Monday, November 28, 2011

Menunggu maut di Mogadishu

Oleh: Sunaryo Adhiatmoko

Jumat, 21 Oktober lalu, menginjak hari keempat saya diMogadishu, Somalia. Saya mewakili PPPA Daarul Quran yang sinergi dengan para ulama dari Afrika Selatan. Pagi itu, di kamp pengungsian Dallada, Tarbuunka, lima kilo meter dari Mogadishu yang dihuni 6.000 lebih keluarga. Seorang ibu, dengan jilbab hitam dan raut muka pucat, tergopoh menghampiri. Ia bersimpuh, meratap, dan memecah tangis di hadapan saya.

“Anaknya baru saja meninggal. Ini anaknya yang kedua meninggal dalam bulan ini”, terang Maxamed Cusman, penterjemah saya di Somalia.

Perempuan itu, bersama keluarganya datang dari desa di Baydhabo, sekitar 150 km dari Mogadishu yang datang ke kamp dengan berjalan kaki.

“Setiap hari di kamp ini selalu ada yang meninggal”, kata Cusman.

Siapapun yang melihat kehidupan di kamp itu, hatinya pasti remuk. Tak ada yang bisa saya perbuat, kecuali berdoa. Kemudian, deras pulalah air mata ini di hadapan ribuan orang yang lapar menunggu maut di kamp itu.

Tak banyak kata, kematian yang tiap hari terjadi tak memantik orang-orang di kamp untuk terlalu risau. Mereka seakan paham, pada saatnya kematian berikutnya hanya giliran, selama suplai makanan tidak datang ke kamp pengungsian.

Dengan terisak, ibu malang itu, kembali ke tendanya yang terbuat dari ranting-ranting kayu, dengan atap plastik seadanya. Luasnya tak lebih dari 2 x 2 meter yang dibuat mirip payung. Di dalam tenda, jasad bocah laki-laki 10 tahun, menggelepar tanpa nyawa di atas tanah. Tubuhnya kurus, penuh luka cacar yang baunya menyengat.

Masih dengan derai air mata, ia gali tanah di samping tenda. Jenazah bocah itu pun, dikubur apa adanya, tanpa prosesi pemakaman yang layak. Lengkaplah, tragedi kemanusiaan memilukan itu, terpampang di depan mata. Usai dikubur, perempuan paruh baya itu, tertunduk memeluk lutut. Tangisnya tak henti, sampai saya tinggalkan tendanya dengan perasaan terkoyak.

Di sudut tenda yang lain, seorang anak perempuan 12 tahun berbaring lemas di atas tanah, beralas selembar kain lusuh. Tulangnya menyembul, tubuh jangkungnya meranggas tanpa daging. Matanya menatap langit, seakan menanti malaikat penjemput maut datang.

Dalam catatan Maxamed Cusman, ketika para pengungsi itu datang ke kamp, sebagian postur tubuhnya masih cukup bagus. Pada hari-hari berikutnya, setiap tubuh manusia dalam kamp itu akan menyusut, mengering, kemudian berakhir di tanah kamp pengungsian.

“Saya tak tahu kenapa kami mengalami tragedi kelaparan ini”, ungkap Cusman.

“Setiap hari, kami melihat satu per satu di antara kami mmeninggal di Mogadishu. Tak hanya anak-anak, tapi juga dewasa”, Cusman berkaca-kaca. Mogadishu yang tak lebih luas dari Jakarta itu, telah dikepung sekitar 40 kamp pengungsian.




Ikhtiar Kemanusiaan


Somalia, telah membetot perhatian masyarakat dunia. Semua hati tergugah, melihat tiap hari anak manusia meninggal kelaparan. Demikian pula, sebagian masyarakat yang menjadi keluarga besar PPPA Daarul Qur’an menyisihkan sesuap nasinya, untuk dibagi pada masyarakat Somalia. Tanpa mengurangi perhatian, pada sebagian masyarakat Indonesia yang sedang kesulitan. Pun, kita juga tak boleh menjadi batu, atas peran masyarakat di negara lain yang berduyun-duyun membantu tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, dan tatar kebencanaan lain di Indonesia yang selalu memantik kepedulian dari manusia-manusia di belahan negara lain untuk membantu.

Dengan bantuan Rp 300 juta, PPPA Daarul Qur’an menuju Cape Town, Afrika Selatan, sebelum menuju Somalia. Di Cape Town, ikhtiar dilakukan, dengan menggalang sinergi bersama organisasi Islam di Afrika Selatan. Terbentuk “Save Somalia” yang terdiri dari PPPA Daarul Qur’an (Indonesia), Muslim Judicial Council (MJC), Darul Islam Zakah Fund, dan Al-Quds Foundation. Kami merancang program yang melibatkan para ulama Afrika Selatan dan ulama Somalia yang ada di Afrika Selatan.

Dua pekan di Afrika Selatan, PPPA bersama para ulama Afrika Selatan ngamen dari masjid ke masjid, dari acara pengajian ke acara pertemuan orang mau naik haji. Cara tradisional dengan menenteng gentong plastik ukuran besar, kami lakukan. Kami berguman, jika pada akhirnya anak-anak Somalia terus meninggal, setidaknya kami yang jauh pernah berusaha menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Itu niat sederhananya.

Dalam dua pekan itu, kami punya target Rp 1 miliar. Maka, tepat menjelang keberangkatan tanggal 17 Oktober, dengan pancingan dana awal Rp 300 juta dari Indonesia, kami dapat menghimpun Rp 1 miliar.

Sebelum berangkat, kami melakukan pertemuan yang dihadiri sekitar 1000 orang Somalia dan para ulamanya yang di Afrika Selatan dan para ulama dari Afrika Selatan sendiri, ditambah PPPA Daarul Qur’an. Dalam pertemuan itu, kami menyerukan perdamaian bagi Somalia. Tanpa berdamai, tragedi kelaparan ini sulit dicari solusinya, karena relawan yang membawa bantuan kemanusiaan selalu terancam jiwanya di Somalia.



Masak untuk Pengungsi

Menyusuri kamp-kamp di Mogadishu, Somalia, akan banyak gundukan tanah yang mengubur jasad mereka yang tak mampu bertahan melawan lapar. Tidak ada air dan tak ada suplai makanan rutin, masuk ke kamp-kamp pengungsian di Mogadishu. Perang saudara membuat semua makin sulit. Bantuan kemanusiaan, juga tak mudah masuk langsung ke Somalia. Semua orang asing yang masuk Somalia, wajib menyewa tentara bayaran yang tarifnya 200 US Dollar per hari. Tak ada negosiasi untuk keamanan ini, tapi, saya dan rombongan pernah nego nyawa untuk menurunkan tarif.

Dataran somalia memang sedang kering. Masyarakat setempat mengatakan, hujan terakhir tiga tahun lalu. Pertanian menguning, menyisakan debu. Ternak-ternak mati kelaparan dan semua orang meninggalkan rumahnya, menuju Mogadishu atau Kamp pengungsian di Kenya. Ratusan kilo meter jalan ditempuh, sebagian banyak yang meninggal di perjalanan.


Di Somalia, hanya ada sekitar dua daerah yang dialiri sungai, SH/Dhexe dan SH/Hoose. Dari daerah itulah, suplai makanan di Mogadishu. Tapi, itu tak mampu untuk mencukupi jumlah pengungsi yang sudah mencapai jutaan jiwa. Kondisi kamp tak hanya tanpa makanan, tapi juga tanpa medis, dan MCK yang memadai. Jutaan jiwa manusia terpanggang matahari berhari-hari. Mereka terkepung, dalam penjara kelaparan akut dan deru mesiu perang saudara yang meletup tiap saat.

Di Mogadishu, kami punya target 9 hari. Program yang dijalankan, masak dari kamp ke kamp. Ada tiga kamp yang kami suplai kebutuhan makannya untuk jangka satu bulan. Yakni, Kamp Tarbuunka, Kamp Baadle, dan Kamp Thoro-thoro. Setelah 9 hari itu, program pemberian makan dilanjutkan mitra lokal dari Al-Kahfi Welfare Foundation yang bermarkas di Mogadishu. Tak lupa, di setiap kamp kami juga memotong unta, sebagai lauk nya dengan menu nasi kebuli. Menurut masyarakat setempat, daging unta adalah daging nomor satu.

Di Kamp Tarbuunka, saya bertanya pada sebagian pengungsi. “Kapan terakhir kali makan?”.

Mereka serentak menjawab, “Empat hari lalu”.

Saya lantas membisu, menunduk malu. Tapi, obat hati yang remuk selama di Mogadishu adalah, saya dan para ulama dari Afrika Selatan, diberi kesempatan masak selezat mungkin. Setelah nasi kebuli dengan daging unta matang, ribuan orang antri untuk dapat jatah makanan. Satu per satu, mereka menadahkan panci, ember, dan kantong plastik. Kami bertatap mata sejenak, mendadak semua bisa tersenyum hari itu.

Saya tahu, senyum itu sesaat. Karena besuk, mereka masih harus bertahan hidup. Sementara sesuap nasi yang kami masak hari itu, hanyalah pelipur perihnya perut dan pedihnya derita kelaparan, untuk beberapa jam saja. Hari ini, saat saya dan rombongan kembali ke rumah, menyantap hidangan bergizi, bercengkerama dengan anak dan istri, mereka dipanggang terik kemarau dan rintihan kelaparan yang diintai maut setiap hari.

Maafkan, hanya ini yang bisa kami lakukan. Bad Baadi Somalia(selamatkan Somalia), itu bisik kalian saat kami gontai tinggalkan Mogadishu.

Read More......

Friday, April 17, 2009

Di Sarang Pejuang


Akhirnya saya bercanda dengan mujahidin-mujahidin itu. Pengalaman yang tak mungkin lupa seumur hidup. Di sarang pejuang Hamas, antara tegang dan pasrah. Kisah ini mele
ngkapi misi kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina.


Suatu malam, mereka mengajak patroli ke dekat perbatasan Israel, Erez. Lebih kurang dua kilo meter dari Israel. Para pejuang ini, menenteng AK 47, roket anti tank buatan Rusia, dan ranjau penghancur tank.
Mereka menyelip di antara dinding-dinding puing bangunan yang hancur oleh bom Israel. Juga mengendap di bawah rerimbunan pohon jeruk dan zaitun, pukul 23.00 malam itu.

Di sebuah tempat pe
ristirahatan, seseorang dari mereka membuka bekal makanan. Dikeluarkanlah roti, dan satu kaleng minuman ringan "Coca Cola". Kami bercengkerama di bawah rerimbunan pohon jeruk. Saya bertkata, "Coca Cola di Indonesia diboikot! Ini Israel punya".

"Subhanallah", jawab mereka serentak. "Kami tidak punya pilihan lain", kata salah satu mujahidin. Dia mera
pat, merangkul pundak saya. Dengan bahasa Inggris yang dipaksakan dia berucap, "I Love you Indonesi". Seorang temannya kemudian menyela, "Dakwad!" sembari menunjuk dadanya. Dia bilang doakan kami. Saya kaget, "Anda yang harus doakan saya, karena kalian mujahidin!".

Dia maksa bah
wa dialah yang perlu doa. Mereka seperti sadar, jika pertemuan malam itu bisa jadi perjumpaan terakhirnya dengan orang asing. Mereka tidak tahu, apakah esok masih dapat menatap matahri, atau dijemput syahid.

Pada hari yang lain, saya dijamu sebuah keluarga yang hidupnya sederhana. Disuguhkanlah buah jeruk dan
apel yang mulai layu. Saya bertanya, "Dari mana jeruk ini?". "Dari Israel dan Mesir. Tapi Israel selalu menjual buah yang mulai busuk ke kami", jawab tuan rumah.

Di rumah Abu Anas, seorang warga Gaza yan
g berbaik hati memberi tumpangan menginap, saya mendapati listrik hidup hanya 3 jam. saya bertanya, "Darimana listrik ini?". Abu Anas menjelaskan, "Sepertiga dari Israel dan sepertiga dari mesir".

Di Gaza, saya bertransaksi menggunakan mata uang Israel, Shekel. Juga berkomunikasi dengan, Jawal - jaringan selul
aer milik Israel.

Saya dapat merasakan, betapa berat sebagai manusia terjajah. Seperti diberi hidup, tapi disakiti agar mati perlahan. Namun, saya juga merasakan, sebuah perjuangan tidak mengenal akhir. Membebaskan diri dari penjajahan dan kezaliman sesama umat manusia.

Read More......

Bantuan DD Langsung Tembus Jalur Gaza


REPUBLIKA – Bantuan kemanusiaan masyarakat Indonesia melalui Dompet Dhuafa Republika (DD), sudah tersalur seluruhnya langsung ke jantung Gaza. Bantuan tahap dua senilai Rp 1 milyar yang dibawa tim kedua Ahmad Shonhaji dan Imam Rulyawan, telah didistribusikan dalam bentuk logistik makanan dan santunan korban perang di Rafah Gaza dan Jabalia.


Sebelum keberangkatan tim kedua ini, DD telah mendirikan Pabrik Roti bekerjasama dengan The Islamic Society Jabalia Nazla, di Gaza Utara. Misi pertama yang berhasil menembus Jalur Gaza ini dilakukan oleh Sunaryo Adhiatmoko dan Fachrul Ratzi wartawan Republika. Adapun total bantuan masyarakat Indonesia melalui DD, yang sudah diterima langsung masyarakat Gaza senilai Rp 2,5 milyar.

“Kami tidak dapat masuk Gaza. Tapi jaringan kemanusiaan tim DD pertama yang sudah dibentuk tim DD sebelumnya, berhasil memba
wa sisa bantuan Rp 1 milyar yang tertahan di Rafah”, tandas Ahmad Shonhaji.

Diceritakan Shonhaji, sejak penutupan pintu perbatasan Rafah, Mesir, 5 Februari lalu, tidak ada lembaga kemanusiaan
dapat masuk ke Gaza. Meskipun berbagai kelengkapan administrasi terpenuhi, pemerintah mesir tetap tidak mengijinkan masuk ke Gaza. Akhirnya, selama dua pekan tim hanya bertahan di El Arish dan Rafah Mesir.

Setelah menunggu tanpa kepastian, akhirnya DD memanggil perwakilan dari Islamic Society cabang Rafah Gaza, untuk mengambil langsung bantuan ke El Arish, Mesir.
“Kami menunggu tiga h
ari di El Arish, untuk memastikan bantuan sampai. Mereka mengirimkan bukti dokumentasi distribusi bantuan melalui email”, kata Shonhaji.

Bantuan dalam paket sembako itu, dibawa oleh satu tronton truk yang didistribusikan langsung ke pengungsian. Relawan lokal DD yang diwakili Abu Musaf mengawasi langsung distribusi bantuan ini. Sisanya diberikan secara tunai ke 700 keluarga korban perang. DD juga membantu Madrasah Darul Fadillah di Rafah Gaza, yang hancur oleh 14 roket Israel, pada hari terakhir serangan sebelum
genjatan senjata.

Tentang ketersediaan suplai logistik di dalam Gaza, seperti dijelaskan Sunaryo Adhiatmoko, tim DD pertama yang masuk Gaza, pihaknya sama sekali tidak kesulitan memperolehnya di dalam Gaza. Karena, mitra lokal sangat paham bagaimana cara mendatangkan logistik langsung ke Gaza.


“Blokade panjang yang mengisol
asi mereka membuat warga Gaza kreatif untuk bertahan hidup. Mereka hanya memerlukan uang, nanti untuk membeli barang, mereka tahu bagaimana mendatangkannya. Itu yang kami alami di Gaza”, tandas Sunaryo yang sembilan hari berada di Gaza.

Ada tiga mitra lembaga kemanusiaan DD di Gaza yang meliputi Rafah, Gaza City, dan Jabalia. Diantaranya The Islamic Society Palestine –
Jabalia City yang dipimpin Esam M Juda (Abu Ahmed). Lembaga ini mitra pelaksana program pabrik roti DD di Gaza. azmiah rusydina.

Read More......

Indonesia Builds Bread Factory in Gaza

VIVAnews - A humanitarian team from Indonesia is setting up a bread factory in Gaza, Palestine, aimed at helping Gaza people who lack food due to the ongoing conflict between Israel and Hamas.



Coordinator of Dompet Dhuafa Humanitarian Team, Sunaryo Adhiatmoko, stated that the bakery development requires Rp 1 billion (US$ 85,000).

His team helps provide the fund for developing the factory using relief fund that Indonesians donate to 'Dompet Dhuafa'.

"The financing is agreed after
the situation is mapped and receiving inputs from the public, ulamas and important figures. One of them suggested that we build a bread factory because it is urgent," said Adhiatmoko through telephone from Jabaliya, North Gaza, on Tuesday, Feb 3.

Adhiatmoko said that Israeli aggression has further degraded the standard of living of disadvantaged people. The Israeli attacks have also destroyed a bread factory in Gaza, an important source of food there.

'Dompet Dhuafa' is teaming up with Islamic Society based in Jabaliya Nazla City, a local organization that will implement the program.

The agreement was signed today. "The bread factory should be completed and fully operational in one month," said Adhiatmoko.

Read More......

Menembus Jalur Gaza


Saya berada di Jalur Gaza selama sembilan hari. Berikut catatan saya pada hari ketujuh. Ini hari ketujuh, saya berbaur dengan warga korban agresi Israel di Gaza, (2 Februari 2009). Satu hari saya di Rafah, enam hari sampai sekarang saya bertahan di Jabalia Gaza Utara. Saya melihat Gaza masih utuh, yakni semangat juang rakyat dan cara bertahannya. Gaza masih kukuh, meski blokade Israel makin menggila.


Meski spirit warga Gaza terus membara, secara fisik Gaza porak poranda. Permukiman penduduk, sekolah, masjid
, dan pusat pemerintahan hancur total. Kerusakan terhebat dialami di Rafah, Khanyounis, Bayt Lahia, Bayt Hanun, dan Jabalia. Tetapi roda pemerintahan berderak tak terbendung. Pemerintahan resmi Hamas, tetap menjalankan perannya dengan baik. Tanpa kantor, apara kepolisian dan keamanan tetap beroperasi. Di Rafah misalnya, meski kantor polisi dihancurkan rudal dan bom Israel, mereka tetap berkantor di jalanan dengan absensi selembar kertas. Bahkan mereka sempat menangkap lima orang pengedar narkotika dari Mesir dan Israel.

Gaza City, ibukota Gaza, oase lain di tengah reruntuhan bangunan dan gedung di Gaza. Pusat kota Gaza ini masih utuh. Gedung-gedung yang punya konstruksi bangunan terkokoh di Arab – mungkin – masih angkuh menatap lepas laut Mediterania. Bank dan fasilitas publik lainnya masih berjalan baik. Kemacetan lalulintas juga pandangan hari-hari, seakan mengatakan "Kami masih utuh wahai Israel!".

Biaya hidup di Gaza ting
gi. Nilai $ US 1 sama dengan 3,8 Shekel – mata uang Israel. Transaksi hari-hari rakyat Palestina memakai mata uang Israel. Hotel dengan tarif terendah mencapai $ US 100. Pasca perang, biaya hidup di Gaza naik lebih dari 300 persen.

Setelah tanggal 5 Februari nanti, pintu perbatasan Rafah melalui mesir akan ditutup. Saya dan orang asing lainnya, diminta Kementerian Luar Negeri Mesir, untuk keluar Gaza sebelum tanggal 5.

Ini seperti mimpi buruk. Selanjutnya, perbatasan yang akan dibuka melalui Israel di Karem Abu Salom dan El Auda. Saya membayangkan, jika pintu masuk Gaza melalui Israel, sama halnya dengan mengisolasi total warga Gaza dari dunia luar. Hati saya terus bertanya, mungkinkah suplai kebutuhan hidup melalui terowongan di Rafah mampu menghidupi 2,5 juta lebih penduduk Gaza? Pun, juga heran, bagaiama mungkin pasca gempuran yang demikian hebat, semua jenis kendaraan di Gaza masih beroperasi secara baik. Darimana supali bahan bakarnya? Makin memahami kehidupan Gaza rasanya rumit dan tak masuk akal.

Rasanya adil, jika akhirnya Hamas memplokamirkan kemenangannya. Karena Gaza bisa berdenyut lebih cepa
t dan makin kuat. Bahkan Hamas juga masih mampu melempar roket ke Israel, tiap kali Israel memancing keruh dengan melempar rudalnya ke Rafah, Khanyounis, dan Jabalia. Dalam catatan saya, Hamas hampir tak pernah melempar roket lebih dulu. Biasanya, jika Israel melempar rudal lebih dulu, Hamas baru membalasnya dengan dua sampai tiga roket. Mereka juga ingin menjelaskan, bahwa Hamas masih kokoh sebagai kekuatan militer di Gaza.

Di Gaza, saya berpetualang menjumpai para korban agresi Israel. Saya merekam cukup baik apa suara mereka. Dari anak-anak sam
pai orang tua. Dalam catatan saya, delapan dari sepuluh anak laki-laki di Gaza bercita-cita jadi anggota Brigadir Al-Qosam. Sisanya ingin jadi guru dan pekerja sosial. Sedangkan tujuh dari sepuluh anak perempuan di gaza, ingin jadi dokter. Mereka ingin mengobati para mujahidin yang terluka, jika Israel menyerang tanah mereka.

Dari setiap anak yang saya ajak berbincang, mereka punya suara kejujuran yang tulus tentang perdamaian. "Kami mencintai perdamaian dengan siapapun. Tetapi jika tanah kami dijajah dan orang tua kami dibunuh, kami akan melawan dengan maupun tanpa Hamas", kata Fatimah atlas (13), di reruntuhan puing bekas rumahnya, Bayt Lahia. Murid kelas dua Madrasah itu, ayahnya lumpuh oleh senjata Israel. Dia terkurung tujuh hari di sekolahnya, saat Israel menyerang. Ada 10 temannya yang syahid di sekolah, saat itu terkena ledakan bom.

Untuk menghemat biaya hidup, saya tinggal di rumah-rumah penduduk. Mereka sangat cinta orang Indonesia. Di sepanjang jalan saya lewati, setiap mulut berucap, "Ahlan wa sahlan Indonesia!". Di masjid-masjid temapt saya sholat, para jamaah selalu mengerubungi saya. Nafas rasanya sesak, kare
na seringnya dipeluk. Para imam masjid saling berebut ingin menjamu saya dan menginap di rumahnya.

Keluarga di gaza hidup dalam kesehajaan. Tetapi untuk menjamu tamu, mereka rela mengorbankan makanan terbaiknya. Kadang, saya belanja roti di warung pinggir jalan, tapi karena tahu saya ora
ng Indonesia, mereka tidak mau menerima uang saya. Bahkan saya diajak masuk rumah mereka dan dijamu makan. Ingin menolak, tapi postur tubuh mereka yang tinggi, membuat saya tak berdaya mengelak. Lengan saya yang kecil ditarik paksa masuk rumah.

Teman-teman saya di Jakarta tahu, saya tidak doyan roti. Tapi di Gaza dengan lidah dan mulut yang terus berontak, saya paksakan untuk menelan roti itu. Ironisnya, porsi yang mereka suguhkan sama
dengan porsi yang mereka makan. Repot tapi mengharukan.

Tidak hanya merekam kehidupan anak-anak dan keluarga di gaza. Saya juga dijamu Brigadier Al-Qosam, sayap militer Hamas yang kerap membuat Israel kerepotan dan stres. Suatu malam, saya diajak patroli mengunjungi markas dan tempat penjagaan mereka di perbatasan Gaza – Israel di daerah Jabalia. Jarak ke Israel tak kurang dari 1 km.

Mereka menyambut kami ramah. Muka mereka ditutup sarung kepala hitam, hanya tampak mulut dan matanya. Setiap prajurit menenteng senjata AK 47. Beberapa di antaranya memegang roket a
nti tank buatan Rusia. Sebagian roket modifikasi buatan sendiri yang diberi nama Yassin. Menukil nama almarhuh Syeh Ahmad Yassin yang dibunuh Israel.

Satu malam
saya bersama mereka. Jalan kaki memutari perbatasan Jabalia. Bau badan mereka harum, nafas yang mereka keluarkan tiap bercakap juga harum. Tidak saya temui, nafas parjurit al-Qosam bau jengkol. Telapak tangannya kekar dan kuat. Suarnya lembut dan santun. Saya tidak dapat mengenali siapa mereka. Tapi, beberapa di antaranya sepertinya saya tidak asing. Pernah berjumpa pada siang sebelumnya.

Saya mencoba mengingat siapa yang saya salami malam itu. Esok hari saya berjumpa anak-anak muda yang berpakaian rapi di masjid-masjid. Beberapa saya merasakan seperti sebagian dari orang yang saya jumpai semalam. Benar saja, sebagian mereka mengaku. Melihat gelagatnya, sulit menebak jika anak-anak muda yang gagah, rapi, santun, dan kalem ini adalah pejuang Al-Qosam yang garang di medan laga.

Tak lupa, mereka juga mengajak saya ke rumah para mujahidin yang luka. Mereka ada yang terluka di kepala
, hancur tangan, kaki, dan tubuh yang tidak utuh. Ajaibnya, luka-luka mereka cepat sekali pulih. Menurut seorang dokter di Gaza, suhu dingin di Gaza bagian dari sebab kenapa luka-luka itu cepat sembuh. Seorang mujahidin ada yang empat kali terjun ke medan tempur, dan empat kali juga tubuhnya terluka. Tapi tidak ciut, dia ingin menjadi mujahidin sampai syahid menjemput.

Saat ini di Indonesia, banyak foto-foto calon legislatif dan calon presiden. Tapi di Gaza tak kalah banyak foto-foto terpampang di jalan-jalan dan gang-gang. Tapi bukan foto caleg. Foto-foto yang dipampang di Gaza adalah foto-foto para mujahidin yang syahid. Mereka menjadi idola dan bintang bagi masyarakat Palestina umumnya. Mereka para syahid yang dihormati, karena membela tanah Gaza secuil yang ingin direbut Israel.

Di Gaza, saya merasakan hukum al-Quran diamalkan. Ini tercermin dari tingkah laku dan kehidupan masyarakat Gaza. Masjid-masjid penuh tiap sholat lima waktu. Rasanya saya ingin tinggal lama di tanah para mujahidin ini. Tapi, saya harus kembali membawa kabar pada dunia, bahwa tidak ada
teroris di Palestina. Semua warga Gaza mencintai Hamas. Ia, pemerintahan dan kekuatan militer yang syah di Palestina. Hamas memenangi pemilu secara demokratis. Dan hamas dicintai secara total oleh rakyat. Anak-anak di Gaza dan Palestina kini makin membumi, mencintai perlawanan dan selalu mengidolakan para mujahidin yang syahid.

Ini, catatan hari ke-7 saya di Gaza. Sebelum akhirnya saya meninggalkan tanah Mujahidin itu pada 5 Februari 2009, atas permintaan Mesir. Setelah itu, pintu masuk Gaza melalui Rafah ditutup.

Read More......

Penghuni Kota Mati


Mirip permukiman padat dengan arsitektur bangunan megah dan kuat. Di antara rumah-rumah yang rapat itu, ada bangunan-bangunan dengan kubah mirip masjid. Hanya satu pemandangan yang menyisakan tanya, mengapa permukiman yang mirip real estate itu tampak kusam. Belum hilang penasaran, teman saya berbisik, “Itu yang dinamakan Kota Mati”.



Area yang memiliki luas hampir seluas Bukit Sentul itu, ternyata kuburan. Letaknya rapat di sepanjang jalan dari daerah Dawea sampai Benteng Solahuddin. Kemudian bersambung di sepanjang jalan menuju makan Imam Syafi'i, Cairo, Mesir.

Kuburan yang memiliki arsitektur rumah ini, mempunyai ruang bawah tanah. Jika ada jenazah baru, maka pintu masuk bawah tanah tersebut dibuka. Jenazah kemudian dimasukan ke ruang bawah tanah bersama jenazah yang sudah lama. Hanya pengurus pemakaman yang boleh masuk ke dalam. Setelah selesai pemakaman, pintu ditu
tup kembali dengan batu dan sedikit ditimbali tanah. Sekilas, kita tidak akan tahu dimana pintu penyimpanan jenazah berada.

Meski itu area kuburan, ternyata juga ada penghuninya. Seperti keluarga Zaki yang sudah puluhan tahun mendiami kuburan milik seorang keluarga kaya di Cairo. Ia memanfaatkan kuburan yang mirip rumah megah itu sebagai tempat tinggal permanen.

“Kami menempa
ti kuburan ini karena tidak perlu keluar biaya. Kami tinggal membersihkan dan menjadi juru kunci kuburan”, terang Zaki. Tapi jika boleh memilih, Zaki juga tidak ingin tinggal di kuburan. Namun kehidupan dan ekonomi yang sulit memaksa zaki dan jutaan orang lainnya mendiami Kota Mati ini.

Menurut zaki, populasi penghuni kota mati makin meningkat. Mereka datang dari desa desa miskin di Mesir. Da
lam buku turis yang ditulis Malak Yakan, seorang antropologi Mesir, disebutkan lebih dari lima juta orang Mesir tinggal di kuburan ini dan membentuk komunitas sendiri.

“ Ada lima kuburan utama di area ini. Kuburan Arah Utara, Kuburan Bab el Nasr Kuburan, Kuburan Selatan, Ku
buran yang besar, dan Kuburan Bab el Wazir," kata Yakan.
Dalam sejarah kepercayaan Mesir, kuburan adalah bagian dari kehidupan masyarakat. Tidak hanya khusus untuk orang mati. “Orang Mesir tidak memikirkan bahwa kuburan tempat akhir kehidupan, tetapi kuburan adalah awal dari kehidupan abadi”, kata Yakan.

Pemandangan lain
dari Kota Mati ini, sebagai tempat pembungan sampah. Di dalamnya nuansa kumuh menyengat. Binatang seperti tikus berkeliaran. Kotoran anjing juga di mana-mana. Mereka memanfaatkan apa yang ada di dalam kuburan sebagai alat perabot rumah tangga. Di antara pagar batu nisan, mereka mebentangkan tali untuk mengeringkan pakaian. Sementara kebutuhan akan listrik mengambil dari listrik milik masjid terdekat.

Tapi, jika menatap kota mati dari dari jalan Salah Salem, Kota Mati nampak gagah dan megah. Ia seakan merekam abadi tentang sejarah Mesir yang melegenda dan berabad-abad usianya.

Read More......

Tuesday, October 21, 2008

Malaikat di Surau Kami

Ini cerita tercecer yang dipungut, kemudian ditulis dan dibukukan oleh penerbit REPUBLIKA. Sebagai buku ketiga saya. “Malaikat di Surau Kami”, mengajak Anda hadir lebih dekat di komunitas masyarakat kecil. Mereka orang-orang yang tinggal di kolong jalan tol, tempat pembuangan sampah, bedeng bedeng di lahan kosong tak bertuan, dan sudut sudut permukiman kumuh.



Sorotannya, lebih pada kehidupan surau. Menyinggung sedikit kehidupan sosial masyarakat, dan menyindir naluri kemanusiaan kita. Apakah Allah SWT, menghadirkan malaikat dalam aktivitas ibadah kita, atau justru syetan yang lebih dominan. Secara strata ekonomi dan sosial, kita boleh di atas angin. Tapi urusan keberkahan
, bisa jadi mereka yang sujud di antara tumpukan sampah yang kita buang sembarangan, lebih dipilih Allah.

Di penghujung 2005, Yayasan Al-Azhar mendirikan lembaga amil zakat. Tiga tahun berselang, masyarakat mengenalnya sebagai LAZ Al-Azhar Peduli Ummat. Dalam ranah perzakatan di Indonesia, kelahirannya masih amat hijau. Tapi, sentuhan midas Anwar Sani – Direktur dan pendiri LAZ Al-Azhar – membuat lembaga ini melesat cepat. Kini, dalam pentas pengelolaan zakat di tanah air, lembaga ini bersaing sejajar dengan lembaga sejenis yang tumbuh lebih awal.

Tapi, ia tidak tiba tiba ada. Mulanya, surau rapuh di permukiman pemulung, Bantar Gebang, Bekasi, menorehkan cerita ikhwal lembaga ini berdiri. Kemudian menyusul, surau surau yang lain, di komunitas marginal. Program pertama menandai kelahiran LAZ ini, diberi tajuk, “Benah Rumah Ibadah”.

Melalui lembar Dialog Jumat di harian REPUBLIKA, yang saat itu saya penulisnya, LAZ Al-Azhar Peduli Ummat, melaporkan langsung dari lapangan, cerita tercecer, mushola dan surau surau yang terlantar. Rumah ibadah yang berdiri apa adanya, namun tetap teguh jamaahnya berpegang pada tali iman. Feature itu, menuai respon dari banyak pembaca. Donatur yang terpanggil hatinya, turut menegakkan kembali tiang tiang surau yang nyaris ambruk.


“Fantastis!”, Anwar Sani terpukau. Ia berterima kasih pada pembaca yang telah terlibat, menata kembali surau surau yang ditulis dalam buku ini.

Surau surau itu, nyaris terabai nasibnya. Karena ia terselip di gang gang sempit, sudut kampung, dan tercecer di antara tumpukan sampah komunitas pemulung. Bangunannya berbentuk kubus, sebagian tanpa kubah. Bahan material yang digunakan, mayoritas puing puing bangunan bekas rumah rumah elit. Karpet yang terbentang untuk sajadah, juga limbah sampah bekas permadani yang dibuang di pinggir kali. Seseorang memulungnya, mencuci berkali kali agar baunya lebih segar, kemudian m
embawa pulang untuk karpet surau.

Tidak hanya bentuknya yang perih dipandang, kebanyakan surau ini juga berada di atas tanah illegal. Ini tanah terlarang sebenarnya. Tapi lahan kosong, selalu membetot perhatian orang untuk menempatinya. Di Jakarta yang padat, tak akan selamat jika lahan dibiarkan tidur. Ada saja orang yang tiba tiba berani mendirikan bedeng. Satu mulanya. Putaran waktu, kemudian menjadikan tanah kosong yang diakui milik negara ini, berubah jadi perkampungan.

Seakan, membenarkan hadits Nabi, ‘’Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”” (HR. al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud). Umar bin al-Khaththab ra. juga pernah mengatakan, “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.”

Mereka kerap disebut sebagai pendatang illegal. Tiap saat akan tergusur, tanpa kompensasi dan ganti rugi. Anehnya, komunitas yang terbentuk itu, dapat membentuk satu lingkungan RT, bahkan RW. Punya KTP, KK, dan rekening listrik. Tapi, inilah Jakarta. Apa yang tidak bisa di sulap, di metropolitan yang makin kumuh dan amburadul ini.

Mengapa, mereka butuh surau surau itu?

”Ini benteng terakhir bagi kami. Hidup makin sulit, kalau iman tidak kuat, pilihannya tinggal dua. Merampok apa bunung diri”, tandas Rohadi. Ia seorang pemulung, asal Indramayu yang numpang di bendeng kolong jembatan tol Pluit.

Kita bisa jadi gemetar, mendengar pengakuan itu. Dengan segala keterbatasan hidup, orang orang kecil mampu bertahan lantaran punya tempat kembali. Mereka bisa meredam nafsu yang mendidih, dengan tafakur di dalam surau. Memahamkan diri, bahwa sejatinya kesulitan kesulitan ini, tangga uji dari Allah SWT, untuk hamba-Nya.

Surau di komunitas marginal, juga punya peran sosial. Ia jadi tempat sekolah, bagi anak anak kurang mampu. Mereka mendaras Al Quran, secara cuma cuma dari sang guru ngaji yang super dhuafa. Wujud, surau yang berantakan bukanlah sebab seorang dhuafa kufur nikmat, enggan sholat, dan tak mengenal Tuhan. Tapi, surau yang dinding dan atapnya sulaman limbah sampah, tempat suci untuk berdilaog dengan Allah SWT.

”Insya Allah, malaikat malaikat Allah lebih betah bersama kami di tempat seperti ini”, terang Mas Picis. Ia mantan preman Senen yang kini jadi seorang dai.
Bila kumpulan feature ini, diberi judul ”Malaikat di Surau Kami”, seperti terinspirasi oleh keyakinan Mas Picis. Seraya menelaah diri akan paradigma rumah ibadah yang kerap tidak tepat.

Orang, kerap berlomba megah megahan bangun Mesjid. Ditingkat tinggi tinggi, dipancangi besi kekar, direkat semen padat, dan dikeramik batu pualam. Kubahnya, ada yang dari emas malah. Mesjid, dibuat tampak agung dan gagah. Tapi, kerap kali jamaahnya sepi. Tak jarang, saat subuh, hanya ada satu satunya orang. Dia yang adzan, iqomah, imam, dan ma’mum. Seorang diri di usia uzur, merangkap semuanya.

Maka, denyut nadi surau surau itu, menyibakkan pelajaran lain dari makna rumah ibadah. Ia tak sekadar dibangun, tapi kita punya kewajiban mengisi dan meramaikannya. Jangan jadikan mesjid mesjid megah sebagai gudang kemubaziran. Jika itu yang terjadi, benar kata Mas Picis, Allah lebih senang mengirim Malaikat di Surau Kami.

Judul Buku: Malaikat di Suarau Kami
Penulis: Sunaryo Adhiatmoko
Penerbit: REPUBLIKA

Read More......

Tuesday, September 23, 2008

Patani Damai Dalam Kepungan Tentara Thailand

Akhir Mei lalu, saya mampir ke Provinsi Pattani, Thailand Selatan. Tiga hari di sana, nuansanya mirip Aceh saat DOM dulu. Hampir satu kilometer setelah keluar dari batas wilayah Provinsi Songkhla memasuki Provinsi Pattani, Thailand wilayah selatan. Mendadak sinyal telepon seluler (ponsel) hilang. Ternyata seluruh nomor ponsel yang beroperasi di wilayah ini harus terdaftar. Jika tidak, alamat diblokir total.



Ketentuan khusus ini diberlakukan sejak tiga tahun lalu. Yang terkena aturan ini, nomor ponsel yang beroperasi di Provinsi Pattani, Narathiwat dan Satun. Semua nomor harus didaftarkan ke counter khusus dengan menunjukkan bukti identitas diri. Jika tidak, maka yang muncul di layar handphone hanyalah tulisan emergency calls only.

“Pemblokiran ini dilakukan karena, katanya, peledakan bom jarak jauh dilakukan orang tak dikenal dengan menggunakan telepon genggam. Tapi saya tidak tahu juga itu,” kata Zainuddin, seorang supir mobil sewaan yang membawa saya dan Khairul Ikhwan wartawan detikcom berkeliling di Thailand Selatan, Jumat (30/5/2008).

Pattani merupakan salah satu dari lima provinsi di kawasan selatan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka bagian dari sekitar delapan persen penduduk Thailand yang berjumlah 65 juta jiwa. Sejak lima tahun silam, suhu keamanan sedikit memanas di sini.

Ketidakpuasan akan sikap pemerintah yang berpadu dengan silang-sengkarut masalah lainnya sejak tahun 1970-an, memunculkan kelompok sempalan Pattani United Liberation Organization (PULO) yang menginginkan kawasan ini merdeka sebagai sebuah negara. Pemerintah menanggapinya dengan mengirim serdadu. Proses berikutnya berbagai ledakan dan penembakan yang merenggut korban jiwa terus terjadi. Korban berjatuhan seiring dengan upaya perdamaian yang tengah dijalin.

Kasus terakhir, dua hari lalu sebuah ledakan terjadi dan melukai empat tentara yang sedang patroli di Distrik Khok Pho, Pattani, sementara di Provinsi Yala tentara menembak mati seorang militan. Kejadian semacam ini menjadi runitas berita yang muncul di media massa tentang Thailand sebelah selatan. Masalah ini pula yang membuat sejumlah negara seperti Inggris dan Amerika Serikat mengeluarkan travel warning bagi warganya yang datang ke Thailand.


Namun jika masuk ke sudut-sudut kota Pattani maupun Narathiwat, semua aktivitas berjalan seperti biasa. Pagi hari, warga yang baru keluar dari masjid setelah menunaikan salat shubuh, duduk di warung tepian jalan menyantap sarapan tanpa khawatir apapun. Di pasar ikan, tentara duduk di sudut dengan genggaman erat senjata laras panjangnya, sementara seorang ibu menawar dengan sengit harga kepiting dengan penjual.

“Sebenarnya di sini tidak ada masalah. Semuanya berjalan dengan biasa, tetapi tentara terlalu banyak. Dan malam hari, jika keluar akan banyak pemeriksaan. Hanya tidak nyaman saja. Mungkin kalau tidak banyak tentara, semua akan baik-baik saja,” sambung Zainuddin.

Sepanjang jalan menjadi hal yang menyebalkan bagi Zainuddin. Hampir setiap dua kilometer dia harus mengurangi kecepatan kendaraan karena portal dan barikade jalan yang melintang dan berjejer rapi. Tentara dengan senjata laras panjang AK-47 dan baju antipeluru, menatap setiap kendaraan dengan wajah curiga. Zainuddin pun terpaksa menurunkan kaca dan menebar senyum hampa setiap melewati barikade ini.

Bagi Zainuddin, yang terpenting adalah kedamaian. Dia tidak perlu segala politik kekuasaan dan keamanan. Hanya bagaimana dia bisa mengemudikan kendaraannya dengan damai, tanpa harus menebar senyum hampa saban melewati barikade sepanjang dua kilometer. (rul/)

Read More......

Satu Jam di Myanmar


Dari sisi imigrasi, Myanmar jelas berbeda dibanding negara Asean lainnya. Kebanyakan pemegang paspor dari Asean harus memiliki visa untuk memasuki negara ini. Termasuk Indonesia. Tapi bisa juga masuk ke Myanmar tanpa visa melalui Tachileik.

Tachileik merupakan sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 700 kilometer dari Yangon di Myanmar yang berbatasan dengan Kota Mae Sai, di Provinsi Chiang Rai, Thailand. Ini pintu perlintasan warga kedua negara.


Warga Thailand bisa melewatinya dengan hanya membawa kartu identitas, mengisi formulir untuk melintas dan membayar 30 Baht atau sekitar Rp 9.000 dengan kurs Rp 300 di imigrasi Thailand dan membayar 10 Bath di imigrasi Myanmar. Warga Myanmar juga begitu persyaratannya. Bisa membayar dengan mata uang Baht atau nilai yang sama dalam mata uang Myanmar, Kyat.

Di Tachileik. seluruh warga asing bisa masuk, namun tidak boleh keluar dari kota ini. Paling ke kawasan sekitarnya seperti Kengtung atau Mengla. Prosesnya mudah. Begitu keluar dari imigrasi Thailand, jalan kaki menyeberangi jembatan Nam Ruak dan 200 meter berikutnya langsung memasuki imigrasi Myanmar.

Nah, paspor kemudian diserahkan kepada petugas. Disuruh duduk di depan petugas, dan wajah pun difoto. Paspor itu tetap dipegang petugas dan hanya bisa diambil jika keluar nanti. Gantinya akan diberikan entry permit, kartu izin masuk berwarna coklat seukuran paspor dengan tulisan Union of Myanmar. Lengkap dengan foto yang dijepret petugas di ruang imigrasi tadi. Untuk Izin yang berlaku maksimal 14 hari ini ada pungut biaya. Silakan pilih, bayar 500
Baht Thailand atau US$ 10. Mau tinggal selama 14 hari atau hanya satu detik, biayanya sama.

Begitu keluar imigrasi, suasana berbeda langsung terlihat. Ibarat gula datang ke sarang semut, para pengasong rokok, makanan, paket wisata, dan pengemis langsung merubung. Semua berbicara cepat dalam bahasa Myanmar atau Thailand. Jika tidak mengerti kedua bahasa itu, suaranya akan terdengar seperti bunyi tiang telepon dipukul dengan batu, tang.. tung.. tang.. tang...

Namun yang membuat sport jantung justru penguntit. Dia melangkah pelan mengikuti kemana pun objek incarannya pergi. Memastikan turis tidak macam-macam. Kegiatan memotret di kawasan perbatasan ini juga mencemaskan. Bisa saja tiba-tiba datang seorang intel dengan ekspresi marah dan bertanya mengapa memotret sembarangan, tentu saja dengan bahasa lokal.

Setelah ditunjukkan entry permit, sang intel biasanya paham dan kemudian menyatakan jangan memotret ke arah pintu imigrasi maupun petugas imigrasi, lalu menunjukkan jari telunjuk ke atas. Oh, peringatan pertama.

Karena cuma sekadar meninjau dan tidak bermaksud menginap, maka rentetan pengalaman selama satu jam ini sepertinya hampir menggambarkan bagaimana situasi di Myanmar selain Tachileik. Maka, satu jam terasa sudah demikian lama berada di Tachilek, saatnya kembali ke Thailand.

Di imigrasi Thailand turis tak perlu bayar apa-apa, tak banyak larangan, dan yang terpenting mereka bisa memberi izin tinggal 30 hari tanpa visa. Setelah satu jam di Tachilek, rasanya menurun drastis minat mengurus visa untuk memasuki Myanmar. Satu jam mungkin sudah cukup di Myanmar.khairul

Read More......