Tuesday, December 19, 2006

Spirit Jogja Guyub

Gempa tektonik itu menelan ribuan korban. Menorehkan rekaman dramatis yang memilukan. Semua sepakat untuk membantu, namun tak tentu untuk bersatu. Dalam sandi guyub, penolong dan korban saatnya bergandeng tangan untuk segera mengentaskan derita.

Guyub. Sebuah akar tradisi Jawa yang melekat. Dimaknai sebagai kerukunan, kebersamaan, akur, senasib dan seperjuangan. Istilah kekiniannya dapat disebut sinergi. Dengan guyub pula persoalan sulit dapat diurai secara bersama dalam satu titik temu, seiya sekata. Spirit guyub menanggalkan segala perbedaan untuk satu tujuan. Guyub bisa tercapai jika kepentingan-kepentingan pribadi untuk tujuan sendiri dibuang jauh. Dan guyub menemukan ruhnya di tanah Jawa dalam wujud gotong royong.

Pada sabtu, 27 Mei lalu, Yogyakarta dan Jawa Tengah terentak gempa tektonik, 5,9 skala Richter. Wilayah Bantul terutama, luluh lantak. Rumah-rumah penduduk rata dengan tanah. Korban jiwa, harta, dan benda melengkapi tragedi goncangan bumi di selatan pulau Jawa ini. Tangis dan panik mengaduk-aduk wajah bangsa kita yang tak putus-putus ditempa bencana. Geliat bumi kerap lewat diprediksi, lantaran kecanggihan teknologi yang tak dimiliki.

Gempa di Jogja dan Jawa Tengah, makin menyedihkan saat terjadi dalam suasana libur panjang. Sebagaimana dimafhumi, libur kerap menjadi biang keladi untuk lambatnya langkah tanggap darurat. Meski Presiden terjun di awal, pada tataran di bawahnya baru terlihat bergerak massif pada hari Senin berikutnya. Tak hendak menyela, sekadar bertanya apakah libur panjang memang saat paling privacy untuk tak diusik. Oleh tragedi dahsyat kemanusiaan sekalipun.

Di antara beragam saran dan kritik yang bertaburan di media massa, atas penanganan korban bencana yang dianggap lamban, semua kita masih sepakat bilang, mari peduli untuk Jogja dan Jateng. Dalam talk show malam di sebuah stasiun TV nasional, Ketua MPR RI, Hidayat Nurwahid menekankan, hendaknya bencana gempa ini menjadi moment bangkitnya rasa kesetiakawanan sosial. Senada dengan kesetiakawaan sosial, dalam bahasa Jawa bisa disebut guyub rukun eling sadulur (guyub rukun ingat sesama saudara).

Guyub dan gotong royong, wujud kepedulian sosial yang telah menjadi budaya. Sebagai sebuah kearifan lokal yang berlahan redup tertutup oleh jargon impor. Padahal negara-negara maju yang sudah mengalami "mabuk teknologi" kembali melirik ikon-ikon yang genuine, yang asli, yang alamiah. Gempa Jogja dan Jateng kali ini menuntut jawaban atas falsafah guyub dan gotong royong yang membanggakan itu.

Pendekatan budaya

Sebagai sebuah penggugah, guyub cukup menarik sebagai pemantik empati. Terlebih bencana yang memilukan ini terjadi di depan mata sendiri. Masyarakat Jawa yang tenar dengan guyub dan gotong royongnya, hendaknya segera bangkit. Saling membantu satu sama lain, menerapkan apa yang telah diwariskan para leluhur.

Bisa jadi, dengan guyub, satu RT yang hari ini rumahnya rata dengan tanah, dapat bergotong royong memugar satu rumah ke rumah yang lain. Dijadwal secara bergiliran. Seraya memetik hikmah alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asal tercapai). Gempa dahsyat ini disadari juga menorehkan luka hati. Trauma dan kecemasan. Namun, unsur ketabahan yang lekat di masyarakat Jawa mustinya dapat membuat korban tangguh menghadapinya.

Kesabaran masyarakat Jawa dalam memanggul ujian dikenal cukup teruji. Semangat-semangat ini hendaknya disemarakkan lagi, agar para korban tak berlarut-larut terpuruk. Kabar-kabar tak baik, menyangkut adanya penjarahan dan pencegatan bantuan di lokasi gempa, sebuah berita yang menyedihkan. Wartono (50), seorang warga Ngentak, Seloharjo, Bantul yang rumahnya rata dengan tanah menampik keras kabar itu. Menurutnya, mental masyarakat Jawa jauh dari rakus dan anarki meski dalam kondisi sesulit apapun.

Terlepas dari ada atau tidak, sampai hari ini kondisi korban gempa dalam situasi tidak jelas. Reruntuhan rumah dan puing-puing menyuguhkan pemandangan yang menyesakkan. Yang menarik kini, jalan-jalan di Bantul di atas jam 10.00 akan padat merayap. Macet di sana sini dipenuhi kendaraan-kendaraan pribadi. Jumlah pengunjung – bukan relawan meningkat. Mereka dengan tujuannya masing-masing, akan beradu mata dengan pandangan para korban yang menyirat harap.

Kiranya, tajuk “guyub” dapat dicuatkan agar semua elemen masyarakat, pemerintah, dan korban gempa berpadu untuk segera menyibak layar suram ini. Para korban gempa di Jogja dan Jateng harus segera bangkit. Mereka yang tabah dan narimo musti disemangati. Meresapi makna guyub yang demikian dalam, beberapa lembaga kemanusiaan mencoba mengusung sebagai sebuah sandi bersama.

Minggu malam, dua hari setelah gempa. Ada 20 perwakilan dari Lembaga Amil Zakat (LAZ), lembaga kemanusiaan, organisasi kemasyarakatan, Baitul Mal wat Tanwil (BMT), dan perwakilan elemen-elemen masyarakat berembug di kantor Corps Dakwah Pedesaan (CDP) Yogyakarta. Rembugkan yang dipandu Kusnandar, Direktur Grant Dompet Dhuafa Republika itu menelorkan sebuah sinergi bersama yang terbingkai dalam “Jogja Guyub”.

Menilik akar budaya lokal, paguyuban ini cukup pas untuk melakukan aksi kemanusiaan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Guyub sebagai spirit untuk membangkitkan semangt para korban melalui pendekatan budaya. Guyub merangkum kebersamaan antara pihak pemberi bantuan dan penerima bantuan. Masyarakat terlibat dalam kerja kemanusiaan secara bergotong royong. Rasa senasib seperjuangan melebur dalam satu nafas untuk segera bangkit dan berbenah. Filantropi,REPUBLIKA (23/7/06)

No comments: