Monday, October 30, 2006

Mengintip Suku Kokoda


Tak cukup sekadar syahadat. Mereka perlu hidup mulia dan bermartabat. Ladang kebajikan memanggil kita di ranah Papua.

Landasan pacu pesawat di bandara Domine Edwar Osok (DEO) Sorong menjadi saksi bisu. Saat tiap pagi anak-anak dan orang tua dari Suku Kokoda lalu lalang menyeberangi landasan pacu. Tak hendak mereka naik pesawat di bandara yang menjadi transit para bule datang dan pergi itu. Mereka berpacu dengan mendaratnya pesawat untuk mengantri air bersih. Air yang membuat merinding. Keruh, berbau, dan diambil dari kubangan berlumpur di area bandara.

Tidakkah ada pilihan lain? Jawabnya mudah, seperti kebanyakan orang Papua, mereka contoh satu suku yang tak punya pilihan hidup. Berlahan terhimpit di tanah kelahirannya yang luas dan kaya. Suku Kokoda yang muslim ini hidup di pinggiran pantai dekat bandara DEO, Sorong. Mereka hidup di atas rumah panggung yang compang-camping. Mengumpulkan batu karang untuk dijual sebagai nafkah hidup. Sungguh jauh dari garis sederhana. Jangan dikata itu tabiat apalagi esksotik yang layak diwisatakan. Tetapi Suku Kokoda muslim di pinggiran bandara itu adalah potret komunitas orang Papua yang dimarginalkan.

Pemandangan makin mencabik tat kala pada pagi hari anak-anak Suku Kokoda mengenakan seragam sekolah merah putih. Sekilas terlihat ada nuansa pendidikan di kampung itu. Anak-anak begitu cerianya menenteng robekan buku kumal tanpa pensil. Mereka berlarian menuju Mushola Baitul Muttaqin Kokoda yang bangunannya paling layak. Di dalam dan serambi mushola mereka duduk bersimpuh seakan menunggu datangnya guru. Sejam berlalu, tak ada tanda-tanda aktivitas belajar dimulai. Penasaran pun mengusik sembari mencari-cari di mana letak sekolah mereka.

Akhirnya terkuak, sebuah jawaban yang menohok batin. Memukul kesadaran betapa selama ini kita termangu bisu. Seakan mereka menyuguhkan hidup tanpa beban. Menyibak generasi Papua masa depan, seperti generasi tanpa pengharapan. “Tidak ada guru di sini, juga tidak ada sekolah. Anak-anak senang saja pakai seragam karena mereka ingin seperti umumnya anak-anak pendatang yang sekolah. Mushola ini seperti menjadi tempat sekolah bagi mereka”, ungkap Agung Sibela, dai kelahiran Ternate yang mendampingi komunitas muslim Suku Kokoda.

Jawaban itu bak petir memecahkan gendang telinga. Wajah-wajah polos anak-anak Suku Kokoda makin membuat kaki berat beranjak. Menatap mata mereka yang penuh harap, angan melayang ke Jakarta. Saat anak-anak kita tengah menikmati nyamannya belajar di sekola-sekolah Islam berkelas mahal, anak-anak Suku Kokoda menikmati kemalangan belajar. Persaudaraan sesama muslim mendadak tergugat. Penindasan dan penjajahan kebodohan itu ternyata nyata ada di kulit kita. Maka tak perlu malu mengaku jika kita nyaris acuh pada nasib saudara kita itu.

Stigma Buruk

Berbincang Papua, kerap terngiang di pendengaran bahwa mereka komunitas yang bodoh, jorok, tidak bisa diatur, dan malas. Tuduhan yang kerap dilontarkan pendatang maupun orang-orang luar Papua. Acap kali mencari jawab apa musabab mereka terbelakang, nyaris jawaban itu sama dilontarkan. Tetapi beruntung masih ada orang seperti Agung Sibela yang berfikir dengan kearifan lokal. Bahwa stigma itu tidak sepenuhnya benar. Ada sis-sisi lain yang tak pernah disentuh untuk mereka. Yakni kearifan lokal, keikhlasan, dan kesabaran dalam mendampingi mereka.

Untuk mengubah nasib orang Papua tidak cukup dengan menghadirkan pendatang sebagai transmigran. Nyatanya dalam persaingan, orang lokallah yang akhirnya tersisih. Sementara pendatang cenderung bertahan dengan meluaskan daerah kekuasaannya. Hal ini dapat dimafhumi karena mereka harus menyiapkan nasib anak cucu pada rentang masa depan. Seorang pengusaha travel yang punya dua KTP, Jakarta dan Sorong malah sangat semangat menuding orang-orang lokal itu pemalas. Padahal ia langganan pelaksana proyek Pemda Sorong.

Jika memahami orang Papua dengan kaca mata pendatang yang pengusaha, maka masyarakat lokal adalah beban. Meminjam istilah Agung Sibela, pendatang yang pedagang atau pengusaha tak mau tahu nasib orang asli Papua. Selama mereka tidak saling mengganggu, peduli amat mau jadi apa kelak generi Papua. Pada akhirnya yang ketiban tanggung jawab adalah pemerintah sebagai pengatur negara yang begitu luas. Musti begitu, betapa elok jika pendatang pun turut mengambil tanggung jawa itu. Apa sebab? Karena ia hidup dan membangun kerajaan bisnis dari tanah yang menjadi hak rakyat Papua.

Membangun masyarakat Papua memang tak mudah. Terlebih saat pendatang dari luar negeri bebas bercokol di tanah kaya ini. Persoalan menjadi pelik. Sebagian orang pedalaman malah sudah pintar dalam hal-hal tertentu. Misalnya mematok tanah yang akan dijadikan pemerintah untuk sarana infrastruktur membangun jalan penghubung misalnya. Mereka minta ganti rugi di atas batas kewajaran, akhirnya Pemerintah menjadi stagnan. Padahal dengan pembangunan itu akan memudahkan transformasi budaya dan nilai. Sehingga membangun masyarakat pedalaman makin mudah dan cepat.

Anehnya, ada seorang warga negara asing begitu leluasa punya sarana wisata di pedalaman Papua. Hotel dan tempat berlibur bagi turis untuk melihat eksotik alam papua dan masyarakat aslinya. Dengan membayar mahal para turis bisa melihat kehdupan asli suku pedalaman. Yang menurut mereka sebuah budaya yang wajib dilestarikan. Jika boleh berprasangka, kondisi masyarakat pedalaman Papua yang termarginalkan seperti disengaja sebagai obyek wisata. Maka akses pembangunan untuk mereka seperti dipangkas.

Untuk menangani kasus HIV/AIDS yang subur di Papua misalnya, amat sederhana yang dilakukan LSM asing. Cukup dengan membagi kondom gratis dan menaruh bebas begitu saja di hotel dan penginapan. Tidak ada transfer nilai-nilai berbudaya dalam melakukan hubungan seks. Seperti promosi bahwa hubungan itu hanya boleh dilakukan oleh suami istri yang terikat pernikahan. Di Sorong, kondisi prostitusi nyatanya juga makin subur. Dan kondom bagi mereka seperti telah menjadi solusi terbaik.

Jika kita terpantik peduli, melihat realita ini pastinya geram. Namun, dengan berbagai kepentingan yang diusung dari negara asalnya, pendatang asing itu sudah berbuat untuk masyarakat Papua. Sementara untuk Suku Kokoda yang muslim dan minoritas saja kita tidak berdaya. Bisa jadi, baru tahu malah. Kini, dapatkah energi kita dibagi untuk mewujudkan model komunitas muslim asli Papua yang sejatinya telah menguasai pesisir Papua jauh sebelum Indonesia merdeka.

Komunitas muslim Papua yang terstigma miskin, bodoh, jorok, dan malas menjadi ladang kemanusiaan untuk beramal. Tak cukup sekadar mensyahadatkan mereka dan mendadak marah tat kala mereka berpaling akidah. Jika pintu hidayah mereka telah terbuka, taggung jawab kitalah mendampingi dan menghapus stigma itu. Saatnya memberi contoh bagaimana Islam memanusiakan manusia dan menjadikan rakyat Papua tuan di tanahnya sendiri. Jangan tunggu cahaya Islam lenyap dari ranah Papua lantaran kita hanya asyik menyeru kebajikan di komunitas mapan.

Read More......

Menanti Kebijakan Berpihak

Negara sudah berpihak pada nasib birokrat dan pejabat pemerintah secara keuangan dapur. Lantas kapan dapur mustahik benar-benar dibela?

Saat Presiden mengumumkan kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) 15 persen, di benak kita barangkali berprasangka para PNS berjingkrak di malam 17 Agustus 2006. Kira-kira mirip nonton bareng Piala Dunia. Saat jagoannya melesakkan gol ke gawang lawan, lantas penonton bersorak-sorai meluapkan kegembiraannya. Nyatanya kado Negara untuk PNS menandai umur Indonesia ke-61 tahun ini, tak sepenuhnya disambut gembira.

Mardianto, seorang PNS di Depok menanggapi kenaikan gaji ini biasa saja. Tak ada yang istimewa. Menurutnya, saat gaji naik biasanya dibarengi harga kebutuhan pokok yang ikut menanjak. Lebih jauh, ia memahami maksud baik pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan PNS tetapi caranya kerap tidak tepat.

“Ibarat kita menyelamatkan bayi yang dibuang ke kali. Tetapi kita tidak pernah menyelamatkan atau menyentuh masalah dasar pembuang bayi itu. Jika itu yang dilakukan, masalah dasar yang ingin ditangani pemerintah tidak akan pernah selesai. Pemerintah akan terus menjadi pemungut bayi, sementara pembuang bayi tidak berhenti”, ungkap Mardianto mengibaratkan.

Tanggapan senada disampaikan Siti Rahayu, seorang pegawai swasta di bilangan Tamrin. Bagi ibu beranak tiga ini, saat Presiden mengungkapkan kenaikan gaji, sama halnya Presiden sedang mengumumkan kenaikan inflasi. Kebiasaan latah di negeri ini, acapkali ada kabar kenaikan dari pemerintah selalu disusul kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

“Lihat saja nanti, harga-harga pasti naik. Kalau PNS, kenaikan dapat ditomboki gajinya yang naik. Tapi kalau pegawai swasta seperti saya hanya terkena imbasnya saja, nombok terus”, kata Rahayu bersungut.

Menilik ungkapan Mardianto dan Rahayu, ada pertanyaan yang mengusik batin. Jika mereka yang punya penghasilan bulanan saja masih mengeluh, lantas bagaimana suara hati sebagian besar masyarakat yang kondisi ekonominya hari ini sulit. Berita orang tua mengakhiri hidup karena tak berdaya menanggung beban ekonomi hampir tiap hari hadir mengusik. Hidup dirasai begitu beratnya hingga mengakhiri nyawa menjadi satu-satunya solusi.

Bagi yang pernah hidup susah, meniti hari-hari tanpa jaminan asupan hidup sungguh sulit dan pelik. Jika iman tak kebal godaan syetan, dorongan berlaku kejahatan kerap tak terhindarkan. Keadilan bagi orang miskin selalu tegak dan tegas. Taringnya menakutkan dan wibawanya amat agung. Maka jika ada orang miskin mengutil, keadilan sangat tegas menyalahkan orang kecil ini berlaku dosa. Malah, tanpa tedeng aling-aling wajah sang maling diumbar bebas di media massa.

Sebaliknya, pada kalangan atas keadilan adalah biduk catur yang dipermainkan dan diatur. Saat mereka dengan jelas-jelas mencuri dan hidup dari fasilitas korupsi tetap saja nyaman mengenyam hidup. Jikapun apes menjadi tersangka, wajahnya sulit nongol di media massa.

Sumber isu dan berita memang selalu orang-orang miskin. Sedu sedan mereka merangkak hidup menjadi naskah yang selalu menyuguhkan cerita dramatis kemanusiaan bertumpuk-tumpuk. Saat mereka lalai hingga betindak jahat, juga berita yang tak habis-habisnya dikupas. Kamera tak akan berhenti membidik mereka untuk diketahui khalayak.

Tetapi sungguh rapi informasi membungkus geliat hidup kelas the haves. Berita tak mampu menyibak bagaimana mereka mampu survive dengan kenyamanannya. Dari mana asal dana-dana yang mengalir ke rekening pribadi juga tak terusik. Selama berstatus sebagai pejabat atau bisnisman, alasan hidup mewah sudah cukup masuk akal. Pun, saat mereka menuai korupsi, kenyamanan tetap saja abadi. Etika dan kehormatan begitu kokoh mejaga mereka. Berbeda saat seorang pencuri diarak keliling kampung karena mencuri ayam kampung.

Perlakuan semacam ini makin subur saban hari. Ketimpangan yang makin mejulang. Saat Presiden mengumandangkan naskah naik gaji sesungguhnya ia tengah menyenangkan kelompoknya. Sementara ia tersenyum dalam bingkai tulus atau politis, sebagian besar masyarakat miskin tercabik. Tidak ada yang salah pemerintah mensejahterakan pegawainya. Tetapi yang dinanti, kapan pidato Presiden menetapkan kenaikan jatah hidup untuk masyarakat miskin.

Selalu saja, kebijakan-kebijakan yang dibuat negara tak pernah sepenuh hati memihak mereka. Kenaikan anggaran dan pemberian fasilitas selalu demi kenyamanan birokrat yang dianggap mengurus rakyat. Pun, program-program yang ada kerap sebatas jargon-jargon. Kalau toh terealisasi, seberti BLT misalnya, operasionalnya kerap menyakitkan. Orang harus berantem lebih dulu untuk memperolehnya. Isinya selalu melukai hati, menyengsarakan, bukan meringankan beban.

Zuhud

Menuruti emosi, dalam kondisi ekonomi sulit hari ini ibarat sumbu pendek. Mudah marah dan mengamuk. Orang lemah bingung mengadu dan tak tahu kemana berkeluh kesah. Orang miskin nasibnya terabi, dipaksa mencari jalan hidup sendiri-sendiri. Mereka seakan ditohok, siapa suruh lahir dan hidup miskin. Tak berlebih jika dikata, mereka tidak ada yang mengurus, layaknya amanat UUD 45 yang diagungkan itu.

Untuk meredam ledakan ketidakadilan ini, kiranya ada peluruh hati yang dapat membentengi diri. Peluruh itu bernama zuhud. Perawi hadis Ibnu Majah mengisahkan, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ''Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku lakukan, maka aku akan dicintai oleh Allah dan juga oleh manusia.''

Rasulullah menjawab, ''Berlaku zuhud-lah kamu terhadap kenikmatan dunia niscaya kamu akan dicintai Allah, dan berlaku zuhud-lah kamu di tengah manusia niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.'' Hadis di atas mengisyaratkan suatu perilaku yang dapat mengantarkan seseorang meraih cinta Allah SWT dan manusia. Perilaku itu adalah zuhud. Berlaku zuhud tidak berarti berdiam diri dan tidak melakukan usaha apa pun untuk mendapatkan rezeki yang halal.

Zuhud bukan sikap malas. Seorang zahid (orang yang zuhud) sama sekali tidak identik dengan orang fakir yang tidak mempunyai harta apa pun. Seorang zahid adalah orang yang mendapatkan kenikmatan dunia tetapi tidak memalingkan dirinya dari ibadah kepada Allah. Zuhud adalah perbuatan hati (af'al al-qulub). Seorang zahid, dalam hatinya tumbuh keyakinan bahwa apa yang ada dalam genggaman Allah lebih bernilai daripada yang ada dalam genggaman manusia.

Dalam bermasyarakat, seorang zahid mampu menahan diri untuk tidak mengambil hak milik orang lain dengan cara yang dilarang oleh agama. Seorang zahid tidak akan dengki terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Ia sadar, perbedaan nikmat yang diberikan Allah kepada manusia adalah ujian bagi ketaatannya kepada Allah. Rasulullah SAW memerintahkan setiap Muslim untuk menjauhi sifat dengki karena dapat menghapus semua pahala kebaikan seperti api melalap kayu bakar.

Akhirnya relakan negara menaikan kesejahteraan pegawainya. Sementara orang miskin belajar sabar kekal, menerima ketidakberpihakan negara padanya dengan belajar zuhud. Maka tak perlu sungkan para birokrat dan pemimpin negeri ini bercermin pada orang miskin. Syukur-syukur jika berkenan mencicipi buah zuhud.

Read More......

Gagal UAN Bukan Kiamat

Pemerintah menetapkan standar 4,25 untuk lulus dalam UAN. Angka ini menghadirkan polemik di kalangan yang gagal melampauinya. Tetapi gagal UAN, bukan berarti kiamat. Jalan masih panjang.

“Ujian” kata yang tak asing di telinga. Mengandungi berjuta makna yang di dalamnya ada kerja keras, usaha, kejujuran, dan keiklhasan. Jika “ujian” itu terlampaui dengan baik, maka dapat dikata menang. Disebut berhasil, juga sukses. Bila “ujian” itu gagal dilalui, orang banyak merasainya sebagai kegagalan. Malah ada yang bilang, nasib buruk. Dunia seakan sudah kiamat. Tak ada lagi harapan. Ujian akhirnya dipandang sebagai batu sandungan meraih cita-cita.

Ketahanan tiap orang berbeda dalam melakoni ujian ini. Golongan yang dewasa dan matang cenderung lebih arif, bijak, dan sabar. Terbalik dengan kaum muda yang menatap ujian sebagai tantangan. Ujian bak tembok angkuh yang menantang andrenalin. Sayangnya, jika gagal melewati ujian ini tak jarang ditumbur frustasi. Jalan pendeknya, memilih bunuh diri karena memandang ujian sebagai tombol penekan untuk menentukan nasibnya. Seperti tak ada lagi jalan lain.

Senin (19/6), menjadi hari bersejarah bagi murid kelas III SMA/SMK. Saat hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) diumumkan, dua gelombang perasaan beradu. Ledakan gembira, sorak-sorai berderai dari siswa-siswi yang mampu melampaui angka 4,25. Pun, tak sedikit yang meratap kaku karena gagal melampaui angka itu. Tak pelak, UAN dituding sebagai biang keladi kegagalan ini. UAN, tatanan yang dipandang anti kemanusiaan hingga diajukan ke Komnas HAM. UAN telah menjadi daya kejut yang mendebarkan.

Pemerintah agaknya sudah gerah dengan realita rendahnya kualitas SDM bangsa. Untuk mengurai itu, salah satu kebijakan yang dilakukan dengan mematok standar kelulusan 4,25. Menurut Mendiknas, Bambang Sudibyo, patokan ini ingin agar terlahir lulusan terbaik. Targetnya, bisa menciptakan lulusan yang berkualitas nasioal dan internasional sekaligus. Palu telah diketok dan kebijakan dijalankan. Ditentang, diberondong lemparan kritik sekalipun kebijakan musti tetap tegak. Jika surut tak ubahnya singa tiada bertaring. Sebaliknya, dengan legowo pemerintah juga musti memberi solusi bagi yang kecewa oleh angka 4,25 itu.

Sayangnya tradisi bangsa ini gemar hidup pada aturan abu-abu. Menekuk-nekuk besi yang lurus, membolak-balikkan arah jalan yang benar. Enggan mengaku gagal, tak mau disebut kalah. Untuk mengakomodir kekecewaan bagi yang tak lulus, DPR teramat pintar menawarkan solusi dalam wujud ujian ulang. Untuk solusi sekelas itu, siapapun bisa memberikannya. Tak perlu selevel anggota dewan. Jika itu jalan keluarnya, lebih baik patokan angka 4,25 itu dihapuskan saja. Padahal dengan kekuasaannya, DPR dapat memberi solusi lebih cerdas dengan meminta pemerintah menggratiskan biaya pendidikan setahun bagi yang gagal UAN.

Pun, UAN telah menjadi standar gengsi. Tak ubahnya Sepak bola Piala Dunia yang mempertaruhkan gengsi, nasionalisme, dan harga diri. Tiga hal yang menakar ego setiap diri yang mau mengejar prestasi. Tak heran jika Zinedine Zidane sampai meringis oleh cakaran Johan Vogel. Meski dalam aturan, yang boleh aktif hanya bola dan kaki. Untuk tiga hal itu pula, Tomas Galasek dari Republik Ceko, enteng saja meniban pemain Amerika Serikat, Eddie Johnson dengan pantat. Kebrutalan-kebrutalan itu pun berlangsung sepanjang pertandingan. Meski sebelumnya bendera kuning bertuliskan “My game is fair play” dibentangkan sebelum pertandingan.

Standar gengsi ini pula yang turut menciderai UAN. Mirip-mirip Piala Dunia, “May game is fair play” tercoreng oleh ulah sebagian guru yang membiarkan anak didiknya mencontek saat ujian. Bocor soal pun sudah bukan rahasia lagi. Langkah ini bisa dibilang kepepet agar standar 4,25 itu terkejar. Telepon seluler pun main sikut dengan pesan singkatnya. Menukil Indonesian Corruption Watch, yang menyebut kecurangan pelaksanaan UAN sebagai akibat hasilnya menjadi prestise kepala sekolah dan kepala dinas. Jika demikian pemerintah masih gagal mengubah karakter bangsanya. Lantas apa arti 4,25 itu dipatok, jika mental maling dan tak percaya diri masih menjiwai dunia pendidikan.

Gagal bukan kiamat

UAN juga menghadirkan perlawanan kalangan yang tak lulus ujian. Mereka tak sendiri, para orang tua sebagian ikut terlibat mengajukan protes. Dari datang langsung ke gedung DPR, mendatangi Komisi Nasional Perlindungan Anak sampai Komnas HAM. Demikian hebat kiranya dampak UAN. Lulus dan tidak lulus akhirnya terkait dengan masalah hak azasi manusia. Keberatan ini dapat dimafhumi mengingat rata-rata anak mereka adalah juara di kelasnya. Sebuah kenyataan pahit menyaksikan sang juara tumbang di ajang UAN.

Kekecewaan ini ditambah hitung-hitungan biaya sekolah yang digelontorkan dari kocek orang tua selama ini. Bagi kalangan mampu, biaya sekolah setahun tidaklah terasa. Tetapi bagi orang tua sepeti Rofiq (40) yang anaknya gagal UAN, biaya SMA setahun sebuah beban berat. Sebagai tukang ojeg di bilangan pasar Ciputat, penghasilannya amat berat untuk menunjang hidup dan sekolah tiga anaknya.

“Saya tak marah sama anak. Kecewa pasti ada tapi kami sudah biasa hidup susah dan kecewa. Ini pelajaran buat anak agar dia belajar sungguh-sungguh. Hanya saya minta pada pemerintah agar biaya mengulang sekolah setahun itu digratiskan, biar saya dapat membiayai anak saya yang lain”, kata Rofiq yang sudah tujuh tahun ngojeg.

Orang susah seperti Rofiq cenderung arif menerima kenyataan. Jika saja ia mampu secara ekonomi mungkin akan turut bergabung dengan yang lain untuk berunjuk keberatan. Rofiq tak sempat, sejengkal waktu baginya ladang untuk mencangkul nafkah. Hikmah lain yang sarat pesan, ia memahami kegagalan anaknya sebagai ujian. Tempaan hidup yang sulit bertahun-tahun membuatnya lapang mengakui kalah dan gagal. Tetapi jiwa semacam ini tak tentu dimiliki semua orang yang menganggap kegagalan sebagai hikmah. Atau istilah yang membesarkan hati, “kegagalan, keberhasilan yang tertunda”.

Bercermin pada Rofiq, yang kurang dimiliki bangsa ini sepertinya, keberanian mengakui kegagalan. Nyaris tak ada yang berani tegak mengakui keunggulan lawan. Selalu ada celah untuk menjegal dan menggali lobang untuk menjebak. Kegagalan dipandang sebagai aib yang memalukan. Jarang yang merenungi kegagalan sebagai guru kehidupan. Kegagalan sebagai pintu lain yang ditunda Allah untuk pilihan yang lebih baik. Kita seakan tak siap hidup diatur. Padahal menengok bangsa tetangga, mereka mencapai kemajuan karena tegaknya aturan negara.

Jika sedari dini yang ditanamkan pada generasi muda adalah ketidak legowoan menerima kegagalan, maka gengsilah yang akan menjadi standar hidup. UAN yang mematok angka 4,25 telah menjadi pilihan pemerintah untuk mendongkrak kualitas generasi bangsa. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, negara tengah mencoba punya standar pendidikan. Sulit dan pahit, kiranya sistem pendidikan kita musti ada yang menggawangi. Asal tak terus dicurangi. Tugas orang tua kini, mendampingi putra putrinya menyelami makna kegagalan sebagai ujian untuk meraih hidup yang lebih baik.

Berkaca pada Piala Dunia. Selalu ada yang menang dan kalah. Gagal dan berhasil sudah keniscayaan. Gagal UAN bukan berarti kiamat. Masih ada celah dan kesempatan. Sebaliknya, angka 4,25 tiada arti jika karakter maling masih ditularkan pendidik pada anak muridnya, hanya karena standar gengsi nilai. Sebuah aib paling memalukan bagi dunia pendidikan kita.

Read More......

Dampak Koreksi Alam

Alam semesta dibentang luas dan di dalamnya diletakkan mekanisme keseimbangan. Janganlah kalian merusak keseimbangan itu. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan jangan kalian merusak keseimbangan.” (QS ar-Rahman/ 55:7-9)

Ikan sepat itu besarnya tak lebih dari jempol kaki. Melihat kelebatnya di dalam air keruh, tak tega untuk mengoyak. Nafasnya seperti megap-megap. Jika ditangkappun tak rela hati rasanya memakannya. Tetapi pemandangan di pinggir kali Desa Jombang, Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, sore itu menyuguhkan kenyataan lain. Ikan-ikan kali yang tak menarik minat, nyatanya salah satu sumber penghidupan sebagian besar warga desa itu.

Seorang ibu dengan anak kecilnya, hampir setengah hari termangu di pinggir kali. Menggunakan joran dari bambu, ia berjam-jam mancing ikan-ikan kecil. Saat ember hitam kecil yang dibawanya ditengok, di dalamnya ada beberapa ikan sepat kecil. Melihat wujudnya, sejenak pikiran menduga-guga. “Ah, paling juga buat mainan anaknya”.

Dialog kecil pun terjadi. Nyatanya ikan itu tidak untuk mainan melainkan lauk makan. Bertahun-tahun rutinitas itu dijalani saban hari. Kali telah menjadi sumber pasokan gizi. Tak ada pasar, kalau toh ingin belanja perlu dana Rp 24.000,- untuk sekali pergi. Nilai yang amat besar untuk masyarakat yang tinggal di pedalaman. Bisa pergi ke pasar tak tentu dua bulan sekali. Pasar ibarat pusat kota yang kerap diimpikan untuk didatangi. Sayang tak semua orang dapat berkunjung ke pusat perdagangan tradisional itu.

Dari faktor alam, masyarakat Satui pedalaman yang sebagian kaum transmigran mustinya tak hidup miskin. Desa Jombang, dikepung hutan sawit yang katanya milik pengusaha Malaysia. Gunung-gunung di sekitarnya juga menimbun batubara dan permata. Menurut informasi warga, satu gunung yang mengandung hasil tambang dapat dilumat dalam waktu semalam dengan alat-alat berat. Siang masih bentuk gundukan, esok hari tumbang jadi cekungan.

Penghancuran gunung-gunung itu hasilnya, bukan berkah ketularan makmur yang dirasai masyarakat. Melainkan kiriman banjir yang merendam rumah mereka. Dua minggu lalu Satui tenggelam oleh banjir yag menghanyutkan harta benda. Beruntung, arusnya tak menggulung rumah-rumah panggung di desa itu. Setelah air susut rumah masih utuh, dapat ditempati lagi kecuali sebagian harta benda yang hanyut terseret arus.

Menurut masyarakat, banjir tak biasanya besar, paling hebat menggenangi kaki-kaki rumah panggung. Tetapi tahun ini ketinggian air mencapai atap rumah. Dilihat dari curah hujan, menurut mereka masih normal. Perusahaan pertambangan pun tak pelak ditengarahi sebagai biang keladi. Masyarakat hanya dapat diam, tak berdaya untuk protes. Apalagi untuk teriak sekeras-kerasnya, dari pedalaman tetaplah senyap tak terdengar.

Untuk keluar dari desa itu saja musti melalui jalan milik perkebunan dan pertambangan. Jalur lain melalui sungai. Maka protes dan geram cukup menancap di hati dan sekadar bisik-bisik di antara mereka. Beradu debat sudah pasti kalah. Dari pasokan makanan saja bak bumi dengan langit. Kaum berkuasa mengisi perutnya dengan daging dan susu. Sementara, masyarakat pedalaman lauk ikan sepat saja sudah istimewa.

Kabar banjir pun surut. Mengering, beriring nasib mereka yang ikut susut. Makin hari menanjak miskin. Tambah bulan menjadi bulan-bulanan. Beriring tahun kesulitan hidup akan terus turun temurun. Namun, jika hujan kembali datang, banjir bandang pastinya kan jadi langganan. Sumbernya, hutan dan gunung tak henti-henti dikuras tanpa sentuhan nurani. Tidak memikirkan keseimbangan alam. Kiblat yang jadi haluan adalah keuntungan bisnis dari kekayaan milik Allah ini.

Memahami alam

Kalimantan dan Sulawesi baru saja menuai banjir. Di Sinjai, Sulawesi Selatan, kedahsyatan banjir bandang dari gunung masih membekas. Rasanya, gerak tanah dan cuaca tengah berjalan menyeimbangkan diri. Maka kekeringan yang berdampak pada kelangkaan air dan gagal panen hari ini terus terjadi. Waduk di Jawa yang menampung curah air makin sepi pasokan. Berita hari ini pun berganti dalam hitungan jam. Dari banjir bandang secepat kilat jadi tema kekeringan.

Dari laporan yang dibeberkan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jateng, kerusakan lingkungan menyebabkan daerah aliran sungai tidak dapat berfungsi optimal. Pada musim kemarau sungai kering, dan musim hujan banjir bandang. Dirjen Sumber Daya Air, PU, Siswoko juga mengungkapkan kerusakan lingkungan menjadi salah satu sebab daerah aliran sungai tidak dapat menahan arus air dengan baik. Hingga berdampak pada kekeringan di daerah aliran sungai

Melihat gerak bencana alam (tsunami, gempa, banjir, dan kemarau) yang susul menyusul, sekali lagi kiranya perlu untuk memahami alam. “Alam semesta dibentang luas dan di dalamnya diletakkan mekanisme keseimbangan. Janganlah kalian merusak keseimbangan itu. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan jangan kalian merusak keseimbangan.” (QS ar-Rahman/ 55:7-9)

Di jagad raya ada keseimbangan kosmis. Di bumi ada keseimbangan ekologis. Dalam kehidupan manusia ada keseimbangn sosial yang lebih dikenal sebagai “Keadilan”. Tiap-tiap terjadi gangguan pada keseimbangan itu alam akan melakukan koreksi dan pemulihan. Alam bisa berdehem dan batuk, alam juga bisa menggeliat dan meronta. Semua peristiwa alam mengalir alami saja. Mereka bertindak sekadar menjaga kelangsungan hidup, memelihara keseimbangan dan bertasbih kepada Allah Sang Pencipta. Alam tidak bermaksud jahat dan Allah SWT tidak menempatkan kejahatan di alam.

Ketika sumber-sumber alam di permukaan bumi sudah dikuras secara serakah dan zhalim, alam tidak marah, ia hanya akan bereaksi dengan banjir dan longsor, atau gempa bumi dan letusan gunung berapi, untuk memulihkan ketersediaan sumber-sumber alam itu. Letusan Gunung Galunggung di awal tahun 80-an telah menambah sediaan pasir yang hingga kini tak habis-habisnya diangkut ke kota-kota besar sebagai bahan bangunan meski diangkut dengan ratusan gerbong kereta api setiap harinya. Juga letusan gunung selalu menyediakan kesuburan bagi daerah sekitarnya.

Allah SWT sangat menyayangi manusia, melebihi sayangnya manusia terhadap dirinya sendiri, dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Ia tak akan merusak karya-Nya sendiri dengan sia-sia. Einstein bilang: “Tuhan tidak sedang bermain dadu dengan alam ini”. Kalau pun ada yang harus Ia hancurkan dulu, itu karena Ia hendak menata ulang agar segalanya menjadi lebih indah dan lebih harmonis lagi. Keseimbangan terus dijaga-Nya, perbaikan terus diselenggarakan-Nya, Ia adalah Sang Pemelihara Alam (Rabb al-Alamin).

Akhirnya, di manapun di muka bumi ini, ketika muncul keserakahan terhadap alam serta ketidakadilan sosial dan kezaliman, bumi akan terundang untuk melakukan langkah-langkah koreksi. Sesungguhnya Alam memberikan respon terhadap apa yang dilakukan oleh manusia. Sayang kita tak menyadarinya, dan menyebutnya ’bencana alam’ yang ganas dan jahat.

Read More......

Wakaf Gelicok

Wakaf Gelicok dikreasi sebuah komunitas masyarakat terpencil. Contoh wakaf untuk menghidupi pendidikan.

Wakaf “Gelicok”. Nama ini pastinya sangat asing di pendengaran kita. Tak sekadar asing, malah belum pernah ada, baik di Jakarta maupun di Indonesia. Gelicok mengemuka dan tengah semangat digalakkan di tengah masyarakat kepulauan terpencil. Tepatnya oleh masyarakat Mansamat, Tinangkung Selatan di Pulau Peling dalam deretan Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.

Gelicok (Gerakan Lima Pohon Coklat). Masyarakat Desa Mansamat pada mulanya diusik gelisah oleh kebodohan yang menjajah generasinya. Sarana pendidikan di pulau yang berdiri tegak monumen Trikora itu amat memprihatinkan. Sampai delapan bulan lalu, masyarakat memimpikan punya sekolah tingkat SMA di pulaunya. Kerinduan akan pendidikan yang bertahun-tahun dipendam. Sebuah kesadaran yang luar biasa, bahwa mereka sadar hanya dengan pedidikan kemajuan daerah tertinggal dapat dicapai.

Saat Dompet Dhuafa Republika (DD) membuat program pembangunan pendidikan di pulau-pulau terpencil, Banggai Kepulauan (Bangkep) menjadi salah satu titik yang dipilih. Secara histories, DD memiliki kedekatan dengan masyarakat Bangkep sejak gempa Mei 2000 silam. Suasana mengharukan terjadi pada Desember 2005. Ketika itu masyarakat desa Mansamat berebut mewakafkan tanahnya untuk lokasi pembangunan sekolah. Dilihat dari letak, semua yang ditawarkan strategis, tanah datar dan di pinggir jalan. Sebuah pilihan yang sulit saat itu. Sampai akhirnya untuk menghindari kecemburuan masyarakat, lokasi ditetapkan di tanah milik pemerintah desa.

Delapan bulan berlalu. Sampai pada penghujung, Selasa (22/8) bangunan sekolah termegah untuk ukuran Bangkep berdiri. Masyarakat menamai sekolah yang diresmikan Presiden DD, Rahmad Riyadi dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangkep, Anwar Hasan ini “SMA Pertama”. Masyarakat Mansamat meluapkan kegembiraannya, terlebih selama proses pembangunannya dikerjakan secara gotong royong.

Namun bukan bangunan fisik semata yang dibangun. DD melalui Lembaga Pengembangan Insani (LPI) memberikan pendampingan selama satu tahun. Seiring gedung dibangun, recruitment guru dilakukan. Terpilih enam guru dan kepala sekolah asli putra daerah. Mereka dibawa ke Jakarta selama satu bulan untuk training sistem pendidikan. Hingga dicapai standar pengajaran sekolah unggulan yang mulai diterapkan hari ini di SMA Pertama. Sejak sebulan lalu sekolah ini pun mulai mengawali proses belajar mengajar.

“Wah, belum ada sekolah sebagus ini di Banggai. Kami bangga sekali sudah punya sekolah sendiri. Keren, cara belajarnya juga tidak seperti sekolah umumnya. Punya komputer sendiri lagi”, komentar Sumiarti Abu Tiama salah seorang siswa yang sudah dua tahun lalu lulus SMP. Namun agar sekolah yang melibatkan swadaya masyarakat ini eksis, banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Apalagi sekolah ini digagas sebagai sekolah unggulan dengan biaya termurah dan dapat dijangkau masyarakat yang mayoritas dhuafa. Pertanyaan yang mencuat, apa mungkin dengan biaya murah pendidikan berkualitas dapat mereka wujudkan.

Tugas rumah jangka panjang itu meliputi biaya operasional sekolah dan gaji tenaga pengajar. Setelah fasilitas gedung dibangun dan sistem pendidikan diberikan, masyarakat harus memikirkan nasib jangka panjang sekolah yang sudah menampung 76 murid ini. Maka saat peresmian yang dikemas masyarakat dengan meriah hari itu, sekaligus masyarakat desa Mansamat mendeklarasikan “Gerakan Gelicok”. Setiap masyarakat menyumbangkan lima pohon coklat siap panen. Mereka melakukan itu atas inisiatif pribadi, hingga sampai pada saat peresmiaan itu diperoleh 315 pohon coklat yang akan dikelola pihak komite sekolah.

Mansamat di sisi lain juga wajah komunitas masyarakat yang ramah. Nilai-nilai gotong royong dan kepedulian masih bestari di desa ini. Tiap jengkal pekerjaaan yang membawa kemaslahatan bersama selalu dikerjakan secara berjamaah. Masyarakat selalu terbuka menerima tamu yang datang dengan itikad baik. Mereka tidak akan segan direpotkan. Pun tulus memberikan apa yang dipunyai jika itu mampu membahagiakan orang lain. Nilai-nilai yang saat ini sulit ditemui di belahan lain Indonesia.

Gelicok Wakaf Investasi

Masyarakat sebenarnya tidak memahami Gelicok sebagai wakaf investasi. Kesan yang terlihat amat sepele dan sederhana. Tetapi apa yang masyarakat Mansamat lakukan untuk mendongkrak peningkatan pendidikan, bentuk langkah nyata dari gerakan wakaf investasi. Saat kita tengah mencari model wakaf investasi yang mampu membawa kemaslahatan, Gelicok memberi contoh sederhana yang mudah ditiru. Langkah apik yang dipetik dari rembugkan kampung ini, kini menjadi salah satu solusi menghidupi keberadaan sekolah.

Dari 315 pohon coklat, tiap triwulan mampu menghasilkan lebih kurang Rp 3 juta. Hasil yang cukup besar untuk menghidupi kelangsungan pendidikan di Mansamat. Amran Ahmad (50), salah seorang penyumbang Gelicok yang memberikan lima pohon coklat tidak memahami apa yang ia berikan sebagai wujud wakaf investasi. Amran dilihat dari sisi ekonomi bukan seorang juragan colat. Di kebunnya ia hanya memiliki 50 pohon coklat. Rumahnya pun amat sederhana. Meski anaknya tidak ada yang sekolah di SMA Pertama, tetapi ia menyadari menjadi bagian dari pemanggul tanggung jawab masa depan generasi Mansamat.

“Kami sangat senang punya sekolah di sini. Anak cucu harus maju, kami yang tinggal di pulau ini sudah capek menunggu-nunggu. Orang Jakarta saja mau jauh-jauh datang kemari untuk membangun pendidikan, kami yang di sini tak boleh diam saja”, ungkap Amran semangat. Melihat animo masyarakat yang demikian tinggi, tak pelak Kepala Dinas Pendidikan Bangkep terperangah. Ia tak menyangka jika keinginan masyarakat memiliki sekolah sangat tinggi. Meski bukan sekolah negeri, ia berjanji akan memperjuangkan eksistensi sekolah ini di tingkat pemerintah provinsi.

“Di luar dugaan saya jika sekolah ini dikemas demikian hebat. Dilengkapi komputer dan ditambah standarisasi pendidikan sekolah sekelas Jakarta. Dari fisik saja, di seluruh Bangkep baru SMA ini yang lantai sekolahnya keramik. Saya juga kaget masyarakat begitu antusias sampai membuat gerakan Gelicok dengan menyumbangkan pertaniaan mereka yang menjadi penopang hidup sehari-hari”, komentar Anwar Hasan sambil berpesan agar Gelicok dapat ditularkan ke wilayah Bangkep lainnya.

Gelicok, kini tidak sekadar peran kepeduliaan biasa. Gelicok telah menjadi model wakaf investasi yang digagas komunitas masyarakat terpencil. Meski tentang wakaf investasi atau wakaf tunai itu sendiri, di kalangan masyarakat kita baru menanjak pada tingkat wacana. Tidak seperti Qatar, Mesir, dan Kuwait yang telah mempraktikkannya. Adapun hasil dari wakaf investasi ini di negara-negara itu berhasil untuk membiayai pendidikan dan ekonomi mustahik. Bahkan di pulau kecil Sisilia (Italia), ketika berada di bawah kekuasaan Islam, memiliki sekitar 300 sekolah yang seluruhnya dibiayai dari harta wakaf.

Meski di Indonesia masih terjadi perbedaan pendapat, namun wakaf tunai sebenarnya sudah menjadi pembahasan ulama terdahulu; salah satunya Imam az-Zuhri yang membolehkan wakaf uang (saat itu dinar dan dirham). Bahkan sebenarnya pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i juga membolehkan wakaf uang. Mazhab Hanafi juga membolehkan dana wakaf tunai untuk investasi mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Keuntungan dari bagi hasil digunakan untuk kepentingan umum.

Hari ini, masyarakat Mansamat yang terpelosok telah memberi pelajaran berarti tentang membangun dunia pendidikan. Mereka telah menelorkan gerakan Gelicok yang akan menghidupi SMA Pertama. Dengan wakaf Gelicok, masyarakat Mansamat meneguhkan tekad. SMA Pertama harus menjadi SMA terunggul dengan biaya pendidikan terjangkau. Tak lupa mereka menitip pesan, jika ada masyarakat Jakarta terpanggil ikut Gelicok, sebatang pohon coklat pun akan sangat berarti.

Read More......