Friday, April 17, 2009

Menembus Jalur Gaza


Saya berada di Jalur Gaza selama sembilan hari. Berikut catatan saya pada hari ketujuh. Ini hari ketujuh, saya berbaur dengan warga korban agresi Israel di Gaza, (2 Februari 2009). Satu hari saya di Rafah, enam hari sampai sekarang saya bertahan di Jabalia Gaza Utara. Saya melihat Gaza masih utuh, yakni semangat juang rakyat dan cara bertahannya. Gaza masih kukuh, meski blokade Israel makin menggila.


Meski spirit warga Gaza terus membara, secara fisik Gaza porak poranda. Permukiman penduduk, sekolah, masjid
, dan pusat pemerintahan hancur total. Kerusakan terhebat dialami di Rafah, Khanyounis, Bayt Lahia, Bayt Hanun, dan Jabalia. Tetapi roda pemerintahan berderak tak terbendung. Pemerintahan resmi Hamas, tetap menjalankan perannya dengan baik. Tanpa kantor, apara kepolisian dan keamanan tetap beroperasi. Di Rafah misalnya, meski kantor polisi dihancurkan rudal dan bom Israel, mereka tetap berkantor di jalanan dengan absensi selembar kertas. Bahkan mereka sempat menangkap lima orang pengedar narkotika dari Mesir dan Israel.

Gaza City, ibukota Gaza, oase lain di tengah reruntuhan bangunan dan gedung di Gaza. Pusat kota Gaza ini masih utuh. Gedung-gedung yang punya konstruksi bangunan terkokoh di Arab – mungkin – masih angkuh menatap lepas laut Mediterania. Bank dan fasilitas publik lainnya masih berjalan baik. Kemacetan lalulintas juga pandangan hari-hari, seakan mengatakan "Kami masih utuh wahai Israel!".

Biaya hidup di Gaza ting
gi. Nilai $ US 1 sama dengan 3,8 Shekel – mata uang Israel. Transaksi hari-hari rakyat Palestina memakai mata uang Israel. Hotel dengan tarif terendah mencapai $ US 100. Pasca perang, biaya hidup di Gaza naik lebih dari 300 persen.

Setelah tanggal 5 Februari nanti, pintu perbatasan Rafah melalui mesir akan ditutup. Saya dan orang asing lainnya, diminta Kementerian Luar Negeri Mesir, untuk keluar Gaza sebelum tanggal 5.

Ini seperti mimpi buruk. Selanjutnya, perbatasan yang akan dibuka melalui Israel di Karem Abu Salom dan El Auda. Saya membayangkan, jika pintu masuk Gaza melalui Israel, sama halnya dengan mengisolasi total warga Gaza dari dunia luar. Hati saya terus bertanya, mungkinkah suplai kebutuhan hidup melalui terowongan di Rafah mampu menghidupi 2,5 juta lebih penduduk Gaza? Pun, juga heran, bagaiama mungkin pasca gempuran yang demikian hebat, semua jenis kendaraan di Gaza masih beroperasi secara baik. Darimana supali bahan bakarnya? Makin memahami kehidupan Gaza rasanya rumit dan tak masuk akal.

Rasanya adil, jika akhirnya Hamas memplokamirkan kemenangannya. Karena Gaza bisa berdenyut lebih cepa
t dan makin kuat. Bahkan Hamas juga masih mampu melempar roket ke Israel, tiap kali Israel memancing keruh dengan melempar rudalnya ke Rafah, Khanyounis, dan Jabalia. Dalam catatan saya, Hamas hampir tak pernah melempar roket lebih dulu. Biasanya, jika Israel melempar rudal lebih dulu, Hamas baru membalasnya dengan dua sampai tiga roket. Mereka juga ingin menjelaskan, bahwa Hamas masih kokoh sebagai kekuatan militer di Gaza.

Di Gaza, saya berpetualang menjumpai para korban agresi Israel. Saya merekam cukup baik apa suara mereka. Dari anak-anak sam
pai orang tua. Dalam catatan saya, delapan dari sepuluh anak laki-laki di Gaza bercita-cita jadi anggota Brigadir Al-Qosam. Sisanya ingin jadi guru dan pekerja sosial. Sedangkan tujuh dari sepuluh anak perempuan di gaza, ingin jadi dokter. Mereka ingin mengobati para mujahidin yang terluka, jika Israel menyerang tanah mereka.

Dari setiap anak yang saya ajak berbincang, mereka punya suara kejujuran yang tulus tentang perdamaian. "Kami mencintai perdamaian dengan siapapun. Tetapi jika tanah kami dijajah dan orang tua kami dibunuh, kami akan melawan dengan maupun tanpa Hamas", kata Fatimah atlas (13), di reruntuhan puing bekas rumahnya, Bayt Lahia. Murid kelas dua Madrasah itu, ayahnya lumpuh oleh senjata Israel. Dia terkurung tujuh hari di sekolahnya, saat Israel menyerang. Ada 10 temannya yang syahid di sekolah, saat itu terkena ledakan bom.

Untuk menghemat biaya hidup, saya tinggal di rumah-rumah penduduk. Mereka sangat cinta orang Indonesia. Di sepanjang jalan saya lewati, setiap mulut berucap, "Ahlan wa sahlan Indonesia!". Di masjid-masjid temapt saya sholat, para jamaah selalu mengerubungi saya. Nafas rasanya sesak, kare
na seringnya dipeluk. Para imam masjid saling berebut ingin menjamu saya dan menginap di rumahnya.

Keluarga di gaza hidup dalam kesehajaan. Tetapi untuk menjamu tamu, mereka rela mengorbankan makanan terbaiknya. Kadang, saya belanja roti di warung pinggir jalan, tapi karena tahu saya ora
ng Indonesia, mereka tidak mau menerima uang saya. Bahkan saya diajak masuk rumah mereka dan dijamu makan. Ingin menolak, tapi postur tubuh mereka yang tinggi, membuat saya tak berdaya mengelak. Lengan saya yang kecil ditarik paksa masuk rumah.

Teman-teman saya di Jakarta tahu, saya tidak doyan roti. Tapi di Gaza dengan lidah dan mulut yang terus berontak, saya paksakan untuk menelan roti itu. Ironisnya, porsi yang mereka suguhkan sama
dengan porsi yang mereka makan. Repot tapi mengharukan.

Tidak hanya merekam kehidupan anak-anak dan keluarga di gaza. Saya juga dijamu Brigadier Al-Qosam, sayap militer Hamas yang kerap membuat Israel kerepotan dan stres. Suatu malam, saya diajak patroli mengunjungi markas dan tempat penjagaan mereka di perbatasan Gaza – Israel di daerah Jabalia. Jarak ke Israel tak kurang dari 1 km.

Mereka menyambut kami ramah. Muka mereka ditutup sarung kepala hitam, hanya tampak mulut dan matanya. Setiap prajurit menenteng senjata AK 47. Beberapa di antaranya memegang roket a
nti tank buatan Rusia. Sebagian roket modifikasi buatan sendiri yang diberi nama Yassin. Menukil nama almarhuh Syeh Ahmad Yassin yang dibunuh Israel.

Satu malam
saya bersama mereka. Jalan kaki memutari perbatasan Jabalia. Bau badan mereka harum, nafas yang mereka keluarkan tiap bercakap juga harum. Tidak saya temui, nafas parjurit al-Qosam bau jengkol. Telapak tangannya kekar dan kuat. Suarnya lembut dan santun. Saya tidak dapat mengenali siapa mereka. Tapi, beberapa di antaranya sepertinya saya tidak asing. Pernah berjumpa pada siang sebelumnya.

Saya mencoba mengingat siapa yang saya salami malam itu. Esok hari saya berjumpa anak-anak muda yang berpakaian rapi di masjid-masjid. Beberapa saya merasakan seperti sebagian dari orang yang saya jumpai semalam. Benar saja, sebagian mereka mengaku. Melihat gelagatnya, sulit menebak jika anak-anak muda yang gagah, rapi, santun, dan kalem ini adalah pejuang Al-Qosam yang garang di medan laga.

Tak lupa, mereka juga mengajak saya ke rumah para mujahidin yang luka. Mereka ada yang terluka di kepala
, hancur tangan, kaki, dan tubuh yang tidak utuh. Ajaibnya, luka-luka mereka cepat sekali pulih. Menurut seorang dokter di Gaza, suhu dingin di Gaza bagian dari sebab kenapa luka-luka itu cepat sembuh. Seorang mujahidin ada yang empat kali terjun ke medan tempur, dan empat kali juga tubuhnya terluka. Tapi tidak ciut, dia ingin menjadi mujahidin sampai syahid menjemput.

Saat ini di Indonesia, banyak foto-foto calon legislatif dan calon presiden. Tapi di Gaza tak kalah banyak foto-foto terpampang di jalan-jalan dan gang-gang. Tapi bukan foto caleg. Foto-foto yang dipampang di Gaza adalah foto-foto para mujahidin yang syahid. Mereka menjadi idola dan bintang bagi masyarakat Palestina umumnya. Mereka para syahid yang dihormati, karena membela tanah Gaza secuil yang ingin direbut Israel.

Di Gaza, saya merasakan hukum al-Quran diamalkan. Ini tercermin dari tingkah laku dan kehidupan masyarakat Gaza. Masjid-masjid penuh tiap sholat lima waktu. Rasanya saya ingin tinggal lama di tanah para mujahidin ini. Tapi, saya harus kembali membawa kabar pada dunia, bahwa tidak ada
teroris di Palestina. Semua warga Gaza mencintai Hamas. Ia, pemerintahan dan kekuatan militer yang syah di Palestina. Hamas memenangi pemilu secara demokratis. Dan hamas dicintai secara total oleh rakyat. Anak-anak di Gaza dan Palestina kini makin membumi, mencintai perlawanan dan selalu mengidolakan para mujahidin yang syahid.

Ini, catatan hari ke-7 saya di Gaza. Sebelum akhirnya saya meninggalkan tanah Mujahidin itu pada 5 Februari 2009, atas permintaan Mesir. Setelah itu, pintu masuk Gaza melalui Rafah ditutup.

3 comments:

Unknown said...

Allah Karim

sutrimo said...

subhanallah... sungguh indah

Risal Fajar said...

subhanallah :'(