Tuesday, December 19, 2006

Sedu Sedan TKW di Victoria Park

Victoria Park di hari Minggu. Taman di pusat jantung kota Hongkong, menyemut dipadati ribuan wanita. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00, Victoria Park menyuguhkan wajah Indonesia. Dan 90% wajah Jawa. Kulit sawo matang dihiasai rambut pirang bergerai. Mode pakaian yang dibesut seakan kurang bahan, membungkus lenggak-lenggok tubuh yang berlenggang lalu lalang di jalan-jalan dan taman. Kuping berbunga banyak tindik, sampai pusar pun diobral. Riuh cekikikan dan tawa berderai menyemarakkan Victoria Park.

Ponsel keluaran anyar menjamur ditenteng. Di tempel lekat di kuping, ngobrol sembari jalan. Pulsa seakan diobral murah entah untuk berbincang apa. Gaya wanita eropa dalam bingkai kebebasan makin lengkap. Ditambah asap rokok yang mengepul dari bibir berpoles lipstik lima mm. Mereka-reka gayanya, mirip turis. Dan, rasa-rasanya tak salah memang. Victoria Park tempat faforit para turis wanita dalam cas, cis, cus dialeg Jawa medok. Sedikit menyamarkan, dialek Katon akan menjadi selingan.

”Minggu, hari kebebasan bagi kami. Bayangkan, selama enam hari kami berkutat jadi babu. Kalau dapat majikan baik masih mending, kebanyakan majikan di sini kasar. Tak jarang kami digampar, dipukul, dan kekerasan fisik lainnya. Makanya kami puas-puaskan menikmati kebebasan yang cuma sehari ini”, kata Saijah (28), pekerja asal Tulungagung yang sudah 8 tahun di Hongkong.

Gaya urakan, menurut Saijah cara lain dari melampiaskan banyak beban. Selain tuntutan gaya hidup yang ingin mencicipi dunia modern. Terlebih, suasana Hongkong sangat menyokong kebebasan mereka. Di kota inilah para migrant worker menemukan kesetaraan. Tak ada perlakuan kelas dua, atau kelas tiga layaknya Malaysia memandang rendah pekerja Indonesia. Di luar rumah, mereka berhak menikmati fasilitas umum setara dengan warga asli Hongkong. Pun, gaya hidup dan tetek bengeknya.

Bicara beban, Rukmini yang kini kecanduan rokok membagi kisah. Kemampuannya bertahan di Hongkong sampai enam tahun ini bukan tanpa alasan. Utang-utang di Jawa untuk ia berangkat dan membangun rumah belum lunas. Di tempat asalnya, Jawa Timur, ukuran kesuksesan dilihat dari rumahnya yang magrong-magrong.

”Orang kampung pikir, di sini cari uang gampang. Saya juga terlanjur malu, apalagi setelah saya jadi TKW, suami jadi dihormati di kampung. Karena rumah kami sudah tembok dan punya motor. Wah, tumiran makmur yo saiki, bojone kerjo neng Hongkong (wah, tumiran kaya sekarang setelah istrinya kerja di Hongkong)”, ungkap wanita beranak empat ini membagi kisah.

Padahal, berkali-kali siksaan fisik ia terima. Ditendang dan dipukul menjadi sarapan saban hari. Tidur empat jam sehari. Semua ditelan pahit, tak tampak oleh tawa sumringah Tumiran yang mengendarai motor hasil perasan keringatnya. Sementara Tumiran mendengkur di atas kasur, berselimut dinding tembok dalam rumah megah. Saat Tumiran merajut mimpi indah, saat itu pula Rukmini masih terjaga diperbudak majikan.

Namun, tak semua mengejar gengsi status sosial di kampung. Hadiatun (23), wanita berjilbab asal Malang ini misalnya. Lari ke hongkong untuk menghindari masalah keluarga. Menikah di usia 14 tahun, ia terpaksa harus menghidupi dua anaknya yang kini ditinggal suami kawin lagi. Status janda muda membuatnya tersiksa oleh gunjingan miring tetangga. Meski hidupnya lurus, tetangga seakan tak rela ia hidup tenang membesarkan dua anaknya di desa.

”Saya yakin, 90% teman-teman yang ada di Hongkong kerja di sini karena keruwetan masalah keluarga. Semua karena terpaksa dan ingin menghindari masalah-masalah itu”, ungkap wanita yang grapyak (supel) mengucap salam pada siapapun yang ditemui di jalan ini. Merangkum dari sedu sedan para pekerja wanita Indonesia di Hongkong, eposnya sama. Semua bermasalah, terlilit beban, luka fisik, luka hati, dan ketergantungan dengan alasan ”terpaksa” kembali lagi ke Hongkong.

Wajah Dakwah

Hari Minggu di Victoria Park. Adalah juga wajah dakwah. Jilbab putih dan warna-warni membalut indah wajah-wajah migrant worker di sisi lain. Di bawah rindangnya pohon di ujung taman, sekelompok komunitas berjilbab berkumpul. Di dalamnya ada diskusi, mengaji, dan peneguhan akidah. Di tempat itu pula sholat dhuhur dan asar dijalankan.

Warna masalah yang mereka hadapi sama. Namun berbeda cara menyiasatinya. Hari Minggu pula, saat merdeka bagi mereka menjalankan ibadah. Sholat, bagi sebagian besar TKW adalah masalah berat yang musti ditanggung. Dapat dihitung jari bagi yang punya majikan toleran. Kisah digampar dan dipukul saat mau sholat, cerita-cerita yang gampang ditemui. Mencuri waktu, ngumpet dari kebengisan majikan, untuk sholat di kamar mandi sebagian kisah pedih dari perjuangan mempertahankan akidah.

Jangan bicara sah atau tidak. Buang jauh-jauh bayangan rumah para majikan di Hongkong semegah Pondok Indah. Orang-orang kaya di Hongkong yang mampu menggaji pembantu Rp 3 juta adalah sebuah ruang di apartemen. Sempit dan sumpek. Bercampur dengan anjing dan berlumur minyak babi. Sriani, contoh seorang muslimah berjilbab yang merelakan fisiknya dicabik dan didera. Hanya untuk sholat. Disirami air saat sujud, dihampiri anjing saat ruku, sampai dijedotkan ke tembok.

Jika saja hidup memberikan pilihan. Jika saja para suami bertanggung jawab. Jika saja sesama muslim di tanah air bersaudara. Jika saja fakir miskin dan anak-anak terlantar diurusi negara. Sriani dan teman-teman senasibnya tak perlu menadahi nestapa ini. Maka, tumbuhnya 30 organisasi muslim di Hongkong hari ini menjadi sebuah harapan pembelaan bagi mereka.

Sebagai wujud keseriusannya menggali ilmu agama dalam kondisi darurat, para muslimah perkasa itupun mendatangkan ustad dan kyai dari Indonesia. Tak tanggung-tanggung. Wajah pendakwah yang tenar di layar TV tanah air hampir semua pernah mereka datangkan. Terlihat betul bagaimana mereka butuh pengayom, tempat berbagi mencari solusi. Bukan sekadar dalil boleh dan tidaknya sholat di kamar mandi. Bukan sekadar fatwa dilarangnya wanita bekerja. Juga bukan sekadar nasyid dan kesempatan berfoto dengan tokoh yang mereka harapkan.

Tokoh-tokoh itu dihadirkan untuk memberi pencerahan. Bukan ketakutan dan kecemasan oleh fatwa yang memang telah jelas hukumnya. Mereka perlu solusi menata diri dan merancang masa depan. Mereka diminta memberi pembelaan terhadap nasibnya. Mereka diundang untuk melihat betapa sakit dan pedih babu di negeri orang. Sehingga, dengannya sang ustad dan kyai dapat menceramahi para suami untuk tidak menzalimi istri. Dengan pengaruhnya diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan negara agar membela para migrant worker ini. Jangan sekadar ceramah lantas berwisata.

Victoria Park di hari minggu adalah wajah-wajah sarat masalah. Gaya-gaya semu membungkus kekeluan. Sebuah wajah ketidakberdayaan yang tak mampu cari pembelaan. Wajah-wajah para istri yang ditelantarkan suami. Wajah anak-anak yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Korban-korban kemiskinan bangsa, yang dengan bangga, negara menyaksikan anak bangsanya direndahkan di negeri orang. Inilah wajah bangsa kasihan yang tak mampu memberi solusi pada rakyatnya sendiri.Filantropi, REPUBLIKA, (5/5/06)