Tuesday, December 19, 2006

Pengorbanan tak Kenal Lelah


Sekali lagi kita saksikan pengorbanan rakyat hari ini. Minyak tanah langka di pasaran. Pengorbanan apalagi yang belum lengkap diberikan masyarakat miskin?

Tiap obat mujarab rasanya pahit. Tetapi ia mengandungi zat penyembuh yang dapat mengusir sakit. Lidah boleh menolak tetapi ia mesti ditelan agar badan kembali sehat. Bertahun-tahun maskapai penerbangan nasional menelan pil pahit. Garuda, sebutan pendek untuk Garuda Indonesia Airways (GIA), diplesetkan menjadi ‘’Good And Reliable Under Dutch Administration’’. Kurang lebih sama dengan maskapai penerbangan nasional Philipina, PAL, yang sempat diledek sebagai ‘’Plane Always Late’’. Dengan menelan pil pahit itu, kini Garuda sembuh dari sakit panjang dan menjadi maskapai nasional yang bergengsi dan pantas dibanggakan.

Harus mecicipi susah memang untuk menjadi besar. Perlu pengorbanan, kegetiran, dan perjuangan yang tak berujung. Tentang pengorbanan ini, almarhum Hary Rusli pernah membuat sebagian kita mesem pahit. Lantaran dalam peringatan HUT RI di Jakarta Selatan, Kang Hary memplesetkan lagu Garuda Pancasila. Syair itu diubah sedemikian menusuk hingga berbunyi, “Garuda Pancasila, Aku lelah mendukungmu, Sejak proklamasi, Selalu berkorban untukmu. Pancasila dasarnya apa, Rakyat adil makmurnya kapan....

Sontak banyak orang meradang dan marah. Lagu yang demikian heroik mendadak diacak-acak. Tuduhan sebagai tidak nasionalis dan patriotis pun dilayangkan pada Kang Hary kala itu. Kenakalan almarhum seniman itu sah saja ditanggapi dengan beragam komentar. Tetapi ada pesan yang ingin dilesakkan Kang Hary pada bangsa ini sebagai wujud kecintaannya pada rakyat. Sebagai tanda nasionalismenya yang sejati. Memang, ibarat dokter plesetan Garuda Pancasila adalah pil yang teramat pahit.

Kejadian-kejadian mutakhir membuktikan, plesetan Kang Hary tidak salah: Rakyat selalu berkorban. Terutama rakyat kelas bawah. Untuk menyambut kunjungan 6 jam Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush, rakyat melalui APBD Bogor iuran sebesar Rp 6 Milyar. Ditambah lagi pengorbanan rakyat secara langsung akibat pengamanan Bush, yang menurut Fraksi PKS DPRD Bogor dan pengusaha jumlahnya mencapai 82 Milyar.

Cerita Bush memang telah menjadi bubur. Tapi bila organisasi raksasa NU, Muhamadiyah, dan MUI saja sedari awal sudah secara tegas menolak atau minimal menyayangkan prosesi kehadiran Bush, belum cukupkah itu melukiskan besarnya pengorbanan rakyat.

Kepergian Bush dari Bogor, diikuti dengan kepergian sejumlah wakil rakyat untuk studi banding atau kunjungan kerja ke luar negeri. Biayanya milyaran juga, dan ditanggung rakyat lewat APBN. Hasilnya? Wallahu a’lam bisshawwab. Lagi-lagi rakyat mesti berkorban.

Beberapa hari ini wajah jaman revolusi seakan diputar kembali. Masyarakat kesulitan minyak tanah. Dapur tidak dapat ngebul. Bukan rahasia umum lagi jika ada ribuan, mungkin juga jutaan masyarakat yang dalam tiga hari terakhir tidak dapat memasak. Lantas apa lagi alasan pemerintah untuk menjawab realita ini. Tidak ada yang jelas. Mengambang dan cari selamat sendiri-sendiri. Asal dapur di rumah tak padam untuk apa dibahas. Kata arifnya, rakyat harus sabar memahami kesulitan negara. Lagi-lagi rakyat wajib berkorban.

Beri Keteladanan

Sebulan lagi, kita diingatkan akan datangnya Hari Raya Kurban. Dalam pesan kurban, ada keteladanan yang dapat dipahami sebagai pengejawantahan pengorbanan untuk rakyat. Kurban diwajibkan bagi yang mampu untuk kaum dhuafa. Cermin agar pemimpin berkorban untuk rakyat dan negaranya. Bukan terbalik rakyat yang berkorban habis-habisan untuk negaranya sementara para pemimpin abai dengan sulitnya minyak tanah hari ini.

Jika memang berkorban menjadi nafas bangsa ini untuk enyah dari kesulitan, mestinya ini dijiwai secara berjamaah. Jiwa berkorban harus tercermin dalam berbagai aktivitas pengelolaan negara. Para pemimpin dan kaum elite negeri ini harus menunjukkan semangat untuk berkorban bagi kepentingan rakyatnya. Tidak hanya rakyat yang diminta untuk berkorban, tetapi para pemimpin pun harus memberikan contoh.

Tidak berkhianat terhadap amanah jabatan yang diembannya merupakan salah satu contoh pengorbanan yang dilakukan. Karena pengkhianatan terhadap amanah, hanya akan membawa bangsa ini pada kehancuran. Rasulullah SAW telah mengingatkan kepada kita dalam salah satu haditsnya: “Amanah itu akan mendatangkan rizki, dan khianat itu akan mendatangkan kefakiran.” Kemiskinan yang terjadi saat ini, bukan tidak mungkin adalah karena pengkhianatan yang dilakukan oleh para pejabat negeri ini.

Para pemimpin pun hendaknya tidak hidup bermewah-mewahan di tengah penderitaan masyarakatnya. Mereka harus bisa lebih berempati terhadap kondisi kehidupan rakyatnya. Salah satu keberhasilan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam membangun masyarakat adalah kemampuannya untuk berempati dan berkorban untuk rakyatnya. Ia merelakan harta bendanya untuk disumbangkan kepada Baitul Maal, bahkan isterinya pun diminta untuk melepas perhiasan yang dimiliki dan disayanginya.

Sungguh ini merupakan contoh indah pengorbanan yang dilakukan para pemimpin umat di zaman dahulu. Kalau para pemimpin dan kaum elite suatu negeri telah terperangkap pada pola hidup bermewah-mewahan yang disertai oleh suatu sikap mendustakan dan menentang ajaran Allah, maka hal ini merupakan tanda-tanda kebinasaan suatu negeri.

Allah telah menegaskan hal ini dalam QS Al-Isra (17) : 16-17,: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Dan betapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui dan Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.”

Idul Adha yang sebentar lagi tiba, layak dijadikan momentum bersama untuk melakukan koreksi secara total terhadap berbagai aktivitas dan kebijakan yang telah kita lakukan. Para pemimpin dan rakyat harus segera menyadari berbagai kesalahan yang telah dilakukan. Masing-masing elemen bangsa harus mau mengendalikan berbagai ego kepentingannya, dan lebih mengedepankan semangat untuk berkorban bagi kepentingan rakyat dan bangsa.

Jika ini tak mampu terwujud. Benar resep pahit dari dokter Hary Rusli, Aku lelah mendukungmu, Sejak proklamasi, Selalu berkorban untukmu. Dan kita tak perlu marah.

No comments: