Monday, October 30, 2006

Menanti Kebijakan Berpihak

Negara sudah berpihak pada nasib birokrat dan pejabat pemerintah secara keuangan dapur. Lantas kapan dapur mustahik benar-benar dibela?

Saat Presiden mengumumkan kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) 15 persen, di benak kita barangkali berprasangka para PNS berjingkrak di malam 17 Agustus 2006. Kira-kira mirip nonton bareng Piala Dunia. Saat jagoannya melesakkan gol ke gawang lawan, lantas penonton bersorak-sorai meluapkan kegembiraannya. Nyatanya kado Negara untuk PNS menandai umur Indonesia ke-61 tahun ini, tak sepenuhnya disambut gembira.

Mardianto, seorang PNS di Depok menanggapi kenaikan gaji ini biasa saja. Tak ada yang istimewa. Menurutnya, saat gaji naik biasanya dibarengi harga kebutuhan pokok yang ikut menanjak. Lebih jauh, ia memahami maksud baik pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan PNS tetapi caranya kerap tidak tepat.

“Ibarat kita menyelamatkan bayi yang dibuang ke kali. Tetapi kita tidak pernah menyelamatkan atau menyentuh masalah dasar pembuang bayi itu. Jika itu yang dilakukan, masalah dasar yang ingin ditangani pemerintah tidak akan pernah selesai. Pemerintah akan terus menjadi pemungut bayi, sementara pembuang bayi tidak berhenti”, ungkap Mardianto mengibaratkan.

Tanggapan senada disampaikan Siti Rahayu, seorang pegawai swasta di bilangan Tamrin. Bagi ibu beranak tiga ini, saat Presiden mengungkapkan kenaikan gaji, sama halnya Presiden sedang mengumumkan kenaikan inflasi. Kebiasaan latah di negeri ini, acapkali ada kabar kenaikan dari pemerintah selalu disusul kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

“Lihat saja nanti, harga-harga pasti naik. Kalau PNS, kenaikan dapat ditomboki gajinya yang naik. Tapi kalau pegawai swasta seperti saya hanya terkena imbasnya saja, nombok terus”, kata Rahayu bersungut.

Menilik ungkapan Mardianto dan Rahayu, ada pertanyaan yang mengusik batin. Jika mereka yang punya penghasilan bulanan saja masih mengeluh, lantas bagaimana suara hati sebagian besar masyarakat yang kondisi ekonominya hari ini sulit. Berita orang tua mengakhiri hidup karena tak berdaya menanggung beban ekonomi hampir tiap hari hadir mengusik. Hidup dirasai begitu beratnya hingga mengakhiri nyawa menjadi satu-satunya solusi.

Bagi yang pernah hidup susah, meniti hari-hari tanpa jaminan asupan hidup sungguh sulit dan pelik. Jika iman tak kebal godaan syetan, dorongan berlaku kejahatan kerap tak terhindarkan. Keadilan bagi orang miskin selalu tegak dan tegas. Taringnya menakutkan dan wibawanya amat agung. Maka jika ada orang miskin mengutil, keadilan sangat tegas menyalahkan orang kecil ini berlaku dosa. Malah, tanpa tedeng aling-aling wajah sang maling diumbar bebas di media massa.

Sebaliknya, pada kalangan atas keadilan adalah biduk catur yang dipermainkan dan diatur. Saat mereka dengan jelas-jelas mencuri dan hidup dari fasilitas korupsi tetap saja nyaman mengenyam hidup. Jikapun apes menjadi tersangka, wajahnya sulit nongol di media massa.

Sumber isu dan berita memang selalu orang-orang miskin. Sedu sedan mereka merangkak hidup menjadi naskah yang selalu menyuguhkan cerita dramatis kemanusiaan bertumpuk-tumpuk. Saat mereka lalai hingga betindak jahat, juga berita yang tak habis-habisnya dikupas. Kamera tak akan berhenti membidik mereka untuk diketahui khalayak.

Tetapi sungguh rapi informasi membungkus geliat hidup kelas the haves. Berita tak mampu menyibak bagaimana mereka mampu survive dengan kenyamanannya. Dari mana asal dana-dana yang mengalir ke rekening pribadi juga tak terusik. Selama berstatus sebagai pejabat atau bisnisman, alasan hidup mewah sudah cukup masuk akal. Pun, saat mereka menuai korupsi, kenyamanan tetap saja abadi. Etika dan kehormatan begitu kokoh mejaga mereka. Berbeda saat seorang pencuri diarak keliling kampung karena mencuri ayam kampung.

Perlakuan semacam ini makin subur saban hari. Ketimpangan yang makin mejulang. Saat Presiden mengumandangkan naskah naik gaji sesungguhnya ia tengah menyenangkan kelompoknya. Sementara ia tersenyum dalam bingkai tulus atau politis, sebagian besar masyarakat miskin tercabik. Tidak ada yang salah pemerintah mensejahterakan pegawainya. Tetapi yang dinanti, kapan pidato Presiden menetapkan kenaikan jatah hidup untuk masyarakat miskin.

Selalu saja, kebijakan-kebijakan yang dibuat negara tak pernah sepenuh hati memihak mereka. Kenaikan anggaran dan pemberian fasilitas selalu demi kenyamanan birokrat yang dianggap mengurus rakyat. Pun, program-program yang ada kerap sebatas jargon-jargon. Kalau toh terealisasi, seberti BLT misalnya, operasionalnya kerap menyakitkan. Orang harus berantem lebih dulu untuk memperolehnya. Isinya selalu melukai hati, menyengsarakan, bukan meringankan beban.

Zuhud

Menuruti emosi, dalam kondisi ekonomi sulit hari ini ibarat sumbu pendek. Mudah marah dan mengamuk. Orang lemah bingung mengadu dan tak tahu kemana berkeluh kesah. Orang miskin nasibnya terabi, dipaksa mencari jalan hidup sendiri-sendiri. Mereka seakan ditohok, siapa suruh lahir dan hidup miskin. Tak berlebih jika dikata, mereka tidak ada yang mengurus, layaknya amanat UUD 45 yang diagungkan itu.

Untuk meredam ledakan ketidakadilan ini, kiranya ada peluruh hati yang dapat membentengi diri. Peluruh itu bernama zuhud. Perawi hadis Ibnu Majah mengisahkan, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ''Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku lakukan, maka aku akan dicintai oleh Allah dan juga oleh manusia.''

Rasulullah menjawab, ''Berlaku zuhud-lah kamu terhadap kenikmatan dunia niscaya kamu akan dicintai Allah, dan berlaku zuhud-lah kamu di tengah manusia niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.'' Hadis di atas mengisyaratkan suatu perilaku yang dapat mengantarkan seseorang meraih cinta Allah SWT dan manusia. Perilaku itu adalah zuhud. Berlaku zuhud tidak berarti berdiam diri dan tidak melakukan usaha apa pun untuk mendapatkan rezeki yang halal.

Zuhud bukan sikap malas. Seorang zahid (orang yang zuhud) sama sekali tidak identik dengan orang fakir yang tidak mempunyai harta apa pun. Seorang zahid adalah orang yang mendapatkan kenikmatan dunia tetapi tidak memalingkan dirinya dari ibadah kepada Allah. Zuhud adalah perbuatan hati (af'al al-qulub). Seorang zahid, dalam hatinya tumbuh keyakinan bahwa apa yang ada dalam genggaman Allah lebih bernilai daripada yang ada dalam genggaman manusia.

Dalam bermasyarakat, seorang zahid mampu menahan diri untuk tidak mengambil hak milik orang lain dengan cara yang dilarang oleh agama. Seorang zahid tidak akan dengki terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Ia sadar, perbedaan nikmat yang diberikan Allah kepada manusia adalah ujian bagi ketaatannya kepada Allah. Rasulullah SAW memerintahkan setiap Muslim untuk menjauhi sifat dengki karena dapat menghapus semua pahala kebaikan seperti api melalap kayu bakar.

Akhirnya relakan negara menaikan kesejahteraan pegawainya. Sementara orang miskin belajar sabar kekal, menerima ketidakberpihakan negara padanya dengan belajar zuhud. Maka tak perlu sungkan para birokrat dan pemimpin negeri ini bercermin pada orang miskin. Syukur-syukur jika berkenan mencicipi buah zuhud.

No comments: