu kelayakannya oleh lembaga donor. Sayangnya, izzah ini ternyata belum seratus persen.

Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, yang ikut mendampingi Presiden, menyatakan bahwa Indonesia baru akan meminjam dari IMF jika ada kekurangan dari neraca pembayaran.

"Pinjaman ke IMF itu terjadi jika kita mengalami defisit neraca pembayaran. Sekarang ini neraca pembayaran kita masih surplus. Jadi, ngapain kita pinjam ke IMF. Pinjaman IMF itu hanya untuk menambah cadangan devisa," ujarnya. (Media Indonesia Online/24/1). Itu artinya Indonesia belum benar-benar cerai dengan IMF.

Tetapi, sebagai pembelajaran dari sikap keberpihakan, kebijakan pemerintah ini layak diapresiasi. Sebuah sikap dan ketegasan yang sejak lama dinanti-nanti. Asal tak lagi menjadi budak asing, cukuplah jadi bukti utang-utang kepada rakyat miskin mulai terbayar. Agar kita tidak jadi failure state atau pressure under colonialism.

Read More......

Friday, January 19, 2007

Janji di Atas Tungku Dapur


Byur!, ombak menampar muka yang membuat badan, pakaian, dan bagian dalam perahu basah. Angin yang menyebabkan gelombang laut tinggi amat tak ramah. Perahupun oling dengan laju yang lambat. Cemas dan takut tak mampu ditepis. Rasanya tamat sudah hidup saat itu.

Namun tidak demikian dengan Zaenudin (45). Seorang nelayan Pulau Tunda yang menemani penyeberangan tiga jam menegangkan dari Pulau Tunda menuju Pelabuhan Karangantu, Serang, Minggu (14/1) lalu. Ia tampak tenang. Matanya tajam mengawasi pergerakan ombak setinggi hampir dua meter yang membabibuta.

Bagi nelayan yang pernah punya pengalaman pahit dirompak bajak laut ini, ombak sedahsyat itu belum mencemaskan. Ia punya banyak pengalaman dramatis di tengah laut yang nyaris merenggut nyawa.

Pengalaman semacam itu bagi Bapak lima anak yang sudah 20 tahun jadi nelayan ini sekadar sisipan kisah petualangan. Urat takut dan cemas bagi Zainudin sudah putus. Tetapi ia tak dapat mengelak dari rasa cemas memikirkan dunia nyata. Terlebih saat ingat masa depan lima anaknya, kecemasan itu terus bergayut.

Berpuluh tahun menjadi nelayan, Zainudin tak juga jadi saudagar atau pemilik kapal. Kemampuannya tetap nguli yang hanya ikut menjalankan perahu orang. Cita-citanya untuk punya sekadar perahu tempel tak jua terwujud. Dari luasnya petualangan mejelajahi laut lepas, yang belum dimiliki tinggal perahu milik sendiri.

Dulu ia berazam agar tak ada anak-anaknya yang mengikuti jejak sengsara Zaenudin. Tetapi sejak cuaca buruk melanda Selat Banten, ekonomi Zainudin praktis mandeg. Anaknya yang liburan sekolah di rumah belum dapat balik masuk sekolah lagi di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Bukan lantaran cuaca atau ombak, bagi anak nelayan ombak besar sudah biasa. Tetapi Zainudin belum punya uang untuk mengongkosi anaknya kembali ke sekolah.

“Dari kecil saya yatim, hanya tinggal dengan ibu. Kurang makan sudah rutinitas hidup. Sekolah cuma sampai kelas 3 SD, saya ingin agar anak-anak bisa sekolah tinggi. Suatu hari pulang dari sekolah saya menuju dapur Ibu, tapi nggak menemukan apa-apa. Lalu saya injak abu tungku dapur, ternyata masih dingin. Pedih hati saya saat itu, saya menunduk dan menangis. Air mata saya jatuh ke tungku dapur. Lantas saya berjanji dalam hati, jangan sampai anak cucu saya mengalami kekurangan makan seperti yang saya alami”, kenang Zainudin berkisah.

Seiring tahun, Zainudin yang rumahnya terbungkus dinding bambu rapuh berlantai tanah tak membayangkan krisis pangan akan melanda Pulau Tunda. Ia dan keluarganya salah satu yang merasakan dampak cuaca buruk itu. Sembari menemani saya mengusir cemas oleh tingginya ombak, Zainudin melanjutkan kisahnya.

“Tak terbayang pengalaman pahit saya terulang pada anak-anak saya. Sebelum ada bantuan sembako datang ke pulau, saya dan istri tak punya uang dan beras meski hanya sejimpit. Lalu saya ingat, di ladang saya menanam beberapa batang singkong. Senang sekali saya teringat singkong itu, demikian juga istri dan anak-anak. Jika ada isinya lumayan buat ganjal perut yang sudah dua hari tak ada nasi. Lalu saya ke ladang. Astaghfirullah! lemas badan saya, ternyata singkong itu sudah dicabut orang. Saya menangis untuk kedua kalinya karena makanan. Pedih, saya jadi ingat janji saya di atas tungku dapur. Rasa bersalah pada keluarga makin berat. Tetapi saya tidak marah, mungkin ada yang lebih lapar dari saya dan anak-anak”, tutur Zainudin menyesakkan.

Sejenak kami diam. Wajah Zainudin yang hitam legam mendadak sendu. Lantas ia berucap. “Jika saja saya punya perahu meski hanya kecil, mungkin pengalaman pahit waktu kecil tak akan dinikmati anak-anak. Tetapi apa daya, saya hidup tinggal menjalani suratan takdir. Saya hanya mampu pasrah dan melaut”, kata Zainudin mengakhiri kisahnya.

Saya tertegun sembari terguncang-guncang di atas perahu. Cerita janji di atas tungku dapur itu serasa merajam ulu hati. Benar. Tiap insan punya takut dan cemas. Ada sebagian kita yang takut harta hilang atau maut menjemput. Tetapi ada perasaan yang umum dirasai kebanyakan kita, sebagaimana yang dicemaskan Zainudin. Takut jika anak-cucu kita kelak mengalami nasib lebih buruk dari yang kita alami.

Zainudin, satu dari jutaan potret nelayan miskin kita. Bukan berati nelayan selalu kenyang dan sejahtera karena dekat ikan dan laut. Sebagaimana prasangka orang. “Nelayan kok kelaparan, mereka kan bisa makan ikan, tinggal nangkap apa susahnya”. Pendapat yang bisa jadi kerap menyemai di benak kita. Dan itu bisa tidak tepat jika kita tidak pernah menengok tungku dapur mereka. Wallau’alam.

Read More......

MANIFET


Rabu (17/1) lalu, di Universitas Indonesia, Baznas – Dompet Dhuafa Republika mempelopori seruan “Saatnya Bayar Utang Kepada Rakyat Miskin”. Sebagai penajaman seruan itu digagaslah Manifesto Ekonomi Etis (MANIFET) yang berisi tiga hal. Bayarkan Hak-hak Orang Miskin, Berikan Akses Produktif Pada Orang Miskin, dan Bangkitkan Ekonomi Berkeadilan.

Sebagaimana disampaikan Rahmad Riyadi selaku salah satu penggagas MANIFET, ini bukan manifesto politik. Juga tak hendak mengipasi suasana politik tanah air yang tengah memanas. Melainkan manifesto keberpihakan. Sebagai lembaga zakat keberpihakan pada yang lemah, miskin, dan tertindas sudah menjadi ruh organisasi.

“Manifesto ini sebagai seruan bagi seluruh elmen bangsa bahwa tujuan dari tiap yang mengatasnamakan perjuangan adalah rakyat. Hasil dari kritik juga mesti berpulang pada rakyat. Berpolitik juga wajib berorientasi rakyat. Bukan pribadi, kelompok, dan golongan. Sebagaimana zakat, ia istrumen yang netral dan ditunaikan sebagai wujud nyata keberpihakan pada rakyat miskin. Saya yakin dengan zakat tiga isi MANIFET dapat diwujudkan, bukan sekadar manifesto biasa”, tandas Rahmad Riyadi.

Mencermati apa yang disampaikan Presiden Direktur Baznas – Dompet Dhuafa ini, MANIFET jauh dari aroma politik. Karena memang lembaga zakat tak perlu ikut larut ke ranah panas itu. Selama antrian dhuafa masih mengular, konsentrasi hanya terfokus memikirkan dan mencari terobosan program-program yang membawa kemaslahatan bagi nasib mereka.

MANIFET juga tak henda menggedor nurani kesadaran pengelola negara dan elit semata. Melainkan mengingatkan pada kita semua. Betapa kita prihatin, seiring jumlah lembaga zakat dan lembaga yang peduli pada kemanusiaan menjamur bersamaan itu pula jumlah kemiskinan bertambah. Sebagaimana seorang pemerhati masalah sosial memberikan komentarnya, “Jumlah lembaga zakat tambah banyak tapi orang miskin juga ikut banyak”.

Tentu amat dini mengkambing hitamkan lembaga zakat atau membebankan persoalan kemiskinan hanya pada pengelola zakat. Selama kebijakan negara ini tak pernah pro rakyat tetap saja kemelaratan akan abadi. PP Nomor 37 Tahun 2006 yang ditandatangani Presiden, November lalu, contoh anyar ketidakberpihakan pada rakyat miskin. Dengan kenaikan gaji anggota DPRD yang berlipat-lipat tak dapat dielak menyedot sebagian besar PAD. Tentu ini mengurangi jatah PAD untuk rakyat.

Jadi masih jauh panggang dari api jika lembaga zakat di negeri ini mampu berbuat lebih banyak. Di satu wilayah program pemberdayaan zakat dilakukan di situ pula program itu tumbang. Saat mustahik zakat mulai berbenah menata ekonomi, bersamaan itu pula kebijakan yang tak berpihak digariskan. Akhirnya lembaga zakat mega-megap berpacu menutup lobang-lobang yang digali pemerintah. Sementara perolehan zakat yang mesti mengguyuri kemiskinan itu tiap tahun juga tak banyak meningkat.

MANIFET, seruan yang ditujukan pada semua pihak. Bahwa tidak etis selamanya menjadikan ekonomi ini hanya berpihak pada kalangan atas. Sudah saatnya yang mengatasnamakan rakyat dan bangsa menampakkan kemurnian perjuangannya benar-benar untuk rakyat dan negara. Hak-hak orang miskin harus dikembalikan, akses produktif bagi orang miskin dibuka selebar-lebarnya, dan keadilan ekonomi tegak serta berpihak.

Contoh Utang Pada Dhuafa

Rini Widiawati, direktur perusahaan jasa cleaning service PT IAS di Jakarta bercita-cita, “Andai saya seorang menteri”. Perusahaan yang dikelolanya menghidupi hampir 600 orang miskin yang semuanya dari kalangan dhuafa. Kini 60 persen saham perusahaan itu dimiliki Dompet Dhuafa Republika (Baznas – Dompet Dhuafa) yang diperuntukkan bagi para cleaning service PT IAS.

Rini kepepet berazam itu lantaran gemas dipingpong rekanan pemakai jasa PT IAS. Di antara pemakai jasa perusahaan ini adalah institusi milik negara. Ironisnya pembayarannya menunggak sampai Rp 150 juta. Bagi perusahaan sebesar ini sungguh angka yang amat bernilai. Terlebih bagi nasib para karyawannya.

Lebih menyedihkan lagi, lembaga itu menyodorkan negosiasi yang menyanggupi pelunasan dengan cara mencicil dalam kurun setahun setengah. Sungguhkah keuangan negara sudah bangkrut atau pengelolanya yang lalai dan korup.

Bandingkan jika rekanan lembaga ini perusahaan jasa dari luar negeri. Mereka sudah pasti tak berdaya ingkar janji apalagi menunggak. Apa yang dialami PT IAS yang sahamnya dimiliki kaum dhuafa ini, bisa jadi sebagian kecil dari kezaliman sebuah kebijakan. Masih banyak utang-utang negara ini pada rakyatnya sendiri. Utang terbesarnya yakni utang keberpihakan.

Dengan seruan MANIFET saatnya hak-hak kaum dhuafa dikembalikan. Bangsa ini harus belajar pada sistem ekonomi yang diterapkan Rasulullah. Syariah, berpihak dan berkeadilan. Jika tidak, tetap saja akan menjadi bangsa kerdil sebagaimana Martin Luther King berkata, you are as strong as the weakest of the people --kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih lemah dan miskin.

Read More......

Menunda Makan di Pulau Tunda


SERANG - Ombak masih setinggi 1,5 meter saat Lembaga Pelayan Masyarakat (LPM) Baznas Dompet Dhuafa Republika mengantarkan bantuan kemanusiaan ke Desa Wardasara, Pulau Tunda, Serang, Banten, Sabtu (13/1). Bahkan Kapal Very ukuran sedang yang memuat bantuan sembako dari LPM belum berani berangkat hari itu.

Sampai-sampai ada seorang penumpang yang menderita sakit terpaksa meninggal di atas kapal yang bersandar di Pelabuhan Karangantu. Ia baru saja keluar dari rumah sakit untuk pulang ke rumahnya. Ironisnya, almarhum yang di Pulau Tunda sebagai guru ngaji ini pulang dari RS lantaran ketiadaan dana untuk berobat.

Namun, empat orang team yang dipimpin Hendra Setia dan seorang relawan bernama Syarifudin dari Al-Azhar Peduli Ummat tetap memaksa menyeberang ke Pulau Tunda menggunakan perahu nelayan. Bantuan sembako senilai Rp 17 juta itu sementara ditinggal di dalam very yang akan menyeberang setelah cuaca membaik. Tiga jam lebih perjalanan ditempuh melawan angin dan ombak yang masih ganas. Tak pelak, rasa cemas tampak di raup muka lima orang itu.

Jelang Magrib, sampai juga perahu di Pulau Tunda. Di pintu gerbang masuk desa, masyarakat menyambut hangat. “Masya Allah, bapak-bapak ini berani sekali naik perahu melawan ombak”, kata seorang nelayan yang menyambut di dermaga.

“Berkat doa bapak-bapak, kami sampai dengan selamat”, balas Hendra yang di atas perahu nyaris muntah-muntah.

PulauTunda memiliki luas 257,50 ha yang dibagi menjadi dua kampung. Kampung Barat dan Kampung Timur. Memilik jumlah penduduk 1.030 jiwa, 273 KK, 24 diantaranya para janda tua. Mata pencaharian masyarakatnya 99% nelayan.

Sudah lebih dari sebulan cuaca buruk mengganggu kawasan teluk Banten. Akibatnya perahu bermotor yang menjadi andalan transportasi masyarakat di pulau itu tidak dapat mendistribusi kebutuhan sembako. Selain itu sebagian nelayan juga tidak berani memaksakan diri mencari ikan. Dampaknya, sembako menjadi langka. Bahkan sebagai pengganti beras banyak masyarakat memasak buah sukun untuk mengganjal perut.

Slamet Jamaludin, seorang tokoh masyarakat Pulau Tunda yang berhasil keluar pulau untuk menghubungi LPM menuturkan. “Kondisi cuaca tahun ini sangat ganas tak seperti waktu-waktu sebelumnya. Nelayan banyak yang tidak melaut, terus terang kami sempat satu minggu benar-benar kehabisan makanan”, katanya.

“Tetapi kami ingin ada solusi yang lebih dari sekadar bantuan sembako. Bagaimana caranya jika musim seperti ini tiba kami tidak menjadi masyarakat yang membebani orang lain. Kami malu jika tiap datang cuaca buruk kami selalu minta bantuan”, tandas Slamet berharap.

Keesokan harinya, Minggu pagi pukul 09.00 kapal very berlabuh. Tanpa dikomando masyarakat bergotong royong menurunkan bantuan sembako. Ada beras, gula, minyak goreng, dan mie instant. Di rumah Slamet, sembako dikumpulkan untuk dibagi dengan adil dan rata.

“Atas nama masyarakat kami ucapkan terima kasih atas bantuannya. Kami berharap kedatangan bapak-bapak bukan yang pertama dan terakhir. Sudi kiranya menyambangi selalu kami yang ada di pulau ini. Sampaikan salam persaudaraan dari warga pulau untuk para donatur”, pesan Jarot mewakili warga desa Wardasara.

Minggu sore, team pamit pulang. Kali ini masyarakat menyarankan agar pulang setelah subuh menunggu cuaca agak baik. Namun pekerjaan di Jakarta membuat Hendra dkk memaksa pulang sore itu. Benar saja, angin dan ombak kali ini lebih dahsyat lagi. Pecahan ombak yang dibelah body perahu membuat air laut masuk ke dalam perahu.

“Sangat menegangkan!” komentar Syarifudin yang nyaris menangis. Sesampai di darat Hendra dkk masih tampak pucat pasi.

Read More......

Tuesday, January 16, 2007

Tak Pernah Berpihak


Bila ujian menggoyang kalangan mampu, keberpihakan diputuskan cepat. Bandingkan jika ujian mendera masyarakat mustahik (miskin), lambatnya luar biasa. Semua ditakar untung rugi.

Akhir-akhir ini, jika menyusuri daerah pesisir akan kita dapati kondisi gelombang laut yang kurang baik. Angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Nelayan di Ambon ada yang seminggu tak melaut. Pencari ikan di pesisir Padang Pariaman hampir sebulan resah, lantaran cuaca yang tak menentu. Di Pulau Tunda, ada pula kabar para nelayan kelaparan karena tidak dapat melaut. Di pantai utara dan selatan Jawa juga demikian.

Alam mengalami perubahan. Tak ada yang dapat menolak. Bagi nelayan, pasrah pada Tuhan puncak dari ikhtiar menyiasahi hidup. Tidak melaut berati tidak makan. Juga siapa peduli rintihannya, karena keluh kesah mereka tersumbat kepentingan bangsa yang lebih besar. Yakni, politik. Apalagi kelas mustahik (orang miskin) golongan yang kebal terhadap derita. Kalau toh menggerutu, paling kencang juga dalam perbincangan dengan anak bini di biliknya yang sempit.

Mustahik kelaparan, kurag gizi, kehabisan cairan, dan lain sebagainya barang kali bukan berita besar. Karena memang inilah ciri-ciri mustahik. Karena tiap hari jumlah mustahik itu terus beranak pinak, rasanya sudah tak penting lagi orang sibuk mendiskusikannya. Tak perlu DPR heboh misalnya, atau Presiden membentuk tim investigasi khusus mencari musabab harga sembako yang hari ini terus menanjak.

Bicara dunia mustahik memang tidak asyik. Sekilas yang terlintas, mustahik hanya beban negara. Bukan urusan besar yang keren didiskusikan. Apalagi jika toh ada yang mendiskusikan, biasanya oleh mereka yang mengenal mustahik dari belakang meja.

Pun, kita barangkali memahami dunia mustahik baru sebatas berita dan informasi. Belum melebur langsung dengan mereka. Lantaran silaturahim yang dijalin menempatkan diri sebagi tamu bagi mustahik. Masih ada sekat yang menghijab. Belum dapat jadi sahabat yang dapat mendengar dengan nurani.

Dampaknya, banyak program yang dikemas untuk mustahik kerap menguap. Antara program dengan kemampuan mustahik menyerap informasi kadang belum nyambung. Pemahaman sederhana orang desa, “Terlalu pintar yang menggagas program, padahal orang miskin butuh yang sederhana saja”.

Dunia mustahik di sisi lain, jika diselami lebih dalam adalah sarana menatah empati dan kemanusiaan. Sifat diam, mengalah, dan legowo amat lekat dalam hidup mereka. Tidak peduli apakah kebijakan mengakali nasibnya. Tak ada urusan, apakah masa depan generasi mereka ada apa tidak yang memperjuangkan. Meski mereka paham punya namanya wakil rakyat.

Jika kita bersua mustahik di pelosok-pelosok, bolehlah coba bertanya tentang para pemimpin di masanya. Maka, Suharto adalah pemimpin yang baik, Habibie presiden yang pintar, Abdurrahman Wahid presiden yang menghibur, Megawati presidennya wong cilik, dan SBY presiden yang murah senyum, santun, dan tampan. Hampir sedikit mustahik yang mengumpat apalagi mencaci.

Lebih arif lagi, mereka amat memahami sulitnya menata negara. Wakil rakyat, presiden dan pembantunya di mata mereka hampir tak ada waktu cuti untuk keluarganya. Apalagi sampai mengunjungi mereka di desa dan pelosok. Meski kadang pendapat ini membuat telinga geli, mereka telah menunjukkan loyalitasnya. Harga-harga yang naik dan kesulitan hidup yang makin melilit tetap dinikmati sebagai bumbu-bumbu hidup.

Akhirnya, realita di lapangan, menunjukkan mustahik menghidupi diri sendiri tanpa sokongan dan tunjangan negara. Mustahik bukan beban lantaran tiap sen yang mereka keluarkan buah dari perasan peluhnya. Mustahik lebih tahan banting ketimbang komunitas mapan yang akan teriak dan oling oleh sedikit guncangan ekonomi.

Meski demikian, bukan berarti dunia mustahik boleh diabaikan. Mustahik yang jumlahnya lebih dari separo jumlah penduduk negeri ini telah berdarma bakti pada bangsanya. Tak ada demo apalagi revolusi karena sudah tak tahan oleh tempaan hidup. Mustahik sangat menyadari anarki hanya akan makin mempersulit nasib.

Lantas, apa balas jasa negara pada mustahik kini. Cukuplah keberpihakan. Tiap yang bersentuhan langsung dengan nasib mustahik, negara cepatlah tanggap. Buatlah kebijakan yang berdampak langsung ke mustahik. Jangan ada pamrih dalam merancang tiap keputusan untuk mereka. Sungguh, banyak mustahik lapar hari ini. Hanya mereka tak teriak.

Jika, mengurus jamaah haji yang kelaparan negara sedemikian cepat, untuk mustahik minimal juga demikian. Jika Senayan geger kasus catering haji, kapan anggota dewan gempar turun ke jalan karena mustahik lapar makin banyak. Mengobarkan gerakan ikat pinggang agar bangsa segera terentas dari belitan utang.

Apakah karena haji diiringi nilai trilyunan rupiah tiap tahunnya hingga istana dan senayan gonjang ganjing? Dan mustahik yang tak ada nilai rupiahnya lantas terhempas. Bukankah jika tak ditakar untung rugi, pelayanan haji mesti dipahami sebagai upaya melayani umat Islam yang hendak bertamu ke rumah Allah. Sebagaimana Raja Arab Saudi digelari khadimul haramain (pelayan dua kota suci).

Bisa pula, kelaparan ini peringatan Allah bagi golongan mampu untuk ingat pada musthaik. Amat mudah bagi Allah untuk menghadirkan lapar dan sengsara bagi orang kaya. Kita yakin, jemaah haji di sana yang kelaparan meresapi hikmah yang terkandung di dalam tragedi ini. Sembari berdoa semoga sesampai di tanah air mereka menjadi haji yang mabrur.

Demikian pula pada penyikapan tragedi Adam Air dan KM Senopati Nusantara. Negara wajib adil memperlakukan keduanya. Kapal laut yang mengangkut lebih dari 600 penumpang itu sudah pasti sarana transportasi mustahik. Jangan sampai menguap karena keluarga korban banyak dari keluarga miskin yang tak berdaya dan berharta.

Bukan mustahil, ini bentuk peringatan Allah pada pemerintah. Sejauh mana empati dan keadilan ditegakkan. Tidak hanya untuk yang kaya dan mampu tetapi juga keadilan buat mustahik.

Dunia mustahik, alam hidup yang penuh ketulusan dan pengorbanan. Guru kehidupan yang mengajarkan makna hidup dan syukur. Bukankah Rasulullah telah berwasiat “carilah aku di antara fakir miskin dan anak yatim”.

Mustahik telah banyak berkorban untuk negara ini. Kini tinggal menunggu keberpihakkan negara pada mereka.

Read More......

Friday, January 12, 2007

Menyelami Kemiskinan

Sabtu lalu saya silaturahim ke komunitas masyarakat di kaki Gunung Singgalang, Jorong Bintungan, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat. Untuk menuju lokasi ke Jorong (desa) itu hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki satu jam. Jalannya mendaki lereng Gunung Singgalang.

Kedatangan kali ini agak istimewa lantaran ditemani seorang anggota dewan dari provinsi Sumbar. Di sana kami bersua seorang pembuat gula tebu tradisional yang memanfaatkan tenaga kerbau untuk memeras air tebu.

Nama lelaki dengan raut muka agak kasar itu, Marajo. Sudah lebih dari 10 tahun ia menekuni pekerjaan ini selain juga sebagai petani. Lahan miliknya juga tak lebih dari 1 ha. Dalam perbincangan kecil dengan Marajo, saya bertanya apa harapan kedepan dari usaha ini.

Dia hanya mesem. Pandangannya kosong.

“Entahlah, harga gula sekilo Rp 3000 isinya 6 potong. Sehari paling banyak dapat 7 kilo. Sekarang harga beras Rp 4000, kebutuhan sembako yang lain juga naik. Lahan tebu saya tidak tambah tetap saja segini. Bila tebu sedang musim tanam saya tidak dapat produksi gula. Tak ada lagi yang dapat diharap, kecuali harga-harga bisa turun lagi mungkin baru ada harapan”, ungkap Marajo sembari menghela kerbaunya.

Hampir sejam saya larut ikut aktivitas giling tebu Marajo. Tetapi, di mana-mana mustahik yang tinggal di pelosok cenderung pantang mengeluh. Meski tampak mata, hidup mereka amat berat, tetap saja tampang memelas tersimpan rapi. Padahal dilihat dari tempat tinggalnya, kediaman Marajo sebuah rumah panggung yang kayu rangka dan dindingnya rapuh.

Tanpa bicara vulgar, Marajo hendak berkata, bagaimana memperbaki rumah, untuk makan saja sulit. Anak Marajo yang kecil dan tanggung ada 6. Yang besar cukup tamat SD saja. Saya tak sekali melihat masyarakat yang menjalani nasib seperti Marajo. Baik di Sumbar maupun belahan lain di Indonesia. Apalagi di Indonesia Timur. Banyak. Hebatnya, selama berbincang, tak sepatah kata Marajo mengeluh apalagi berputus asa.

Sesampai di bawah gunung, saya berbincang tentang Marajo dan tetangganya dengan anggota dewan tadi. Juga kemungkinan membuat program pemberdayaan masyarakat yang dapat mengembangkan usaha kecil seperti usaha Marajo. Tetapi saya heran, ia mengaku bingung apa yang bisa dilakukan. Padahal Jorong itu salah satu konstituen yang memilih partainya saat pemilu lalu.

Bahkan bicara tentang kemiskinan, ia menyebut sulit mengidentifikasi orang miskin di Sumbar. Kira-kira tidak adalah orang miskin sepeti kriteria BPS. “Orang miskin di sini beda dengan orang miskin di Jawa. Di sini ndak ada orang kelaparan”, tandasnya.

Mulut saya tiba-tiba bisu. Tak mampu keluar sepatah kata untuk beberapa saat. Kepala saya hanya manggut-manggut, nurut apa yang dipaparkan anggota dewan itu. Setelah berpisah, saya merenung tentang Marajo. Saya berkali-kali bertemu sosok sepertinya di tempat lain di Indonesia. Tetapi di tempatnya kondisi Marajo dan tetangganya belum dianggap mengkhawatirkan.

Karena penasaran saya masuk ke sebuah pasar di Pauh Kambar, Padang Pariaman. Menguping apa bisik-bisik tentang uang belanja dan dapur. Juga nongkrong di Lapao (warung) mengamati ibu-ibu belanja sembako. Tiba-tiba seorang wanita terperangah, “Ha, maha bana, lado saibu dapek limo!” (ha, mahal banget cabe seribu dapat lima).

Pikiran nakalpun menjalar. Jangan-jangan ada yang salah cara orang memandang tentang kemiskinan. Hanya karena dia tidak demo dan teriak-teriak di depan gedung dewan dan istana negara maka orang seperti Marajo tak dikata miskin. Karena orang miskin banyak diam, lantas dianggap penduduk negeri ini sejahtera. Ataukah saya yang salah dalam melihat kemiskinan.

Entahlah, saya masih terusik. Jika wakil rakyat di daerah saja demikian cara pandangnya tentang kemiskinan, bagaimana wakil rakyat di Senayan. Tetapi tidak semua demikian lho? Benar kata orang bijak, jangan bicara kemiskinan jika tidak menjiwai di dalamnya. Wallahu’alam.

Read More......

Penjaga Lubuk Larangan

Seorang kepala desa berjuang keras merubah pola pikir masyarakat di pedalaman Lahat. Cita-citanya mulia, belum ingin kaya sebelum rakyatnya sejahtera.

Lahat, Sumatera Selatan, dengan Tebing Tinggi-nya selalu berkesan menegangkan. Terlebih jika sudah di atas jam 11 malam. Hampir jarang yang berani melintasi sepanjang jalan hancur dan berlobang itu. Truk yang memuat barang jadi incaran bajing loncat. Kendaraan pribadi harus konfoi untuk melintasi jalan rawan sepanjang lebih kurang 30 km itu. Selain kondisi jalan yang tak bersahabat, suasana mencemaskan
selalu saja menyelinap sepanjang jalur Lahat hingga Lubuk Linggau.

Namun di balik nuansanya yang “seram”, di pedalaman Lahat ada satu desa yang menjunjung tinggi hukum. Peraturan tegak dijalankan untuk melindungi adat dan alam. Tak ada kompromi meski yang melanggar sanak kerabat sang penguasa setempat. Tak berlebih jika menyebut desa ini satu-satunya desa yang punya Peraturan Desa (Perdes) terketat tapi juga dijalankan di Indonesia.
Desa Lubuk Tube, Kecamatan Pseksu, Lahat dihuni oleh 60 KK. Semuanya masyarakat asli dari Suku Kikim yang mendiami sepanjang aliran Sungai Kikim, Lubuk Larangan. Lokasi desa berada di pedalaman hutan, 15 km dari jalan raya Lahat – Tebing Tinggi. Jalan sudah diaspal lantaran kepala desanya gigih memperjuangkan agar desa itu mendapat perhatian pemerintah daerah.
Lubuk Tube, dipimpin seorang Kepala Desa yang masih cukup muda, Surnaidi (29). Dia satu-satunya yang berpendidikan tinggi di desa itu. Lulus SMA Muhamadiyah, Lahat tahun 1997. Tingkat pendidikan di desa itu minus. Mayoritas lulus SD. Hanya empat orang saja yang mampu tamat SMA.
“Saya orang desa yang hidup di pedalaman. Tetapi saya punya visi untuk membangun desa ini. Siapapun yang tinggal dan masuk di desa ini wajib patuh pada hukum yang berlaku di desa. Tak peduli sanak saudara, jika melanggar ketetapan yang telah disepakati harus mendapatkan pengadilan hukum”, tandas Surnaidi.
Memimpin desanya, bagi ayah satu anak ini adalah perjuangan. Batinnya tergugat tatkala setiap tahun hutan dan sungai dijarah. Pendatang bebas berkeliaran mengeruk hasil alam tanpa mempedulikan keberadaan masyarakatnya.
“Desa ini mulai tidak dianggab keberadaannya. Alam mulai dirusak dan sarana jalan buruk. Padahal kami yang tinggal di sini juga manusia yang berhak hidup layak dan damai”, katanya.

“Cita-cita saya sederhana, ingin memakmurkan masyarakat yang bertahun-tahun ditindas kemiskinan. Saya tak tertarik kaya jika rakyat saya belum sejahtera. Karena jabatan itu bukan jalan mencapai kekayaan pribadi tetapi alat perjuangan menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi yang lemah dan tertindas”, papar Surnaidi menggetarkan.
Ucapan Kades muda ini bukan retorika semata. Dilihat dari tempat tinggal, rumah Surnaidi amat sederhana. Setara dengan kediaman masyarakat lainnya. Malah masih lebih bagus rumah milik warganya.

Dua bulan lalu, ia baru saja menjatuhkan hukuman denda pada kakak iparnya lantaran terbukti menangkap ikan di sungai Kikim. Satu ekor ikan Rp 50 ribu. Ada tujuh ekor ikan yang ditangkap. Maka sang kakak ipar membayar Rp 350 ribu untuk kas desa. Denda yang amat berat karena mencari uang seribu perak saja di desa itu sungguh sulit. Jika tak mampu bayar maka harus siap dipenjara.
Hukum mulai ditegakkan Surnaidi sejak memimpin Lubuk Tube tahun 2003. Peraturan yang pertama diketatkan menyangkut pelestarian lingkungan di wilayahnya yang mulai rusak. Sungai Kikim sepanjang 3 km yang masuk ke wilayah Lubuk Tube dilindungi sungguh-sungguh. Larangan menangkap ikan dengan peledak, strum, dan obat-obatan diberlakukan.
Hasilnya, kebijakan tegas dari Kades mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Ikan di sepanjang sungai itu hanya boleh dipanen bersama-sama tiap dua kali setahun. Atau jika ada selamatan dan hajatan boleh ikan itu dimanfaatkan. Semua atas kesepakatan dan sepengetahuan penduduk desa. Menurut masyarakat setempat, Kades siap pasang badan jika hukum dilanggar.
“Pak Surnaidi masih muda tapi sangat tegas. Kami semua mendukung setiap kebijakan beliau karena apa yang dikatakan selama ini telah terbukti. Sejak dia pimpin desa ini perubahannya sangat cepat. Tidak ada lagi orang bebas menjarah hutan dan liar mengambil ikan di sungai”, kata Arsan, warga setempat.
Pengakuan senada juga diungkapkan, Sholeh, seorang pegawai Dinas Pertanian Kabupaten Lahat. Ia mengaku tak dapat menyembunyikan keharuannya melihat tatanan bermasyarakat di Lubuk Tube. Pertemuannya dengan Surnaidi membawa Sholeh untuk terlibat mendampingi desa itu.
“Saya tak menyangka seorang Kades di pedalaman punya visi kedepan. Umumnya di tempat lain biasanya pasrah pada kondisi yang ada. Tetapi Pak Surnaidi punya misi mulia mengangkat nasib desa ini. Mungkin di Indonesia dia satu-satunya Kades yang berhasil menegakkan peraturan desa dengan totalitas”, ungkap sholeh yang mengaku hampir rutin mendatangi desa itu untuk belajar dan mengamalkan ilmunya.
Perjuangan Surnaidi tak sia-sia. Ekosistem sungai berjalan alami. Saat air Sungai Kikim jernih, jutaan ikan amat mudah dilihat. Ada 37 jenis ikan yang hidup dan dilindungi di sepanjang sungai itu. Untuk setiap panen ikan, hasilnya dibagi menjadi empat. Bagian pertama untuk warga desa. Kedua untuk panitia dan penjaga bekarang (penjaga dan penangkap ikan). Ketiga untuk syukuran, selamatan, dan pernikahan bagi warga desa. Dan keempat, jika ada pejabat atau tamu desa datang boleh turut mencicipinya.
“Tak ada yang khusus untuk kepala desa. Kalau rakyat sudah kenyang baru saya boleh makan. Saya masih bisa cari sendiri”, tegas Surnaidi.
Setelah hukum di desanya mulai tegak, Surnaidi kini tengah berjuang mencari cara mendongkrak ekonomi masyarakatnya. “Siapa tidak sedih, hidup di lahan subur tapi kami sulit makan. Ini pasti ada yang salah dari pola hidup masyarakat”, katanya prihatin.
Maka, ia mulai mengembangkan pola pertanian dan pelestarian hutan di desanya yang punya luas 2.364 hektar. Reboisasi sudah dimulai dengan penanaman pohon karet. Mimpi Kades muda itu kini, jika punya dana Rp 700 juta ia yakin dapat mendongkrak ekonomi rakyatnya. Tidak dibagikan secara charity, melainkan pemberdayaan ekonomi melalui sarana pertanian.

Surnaidi, putra Suku Kikim, pemimpin muda yang menginspirasi. Siapapun bisa belajar padanya. Memimpin tanpa pamrih sebagai jalan perjuangan. Bukan kuda troya untuk meraih harta, tahta, dan wanita. Siapapun bisa datang ke Lubuk Tube. Belajar menegakkan hukum dan belajar tak makan lebih dulu sebelum rakyatnya kenyang.
Jangan malu belajar pada Surnaidi, penjaga hukum dari pinggir Sungai Kikim, Lubuk Larangan, Lahat.

Read More......

Nikmatnya Sekerat Daging

Namanya Suminto. Bocah kelas 6 SDN II Nglebo, Suruh, Trenggalek. Saya mengenalnya saat prosesi Tebar Hewan Kurban (THK) awal Januari tahun lalu. Ia anak ke-5 dari 8 bersaudara. Umumnya keluarga miskin di desa itu, ia seperti tetangga lainnya makan nasi tiwul. Untuk lauk pauknya, ikan asin sudah sangat istimewa. Itupun belum tentu seminggu sekali bisa beli.

Idul Adha lalu, di desa itu untuk pertama kalinya dapat jatah 5 ekor kambing. Juga pertama kali ada potong kurban. Suminto dan keluarganya ikut kecipratan satu kantong plastik kecil. Sedikit sekali. Masih jauh dari layak. Tetapi sudah jadi kesepakatan panitia lokal, seberapapun dapatnya, daging mesti dibagi rata. Jangan sampai ada tetangga terselip tidak kebagian.

Minto, demikian biasa dipanggil. Ia girang pulang ke rumah dengan Madi, ayahnya sambil menenteng plastik berisi daging. Sang Simbok yang juga telah menunggu segera menyalakan kayu bakar. Daging sejimpit itupun direbus di panci dengan kuah kelewat banyak. Minto dan adik-adiknya tak beranjak dari dapur. Ditunggui rebusan daging campur tulang itu. Sesekali Minto dan adiknya menciumi asap rebusan daging.

Walah, enak tenan lo le ambune”, (enak sekali baunya dik) kata Minto pada adiknya. Sang adik tak mau ketinggalan turut menghirup baunya. Simbok dan bapaknya hanya melihati tingkah anak-anaknya tanpa melarang ini dan itu.

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Daging sejimpit dengan kuah yang banyak siap dibagi. Minto, kakak, dan adiknya berebut piring. Kemudian antri satu persatu menghampiri ibunya. Cukup dekat saya melihat. Dada saya bergemuruh. Pedih mulai menjalari nurani tatkala melihat isi piring mereka. Daging tak lebih dari sebesar ibu jari kaki, ditambah sepotong tulang yang dicacah kecil-kecil. Tujuannya biar rata.

Pesta makan dengan lauk daging kurban dimulai. Lahapnya mereka meski dengan nasi tiwul yang berwarna kecoklatan. Saya amati Minto, menikmati betul makannya. Sekitar 30 menit, acara makan pun usai. Tetapi ada pemandangan yang mengusik hati. Daging sejimpit dan tulang itu tak dihabiskan. Mereka menyimpan kembali dagingnya di piring masing-masing.

“Ojo dientekne le, di nggo lawuh sesuk” (jangan dihabiskan buat lauk besuk), kata ibu mereka. “Wong Jakarta, atine apik tenan yo mbok. Gelem menehi daging barang” (orang Jakarta baik hati ya bu, mau ngasih daging segala), komentar Minto senang.

Mata saya pun berkaca-kaca. Lantas saya pamit membawa kenangan yang menancap di hati. Minto, bisa jadi satu dari jutaan anak miskin di Indonesia yang untuk mencicipi daging saja sulit. Sepuluh tahun lalu, sebelum syiar Islam semarak di desa itu. Jika masyarakat ingin merasakan daging, mereka mengadakan gladak celeng (berburu babi hutan). Keluarga Minto salah satunya.

Kini kebiasaan itu tak ada lagi. Selain hutan di sana mulai gundul, syiar Islam mulai berkembang dengan baik. Sejimpit daging yang dinikmati Minto dan keluarganya, dirasai nikmatnya hingga ke tulang sunsum. Sungguh, hewan kurban yang ditebar sampai pelosok-pelosok itu telah menjadi penjalin silaturahim yang erat.

Hanya oleh sekerat daging itulah, ternyata mereka menemukan persaudaraan sejati. Tahun ini di desa Suminto mendapat jatah 8 ekor kambing. Meski kurban kali ini tak melihat saat dia menunggui simboknya merebus daging, saya yakin belum ada yang berubah. Jika ingat, saya masih sedih, dan tak jenak makan terlalu enak.

Read More......

Tuesday, January 02, 2007

Mustahik Sebagai Guru Kehidupan

Bila ujian menggoyang kalangan mampu, keberpihakan diputuskan cepat. Bandingkan jika ujian mendera masyarakat mustahik (miskin), lambatnya luar biasa. Semua ditakar untung rugi.

Akhir-akhir ini, jika menyusuri daerah pesisir akan kita dapati kondisi gelombang laut yang kurang baik. Angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Nelayan di Ambon ada yang seminggu tak melaut. Pencari ikan di pesisir Padang Pariaman hampir sebulan resah, lantaran cuaca yang tak menentu. Di Pulau Tunda, ada pula kabar para nelayan kelaparan karena tidak dapat melaut. Di pantai utara dan selatan Jawa juga demikian.

Alam mengalami perubahan. Tak ada yang dapat menolak. Bagi nelayan, pasrah pada Tuhan puncak dari ikhtiar menyiasahi hidup. Tidak melaut berati tidak makan. Juga siapa peduli rintihannya, karena keluh kesah mereka tersumbat kepentingan bangsa yang lebih besar. Yakni, politik. Apalagi kelas mustahik (orang miskin) golongan yang kebal terhadap derita. Kalau toh menggerutu, paling kencang juga dalam perbincangan dengan anak bini di biliknya yang sempit.

Mustahik kelaparan, kurag gizi, kehabisan cairan, dan lain sebagainya barang kali bukan berita besar. Karena memang inilah ciri-ciri mustahik. Karena tiap hari jumlah mustahik itu terus beranak pinak, rasanya sudah tak penting lagi orang sibuk mendiskusikannya. Tak perlu DPR heboh misalnya, atau Presiden membentuk tim investigasi khusus mencari musabab harga sembako yang hari ini terus menanjak.

Bicara dunia mustahik memang tidak asyik. Sekilas yang terlintas, mustahik hanya beban negara. Bukan urusan besar yang keren didiskusikan. Apalagi jika toh ada yang mendiskusikan, biasanya oleh mereka yang mengenal mustahik dari belakang meja.
Pun, kita barangkali memahami dunia mustahik baru sebatas berita dan informasi. Belum melebur langsung dengan mereka. Lantaran silaturahim yang dijalin menempatkan diri sebagi tamu bagi mustahik. Masih ada sekat yang menghijab. Belum dapat jadi sahabat yang dapat mendengar dengan nurani.

Dampaknya, banyak program yang dikemas untuk mustahik kerap menguap. Antara program dengan kemampuan mustahik menyerap informasi kadang belum nyambung. Pemahaman sederhana orang desa, “Terlalu pintar yang menggagas program, padahal orang miskin butuh yang sederhana saja”.

Dunia mustahik di sisi lain, jika diselami lebih dalam adalah sarana menatah empati dan kemanusiaan. Sifat diam, mengalah, dan legowo amat lekat dalam hidup mereka. Tidak peduli apakah kebijakan mengakali nasibnya. Tak ada urusan, apakah masa depan generasi mereka ada apa tidak yang memperjuangkan. Meski mereka paham punya namanya wakil rakyat.
Jika kita bersua mustahik di pelosok-pelosok, bolehlah coba bertanya tentang para pemimpin di masanya. Maka, Suharto adalah pemimpin yang baik, Habibie presiden yang pintar, Abdurrahman Wahid presiden yang menghibur, Megawati presidennya wong cilik, dan SBY presiden yang murah senyum, santun, dan tampan. Hampir sedikit mustahik yang mengumpat apalagi mencaci.

Lebih arif lagi, mereka amat memahami sulitnya menata negara. Wakil rakyat, presiden dan pembantunya di mata mereka hampir tak ada waktu cuti untuk keluarganya. Apalagi sampai mengunjungi mereka di desa dan pelosok. Meski kadang pendapat ini membuat telinga geli, mereka telah menunjukkan loyalitasnya. Harga-harga yang naik dan kesulitan hidup yang makin melilit tetap dinikmati sebagai bumbu-bumbu hidup.

Akhirnya, realita di lapangan, menunjukkan mustahik menghidupi diri sendiri tanpa sokongan dan tunjangan negara. Mustahik bukan beban lantaran tiap sen yang mereka keluarkan buah dari perasan peluhnya. Mustahik lebih tahan banting ketimbang komunitas mapan yang akan teriak dan oling oleh sedikit guncangan ekonomi.

Meski demikian, bukan berarti dunia mustahik boleh diabaikan. Mustahik yang jumlahnya lebih dari separo jumlah penduduk negeri ini telah berdarma bakti pada bangsanya. Tak ada demo apalagi revolusi karena sudah tak tahan oleh tempaan hidup. Mustahik sangat menyadari anarki hanya akan makin mempersulit nasib.

Lantas, apa balas jasa negara pada mustahik kini. Cukuplah keberpihakan. Tiap yang bersentuhan langsung dengan nasib mustahik, negara cepatlah tanggap. Buatlah kebijakan yang berdampak langsung ke mustahik. Jangan ada pamrih dalam merancang tiap keputusan untuk mereka. Sungguh, banyak mustahik lapar hari ini. Hanya mereka tak teriak.

Jika, mengurus jamaah haji yang kelaparan negara sedemikian cepat, untuk mustahik minimal juga demikian. Jika Senayan geger kasus catering haji, kapan anggota dewan gempar turun ke jalan karena mustahik lapar makin banyak. Mengobarkan gerakan ikat pinggang agar bangsa segera terentas dari belitan utang.

Apakah karena haji diiringi nilai trilyunan rupiah tiap tahunnya hingga istana dan senayan gonjang ganjing? Dan mustahik yang tak ada nilai rupiahnya lantas terhempas. Bukankah jika tak ditakar untung rugi, pelayanan haji mesti dipahami sebagai upaya melayani umat Islam yang hendak bertamu ke rumah Allah. Sebagaimana Raja Arab Saudi digelari khadimul haramain (pelayan dua kota suci).

Bisa pula, kelaparan ini peringatan Allah bagi golongan mampu untuk ingat pada musthaik. Amat mudah bagi Allah untuk menghadirkan lapar dan sengsara bagi orang kaya. Kita yakin, jemaah haji di sana yang kelaparan meresapi hikmah yang terkandung di dalam tragedi ini. Sembari berdoa semoga sesampai di tanah air mereka menjadi haji yang mabrur.

Demikian pula pada penyikapan tragedi Adam Air dan KM Senopati Nusantara. Negara wajib adil memperlakukan keduanya. Kapal laut yang mengangkut lebih dari 600 penumpang itu sudah pasti sarana transportasi mustahik. Jangan sampai menguap karena keluarga korban banyak dari keluarga miskin yang tak berdaya dan berharta.
Bukan mustahil, ini bentuk peringatan Allah pada pemerintah. Sejauh mana empati dan keadilan ditegakkan. Tidak hanya untuk yang kaya dan mampu tetapi juga keadilan buat mustahik.

Dunia mustahik, alam hidup yang penuh ketulusan dan pengorbanan. Guru kehidupan yang mengajarkan makna hidup dan syukur. Bukankah Rasulullah telah berwasiat “carilah aku di antara fakir miskin dan anak yatim”.
Mustahik telah banyak berkorban untuk negara ini. Kini tinggal menunggu keberpihakkan negara pada mereka.

Read More......