Tuesday, September 23, 2008

Patani Damai Dalam Kepungan Tentara Thailand

Akhir Mei lalu, saya mampir ke Provinsi Pattani, Thailand Selatan. Tiga hari di sana, nuansanya mirip Aceh saat DOM dulu. Hampir satu kilometer setelah keluar dari batas wilayah Provinsi Songkhla memasuki Provinsi Pattani, Thailand wilayah selatan. Mendadak sinyal telepon seluler (ponsel) hilang. Ternyata seluruh nomor ponsel yang beroperasi di wilayah ini harus terdaftar. Jika tidak, alamat diblokir total.



Ketentuan khusus ini diberlakukan sejak tiga tahun lalu. Yang terkena aturan ini, nomor ponsel yang beroperasi di Provinsi Pattani, Narathiwat dan Satun. Semua nomor harus didaftarkan ke counter khusus dengan menunjukkan bukti identitas diri. Jika tidak, maka yang muncul di layar handphone hanyalah tulisan emergency calls only.

“Pemblokiran ini dilakukan karena, katanya, peledakan bom jarak jauh dilakukan orang tak dikenal dengan menggunakan telepon genggam. Tapi saya tidak tahu juga itu,” kata Zainuddin, seorang supir mobil sewaan yang membawa saya dan Khairul Ikhwan wartawan detikcom berkeliling di Thailand Selatan, Jumat (30/5/2008).

Pattani merupakan salah satu dari lima provinsi di kawasan selatan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka bagian dari sekitar delapan persen penduduk Thailand yang berjumlah 65 juta jiwa. Sejak lima tahun silam, suhu keamanan sedikit memanas di sini.

Ketidakpuasan akan sikap pemerintah yang berpadu dengan silang-sengkarut masalah lainnya sejak tahun 1970-an, memunculkan kelompok sempalan Pattani United Liberation Organization (PULO) yang menginginkan kawasan ini merdeka sebagai sebuah negara. Pemerintah menanggapinya dengan mengirim serdadu. Proses berikutnya berbagai ledakan dan penembakan yang merenggut korban jiwa terus terjadi. Korban berjatuhan seiring dengan upaya perdamaian yang tengah dijalin.

Kasus terakhir, dua hari lalu sebuah ledakan terjadi dan melukai empat tentara yang sedang patroli di Distrik Khok Pho, Pattani, sementara di Provinsi Yala tentara menembak mati seorang militan. Kejadian semacam ini menjadi runitas berita yang muncul di media massa tentang Thailand sebelah selatan. Masalah ini pula yang membuat sejumlah negara seperti Inggris dan Amerika Serikat mengeluarkan travel warning bagi warganya yang datang ke Thailand.


Namun jika masuk ke sudut-sudut kota Pattani maupun Narathiwat, semua aktivitas berjalan seperti biasa. Pagi hari, warga yang baru keluar dari masjid setelah menunaikan salat shubuh, duduk di warung tepian jalan menyantap sarapan tanpa khawatir apapun. Di pasar ikan, tentara duduk di sudut dengan genggaman erat senjata laras panjangnya, sementara seorang ibu menawar dengan sengit harga kepiting dengan penjual.

“Sebenarnya di sini tidak ada masalah. Semuanya berjalan dengan biasa, tetapi tentara terlalu banyak. Dan malam hari, jika keluar akan banyak pemeriksaan. Hanya tidak nyaman saja. Mungkin kalau tidak banyak tentara, semua akan baik-baik saja,” sambung Zainuddin.

Sepanjang jalan menjadi hal yang menyebalkan bagi Zainuddin. Hampir setiap dua kilometer dia harus mengurangi kecepatan kendaraan karena portal dan barikade jalan yang melintang dan berjejer rapi. Tentara dengan senjata laras panjang AK-47 dan baju antipeluru, menatap setiap kendaraan dengan wajah curiga. Zainuddin pun terpaksa menurunkan kaca dan menebar senyum hampa setiap melewati barikade ini.

Bagi Zainuddin, yang terpenting adalah kedamaian. Dia tidak perlu segala politik kekuasaan dan keamanan. Hanya bagaimana dia bisa mengemudikan kendaraannya dengan damai, tanpa harus menebar senyum hampa saban melewati barikade sepanjang dua kilometer. (rul/)

2 comments:

Fida Abbott said...

Met Idul Fitri ya Mas. Maaf lahir bathin.

Template Booklet Company Profile said...

sama sama :)