Friday, December 22, 2006

Beras dan Nasi Aking

Beras mahal. Rp 5.200,- per kilogram. Kalangan ibu rumah tangga kelas menengah bawah dibuat resah. Sebelumnya mereka dibuat panik lantaran minyak tanah langka di pasaran. Kini kepala mereka pusing tujuh keliling, mengutak-atik uang belanja. Di kitaran Jakarta obrolan keluh kesah beras mahal cukup mudah ditemui. Garuk-garuk kepala, satu-satunya jalan melepaskan gelisah.

Di Cimanggis, Depok, tetangga kontrakan sempat berantem dengan suaminya. “Beras mahal pak. Anak-anak belum bayar sekolah, kontrakan bulan ini juga belum bayar!” teriaknya keras. Sang suami yang bekerja sebagai pengojek tak menanggapi. Ketimbang ribut, Kang Tarjo ngeloyor pergi mencari penumpang.

Tak lama berselang, istri Kang Tarjo makin meradang. Sumpah serapah keluar memaki ketidakadilan. Syukur, di puncak marahnya wanita tiga anak itu tidak mengumpat Tuhannya. “Tahu begini gak mau saya milih presiden. Mana pula janji-janji partai yang mau menyejahterakan rakyat. Giliran begini, mana mereka peduli”, gerutunya terus mengomel.

Di pesisir Losari, beras mahal masih disiasahi dengan nasi aking. Nasi bekas yang dikeringkan. Masalah rasa, jangan tanya. Bagi yang tak terbiasa akan dibuat muntah. Tahu asal muasalnya nasi itu saja kita akan bergidik. Tetapi apalah artinya rasa. Bagi orang miskin perut kenyang sudah lebih dari cukup. Rasa dan lauk pauk urusan kesekian.

Nasi berwarna kekuning-kuningan itu baunya agak apek. Lidah saya pernah menikmati tatkala tahun 1980-an paceklik merajam kelurga saya di Jawa Timur. Nasi itu masih mahal nilainya ketimbang nasi tiwul dari gaplek kering. Asalnya yang dari beras, meski telah jadi nasi bekas seperti punya tingkatan gengsi tersendiri. Malu jika mengingatnya. Seorang teman pernah menyela tatkala saya berbagi cerita.

“Makan nasi aking kok bangga”, katanya berkelakar.

“Ketimbang tiwul lebih keren dikit kan? Masih ada bau berasnya”, timpal saya membesarkan hati.

Saya masih ingat. Nasi aking di kampung saya tidak hanya dari nasi beras bekas. Nasi tiwul yang tak habis dimakan daripada basi juga dikeringkan menjadi karak. Itu akan dimasak saat musim kemarau tiba dimana singkong tak dapat tumbuh.

Hampir 20 tahun keperihan itu berlalu. Saya kira hanya di kampung saya yang pelosok nasi aking hadir. Ternyata hingga 2006 ini, nasi aking masih populer di pinggiran Ibukota. Sebagian orang malah bilang, “Hari gini masih ada nasi aking?”.

Jika kita luangkan waktu menyeruak masuk ke kantong-kantong kemiskinan, kisah nasi aking hanya sebagian kecil dari warna kemiskinan kita. Masih beraneka rupa keruwetan hidup komunitas lirih yang belum kita selami. Maka, jangan jauh-jauh bicara gizi dan standar hidup bersih di komunitas miskin. Ngomongi persoalan isi perut esok hari saja tak jua usai.

Apalagi harga beras yang hari ini mengerikan. Menambah polemik hidup makin rumit. Alasan jelang hari raya dan tahun baru kerap dijadikan pembenaran untuk mendongkrak harga-harga sembako. Saat pemerintah heboh operasi pasar, saya dan Kang Tarjo sembari rehat di serambi kontrakan hanya mesem kecut.

“Bukan operasi pasar yang penting kali mas. Tapi bagi orang seperti saya perlu operasi perut agar tidak punya rasa lapar. Kayak cerita astronot yang cuma menelan pil itu lho. Mereka bisa hidup berbulan-bulan. Sudah capek rasanya hidup ini berputar sebatas perut melulu?” sindir Kang Tarjo putus asa.

Amat sederhana memang tawaran solusi Kang Tarjo yang membuat kita nyengir. Bicara operasi pasar, tiap tahun rasanya persoalan ini laten berulang. Padahal pepatah bilang, alah bisa karena biasa. Anehnya tetap bolot tak bisa-bisa. Padahal pemerintah memiliki lumbung beras yang dicadangkan oleh Bulog. Mestinya kenaikan harga beras sudah diantisipasi sejak jauh hari.

Sekarang jelas saja terlambat. Keadaan sudah dipenuhi oleh para spekulan yang ingin mengeruk keuntungan. Belum lagi prediksi beberapa pihak bahwa ada oknum pemerintah yang memang dengan sengaja mempermainkan keadaan demi kepentingan tertentu. Tetap saja komunitas lirih menjadi tumbal dari semua ini. Maka, jangan kaget jika hari gini nasi aking masih dinikmati.

Read More......

Aceh, Mozaik yang Belum Usai

Berbagai upaya dibongkar pasang. Agar masa depan Aceh pasca tsunami bangkit kembali. Setelah 2 tahun berlalu nyatanya Aceh tetap menjadi mozaik Indonesia yang belum usai. Senang dan kecewa mengiringi catatan kami jelang 2 tahun pasca tsunami.

Hari itu, Sabtu 22 April 2006. Lagu “Samboet Batee”, berdendang merdu mengawali peresmian SMA Negeri I Lhoong, di Desa Cundin, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Jalan Banda Aceh-Meulaboh. Jaraknya sekitar 56 kilometer dari Banda Aceh. Ratusan undangan yang hadir seakan tersihir. Khusuk meresapi pesan dalam isi syair yang dibawakan dengan irama geleng-geleng kepala. Suasana makin mengharukan tatkala nyanyian khas aceh itu dibawakan para pelajar.

Tak hanya suguhan tari dan lagu, upacara adat juga disiapkan untuk menyambut para tamu dari Jakarta. Menurut masyarakat setempat, ubo rampe ini sebagai tanda terima kasih atas pembangunan gedung sekolah. “Ini sekolah terbaik yang pernah dibangun di Aceh Besar. Kami sangat bersyukur. Ini anugerah yang tak terhingga,” kata Zulkifli, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Besar.

Pasca tsunami yang mengoyak Bumi Iskandar Muda, banyak pihak mengomentari SMA N I Lhoong menjadi sekolah termegah. Dengan biaya Rp 5,3 miliar, sekolah ini menjanjikan fasilitas yang lengkap, konstruksi bangunan wah, serta fasilitas ekstrakurikuler yang komplit. Di areal seluas 1,3 hektar ini, berdiri lima gedung. Gedung untuk 12 kelas, gedung aula, gedung perpustakaan berlantai dua, gedung laboratorium dan gedung untuk perumahan guru. Selain itu ada lapangan basket, bola voli, dan lapangan bola.

Dana sebesar itu hasil bantuan dari Pemkot Balik Papan Rp 2,404 miliar dan Gap Inc. sebanyak Rp 2,926 miliar. Agar tak sekadar memancangkan kemegahan fisik, Dompet Dhuafa Republika (DD) melalui Lembaga Pengembangan Insani memberikan pendampingan sistem pendidikan di sekolah itu. Cita-cita ideal yang ingin diusung, agar SMA N I Lhoong menjadi sekolah yang mampu melahirkan SDM unggul di Nanggroe Aceh Darussalam.

Rasanya, belum ada setahun cita-cita itu diteguhkan. Masih membumi hingga kini. Tetapi realita bicara berbeda. Merubah sistem nilai dan kemandirian memerlukan kerja habis-habisan. Benturan budaya kadang tak mampu dielak. Bisa menang, dapat pula kalah di satu pihak. Demikian pula pendidikan di Aceh. Tak semulus di atas kertas yang dikonsep. Alih-alih ingin mencapai takaran ideal malah kecewa.

Akhir November lalu, Resource Director Baznas – Dompet Dhuafa, Ahmad Juwaini menengok perkembangan SMA N I Lhoong. Sebagai penanggung jawab program DD di Aceh, jelang 2 tahun tsunami, ia mengevaluasi program di lapangan. Dari program ekonomi, keuangan mikro, sampai pendidikan. Diantara program yang membekas dan bergeliat cukup baik adalah Baitul Qirodh (BQ).

BQ, sebuah lembaga keuangan mikro syariah. Sebelum di Aceh DD pernah sukses mengembangkan program ini di Jawa, yakni Baitul Mall wa Tanwil (BMT). Agak mirip sedikit barangkali dengan Gramen Bank-nya Muhammad Yunus di Bangladesh. Di aceh ada 2 BQ. BQ Amanah Umat di Meulaboh dan BQ Bina Insan Mandiri di Banda Aceh.

Kenyataan yang cukup menyesakkan justru pada kodisi SMA N I Lhoong. Meski sudah diserahkan pada masyarakat dan pemerintah setempat, sepertinya bangunan megah itu sekadar simbol saja. Tak ada rasa memiliki. Aula sekolah yang luas mendadak jadi ajang trek-trekan motor. Kamar mandi yang semula harum, mendadak mirip wc di jalur pantura. Jorok dan bau. Jamban berisi kotoran sampai tak disiram. Asrama guru berubah jadi gudang debu. Pendamping dibuat terpental. Jam belajar tak sedisiplin awal-awal sekolah berdiri. Amburadul.

Bicara kualitas pendidikan. Sungguh malu dengan cita-cita ideal itu. Di awal, dalam dialog dengan para pelajar dan guru di sana, mereka amat antusias dengan sekolah itu. Hampir semua bicara cita-cita membangun Aceh dengan SDM unggulan. Tak mau tertinggal, apalagi tertindas. Saatnya berdiri sama tinggi dalam meraih kualitas pedidikan. Aceh harus bangkit berjaya dengan potensi SDM lokalnya. Sungguh mengharukan perbincangan kecil di sudut lapangan basket usai peresmian itu.

SMA N I Lhoong di tempat asalnya tinggal pondasi. Bangunan yang dulunya sederhana itu, terbabat habis oleh gelombang tsunami. Jika kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan tinggi, menjaga saja kiranya lebih dari cukup sebagai wujud syukur. Namun, menjadikan aula sekolah sebagai ajang balapan motor, dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan.

Budaya

Jelang 2 tahun pasca tsunami, 26 Desember nanti. Kami punya catatan tersendiri. Cerita sesak dari Serambi Makkah itu baru satu kisah dari realita yang terjadi di lapangan. Betapa benturan budaya amat melekat nuansanya. Tak semua program yang pernah sukses di tempat lain dapat bertahan di Aceh. Benar kata orang, membantu Aceh tak cukup sekadar pengorbanan harta benda. Bila hati dan samudera kemanusiaan tak luas lebih baik tak datang ke sana.

Sebagian orang berpendapat, membangun Aceh harus dengan pendekatan budaya. Masyarakat Aceh sangat kuat dipengaruhi keagungan dan keemasan masa lampau. Zaman keemasan kesultanan masa lalu diwariskan turun-temurun dalam masyarakat Aceh, seperti bagaimana hebatnya Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu Aceh sudah mempunyai mata uang emas dan hebat dalam perdagangan. Itu selalu menggelitik memori kolektif orang Aceh tentang bagaimana mengembalikan kejayaan Aceh masa lampau.

Masyarakat Aceh butuh cepat. Bukan janji-janji. Hal ini tercermin dalam prilaku budaya tarian mereka. Lihat saja tarian dan tabuhan dari Aceh, seperti genderang dan rapai. Dari musik yang klimaks bergemuruh dan tiba-tiba pada suatu titik terhenti. Budaya Aceh lahir dari gambaran-gambaran alamnya dan karakter tersebut perlu dipahami. Begitu hancur, begitu pula dibangun secepatnya. Pun, budaya ini yang menjiwai DD dalam membangun SMA N I Lhoong. Selesai dalam waktu cepat, kuat, mewah, dan megah. Meski kini amat memprihatinkan.

Apa yang terjadi di lapangan sesungguhnya koreksi yang harus terus dievaluasi. Sudah menjadi kewajiban lembaga menjelaskan kondisi ini. Agar masyarakat dan donatur memahami sejauh mana perkembangan program DD di Aceh setelah mau menginjak 2 tahun.. Ini bentuk tanggung jawab terhadap publik. Meski patah tumbuh silih berganti, Aceh akan tetap menjadi mozaik yang kita cintai.

Sebagaimana Presiden Direkur Baznas – Dompet Dhuafa, Rahmad Riyadi mengurai cintanya untuk Aceh. Maka, tepat sekali bila Aceh akan bertumbuh sehat bila digarap oleh tangan-tangan penuh ‘’cinta”, diguyur oleh perhatian dan kerja yang dipenuhi rasa ‘’cinta”, dan diwujudkan bersama cita-cita ke depan dengan semangat ‘’cinta” yang saling menguatkan. Tanpa itu semua, sesungguhnya ‘’cinta” akan berhenti sebagai slogan. Kejayaan masa lalu pun akan tetap sebagai slogan yang tak bisa membuat konstruksi kesadaran dan etos rakyat Aceh berubah. Para pemberdaya pun akan berhenti pada program normatif yang tidak menawarkan perubahan paradigmatic bagi Aceh Baru yang lebih baik.

Diperlukan keberanian dua-arah antara masyarakat Aceh dan kelompok pemberdaya yang terdiri atas sejumlah besar komponen: masyarakat peduli, LSM, pemerintah dalam skala luas untuk menyadari arti penting kebersamaan membangun Aceh masa depan. Keberanian itu menuntut perubahan wacana dalam diri masing-masing komponen untuk mengubah citra. Apa pun bentuknya, situasi di sekitar penanganan Tsunami Aceh telah mengisyaratkan sebuah pesan penting bahwa ‘’semua komponen tidak akan berdaya mencapai sesuatu tanpa keridhaan (rasa cinta)” dalam kebersamaan itu.

Dengan segala suka dukanya. Setelah 2 tahun lalu tragedi buruk mencabik tanah rencong, kita jadikan bumbu pedas, pahit, dan getir sebagai racikan penyedap rasa. Agar Aceh bangkit berjaya. Senantiasa berdoa, sebagaimana lirik yang tersurat dalam lagu Rafli:

Talakee do‘a ..taniet bak Allah/Ubee musibah..musibah bek lee trok teuka/Aceh beu aman..beu aman bek lee ro darah..ro darah/Seuramo mekkah..mekkah beu kong agama.

Bermohonlah do’a kepada Allah/Semua musibah... musibah...supaya terhindar/Aceh moga aman tak lagi darah tertumpah/Serambi Mekkah smoga kuat agamanya.

Read More......

Nilai Kemanusiaan Dalam Kurban

Dua hari raya kurban, hadir dua kali dalam tahun 2006 ini. Yang pertama pada awal Januari. Kedua pada 31 Desember nanti. Kedua-duanya berdekatan dengan awal tahun baru yang kerap dirayakan besar-besaran oleh penduduk dunia. Tahun ini, Idul Kurban mengawali dan mengakhiri. Sekaligus menjadi saksi perubahan ekonomi rakyat dalam kurun setahun.

Meski tiap kotbah Idul Adha menyeru kurban sebagai semangat pengorbanan, rasanya belum banyak membekas di sebagian pemimpin kita. Pengorbanan pemimpin pada rakyatnya, masih jauh. Pengorbanan wakil rakyat pada rakyatnya baru sebatas komentar. Gaji dan standar hidup mereka bertambah naik. Bedanya, langit sama bumi dengan kondisi rakyat jelata yang hari-hari makin sulit hidupnya.

Kenyataan yang menyedihkan, pengorbanan pada bangsa dan negara menjadi wajib bagi rakyat kecil. Harga beras melonjak, tak boleh rakyat berontak. Minyak tanah langka, himbauannya tetaplah sabar. Para pemimpin seakan gemar melihat jerit tangis dan antrean ketimbang menatap rakyat damai dan sejahtera. Ratusan milyar untuk menyambut George W Bush adalah pengorbanan rakyat terbesar tahun ini. Pengorbanan yang dipaksakan.

Akhir tahun ini, sudikah semua pihak menginstropeksi diri. Pemimpin menyesali kekhilafannya dan merancang tatanan serta kebijakan yang berpihak pada rakyat 2007 nanti. Dengan mengambil semangat Idul Kurban. Mengawali pengorbanan untuk rakyat pada bulan akbar Zulhijjah.

Bulan yang dalam literatur keagamaan disebut sebagai bulan istimewa karena di dalamnya ada hari yang disebut dengan 'aid al-akbar (hari raya besar). Paling tidak ada dua keistimewaan bulan Zulhijjah ini. Pertama, pada bulan inilah Allah SWT mewajibkan ibadah Haji ke Baitullah bagi hambanya yang memiliki kesanggupan (istitia'ah) baik dari sisi rohani, jasmani, keamanan dan finansial.

Kedua, pada bulan ini pula Allah SWT mensyari'atkan penyembelihan hewan kurban sebagai media-sarana mendekatkan (taqarrub) diri kepada Allah SWT. Yang menarik adalah kedua peristiwa besar ini dilakoni oleh seorang hamba Allah terpilih, yang berhasil memainkan peran historisnya untuk membangun diri, keluarga, masyarakat dalam bingkai tauhid. Atas dasar ini pula Ibrahim diberi gelar sebagai khalilullah.

Syariat kurban pun terwarisi sampai hari ini sebagaimana al Quran menyatakan, “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka … (Qs. 22:34).

Kurban menuntut keikhlasan manusia mengorbankan dan menghempaskan jauh-jauh sifat egoisme, mementingkan diri sendiri, dan serakah yang ditandai dengan kecintaan berlebihan kepada keluarga, harta, serta kedudukan. Dalam salah satu intisarinya, kurban adalah simbol penyerahan diri secara total seorang hamba kepada kekuasaan Allah SWT.

Pada sisi lain, ibadah kurban sekaligus menjadi wahana pendidikan rohani yang meniscayakan pentingnya mewujudkan persaudaraan dan keadilan sosial. Perintah kurban bagi si kaya, dan membagi dagingnya untuk si miskin. Hal ini dapat mencerminkan wasiat penting ajaran Islam, bahwa Anda bisa dekat dengan Tuhan hanya ketika Anda dapat dekat erat dengan saudara, tetangga, dan orang-orang dhuafa.

Demikian dahsyatnya kurban jika dimaknai lebih dalam ke ceruknya. Diharapkan dengan sikap ini orang-orang yang beriman mau lebih banyak berkurban untuk kemaslahatan umat dan bangsa serta syiar Islam. Baik dengan harta benda, pikiran, ilmu pengetahuan, jabatan, kekuasaan bahkan dengan jiwa-raga. Sebab hanya dengan kesediaan berkurban inilah nilai-nilai yang baik dan makruf akan tegak, serta nilai dan perilaku yang mungkar dan merusak akan hancur.

Sementara bagi Baznas – Dompet Dhuafa, kurban dua kali setahun ini menjadi moment penting dalam memberdayakan peternak dhuafa. Kini bukan sekadar hewan kurban yang didistribusikan THK ke pelosok negeri, melainkan ada distribusi ekonomi yang menyertainya. Para peternak gurem binaan Kampoeng Ternak tengah menanti panen rayanya.

Melihat jumlah ternak dan nilai uang yang mampu dihimpun selama proses THK, Menteri Pertanian, Anton Apriantono melihat program ini wujud nyata dalam memajukan peternakan rakyat.

Program THK (Tebar Hewan Kurban) Dompet Dhuafa memiliki peran dan prospek strategis dalam memajukan peternakan rakyat. Melalui penyadaran yang terus-menerus, jumlah kurban dan pekurban Dompet Dhuafa cenderung terus meningkat. Ini menjadi pasar tahunan bagi peternak tradisional”, tulis Anton dalam pengantarnya di Majalah THK.

“Tidak berhenti sebatas menyuplai keperluan kurban, THK DD juga mengembangkan peternakan secara serius, melalui Program Kampoeng Ternak. Ini sebenarnya merupakan mata rantai industrialisasi peternakan”, tambahnya.

Perhelatan akbar yang sebentar lagi menjelang mestinya mampu mencerahkan kita. Terutama para pemimpin agar terjernihkan batinnya dalam mengurus rakyat. Memihak sampai titik nadir, agar kelak di akhirat jelas tanggung jawabnya. Bagi masyarakat, kurban tahun ini dihadapkan pada dua pilihan. Libur akhir tahun untuk menjelang tahun baru, atau memanfaatkan dana yang ada untuk menunaikan kurbannya.

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang memiliki keleluasaan lalu tidak mau menyembelih hewan kurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami.” Wallahu’alam.

Read More......

Tuesday, December 19, 2006

Spirit Jogja Guyub

Gempa tektonik itu menelan ribuan korban. Menorehkan rekaman dramatis yang memilukan. Semua sepakat untuk membantu, namun tak tentu untuk bersatu. Dalam sandi guyub, penolong dan korban saatnya bergandeng tangan untuk segera mengentaskan derita.

Guyub. Sebuah akar tradisi Jawa yang melekat. Dimaknai sebagai kerukunan, kebersamaan, akur, senasib dan seperjuangan. Istilah kekiniannya dapat disebut sinergi. Dengan guyub pula persoalan sulit dapat diurai secara bersama dalam satu titik temu, seiya sekata. Spirit guyub menanggalkan segala perbedaan untuk satu tujuan. Guyub bisa tercapai jika kepentingan-kepentingan pribadi untuk tujuan sendiri dibuang jauh. Dan guyub menemukan ruhnya di tanah Jawa dalam wujud gotong royong.

Pada sabtu, 27 Mei lalu, Yogyakarta dan Jawa Tengah terentak gempa tektonik, 5,9 skala Richter. Wilayah Bantul terutama, luluh lantak. Rumah-rumah penduduk rata dengan tanah. Korban jiwa, harta, dan benda melengkapi tragedi goncangan bumi di selatan pulau Jawa ini. Tangis dan panik mengaduk-aduk wajah bangsa kita yang tak putus-putus ditempa bencana. Geliat bumi kerap lewat diprediksi, lantaran kecanggihan teknologi yang tak dimiliki.

Gempa di Jogja dan Jawa Tengah, makin menyedihkan saat terjadi dalam suasana libur panjang. Sebagaimana dimafhumi, libur kerap menjadi biang keladi untuk lambatnya langkah tanggap darurat. Meski Presiden terjun di awal, pada tataran di bawahnya baru terlihat bergerak massif pada hari Senin berikutnya. Tak hendak menyela, sekadar bertanya apakah libur panjang memang saat paling privacy untuk tak diusik. Oleh tragedi dahsyat kemanusiaan sekalipun.

Di antara beragam saran dan kritik yang bertaburan di media massa, atas penanganan korban bencana yang dianggap lamban, semua kita masih sepakat bilang, mari peduli untuk Jogja dan Jateng. Dalam talk show malam di sebuah stasiun TV nasional, Ketua MPR RI, Hidayat Nurwahid menekankan, hendaknya bencana gempa ini menjadi moment bangkitnya rasa kesetiakawanan sosial. Senada dengan kesetiakawaan sosial, dalam bahasa Jawa bisa disebut guyub rukun eling sadulur (guyub rukun ingat sesama saudara).

Guyub dan gotong royong, wujud kepedulian sosial yang telah menjadi budaya. Sebagai sebuah kearifan lokal yang berlahan redup tertutup oleh jargon impor. Padahal negara-negara maju yang sudah mengalami "mabuk teknologi" kembali melirik ikon-ikon yang genuine, yang asli, yang alamiah. Gempa Jogja dan Jateng kali ini menuntut jawaban atas falsafah guyub dan gotong royong yang membanggakan itu.

Pendekatan budaya

Sebagai sebuah penggugah, guyub cukup menarik sebagai pemantik empati. Terlebih bencana yang memilukan ini terjadi di depan mata sendiri. Masyarakat Jawa yang tenar dengan guyub dan gotong royongnya, hendaknya segera bangkit. Saling membantu satu sama lain, menerapkan apa yang telah diwariskan para leluhur.

Bisa jadi, dengan guyub, satu RT yang hari ini rumahnya rata dengan tanah, dapat bergotong royong memugar satu rumah ke rumah yang lain. Dijadwal secara bergiliran. Seraya memetik hikmah alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asal tercapai). Gempa dahsyat ini disadari juga menorehkan luka hati. Trauma dan kecemasan. Namun, unsur ketabahan yang lekat di masyarakat Jawa mustinya dapat membuat korban tangguh menghadapinya.

Kesabaran masyarakat Jawa dalam memanggul ujian dikenal cukup teruji. Semangat-semangat ini hendaknya disemarakkan lagi, agar para korban tak berlarut-larut terpuruk. Kabar-kabar tak baik, menyangkut adanya penjarahan dan pencegatan bantuan di lokasi gempa, sebuah berita yang menyedihkan. Wartono (50), seorang warga Ngentak, Seloharjo, Bantul yang rumahnya rata dengan tanah menampik keras kabar itu. Menurutnya, mental masyarakat Jawa jauh dari rakus dan anarki meski dalam kondisi sesulit apapun.

Terlepas dari ada atau tidak, sampai hari ini kondisi korban gempa dalam situasi tidak jelas. Reruntuhan rumah dan puing-puing menyuguhkan pemandangan yang menyesakkan. Yang menarik kini, jalan-jalan di Bantul di atas jam 10.00 akan padat merayap. Macet di sana sini dipenuhi kendaraan-kendaraan pribadi. Jumlah pengunjung – bukan relawan meningkat. Mereka dengan tujuannya masing-masing, akan beradu mata dengan pandangan para korban yang menyirat harap.

Kiranya, tajuk “guyub” dapat dicuatkan agar semua elemen masyarakat, pemerintah, dan korban gempa berpadu untuk segera menyibak layar suram ini. Para korban gempa di Jogja dan Jateng harus segera bangkit. Mereka yang tabah dan narimo musti disemangati. Meresapi makna guyub yang demikian dalam, beberapa lembaga kemanusiaan mencoba mengusung sebagai sebuah sandi bersama.

Minggu malam, dua hari setelah gempa. Ada 20 perwakilan dari Lembaga Amil Zakat (LAZ), lembaga kemanusiaan, organisasi kemasyarakatan, Baitul Mal wat Tanwil (BMT), dan perwakilan elemen-elemen masyarakat berembug di kantor Corps Dakwah Pedesaan (CDP) Yogyakarta. Rembugkan yang dipandu Kusnandar, Direktur Grant Dompet Dhuafa Republika itu menelorkan sebuah sinergi bersama yang terbingkai dalam “Jogja Guyub”.

Menilik akar budaya lokal, paguyuban ini cukup pas untuk melakukan aksi kemanusiaan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Guyub sebagai spirit untuk membangkitkan semangt para korban melalui pendekatan budaya. Guyub merangkum kebersamaan antara pihak pemberi bantuan dan penerima bantuan. Masyarakat terlibat dalam kerja kemanusiaan secara bergotong royong. Rasa senasib seperjuangan melebur dalam satu nafas untuk segera bangkit dan berbenah. Filantropi,REPUBLIKA (23/7/06)

Read More......

Sedu Sedan TKW di Victoria Park

Victoria Park di hari Minggu. Taman di pusat jantung kota Hongkong, menyemut dipadati ribuan wanita. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00, Victoria Park menyuguhkan wajah Indonesia. Dan 90% wajah Jawa. Kulit sawo matang dihiasai rambut pirang bergerai. Mode pakaian yang dibesut seakan kurang bahan, membungkus lenggak-lenggok tubuh yang berlenggang lalu lalang di jalan-jalan dan taman. Kuping berbunga banyak tindik, sampai pusar pun diobral. Riuh cekikikan dan tawa berderai menyemarakkan Victoria Park.

Ponsel keluaran anyar menjamur ditenteng. Di tempel lekat di kuping, ngobrol sembari jalan. Pulsa seakan diobral murah entah untuk berbincang apa. Gaya wanita eropa dalam bingkai kebebasan makin lengkap. Ditambah asap rokok yang mengepul dari bibir berpoles lipstik lima mm. Mereka-reka gayanya, mirip turis. Dan, rasa-rasanya tak salah memang. Victoria Park tempat faforit para turis wanita dalam cas, cis, cus dialeg Jawa medok. Sedikit menyamarkan, dialek Katon akan menjadi selingan.

”Minggu, hari kebebasan bagi kami. Bayangkan, selama enam hari kami berkutat jadi babu. Kalau dapat majikan baik masih mending, kebanyakan majikan di sini kasar. Tak jarang kami digampar, dipukul, dan kekerasan fisik lainnya. Makanya kami puas-puaskan menikmati kebebasan yang cuma sehari ini”, kata Saijah (28), pekerja asal Tulungagung yang sudah 8 tahun di Hongkong.

Gaya urakan, menurut Saijah cara lain dari melampiaskan banyak beban. Selain tuntutan gaya hidup yang ingin mencicipi dunia modern. Terlebih, suasana Hongkong sangat menyokong kebebasan mereka. Di kota inilah para migrant worker menemukan kesetaraan. Tak ada perlakuan kelas dua, atau kelas tiga layaknya Malaysia memandang rendah pekerja Indonesia. Di luar rumah, mereka berhak menikmati fasilitas umum setara dengan warga asli Hongkong. Pun, gaya hidup dan tetek bengeknya.

Bicara beban, Rukmini yang kini kecanduan rokok membagi kisah. Kemampuannya bertahan di Hongkong sampai enam tahun ini bukan tanpa alasan. Utang-utang di Jawa untuk ia berangkat dan membangun rumah belum lunas. Di tempat asalnya, Jawa Timur, ukuran kesuksesan dilihat dari rumahnya yang magrong-magrong.

”Orang kampung pikir, di sini cari uang gampang. Saya juga terlanjur malu, apalagi setelah saya jadi TKW, suami jadi dihormati di kampung. Karena rumah kami sudah tembok dan punya motor. Wah, tumiran makmur yo saiki, bojone kerjo neng Hongkong (wah, tumiran kaya sekarang setelah istrinya kerja di Hongkong)”, ungkap wanita beranak empat ini membagi kisah.

Padahal, berkali-kali siksaan fisik ia terima. Ditendang dan dipukul menjadi sarapan saban hari. Tidur empat jam sehari. Semua ditelan pahit, tak tampak oleh tawa sumringah Tumiran yang mengendarai motor hasil perasan keringatnya. Sementara Tumiran mendengkur di atas kasur, berselimut dinding tembok dalam rumah megah. Saat Tumiran merajut mimpi indah, saat itu pula Rukmini masih terjaga diperbudak majikan.

Namun, tak semua mengejar gengsi status sosial di kampung. Hadiatun (23), wanita berjilbab asal Malang ini misalnya. Lari ke hongkong untuk menghindari masalah keluarga. Menikah di usia 14 tahun, ia terpaksa harus menghidupi dua anaknya yang kini ditinggal suami kawin lagi. Status janda muda membuatnya tersiksa oleh gunjingan miring tetangga. Meski hidupnya lurus, tetangga seakan tak rela ia hidup tenang membesarkan dua anaknya di desa.

”Saya yakin, 90% teman-teman yang ada di Hongkong kerja di sini karena keruwetan masalah keluarga. Semua karena terpaksa dan ingin menghindari masalah-masalah itu”, ungkap wanita yang grapyak (supel) mengucap salam pada siapapun yang ditemui di jalan ini. Merangkum dari sedu sedan para pekerja wanita Indonesia di Hongkong, eposnya sama. Semua bermasalah, terlilit beban, luka fisik, luka hati, dan ketergantungan dengan alasan ”terpaksa” kembali lagi ke Hongkong.

Wajah Dakwah

Hari Minggu di Victoria Park. Adalah juga wajah dakwah. Jilbab putih dan warna-warni membalut indah wajah-wajah migrant worker di sisi lain. Di bawah rindangnya pohon di ujung taman, sekelompok komunitas berjilbab berkumpul. Di dalamnya ada diskusi, mengaji, dan peneguhan akidah. Di tempat itu pula sholat dhuhur dan asar dijalankan.

Warna masalah yang mereka hadapi sama. Namun berbeda cara menyiasatinya. Hari Minggu pula, saat merdeka bagi mereka menjalankan ibadah. Sholat, bagi sebagian besar TKW adalah masalah berat yang musti ditanggung. Dapat dihitung jari bagi yang punya majikan toleran. Kisah digampar dan dipukul saat mau sholat, cerita-cerita yang gampang ditemui. Mencuri waktu, ngumpet dari kebengisan majikan, untuk sholat di kamar mandi sebagian kisah pedih dari perjuangan mempertahankan akidah.

Jangan bicara sah atau tidak. Buang jauh-jauh bayangan rumah para majikan di Hongkong semegah Pondok Indah. Orang-orang kaya di Hongkong yang mampu menggaji pembantu Rp 3 juta adalah sebuah ruang di apartemen. Sempit dan sumpek. Bercampur dengan anjing dan berlumur minyak babi. Sriani, contoh seorang muslimah berjilbab yang merelakan fisiknya dicabik dan didera. Hanya untuk sholat. Disirami air saat sujud, dihampiri anjing saat ruku, sampai dijedotkan ke tembok.

Jika saja hidup memberikan pilihan. Jika saja para suami bertanggung jawab. Jika saja sesama muslim di tanah air bersaudara. Jika saja fakir miskin dan anak-anak terlantar diurusi negara. Sriani dan teman-teman senasibnya tak perlu menadahi nestapa ini. Maka, tumbuhnya 30 organisasi muslim di Hongkong hari ini menjadi sebuah harapan pembelaan bagi mereka.

Sebagai wujud keseriusannya menggali ilmu agama dalam kondisi darurat, para muslimah perkasa itupun mendatangkan ustad dan kyai dari Indonesia. Tak tanggung-tanggung. Wajah pendakwah yang tenar di layar TV tanah air hampir semua pernah mereka datangkan. Terlihat betul bagaimana mereka butuh pengayom, tempat berbagi mencari solusi. Bukan sekadar dalil boleh dan tidaknya sholat di kamar mandi. Bukan sekadar fatwa dilarangnya wanita bekerja. Juga bukan sekadar nasyid dan kesempatan berfoto dengan tokoh yang mereka harapkan.

Tokoh-tokoh itu dihadirkan untuk memberi pencerahan. Bukan ketakutan dan kecemasan oleh fatwa yang memang telah jelas hukumnya. Mereka perlu solusi menata diri dan merancang masa depan. Mereka diminta memberi pembelaan terhadap nasibnya. Mereka diundang untuk melihat betapa sakit dan pedih babu di negeri orang. Sehingga, dengannya sang ustad dan kyai dapat menceramahi para suami untuk tidak menzalimi istri. Dengan pengaruhnya diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan negara agar membela para migrant worker ini. Jangan sekadar ceramah lantas berwisata.

Victoria Park di hari minggu adalah wajah-wajah sarat masalah. Gaya-gaya semu membungkus kekeluan. Sebuah wajah ketidakberdayaan yang tak mampu cari pembelaan. Wajah-wajah para istri yang ditelantarkan suami. Wajah anak-anak yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Korban-korban kemiskinan bangsa, yang dengan bangga, negara menyaksikan anak bangsanya direndahkan di negeri orang. Inilah wajah bangsa kasihan yang tak mampu memberi solusi pada rakyatnya sendiri.Filantropi, REPUBLIKA, (5/5/06)

Read More......

Pamansam Kecewa

Di negeri para nabi, pesta demokrasi baru usai. Atas dasar demokrasi, Hamas menang mutlak dalam pemilu di Palestina. Kemenangan yang menuai badai, karena sang guru demokrasi tak menghendaki.

Hamas menang, sebuah keniscayaan. Ia kelompok pejuang yang mengakar di hati rakyat. Teruji di medan juang, dengan ketapel sampai bedil. Untuk kali kedua setelah Pemilu perdana pada 1996, Palestina menerapkan pelajaran dari Barat tentang belajar demokrasi. Sang guru mendadak terhenyak, saat Palestina meniti jalan demokrasi pada 25 Januari 2006 ini. Sang Guru menyeringai marah, saat rakyat Palestina memilih berteduh di bawah kibaran panji-panji Hamas.

Secara mencengangkan Hamas meraup suara mayoritas dengan mengantongi 57,6 % suara atau 76 kursi di parlemen. Fatah harus puas di posisi kedua dengan 43 kursi atau 32,6 %. Sisa 13 kursi atau 9,8 % ditempati oleh faksi-faksi kecil. Kenyataan ini membuat negara kuartet, kelompok `perdamaian` yang terdiri dari PBB, Uni Eropa, Amerika, dan Rusia tidak legowo. Terlebih Amerika yang amat berang. Meski Rusia sendiri dikabarkan membantu keuangan Palestina kini.

Menurut pada pelajaran demokrasi barat itu, Hamas sah sebagai pemenang. Ia pilihan rakyat. Jika boleh mengutip, suara rakyat adalah suara Tuhan. Kiranya Tuhan tengah menunjukkan pada dunia bahwa rakyat Palestina berhak menentukan nasibnya sendiri. Palestina menohok wajah barat, inilah buah dari pelajaran demokrasi yang anda dengungkan.

Saat belahan dunia lain memuji atas suksesnya Pemilu Palestina yang bebas, adil, dan aman, Pamansam menggelar dagelan. Presiden Amerika, George W. Bush dalam jumpa persnya di gedung putih, sehari setelah diumumkannya hasil pemilu Palestina, mengatakan bahwa Amerika tidak akan melakukan kerjasama dengan Hamas. Terlihat betul betapa Amerika sakit hati atas kemenangan yang dipetik Hamas dengan jalan demokrasi itu.

Bukan tanpa alasan Amerika kecewa. Kemenangan Hamas berarti kegagalan mengendalikan Palestina untuk tunduk pada anak emasnya Israel. Untuk siasat ularnya, pada masa pemerintahan Palestina tahun lalu saja, Washington memberikan bantuan langsung sebanyak 225 juta US$, ditambah dengan bantuan khusus yang diberikan kepada para pengungsi sebesar 88 juta US$. Suntikan dana yang sarat dengan kepentingan itu sejak lama mengalir dalam perekonomian Palestina.

Alasan lain penyebab Amerika dan Uni Eropa berang, Hamas tak juga tunduk pada tekanan mereka. Tuntutan yang diajukan, agar Hamas melucuti senjata sayap militernya, serta mengakui eksistensi Israel di tanah palestina. Mereka juga mendesak agar kelompok pejuang ini mengubah deklarasi piagam pendirian Hamas di tahun 1987. Salah satu poin yang mereka tuntut untuk dihapus adalah, melenyapkan negara Zionis Israel dari peta dunia.

Setelah tuntutan itu tak dikabulkan, sang guru demokrasi menjatuhkan embargo ekonomi pada Palestina. Dengan dalih demokrasi itu pula, Amerika sesuka perut menentukan kebijakannya. Demokrasi musti tegak dengan prinsip-prinsip dan keuntungan yang dapat dipetik Amerika. Demokrasi bagi Amerika, tidak berlaku untuk rakyat Palestina menentukan nasibnya sendiri. Demokrasi Amerika adalah otoritarian sejati berwajah humanis yang sesungguhnya bengis.

Pengkhianatan terhadap demokrasi juga nyata di depan mata. Kebijakan embargo adalah wujud pengingkaran terhadap sesembahan mereka sendiri. Bernama Tuhan demokrasi. Terlepas dari latar belakangnya, Hamas adalah representasi dari suara hati Palestina. Kiranya rakyat telah muak dengan banyaknya kasus korupsi dan penyelewengan di dalam tubuh pemerintahan sebelumnya. Hasil pemilu pertama yang didominasi faksi Fatah. Rakyat telah jenuh dengan perjanjian-perjanjian damai antara pemerintah dengan Israel, yang kerap berakhir pengkhianatan.

Pasca embargo, sampai hari ini pemerintahan baru Palestina tengah menggalang simpati dan dukungan politik internasional. Di bawah komando biro politiknya, Khalid Misy’al, Hamas segera mengirimkan delegasinya ke beberapa negara Timur Tengah, negara teluk, dan Afrika. Diantara negara yang sudah dikunjungi adalah Mesir, Qatar, dan Sudan.

Kiranya kerja keras ini mulai menuai hasil. Perdana Menteri Palestina, Ismail Haneya, dalam jumpa persnya, menyampaikan bahwa Palestina saat ini sudah mendapatkan Legalitas dari dunia Arab. "Terbukti dengan diterimanya delegasi kami oleh Sekjen Liga Arab Amir Musa, dan kesiapan beberapa negara Arab untuk membantu perekonomian di Palestina," ungkapnya.

Bisa jadi, Kemenangan Hamas akan menjadi pemantik bangkitnya Negara-negara Arab bersatu. Bila babak ini terwujud, akan menjadi horor yang menakutkan bagi dunia barat. Terlebih jika Arab sepakat menjatuhkan embargo minyak pada barat dan Amerika khususnya, maka kemenangan atas Negara-negara penjajah itu telak. Dunia akan menyaksikan kemenangan atas kezaliman barat tanpa mengokang senjata. Tak perlu juga melontar rudal.

Kemenangan Hamas atas Pemilu di Palestina yang tak diterima barat dan Israel, sekaligus cermin retak nilai demokrasi. Suguhan paradoks yang mengingkari pesan-pesan demokrasi ala Amerika yang menjadi kiblat demokrasi dunia. Demokrasi yang menjadi fatwa untuk bertindak bengis. Menginvasi kedaulatan Negara lain, membombardir bayi dan wanita, menciptakan lautan darah, benci, dan dendam. Semua di bawah kepongahan panji demokrasi yang dibanggakan itu.

Hamas menjadi ujung tombak menjebol keangkuhan hegemoni Amerika terhadap Negara-negara lain. Namun, posisi Pemerintah Palestina saat ini serba dilematis. Dari luar, Amerika dan sekutunya terus melakukan tekanan. Di dalam negeri, kekerasan yang dilakukan agresor Israel makin menjadi. Daftar target pembunuhan pun telah disiapkan Israel dengan membidik para pejabat teras Palestina dan pimpinan tertinggi faksi-faksi perlawanan. Pun, konsolidasi antar faksi-faksi palestina sendiri juga menjadi tantangan tersendiri.

Di negeri para nabi ini, demokrasi diuji. Rakyat Palestina telah memilih Hamas sebagai penentu masa depan. Dunia tahu, Pemilu itu ditempuh dengan jalan jujur, aman, dan adil. Nyatanya, buah demokrasi itu pula yang menyebabkan embargo jatuh di Palestina. Wajah demokrasi barat yang diagungkan, penuh puja-puji, akhirnya menampakkan wujud aslinya. Sebuah pengkhianatan demokrasi. Pernah dimuat di Filantropi, REPUBLIKA (12/5/06)

Read More......

Siapa Percaya Kita Miskin

Di ajang seminar, diskusi, isi berita, sampai gelar demonstrasi, sepertinya telah sepakat, Indonesia sedang krisis. Indonesia tengah sulit. Terlebih saat bahan bakar minyak melonjak, jumlah orang miskin tambah meruyak. Tetapi siapa percaya? Semua mal di seluruh kota Indonesia tiap akhir pekan berjubel manusia. Bergerak padat bak robot, memuaskan diri berbelanja. Dari wajah-wajahnya tak tersirat muka susah apalagi miskin.

Suguhan paradoks lain cukup mudah menohok mata. Mobil mewah keluaran anyar dengan angka miliaran rupiah seliweran di jalan-jalan. Tak hanya di Jakarta. Di beberapa kota besar Indonesia, kendaraan kaum the haves itu cukup gampang ditemui. Begitu subur ajang pamer “kaya” ini di Indonesia. Tak ada aturan yang menata untuk menjaga keirian sebagian lain yang tak berdaya. Selama tidak merugikan, semua bebas menggelar isi gudang rumahnya kalau perlu. Tentang perasaan itu, sepakat berdalih hak azasi manusia.

Bandingkan dengan Kualalumpur yang lebih tertib, aman, nyaman, dan kaya ketimbang Jakarta. Jumlah mobil mewah dapat dihitung. Masyarakat Malaysia cenderung bersahaja. Cukup nyaman dengan mengendarai mobil Protonnya. Kalau toh ada merk Mobil Eropa, dari pengemudinya dapat diketahui bukan warga asli Malaysia. Itupun dipastikan ia orang yang benar-benar kaya, pengusaha, bukan pegawai pemerintahan. Cara nyetirnya juga tidak plintat plintut, karena dibeli bukan dari hasil korupsi.

Belajar bersahaja ini, Kota Helsinki, Finlandia, memberi teladan prilaku hidup. Dengan pendapatan per kapita Finlandia 28.500 dollar AS, menjadi salah satu yang terbaik di dunia, penduduknya tak silap apalagi gagap. “Kami tidak suka hidup berlebihan,” kata Hans Markele, usahawan di Helsinki. Menurutnya, warga Finlandia terbiasa tidak banyak kebutuhan. Terbiasa dalam semangat hidup sederhana. Punya satu mobil dan dua sepeda, ya sudah cukup. Tidak perlu sampai memiliki 10 mobil sebab yang dipakai cuma satu (Kompas, 20/5).

Tentang semangat hidup, geliat warga Shenzhen, China, memberi inspirasi lain. Meski penduduknya tak semakmur provinsi tetangganya, Hongkong, tetapi gerak kebangkitan seakan terus berkobar. Di surga para penggila belanja ini, sejak pukul 06.00 pagi sampai 22.00, semua manusia bergerak mencari nafkah. Pusat kota menyemut oleh orang-orang yang berdagang, menjual jasa tato, sampai pendorong gerobak. Tak ada orang berleha-leha, meski ongkos buruh di sana relatif rendah. Satu nilai yang dapat dipetik dari mereka adalah pertunjukan semangat dan gaya hidup bersahaja. Meski kaum mudanya teramat bebas dan urakan, tetap pada batas kemampuan mengukur diri.

Tak heran, jika seorang majikan TKW Indonesia di Macau, kota otonom China, terbelalak melihat foto rumah pembantunya yang diimpor dari Indonesia. “Kamu kaya ya, rumahmu besar, punya halaman, rumahku ini tak ada apa-apanya. Berarti negaramu kaya, kenapa kamu mau diekspor jadi pembantu di tempatku?” TKW yang sudah empat tahun di Macau inipun diam. Padahal rumah megah itu hasil dari gajinya, bukan atas peran negaranya. Setidaknya saat ia didamprat majikan masih punya harga diri. “Rumahku lebih megah ketimbang apartemenmu yang sumpek ini.”

Kesadaran Bersama

Maka siapa yang percaya Indonesia sedang miskin? Jika saja seluruh elemen bangsa tak berlaku timpang, mungkin bisa sepakat meninggal ketertinggalan. Bukan mengejar ketertinggalan. Demi nasionalisme untuk kebangkitan nasional, katanya. Dengan sadar diri bangsa sedang miskin, semua rakyat dapat menakar diri. Instropeksi dan mengkonsumsi berdasarkan kebutuhan, bukan melulu kesenangan. Prilaku hidup bersahaja seperti rutinitas warga tiga Negara di atas layak dijiplak. Negara punya tanggung jawab meneladani gaya hidup itu.

Saatnya, pemerintah merubah pola pikir rakyatnya melalui akses informasi dan komunikasi. Pemerintah semestinya merangkul seluruh elemen jaringan media massa cetak dan elektronik, untuk menyampaikan visi bangsa. Merangkul bukan berarti menginterfensi dan mengekang kebebasan informasi. Tetapi mengajak kerjasama untuk komunikasi membangun bangsa yang sedang terpuruk. Seperti yang dilontarkan pemimpin LKBN Antara, Asro Kamal Rokan, “Kritiklah pemerintah dengan memberi solusi”.

Tayangan hedonis dalam lakon sinetron-sinetron semu sudah saatnya diarahkan, agar sutradaranya menghasilkan karya-karya yang mengobarkan visi bangsa. Bukan sekenario yang menjual mimpi, meraih kaya dengan jalan pintas. Dari ngaji setan sampai menghalalkan segala cara agar cepat terbebas dari kemiskinan. Diakui atau tidak, tayangan yang menghujam ke relung hati rakyat melalui televisi ini, besar pengaruhnya dalam merubah pola hidup masyarakat. Pemerintah musti mencubit rakyatnya agar bangun untuk tidak jadi bangsa pemimpi.

Jika tidak berdaya merubah tatanan hidup rakyat – dengan cara mengarahkan informasi dan komunikasi agar tersaji mendidik – lantas apa fungsi pemerintahan dalam sebuah Negara? Ironis jika pemerintah kalah oleh sutradara penjual mimpi dan klenik. Perubahan sosial di masyarakat pada akhirnya ditentukan oleh seorang sutradara. Kita malu, bagaimana orang Malaysia mengapresiasi Indonesia atas asumsi kehidupan di lakon sinetron. “Orang Indonesia kaya-kaya”, kata Azzira, wanita asal Kualalumpur penggemar sinetron Indonesia.

Padahal bicara kaya, masyarakat Ibu Kota masih sebagian besar memakai kompor minyak tanah. Dan sebentar lagi minyak tanah akan lenyap dari wajah Jakarta, berganti elpiji. Semoga kebijakan itu bukan atas asumsi tak ada lagi orang miskin di jantung kota. Tugas negara mengkomunikasikan kebijakan semacam ini ke lapisan bawah. Dibarengi aksi nyata dengan memberikan tabung gas secara cuma-cuma misalnya. Agar tak ada protes dan anarki.

Pemerintah melalui Jubir-jubirnya di setiap departemen, perlu melakukan penetrasi komunikasi kebijakan ke tingkat akar rumput. Jika visi bangsa itu ada, harus kembali dikumandangkan. Rakyat diteladani kesehajaan agar ketimpangan tidak jomplang. Dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, perlu saling menjaga rasa agar tak ada cemburu dan dendam sosial.

Saatnya kita sepakat untuk lari meninggalkan kemiskinan. Bukan pamer kemiskinan dengan unjuk kemewahan bagi yang mampu, dan tampil kusam bagi yang miskin. Itu jika masih ada yang merasa, bahwa kita memang sedang miskin. Tulisan ini pernah dimuat di Filantropi, REPUBLIKA, Jumat (25/5/06)

Read More......

Kelu Ismail Ratuloli


“Berangkatlah demi tugas agama. Setelah urusan selesai segeralah pulang”, pesan Khadijah Alwan (35) pada suaminya. Wanita itu tengah mengandung tujuh bulan calon bayinya pertama. Mendapat ijin istri tercinta, Ismail Ratuloli (33) ringan melangkah meninggalkan desanya di Kelubagolit, Flores Timur. Dibenak Ismail, amanah kurban dari Tebar Hewan Kurban (THK) mesti segera ditunaikan.

THK tahun 2005 itu Ismil dapat tugas yang jauh. Dengan waktu hampir sebulan ia harus menyampaikan kurban di 3 kabupaten. Ngada, Manggarai, dan Ende. Namun seiring kebahagiaan Ismail yang segera dianugerahi anak, ujian datang menyesakkan. Dua minggu di lapangan ia terima kabar tak enak dari kampungnya. Kala itu ia sedang persiapan THK di Desa Mbai, Aesesa, Ngada. Khadijah terkena malaria yang menyebabkan suhu badannya tinggi. Di ujung telepon dengan suara lirih Khadijah berpesan, “Tidak apa-apa saya masih kuat. Kalau tugas selesai segeralah pulang”.

Ismail cukup tenang. Dua hari ia coba bertahan. Besoknya Ismail coba menghubungi istrinya di rumah. Telepon tidak terhubung mungkin cucaca buruk yang menyebabkan telepon satelit di rumah tak hidup. Semalaman calon bapak ini tak jenak tidur. Pikirannya gelisah khawatir nasib calon jabang bayi. Setelah pagi menjelang, ia coba kembali menghubungi istrinya. Ismail lega, telepon tersambung. Tetapi kabar makin buruk.

“Kalau sudah selesai cepatlah pulang, yang penting selesaikan dulu amanah dan tugas”, hanya kalimat itu yang didengar Ismail dari istrinya. Kali ini suara sang istri amat lemah. Ismail paham akan keteguhan Khadijah yang selalu mendukung aktivitas dakwah dan kemanusiaannya. Namun kali ini Ismail merasa kondisi istri sangat darurat. Setelah bermusyawarah dengan team THK di Ngada, Ismail ijin pulang menengok istri.

Sayang, di perjalanan kapal yang ditumpangi Ismail terhadang badai. Butuh waktu semalam menunggu badai reda. Sesampai di Larantuka, Ismail ganti perahu kecil yang biasa dipakai nelayan cari ikan. Ia nekat menerobos badai. Suara sang istri amat mengiang memanggil dirinya. Sepanjang jalan Ismail gundah. Setelah menempuh waktu dua hari perjalanan sampai juga ia disamping sang istri.

Suhu badan Khadijah makin tinggi. Badannya lemah sudah. Beberapa kali ia tak sadarkan diri. Pulau tempat Ismil tinggal terpecil dan juh dari rumah sakit. Untuk membawa Khadijah ke rumah sakit, harus dibawa pakai perahu kecil menuju Larantuka. Jika cuaca baik perjalanan ke sana memakan waktu tiga jam. Tetapi hari itu badai makin ganas. Tidak mungkin Khadijah dibawa ke rumah sakit. Dengan berbagai upaya dan doa, Ismail berusaha agar Khadijah bertahan hingga badai reda. Dua hari sudah di rumah dalam kecemasan.

Setelah badai tak lagi ganas, dengan perahu nelayan Ismail membawa istrinya ke rumah sakit. Bak disambar petir Ismail mendengar kabar dari dokter yang menangani Khadijah. Janin yang dikandung Khadijah meninggal. Suami istri itupun berduka. Anak yang sudah tujuh tahun dinanti-nanti pergi. Menurut saran pihak rumah sakit, perlu waktu seminggu untuk memulihkan kesehatan Khadijah. Dan dalam duka yang menyelimuti hati mereka, Khadijah berbisik pada suaminya.

“Berangkatlah kembali. Selesaikan tugas dan amanah jangan sampai mengecewakan amanah orang”. Ismail terpaku. Pedih batinnya. Benar memang yang dikatakan istrinya. Untuk prosesi THK ada berbagai syarat yang wajib dipenuhi. Terutama laporan untuk pekurban. Di pulau-pulau sasaran THK, Ismail nyaris tak mungkin mendelegasikan tugas itu. Sulit mecari orang bisa menulis, juga langka mencari orang yang bisa memfoto karena begitu tertinggalnya komunitas masyarakat itu.

Dengan segudang duka dan pedihnya, Ismail tinggalkan istri di rumah sakit menuju Ngada dan kabupaten lainnya di NTT. Amanah THK pun selesai dijalankan dengan berbagai sedu sedan yang dialami Ismail. Apakah ujian itu berhenti? Ternyata belum. Pada THK Januari 2006, Isamil kembali diuji berat. Sekali lagi ia kehilangan calon bayinya yang kedua bertepatan saat ia menunaikan tugas THK. Terlebih Khadijah Alwan, kerinduannya pada jabang bayi pupus sudah.

“Kedua anak saya meninggal saat hari raya kurban. Untuk membesarkan hati, saya selalu ingat Nabi Ibrahim yang mengorbankan Ismail. Mungkin inilah kurban yang harus saya tunaikan”, kata Ismail berkaca-kaca. Semoga THK tahun ini, Allah menganugerahi Ismail Ratuloli seorang anak kembali.

Read More......

Melengkapi Catatan di Tanah Rencong

Minggu, 27 Agustus 2006, di Kantor Komite Peralihan Aceh (KPA). Sholawat Badar dan lantunan Hikayat Prang Sabil mengiringi pencalonan diri Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Dalam sejarah politik tanah air pasca reformasi, pasangan ini amat berani. Lantaran keduanya maju dalam pentas Pilkada tanpa dukungan partai politik. Calon kepala daerah ini pun mendapat julukan “calon independen”.

Sebagai pelengkap deklarasi. Selarik pernyataan dibacakan di depan publik. Juru Bicara KPA Sofyan Dawood membacakan naskah deklarasi pasangan yang diberi nama Perjuangan dan Perdamaian.

“Setelah melihat dan mendengar aspirasi rakyat dan dorongan dari berbagai pihak yang setuju dengan agenda perubahan dan perdamaian, mayoritas rakyat menghendaki personel GAM dan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) untuk dapat maju dalam pemilihan umum mendatang,” kata Sofyan Dawood membacakan naskah yang ditandatangani oleh 33 anggota Majelis GAM, panglima wilayah, serta juru bicara GAM se-Aceh.

Tak pelak. Sebagai mantan petinggi GAM, Irwandi Yusuf tak dapat mengelak dari stempel GAM-nya. Cap itu amat melekat. Namun menjelang detik-detik Pilkada diawali. Pada 27 November 2006, melalui konferensi pers di Banda Aceh, KPA Pusat mempertegas sikap menjelang pelaksanaan Pilkada. Keputusan yang mengagetkan bagi para kandidat. Mereka tidak akan memberikan dukungan terhadap calon manapun dan bersikap netral dalam pemilihan mendatang.

Muzakkir Manaf sebagai Ketua KPA Pusat menegaskan, dalam Pilkada pertama yang digelar pasca penandatanganan Nota Kesepakatan Damai Helsinki ini, KPA akan bersikap netral dan tidak akan memberikan dukungan pada salah satu kandidat. “Ketua KPA Pusat dan ketua KPA wilayah bersikap netral dalam Pilkada,” kata Muzakkir.

Sebenarnya bukan calon independen ini saja yang berasal dari GAM. Hasbi Abdullah yang menjadi calon wakil gubernur perpasangan dengan Humam Hamid juga anggota GAM. Bedanya, pasangan ini diusung melalui bendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan para petinggi GAM di Swedia dan di Aceh secara terbuka mendukung pasangan Human – Hasbi.

Pemenang Independen

Saat menegangkan itupun tiba. Pada 11 Desember lalu, rakyat Aceh menentukan pemimpinnya. Hasil perhitungan cepat LSI-Jaringan Isu Publik memperlihatkan pasangan Irwandi-Nazar mendapatkan hasil penghitungan suara yang mutlak dibandingkan kandidat lain. Demikian pula penghitungan versi Komisi Independen Pemilihan (KIP) NAD, menunjukkan pasangan independen ini masih unggul.

Kabar keunggulan pasangan independen inipun membelalakkan banyak pihak. Terutama kalangan partai politik. Mereka seakan tak percaya dengan realita yang bagi partai politik amat menyesakkan. Cap bahwa Parpol gagal menyiapkan kader pemimpin yang mengakar kiranya layak disematkan. Seiring raba-raba yang menjalari kecurigaan sebagian mereka akan adanya intervensi asing lantaran kemenangan calon independen.

Sebagaimana Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, mengaku kaget dengan kemenangan tokoh GAM itu. "Dengan kemenangan kelompok GAM akan memudahkan masuknya campur tangan asing di Aceh," katanya. (Media Indonesia OL/13/11).

Terbalik dengan kecemasan Soetarjo, Menko Polhukam, Widodo AS, justru berpendapat siapa pun pemenang Pilkada di Aceh, mereka adalah warga negara Indonesia (WNI) yang telah memenuhi syarat-syarat administrasi dan perundang-undangan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah.

Terlepas dari merebaknya pendapat yang senang dan kecewa. Jika akhirnya calon independen menduduki tampuk pimpinan di NAD, sungguh menjadi sejarah baru dalam peta politik tanah air. Menyibak fakta mulai adanya “kebosanan” rakyat pada Parpol. Jalur yang kerap dimaknai sebagai keharusan dalam memilih pemimpin. Dan Pilkada Aceh membuka cakrawala rakyat Indonesia dalam menentukan masa depannya.

Pilkada Aceh, bukan tidak mungkin akan menginspirasi Pilkada di tempat lain. Lahirnya pemimpin yang murni dari kompromi rakyat bukan kompromi partai politik. Pemimpin yang bisa mencicipi selera rakyat, bukan selera birokrat. Masyarakat Aceh mendambakan figur pemimpin Aceh yang benar-benar mengetahui penderitaan dan harapan rakyat Aceh. Mereka juga menginginkan figur pemimpin yang tidak melupakan janji-janjinya saat kampanye lalu. Yakni membawa kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Apresiasi ini layak diberikan pada rakyat Aceh. Dengan kesadarannya mereka memilih tanpa silau gebyar panji-panji dan bendera Partai. Pun saat kampanye, Irwandi-Nazar menyuguhkan pada rakyat Aceh tentang pentingnya nilai-nilai budaya di NAD. Seperti yang tampak dalam besutan busana mereka saat kampanye selalu mengenakan pakaian adat Aceh. Selera lokal disajikan untuk memikat hati pemilihnya.

Jika pada akhirnya, pemenang independen Pilkada Aceh memegang pucuk pimpinan, kemenangan ini dapat dimaknai sebagai kemenangan rakyat Aceh. Tiap kebijakannya tentu lebih didengar karena ia pilihan rakyatnya, bukan pilihan partai. Pun, dalam mengelola pemerintahan, mestinya lebih berani menolak kompromi partai yang cenderung tak menguntungkan rakyat. Pemenang independen mesti benar-benar independen dalam menjalankan roda pemerintahan.

Bertahun-tahun mimpi ini menyemai di sanubari. Menyaksikan kelahiran pemimpin yang memahami selera rakyat. Pilihan rakyat. Jika kalangan partai legowo dengan pemenang independen, tentu tak akan menggali lobang untuk menjegal. Aceh pun menunggu, sungguhkah jika calon independen sah memenangi Pilkada, benar-benar terpilih untuk melayani selera rakyat?

Read More......

Pengorbanan tak Kenal Lelah


Sekali lagi kita saksikan pengorbanan rakyat hari ini. Minyak tanah langka di pasaran. Pengorbanan apalagi yang belum lengkap diberikan masyarakat miskin?

Tiap obat mujarab rasanya pahit. Tetapi ia mengandungi zat penyembuh yang dapat mengusir sakit. Lidah boleh menolak tetapi ia mesti ditelan agar badan kembali sehat. Bertahun-tahun maskapai penerbangan nasional menelan pil pahit. Garuda, sebutan pendek untuk Garuda Indonesia Airways (GIA), diplesetkan menjadi ‘’Good And Reliable Under Dutch Administration’’. Kurang lebih sama dengan maskapai penerbangan nasional Philipina, PAL, yang sempat diledek sebagai ‘’Plane Always Late’’. Dengan menelan pil pahit itu, kini Garuda sembuh dari sakit panjang dan menjadi maskapai nasional yang bergengsi dan pantas dibanggakan.

Harus mecicipi susah memang untuk menjadi besar. Perlu pengorbanan, kegetiran, dan perjuangan yang tak berujung. Tentang pengorbanan ini, almarhum Hary Rusli pernah membuat sebagian kita mesem pahit. Lantaran dalam peringatan HUT RI di Jakarta Selatan, Kang Hary memplesetkan lagu Garuda Pancasila. Syair itu diubah sedemikian menusuk hingga berbunyi, “Garuda Pancasila, Aku lelah mendukungmu, Sejak proklamasi, Selalu berkorban untukmu. Pancasila dasarnya apa, Rakyat adil makmurnya kapan....

Sontak banyak orang meradang dan marah. Lagu yang demikian heroik mendadak diacak-acak. Tuduhan sebagai tidak nasionalis dan patriotis pun dilayangkan pada Kang Hary kala itu. Kenakalan almarhum seniman itu sah saja ditanggapi dengan beragam komentar. Tetapi ada pesan yang ingin dilesakkan Kang Hary pada bangsa ini sebagai wujud kecintaannya pada rakyat. Sebagai tanda nasionalismenya yang sejati. Memang, ibarat dokter plesetan Garuda Pancasila adalah pil yang teramat pahit.

Kejadian-kejadian mutakhir membuktikan, plesetan Kang Hary tidak salah: Rakyat selalu berkorban. Terutama rakyat kelas bawah. Untuk menyambut kunjungan 6 jam Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush, rakyat melalui APBD Bogor iuran sebesar Rp 6 Milyar. Ditambah lagi pengorbanan rakyat secara langsung akibat pengamanan Bush, yang menurut Fraksi PKS DPRD Bogor dan pengusaha jumlahnya mencapai 82 Milyar.

Cerita Bush memang telah menjadi bubur. Tapi bila organisasi raksasa NU, Muhamadiyah, dan MUI saja sedari awal sudah secara tegas menolak atau minimal menyayangkan prosesi kehadiran Bush, belum cukupkah itu melukiskan besarnya pengorbanan rakyat.

Kepergian Bush dari Bogor, diikuti dengan kepergian sejumlah wakil rakyat untuk studi banding atau kunjungan kerja ke luar negeri. Biayanya milyaran juga, dan ditanggung rakyat lewat APBN. Hasilnya? Wallahu a’lam bisshawwab. Lagi-lagi rakyat mesti berkorban.

Beberapa hari ini wajah jaman revolusi seakan diputar kembali. Masyarakat kesulitan minyak tanah. Dapur tidak dapat ngebul. Bukan rahasia umum lagi jika ada ribuan, mungkin juga jutaan masyarakat yang dalam tiga hari terakhir tidak dapat memasak. Lantas apa lagi alasan pemerintah untuk menjawab realita ini. Tidak ada yang jelas. Mengambang dan cari selamat sendiri-sendiri. Asal dapur di rumah tak padam untuk apa dibahas. Kata arifnya, rakyat harus sabar memahami kesulitan negara. Lagi-lagi rakyat wajib berkorban.

Beri Keteladanan

Sebulan lagi, kita diingatkan akan datangnya Hari Raya Kurban. Dalam pesan kurban, ada keteladanan yang dapat dipahami sebagai pengejawantahan pengorbanan untuk rakyat. Kurban diwajibkan bagi yang mampu untuk kaum dhuafa. Cermin agar pemimpin berkorban untuk rakyat dan negaranya. Bukan terbalik rakyat yang berkorban habis-habisan untuk negaranya sementara para pemimpin abai dengan sulitnya minyak tanah hari ini.

Jika memang berkorban menjadi nafas bangsa ini untuk enyah dari kesulitan, mestinya ini dijiwai secara berjamaah. Jiwa berkorban harus tercermin dalam berbagai aktivitas pengelolaan negara. Para pemimpin dan kaum elite negeri ini harus menunjukkan semangat untuk berkorban bagi kepentingan rakyatnya. Tidak hanya rakyat yang diminta untuk berkorban, tetapi para pemimpin pun harus memberikan contoh.

Tidak berkhianat terhadap amanah jabatan yang diembannya merupakan salah satu contoh pengorbanan yang dilakukan. Karena pengkhianatan terhadap amanah, hanya akan membawa bangsa ini pada kehancuran. Rasulullah SAW telah mengingatkan kepada kita dalam salah satu haditsnya: “Amanah itu akan mendatangkan rizki, dan khianat itu akan mendatangkan kefakiran.” Kemiskinan yang terjadi saat ini, bukan tidak mungkin adalah karena pengkhianatan yang dilakukan oleh para pejabat negeri ini.

Para pemimpin pun hendaknya tidak hidup bermewah-mewahan di tengah penderitaan masyarakatnya. Mereka harus bisa lebih berempati terhadap kondisi kehidupan rakyatnya. Salah satu keberhasilan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam membangun masyarakat adalah kemampuannya untuk berempati dan berkorban untuk rakyatnya. Ia merelakan harta bendanya untuk disumbangkan kepada Baitul Maal, bahkan isterinya pun diminta untuk melepas perhiasan yang dimiliki dan disayanginya.

Sungguh ini merupakan contoh indah pengorbanan yang dilakukan para pemimpin umat di zaman dahulu. Kalau para pemimpin dan kaum elite suatu negeri telah terperangkap pada pola hidup bermewah-mewahan yang disertai oleh suatu sikap mendustakan dan menentang ajaran Allah, maka hal ini merupakan tanda-tanda kebinasaan suatu negeri.

Allah telah menegaskan hal ini dalam QS Al-Isra (17) : 16-17,: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Dan betapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui dan Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.”

Idul Adha yang sebentar lagi tiba, layak dijadikan momentum bersama untuk melakukan koreksi secara total terhadap berbagai aktivitas dan kebijakan yang telah kita lakukan. Para pemimpin dan rakyat harus segera menyadari berbagai kesalahan yang telah dilakukan. Masing-masing elemen bangsa harus mau mengendalikan berbagai ego kepentingannya, dan lebih mengedepankan semangat untuk berkorban bagi kepentingan rakyat dan bangsa.

Jika ini tak mampu terwujud. Benar resep pahit dari dokter Hary Rusli, Aku lelah mendukungmu, Sejak proklamasi, Selalu berkorban untukmu. Dan kita tak perlu marah.

Read More......

Mustahik Gusung Pandang


Terik matahari memanggang kampung Gusung Pandang, Pulau Koja, Sikka, Nusa Tenggara Timur. Alamnya kering dan gersang. Musim kemarau begini bukan saja bahan makanan yang sulit. Air minum juga langka. Bertahun-tahun kondisi yang demikian keras terjadi. Selalu berulang tiap tahunnya. Mengandalkan musim tanam ladang dengan pengairan air hujan sekali setahun membuat potret kemiskinan makin nyata.

Zaidun (58), seorang kepala kampung Gusung Pandang mengisahkan. Musim kemarau begini paceklik amat mencekik. Hasil tanam di ladang delapan bulan lalu tak mencukupi untuk kebutuhan makan hingga musim penghujan tiba. Kelakar Zaidun, “Kami sama hewan itu sama, yang membedakan kami manusia dia binatang. Kalau nasib sama-sama hidup tinggal menunggu maut. Tak ada hal lain yang bisa kami harap”. Namun kata Zaidun, hidup mesti berlanjut. Sebuah keluarga harus bertahan tak boleh menyerah oleh tempaan kekeringan. Maka melihat denyut hidup mereka, kita akan mendapati sebuah semangat hidup yang hebat.

Tanah yang retak karena kepanasan, coba digali jika ada terselip ubi-ubian di dalamnya. Pengharapan lain pada buah pisang yang direbus sebagai pengganti makanan pokok. Biasanya jagung. Itupun stoknya sudah habis. Amat rumit mendiskripsikan bagaimana mereka tetap survive. Apalagi tinggal di pulau yang jauh dari fasilitas umum menambah keadaan makin memprihatinkan. Tidak ada transportasi darat kecuali jalan kaki. Menggunakan jalur laut sudah tentu perlu biaya. Apalagi harga BBM sangat besar dampaknya.

Menyusuri pulau-pulau terpencil di wilayah timur, sekilas yang tampak keindahan lautnya. Kegersangan daratan terbiaskan pemandangan bawah laut nan menawan. Kitapun berdecak. Betapa luas samudra nusantara ini. Sungguh melimpah ruahnya kekayaan laut negeri ini. Logikanya, tidak ada mestinya orang miskin apalagi sampai sulit makan. Mereka bisa memanfaatkan sumber daya laut yang kaya itu.

Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di pesisir, laut memang bisa jadi pengharapan. Tetapi sebuah pulau juga dihuni manusia lain di dalamnya. Tak semuanya punya bakat jadi pelaut. Yang tinggal di daratan telah menemukan hidupnya dengan bekerja sebagai petani. Meski hasil panen yang dipetik hanya setahun sekali. Jika memaksa mereka melaut sama halnya menyuruhnya menjemput maut. Sebaliknya, orang pesisir seperti Suku Bajo jika dipaksa ke darat pasti mereka sulit hidup. Maka tinggal di atas air laut bagi Suku Bajo adalah ketenangan dan kenyamanan. Sementara bagi orang daratan itu amat menakutkan.

Semua sudah ada dunianya sendiri-sendiri. Tantangannya kini bagaimana membuat sinergi darat dan pesisir. Dapatkah hasil laut menjadi subsidi memenuhi kebutuhan hidup masyarakat daratan selama musim paceklik begini. Itu juga tidak mudah. Karena hasil pertanian dari daratan tidak cukup mampu menjadi barter. Buah berladang berbulan-bulan itu mayoritas untuk simpanan menyongsong masa kemarau. Akhirnya posisi tawar petani di pulau terpencil yang curah hujannya rendah menjadi lemah.

Cerita ini baru sebatas persoalan memenuhi kebutuhan perut. Pendidikan sudah pasti jauh panggang dari api. Lantas bagaimana dengan akidahnya? Ibrahim (45) seorang ustad di sana mengungkapkan statementnya yang membuat bulukuduk kita berdiri. “Kami minoritas di sini yang hidup banyak susahnya. Jarang ada yang kuat untuk mengembangkan dakwah di daerah minus dan keras masyarakatnya ini. Jangan terkejut jika berlahan-lahan Islam akan tinggal nama saja di sini”.

Bukan gertakan Ibrahim berkata. Melihat geliatnya, ada sebuah kondisi kepepet yang dapat menggiring itu menjadi kenyataan. Dan jika itu terjadi, kita lantas latah akan selalu kebakaran jenggot. Marah dan menyalahkan mengapa mereka tidak setia pada agamanya.

Memihak Lokal Melihat kondisi yang demikian pelik. Perlu mengutak-atik program apa yang sesuai untuk membantu menembus jalan buntu itu. Agar di musim paceklik begini keperihan hidup dapat tersembuhkan. Sejak beberapa tahun lalu Baznas Dompet Dhuafa sudah masuk ke wilayah tak terjamah ini melalui program Tebar Hewan Kurban (THK). Namun THK baru sebatas oase di tengah gurun tandus yang panas. Hadir setahun sekali. Membuat sekadar mesem kecut dan penyampai pesan bahwa saudara di belahan lain Indonesia masih peduli dan empati.

Harus ada program jangka panjang yang dapat mensinergikan peran dakwah, kemandirian, dan pemberdayaan ekonomi. Itulah mengapa Kapal Laut berkapasitas 30 ton hari ini berlayar dari pulau ke pulau di Flores. Dengan fasilitas kapal ini ada 18 pulau di kepulauan Flores disinggahi dan didampingi. Kapal berbendera Baznas Dompet Dhuafa ini menjadi penghubung silaturahim dan menebarkan manfaat serta amanah zakat, infak, dan sedekah.

Sebagaimana yang sudah berjalan saat ini, kapal dioperasionalkan lembaga lokal yang punya visi dakwah dan ekonomi. Mereka didorong menjadi pemain bisnis lokal yang membela kepentingan masyarakat. Untuk mensuplai kebutuhan pokok di 18 pulau terpencil itu misalnya, kapal membawa beras yang diambil langsung berlayar dari Makasar. Kapal juga mengangkut hasil laut dan pertanian masyarakat dari pulau-pulau itu untuk dipasarkan di pusat kota maupun antar pulau.

Selama ini baik hasil laut maupun bumi di Indonesia Timur sebagaian besar ditadah langsung saudagar luar negeri. Transaksi terjadi di atas laut. Masyarakat asli dibuat tak berdaya memasarkan hasil alamnya lantaran tidak punya sarana transportasi. Dalam kondisi alam yang jauh dari fasilitas umum, masyarakat dibuat tak berdaya. Menyerah pada harga yang dipatok saudagar asing. Akhirnya hasil perasan peluh masyarakat hanya mampu untuk kebutuhan makan sehari. Tak dapat belanja lebih apalagi menabung.

Direktur Program Baznas Dompet Dhuafa, Kusnandar dalam salah satu misi programnya untuk Indonesia Timur menegaskan, akan melahirkan saudagar-saudagar lokal yang berpihak pada musathik. Namun ia mengakui, selama ini kendala terbesar yang dihadapi, sulitnya mencari mitra yang punya etos dan semangat mujahid. Padahal Indonesia Timur yang kaya potensi alam memerlukan SDM yang tangguh. Dalam berbagai kasus, program bisnis mitra kerap gagal karena belum mampu menyandingkan dengan visi bisnis dengan visi sosial.

Tidak dapat dielak, kondisi minus masyarakat Indonesia Timur perlu advokasi dan perhatian khusus. Kapal-kapal besar berbendera asing yang leluasa berlayar melalui derasnya arus laut di perairan Indonesia Timur, perlu diselingi kapal-kapal lokal yang berpihak pada masyarakat asli. Meski belum terlalu berarti, namun langkah berani memulai bisa dapat nilai tertinggi dari sekadar habiskan energi di meja diskusi.

Kapal sudah berlayar. Meski baru satu namun jelajahnya menembus pelosok yang tak pernah kita tengok. Hasil alam antar pulau dampingan mulai saling ditukar. Jual beli secara syariah menjadi prinsip transaksi. Melihat tingkat kemanfaatannya, perlu ada lebih dari 10 kapal untuk Indonesia Timur yang dikelola dengan tepat. Menjadi sarana transportasi dan distribusi hasil alam yang murah dan berpihak. Juga menyambung hidup lebih baik bagi masyarakat Indonesia Timur di kala paceklik.

Read More......

Wednesday, November 15, 2006

Sarjana Penggembala


Meneladani Sarjana Penggembala

Siapa rela pulang ke desa selepas Sarjana. Membangun kemandirian di kampung halaman dengan sumberdaya lokal. Pendidikan mestinya menuntut diri berani dan kreatif.

Katak dalam tempurung. Pepatah itu pas dirasai Kasman Ibrahim (40). Bapak 4 anak lulusan Sarjana Hukum 1989, dari Universitas Mataram. Bertahun-tahun ia terpenjara diam di kampungnya, Risa, Woha, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ilmu hukum yang dipelajari begitu sarat membebani gerak hidupnya. Tinggal di kampung miskin yang tergantung musim panen padi sekali dalam setahun, Kasman sosok yang disorot. Ia yang dengan kemiskinannya mampu merampungkan Sarjana Hukum menetap di kampung halaman dalam kondisi sulit.

Kasman menjadi buah bibir. Bahan cibiran dan gunjingan tetangga, ada seorang sarjana merana di desa. Mestinya, menuruti kemauan banyak orang, Kasman menjadi seorang pengacara. Hidup sukses dalam kaca mata duniawi dengan gelimang harta. Mendiami rumah mewah dan megah. Menjalin relasi dengan para politikus, selebritis, dan pengusaha, misalnya. Minimal ia menjadi seorang pegawai negeri. Jabatan amat terhormat dan diperebutkan hampir oleh semua orang desa di Indonesia.

Logika-logika umum itu sampai detik ini harus diakui masih merasuk di sanubari mayoritas kita. Pendidikan tinggi ditempuh untuk merengkuh sukses hidup dalam kacamata kekayaan yang kasat mata. Gelar acapkali dikaitkan dengan realita kesuksesan hidup pemiliknya. Sekalipun seseorang dilabeli gelar berderet, jika hidup dalam kondisi miskin tetap saja ia bukan apa-apa. Pendapatnya, meski benar, dianggap omong kosong. Meminjam istilah Betawi, “Ngomong doang lo”.

Wajar, jika selepas bangku kuliah sebagian besar sarjana kita enggan pulang ke desa. Kota-kota besar kerap jadi sasaran mereka menetap. Kembali ke kampung tanpa status pegawai negeri atau pekerja kantoran seakan aib yang memalukan. Mending nganggur di kota ketimbang pulang jadi bahan omongan. Ngontrak di gang sempit yang kumuh terlihat lebih nyaman daripada tinggal di rumah sederhana dengan pekarangan luas di desa. Di kota orang acuh. Tidak usil mengurusi siapa kamu.

Sungguh, kesadaran manusiawi berat menerima ini. Karena saat berangkat meniti ilmu, gelar dijadikan kuda troya menuju puncak kesuksesan duniawi. Pengorbanan harta benda untuk menuju tangga sarjana seakan wajib terbalas senilai harta benda. Dan Kasman, satu dari ribuan sarjana yang menjadi pendobrak budaya itu. Bukan lantaran ia putus asa tak mampu mengadu gelarnya di kota. Ia memang tak tertarik sejak semula berangkat dari desa menuju Universitas Mataram.

“Tidak semua ilmu harus diterbangkan ke kota. Orang desa juga perlu ilmu. Mereka juga harus pintar dan maju, bukan orang kota saja yang boleh merasakan pengetahuan. Semua kita sama di pelosok dan di kota-kota besar”, katanya, saat menjamu kami menginap di padang rumput, perbukitan Risa malam bulan purnama Senin (6/11) lalu.

Tak sekadar omong kosong Kasman berucap. Tinggal di rumah panggung yang tiangnya doyong dan kayu-kayunya rapuh, istri Kasman juga seorang Sarjana Administrasi Negara, bernama dra. Sarifah. Untuk menempuh hidup sehari-hari, Kasman jadi petani. Menanam padi setahun sekali mengandalkan sawah tadah hujan. Saat kemarau begini, semua wilayah di Bima dan Pulau Sumbawa umumnya dihajar kekeringan. Hidup betapa makin sulitnya. Tiap tahun kondisi ini terjadi.

Kasman mesti mematahkan gengsi. Ia bertekad merubah sistem nilai yang mengakar di tengah masyarakat. Sebagai ustad sekaligus penghulu, kedekatan Kasman Ibrahim dengan masyarakat cukup mengakar. Namun, tak cukup sebatas kata, perubahan itu bisa dilakukan. Orang awam perlu contoh dari apa yang diucapkan. “Kamu saja jadi sarjana masih miskin, mengapa kami harus sekolah tinggi-tinggi”, kata Kasman mengingat ucapan masyarakat yang mencemoohnya.

Seloroh yang masuk akal. Harus ada bukti dari setiap ungkapan. Sarjana Hukum, bagi Kasman bukan ilmu untuk mengakali kaum kecil. Menghukum yang benar dan membebaskan yang dipenjara karena kejahatannya. Hukum mesti tegak membela kebenaran, melindungi rakyat jelata dari kepongahan penguasa. Yang dimaknai penguasa bukan saja pemimpin zalim. Tetapi juga orang-orang yang dengan kewenangannya memperalat orang miskin. Biasanya mereka berperilaku layaknya raja-raja kecil.

Penghulu ini dengan keluguan dan kesederhanaannya berusaha membela masyarakat dari kezaliman raja-raja kecil di desa. Dengan pendidikannya Ia tidak mengakali orang desa. Kasman mengadvokasi dengan caranya sendiri dalam membela orang-orang miskin. Pun maksud yang demikian hebat, belum tentu gampang dipahami masyarakat. Mesti ada bukti dalam wujud materi!

Setelah gengsi dikubur mati. Tiap hari usai Subuh, Kasman bersama Sarifah menggiring kambing ke perbukitan di Risa. Kedua pasangan sarjana ini menjadi penggembala kambing. Dari perjuangan yang terseok dan kesabaran jiwa penggembala, Kasman kini memelihara 107 ekor kambing. Empat anaknya sekolah dengan baik. Mereka diniatkan harus lulus sarjana. Mencari ilmu dan kembali membangun desa tumpah darahnya.

Pendidikan di Bima memang menemukan ruhnya. Kondisi masyarakat yang membuat kita berdecak. Semiskin-miskinnya orang Bima sebagian besar pasti lulusan SMA. Jangan kaget jika di Bima menemukan satu keadaan masyarakat amat minus tetapi tingkat pendidikannya tinggi. Pendidikan bagi masyarakat Bima menjadi kebutuhan dasar. Keduanya adalah naik haji. Agar tercapai, makan sekali sehari dengan garam dan asam sudah rutinitas masyarakat Bima yang miskin.

Sayangnya menurut Kasman, sarjana dan kalangan terdidik di desanya belum mampu membunuh gengsi. Sarjana berladang sungguh malunya. Sarjana menggembala betapa mengenaskannya. Sementara dari keadaan alam Bima yang sungguh keras di kala kemarau seperti ini, masih menyimpan potensi lain. Yakni peternakan kambing dan sapi. Masih banyak potensi yang dapat digali daripada sekadar mengharap-harap pegawai negeri. Jabatan prestisius yang dicari-cari.

“Gaji pegawai negeri sesungguhnya tanpa korupsi, dengan memelihara kambing masih besar menjadi petani dan berternak kambing”, aku Kasman sembari mengungkapkan siapa sudi sekolah tinggi-tinggi hanya untuk jadi petani dan penggembala kambing. Sebagai tanda keseriusannya, Kasman sekeluarga kerap menginap di bukit menjaga ternaknya.

Kasman Ibrahim, potret dari kalangan berpendidikan tinggi di negeri ini. Yang berani terjun kembali ke tempat dimana ia hidup dan besar. Tak malu karena gelar yang disandangnya. Tidak menambah pengangguran dengan kembali berkarya di desa. Mengelola potensi yang ada dengan memanfaatkan ilmu yang dipelajari bertahun-tahun.

Kini meski masih miskin, Kasman didengar ucapannya karena ia memberi teladan bagaimana mencapai kemandirian. Tanpa harus menjadi pegawai negeri, tanpa stres mengirim lamaran kerja kesana kemari yang kerap ditolak, dan tanpa harus mengotori status berpendidikan tinggi dengan korupsi.

Kasman Ibrahim, sang penggembala yang menginspirasi. Kenapa tidak kita turut jejaknya. Ketimbang menghabiskan usia dengan berharap durian runtuh di kota. Mari mandiri di desa layaknya Kasman Ibrahim.

Read More......

Jakarta Mimpinya Orang Desa

Jakarta Mimpinya Orang Desa

Rutin saban tahun. Lepas lebaran, kaum pendatang mencoba melempar kail di Ibukota. Ada yang pakai umpan, ada yang cuma kail. Jakarta, kota sejuta mimpi bagi orang desa.

Pusat kemacetan, perempatan dan lampu merah, mulai sepi pengemis. Kawasan perumahan elit juga tak lagi ditemui kumpulan pembawa gerobak yang mirip pemulung sampah. Seiring berlalunya Ramadhan, pengemis dan peminta bergaya pengais sampah kembali ke asalnya. Mereka seakan mafhum, di luar Ramadhan musim kering sedekah mulai tiba. Tahun depan, jelang Ramadhan mereka akan datang kembali ke ibu kota menyongsong saat banjir zakat, infak, dan sedekah.

Wajah-wajah sarat masalah itu boleh saja berkurang di Jakarta. Tetapi jumlah mereka yang semula meruyak, berlahan digantikan para pendatang lain. Tentu tidak untuk mengikuti jejak sebagai pengemis. Pendatang baru, memandang Jakarta pesona yang bertabur bunga. Jakarta dengan cantik semunya berhasil menarik perhatian penduduk nusantara. Peran media seperti televisi, yang kerap menampilkan gemerlapnya kehidupan kota tak dielak ikut mendorong laju pertumbuhan urbanisasi.

Orang-orang miskin di desa yang lugu makin terpesona tatkala musim lebaran, para pemudik berkisah cerita sukses. Umumnya, perantau di Jakarta yang berniat pulang kampung mayoritas sudah cukup berhasil. Sementara yang masih berjuang merasa enggan pulang. Tak salah jika Suwaji (26), pendatang baru asal Tulungagung menyimpulkan bahwa Jakarta tempat yang cocok untuk mendapatkan penghidupan lebih baik. Ia lihat tetangganya yang mudik pulang dengan mengendarai mobil pribadi.

Sartono, bujang asal Bojonegoro bahkan tak betah lagi tinggal di rumah. Di desa tak ada tempat bekerja. Bercocok tanam juga tanah sepetak. Buka usaha tiada modal. Pemuda dengan masa depan suram. Sayangnya, Suwaji dan Sartono menjejak Ibu Kota yang tak ramah pada orang susah bermodal nekat. Keduanya meyakini, langkah terjal Jakarta cukup kuat diinjak dengan doa dan restu orang tua.

Tak ada yang salah dengan Suwaji dan Sartono. Desa, jika kita selami nyaris tak menjanjikan apa-apa. Berkoar pemerataan ekonomi, itu ramai di kota-kota. Desa tetaplah merana. Diskusi kayanya potensi desa-desa di Indonesia tetap saja mentok pada wacana. Ramai di ruang seminar. Bahan diskusi yang tak habis-habisnya dibahas pada level pemerintahan dan anggota dewan sejak bertahun-tahun.

Tak pelak, telinga kita kerap mengiang statement, “Mengapa mereka tidak bangun desanya. Malah datang ke kota tanpa bekal keahlian. Bukankah daerah kita ini makmur dan subur”. Ungkapan yang amat mudah dilontarkan orang-orang yang telah mapan dan menemukan dunianya di kota. Jikapun subur dengan tanahnya, hasil pertanian di musim panen selalu saja jeblok. Petani tak henti-henti diakali. Dikadali dari tengkulak sampai level kebijakan. Tetap saja lahan subur itu tak membuat orang desa makmur.

Alam yang kaya juga tak mendongkrak taraf hidup orang desa. Jikapun mencicipi, mereka mesti mencuri di tanah sendiri. Tambang desa yang harusnya menjadi pundi kemakmuran, nyatanya milik konglomerat kota. Lebih sadis, dikuasai orang asing. Bila ada sebagian kecil yang menggali tambang sendiri mereka diuber, ditangkap sebagai pencuri. Penambangan illegal yang bisa jadi dicap merugikan negara.

Hutan yang luas juga tak berdampak pada kemakmuran orang desa. Di Jawa Timur, ada seorang pencuri kayu tewas dihajar petugas. Lantaran ia ketangkap basah menebang beberapa pohon pinus. Saat musim kemarau dan paceklik merajam desa, hutan bisa jadi sumber yang diharap-harap. Orang itu bernama Doguno, meninggal dengan mengenaskan hanya karena ingin menyambung hidup sampai musim tanam singkong tiba.

Bandingkan dengan para perampok hutan yang dilabeli keren dengan Illegalloging itu. Adakah yang sudah tewas layaknya Doguno. Jauh panggang dari api. Ketangkap saja sulit. Orang desa dari banyak sisi tetap saja terhimpit dan dipersulit. Tak mampu maju. Bertahan hidup saja sudah lebih dari cukup. Tak bervisi masa depan, mengenyam pendidikan saja sungguh sulitnya. Jika bermimpi tinggi, di Ibukota Jakartalah orang desa ingin mewujudkannya.

Maka, Jakarta, sumber dari segala sumber itu menjadi madu yang diserbu. Jakarta juga dicaci, dibenci, dan dicintai. Jantung negara yang menabur sejuta harapan masa depan.

Bercermin Pada M Yunus

Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank yang meraih Nobel Perdamaian 2006 sedang jadi sorotan dunia. Di negaranya Bangladesh, dengan Grameen Bank-nya, sampai Mei 2006, telah melayani 6,61 juta peminjam, 97 persennya kaum perempuan. Bank ini telah memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa, dan tidak hanya melayani peminjam dari Bangladesh, tetapi juga negara-negara lain.

Kita tidak tahu. Apakah di negaranya, juga ada tradisi urban pasca lebaran. Melihat jumlah desa yang dilayani Grameen Bank mestinya di jantung kota Bangladesh tak dibanjiri pencari kerja dari desa. Namun, M Yunus simbol perlawanan perang hakiki. Yakni perang melawan kemiskinan. Layak jika Nobel Perdamaian yang lazimnya diberikan pada tokoh-tokoh yang erat dengan perang fisik, tahun ini dianugerahkan pada M Yunus.

Ada ungkapan menarik yang pernah dilontarkan pria beruban ini. Sebuah kejujuran hatinya dalam melihat kemiskinan. Ia tak malu mengaku salah dalam memandang perekonomian dari kaca mata akademisnya. "Ketika banyak orang sedang sekarat di jalan-jalan karena kelaparan, saya justru sedang mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan. Saya mulai membenci diri saya sendiri karena bersikap arogan dan menganggap diri saya bisa menjawab persoalan itu (kemiskinan). Kami profesor universitas semuanya pintar, tetapi kami sama sekali tidak tahu mengenai kemiskinan di sekitar kami. Sejak itu saya putuskan kaum papa harus menjadi guru saya," ungkapnya penuh penyesalan.

Selaras dengan gerakan M Yunus, Pada akhir 1994, Dompet Dhuafa Republika (kini BAZNAS DOMPET DHUAFA) yang waktu itu masih nebeng di Gedung Republika, menjadi tuan rumah penandatanganan ''Deklarasi Buncit''. Salah satu butir deklarasi yang disepakati puluhan pimpinan holding BMT maupun pimpinan BMT di Jakarta dan sekitarnya ini, menyerukan agar BMT dijadikan gerakan nasional.

Tak lama kemudian, pada 7 Desember 1995, Presiden Soeharto mencanangkan ''Gerakan Nasional 1000 BMT''. Sayangnya, gaung gerakan ini tak segagah namanya. Banyak orang Islam sendiri yang masih bertanya: makhluk apa gerangan BMT (Baitul Maal wat Tamwil)? Menurut Adiwarman Karim yang pernah diundang ke Chicago hanya untuk menerangkan BMT, hal itu lantaran para pejuang BMT terlalu bersemangat. Sementara, kondisi sosial-ekonomi ketika itu belum mendukung, meskipun secara politik ada pemihakan.

Seperti kata pepatah: Li kulli maqamin, maqaalun. Wa likulli maqaalin, maqaamun (Setiap kondisi butuh ungkapan yang tepat. Dan setiap ungkapan, butuh waktu yang tepat pula). BMT, menurut Adiwarman, konsepnya bagus, tapi saat itu belum siap diangkat menjadi gerakan nasional.

Meski demikian, gerakan BMT terus berjalan. DD sendiri sudah mensponsori pendirian 60 LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syariah) termasuk BMT. Mereka tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, DKI, DIY, dan Sumatera. BMT yang masih berjalan ada 47, 44 di antaranya bertahan dalam keadaan sehat. Sebagaimana Grameen Bank, hampir mayoritas nasabah BMT itu para wanita. BMT Beringharjo, yang dipimpin Mursida Rambe, seorang Ibu dua anak sampai saat ini memiliki 16 ribu nasabah pedagang kecil di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, dengan asset BMT 14,6 milyar.

Masih jauh memang dari apa yang dilakukan Grameen Bank. Tetapi langkah serupa telah cukup lama dimulai di Indonesia. Gerakan semacam ini memang tumbuh dan berkembang di desa. Demikian pula BMT yang mendampingi kalangan usaha mikro dalam permodalan yang memihak orang-orang desa yang miskin. Ini salah satu solusi bagaimana menghidupkan desa dengan mengembangkan usaha. Agar masyarakatnya tak melulu meralat nasib ke ibu kota.

Kita layak merenungkan sentilan M Yunus dalam memahami angka penyerbu Ibukota yang meningkat untuk mencari nafkah hidup. Nyatanya, kemiskinan di negeri ini tak mampu diurai dari belakang meja tanpa terjun langsung pemikirnya ke lapangan. Agar kaca mata memandang yang dipakai kaca mata orang miskin, bukan kaca mata orang pintar.

Benar katamu M Yunus, “Kami profesor universitas semuanya pintar, tetapi kami sama sekali tidak tahu mengenai kemiskinan di sekitar kami”.

Read More......